Danau itu tidak terawat sama sekali. Danau yang dipenuhi oleh semak belukar. Di sekeliling danau seharusnya adalah taman. Tempat yang dulunya indah, sekarang menjadi tempat yang sangat kacau.
Mencari jejak di tengah malam sangat tidak mudah. Untungnya, lampu taman tersebut masih ada beberapa yang nyala. Rachel memegang senter dan juga senter pada ponselnya."Rachel, kalau kau takut kau boleh pulang. Aku akan berikan kuncinya padamu," ucap Brandon."Kalau aku takut, aku tidak akan ada di sini sekarang," tolak Rachel. Mereka memang berteman cukup lama meski tidak terlalu dekat tapi sering saling membantu sama lain. Di dekat danau ada lapangan basket. Danaunya juga sudah mengering dan berubah menjadi lumpur yang tidak terlalu dalam. Deg! Entah kenapa, Brandon tidak fokus pada danau. Malah penasaran dengan gudang yang ada di belakang lapangan basket."Kau sungguh mau ke sana?" tanya Rachel. "Bukankan pBertemu dengan Renza lagi merupakan sesuatu yang tidak pernah Raina bayangkan. Ia bahkan berniat untuk pergi lebih jauh lagi. Scandal tentang Raina yang sudah dimanipulasi oleh pria yang tidak lain adalah mantan suami Raina, membuat Raina menjadi bahan pembicaraan orang yang tidak tahu akan kebenarannya. Lalu, di saat berita simpang siur tentang Raina, juga tentang penerus Naga Hitam, hadirlah sosok yang membuat Raina bisa menepis segala kesulitannya."Bertemu dengan keluargaku." Sebuah kalimat yang terdiri dari tiga kata. Sederhana tapi membuat Raina panas dingin mendengarnya. Wajah Raina memerah, ia gagu Karena tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Bukan karena Raina merasa ragu, tapi karena Raina merasa malu."Ap--apa katamu?" pekik Raina. "Ah, bukan aku membentakmu. Ak--aku hanya terkejut," imbuhnya. Suara yang terbata-bata, wajah yang merah merona, membuat Raina terlihat seperti memberikan respon yang berlebihan.
Malam yang sangat kacau dan berantakan sudah berakhir. Menjelang fajar, Rael bersama beberapa orang yang mendampinginya, datang ke gedung yang cukup tua untuk bertemu dengan seseorang.Gedung tersebut memiliki beberapa lorong yang cukup gelap. Kali ini, entah sehancur apa perasaan Rael. Ia bahkan bertamu dengan membawa bodyguard bersenjata bersamanya."Tuan muda Rael, Anda akhirnya datang," ujarnya.Seorang pria paruh baya menunggu Rael. Ia duduk di atas kursi dengan dua laki-laki berdiri tegap di belakangnya.Pria tersebut memiliki aura yang sudah tercampur. Hidupnya tidak lagi tentang uang. Ia mulai memiliki sebuah perasaan meski enggan untuk mengakuinya."Maaf sudah membuat Anda menunggu. Anda tidak perlu bicara formal pada saya," kata Rael."Silahkan duduk, Tuan muda."Rael duduk setelah dipersilahkan. Pria yang ada di hadapannya saat ini adalah Tuan Dogam. Pria yang bekerja dan bergerak karena uang."Anda m
Renza asyik bercengkerama dengan Raina. Mereka berdua melupakan niat ingin mandi hingga matahari berada tinggi di atas jengkal jari. Sayangnya, Raina merasakan kalau Renza tidak sepenuhnya terbuka padanya. Ada beberapa hal yang Raina rasakan masih tertutupi, seperti jati diri Renza, keluarganya, hingga garis keturunannya. Raina ingin bertanya tapi ia ragu. Renza hanya menceritakan kisah hidupnya yang normal."Sayang, ada apa?" tanya Renza."Apa aku boleh bertanya apapun? Apa kau akan menjawabnya?" tanya Raina."Boleh asal tidak melebihi batasannya," jawab Renza. Batasan? Pikir Raina. Kata yang terselip dalam kalimat, namun tampak lebih menonjol dari kata lain. Seakan-akan menjadi sebuah peringatan pertama kalau Raina tidak boleh bersikap semaunya."Lupakanlah," kata Raina sembari beranjak dari tempatnya duduk. Renza memegang tangan Raina. Ia mencegah Raina untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Renz
Dawai asmara membuat keduanya bergetar. Detak jantung yang tidak karuan, belum lagi desiran darah yang membuat keduanya saling berbagi kehangatan.Bibir yang saling bersentuhan, lidah yang saling menyapa. Terasa ringan, nyaman, tapi semakin memanas.Renza melumat bibir Raina sangat rakus. Tangannya mulai meraba ke bagian-bagian sensitif Raina yang sudah berada di luar kepala.Tidak ada kata yang keluar kecuali desahan dan erangan. Renza memindahkan Raina ke atas ranjang. Keduanya saling melempar tatapan. Wajah yang sangat dekat, kembali saling menghembuskan napas gairah yang sangat lekat."Ren, kenapa kau sangat terburu-buru?" tanya Raina."Karena aku sangat merindukanmu."Jawaban singkat yang bahkan belum terdengar memuaskan. Sayangnya, Renza kembali membungkam bibir Raina menggunakan bibirnya.Raina mencengkeram lengan Renza. Renza yang masih sangat muda, sangat berenergik. Permainan kali ini, Renza sebagai pemimpinnya
Menghabiskan satu hari penuh bersama dengan orang yang memenuhi relung hati merupakan moment yang membuat perasaan puas. Sayangnya, cinta yang masih menggebu-gebu itu membuat pemiliknya serakah karena didorong oleh rindu yang tidak juga berkurang."Kenapa murung?" tanya Raina."Aku masih ingin di sini," ucap Renza."Kalau begitu, kita di sini saja," balas Raina. Ia sedikit kegirangan karena waktu kunjungan keluarga akhirnya diundur."Tapi aku mau makan malam dengan keluarga besarku. Apa kau tahu berapa lama aku tidak kembali?" ujar Renza.Raina menyumbingkan bibirnya. Renza yang sedang labil terlihat menggemaskan. Apalagi ia duduk sembari memeluk Raina yang sedang berdiri.Raina ingin sekali membuat pria muda dihadapannya menangis karena dijahili. Sayangnya, Raina masih menjaga sikap dan belum menunjukkan tentang dirinya sepenuhnya."Memangnya berapa lama? Apa lebih lama dariku yang selama ini tidak tahu apa itu rumah?"
Raina tidak percaya. Gerbang utama yang sangat besar dan tinggi seperti akan menelannya. Dua orang membuka pagar tersebut dan puluhan orang berbaris sembari membungkuk.Raina kembali bertanya-tanya. Rasa ingin tahunya menumpuk di dalam otak sampai tidak bisa lagi ia takar.Penyambutan penuh hormat, belum lagi jalan dari gerbang utama ke mansion cukup jauh. Beratus-ratus hektar.Raina sangat terkejut. Mansion yang mentereng megah dan indah, belum lagi taman yang terlihat manis. Ada juga hutan buatan dan masih banyak yang lain. Berapa keluarga yang tinggal di tempat itu? Pikir Raina."Kenapa tanganmu dingin?" tanya Renza."Ren, apa ini sebabnya kau tidak bisa jawab apakah ini bisa disebut rumah?" tanya Raina."Iya." Renza mengurangi kecepatan motornya.Mereka semakin masuk ke dalam. Pemandangan yang sangat Renza rindukan. Apakah ia akan mendapatkan pelukan rindu atau sebaliknya?"Ren, aku tidak menyangka kalau kau
Selama Renza merawat lukanya, Zavier, Eren, langsung penasaran dengan sosok Raina. Wanita cantik meski terlihat dewasa yang menjadi pilihan Renza."Kak, apa kau punya semacam trik?" tanya Eren."Hust!" Zavier membungkam mulut Eren. "Apa yang sedang kau tanyakan?" pekik Zavier. Eren kesal. Ia menggigit tangan Zavier. "Huh! Aku cuma bertanya. Siapa tahu ada semacam trik biar aku bisa membuatmu semakin tergila-gila padaku," ujar Eren sembari tersenyum menampakkan jajaran giginya yang berbaris."Jangan berekspresi seperti itu. Aku jadi ingin menggigitmu," bisik Zavier."Cih!" Eren mendorong wajah Zavier. Ia lebih memilih mendekati Raina.Raina sedikit terhibur. Ia sama sekali tidak merasa terganggu sedikitpun. Malah, kehadiran Zavier dan Eren melelehkan suasana yang sempat membeku beberapa saat yang lalu."Aku sudah selesai. Nona, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi, tapi sekarang aku harus mandi. Kita lanjutkan perkena
Raina mendengar suara langkah kaki seseorang. Ia menoleh. Bibirnya tersenyum manja. Seorang pria bertelanjang dada, dengan handuk berukuran kecil yang melilit di pinggangnya. Rambutnya turun menjadi poni. Mungkin karena masih basah. "Ren!" panggil Raina. Raina melangkah cepat menghampiri Renza yang terdiam mematung menatapnya. Lampu menyorot sedikit remang karena Renza tidak terlalu suka jika kamarnya terlalu terang. "Ren, kenapa kau diam saja? Apa kau berada di kamar dan menungguku?" tanya Raina sembari merangkul lengan Renza. "Maafkan aku. Seharusnya aku tadi langsung masuk saja," sambungnya.'Apa yang harus aku katakan?' batin Renza. Raina yakin kalau kali ini ia tidak salah orang lagi dalam mengenali Renza. Raina meletakkan tangannya di atas dada Renza. "Kau tidak membawaku masuk ke kamar?" tanya Raina sembari menggoda Renza. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Renza. Bahkan, ia han