Raina tidak percaya. Gerbang utama yang sangat besar dan tinggi seperti akan menelannya. Dua orang membuka pagar tersebut dan puluhan orang berbaris sembari membungkuk.
Raina kembali bertanya-tanya. Rasa ingin tahunya menumpuk di dalam otak sampai tidak bisa lagi ia takar.Penyambutan penuh hormat, belum lagi jalan dari gerbang utama ke mansion cukup jauh. Beratus-ratus hektar.Raina sangat terkejut. Mansion yang mentereng megah dan indah, belum lagi taman yang terlihat manis. Ada juga hutan buatan dan masih banyak yang lain. Berapa keluarga yang tinggal di tempat itu? Pikir Raina."Kenapa tanganmu dingin?" tanya Renza."Ren, apa ini sebabnya kau tidak bisa jawab apakah ini bisa disebut rumah?" tanya Raina."Iya." Renza mengurangi kecepatan motornya.Mereka semakin masuk ke dalam. Pemandangan yang sangat Renza rindukan. Apakah ia akan mendapatkan pelukan rindu atau sebaliknya?"Ren, aku tidak menyangka kalau kauSelama Renza merawat lukanya, Zavier, Eren, langsung penasaran dengan sosok Raina. Wanita cantik meski terlihat dewasa yang menjadi pilihan Renza."Kak, apa kau punya semacam trik?" tanya Eren."Hust!" Zavier membungkam mulut Eren. "Apa yang sedang kau tanyakan?" pekik Zavier. Eren kesal. Ia menggigit tangan Zavier. "Huh! Aku cuma bertanya. Siapa tahu ada semacam trik biar aku bisa membuatmu semakin tergila-gila padaku," ujar Eren sembari tersenyum menampakkan jajaran giginya yang berbaris."Jangan berekspresi seperti itu. Aku jadi ingin menggigitmu," bisik Zavier."Cih!" Eren mendorong wajah Zavier. Ia lebih memilih mendekati Raina.Raina sedikit terhibur. Ia sama sekali tidak merasa terganggu sedikitpun. Malah, kehadiran Zavier dan Eren melelehkan suasana yang sempat membeku beberapa saat yang lalu."Aku sudah selesai. Nona, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi, tapi sekarang aku harus mandi. Kita lanjutkan perkena
Raina mendengar suara langkah kaki seseorang. Ia menoleh. Bibirnya tersenyum manja. Seorang pria bertelanjang dada, dengan handuk berukuran kecil yang melilit di pinggangnya. Rambutnya turun menjadi poni. Mungkin karena masih basah. "Ren!" panggil Raina. Raina melangkah cepat menghampiri Renza yang terdiam mematung menatapnya. Lampu menyorot sedikit remang karena Renza tidak terlalu suka jika kamarnya terlalu terang. "Ren, kenapa kau diam saja? Apa kau berada di kamar dan menungguku?" tanya Raina sembari merangkul lengan Renza. "Maafkan aku. Seharusnya aku tadi langsung masuk saja," sambungnya.'Apa yang harus aku katakan?' batin Renza. Raina yakin kalau kali ini ia tidak salah orang lagi dalam mengenali Renza. Raina meletakkan tangannya di atas dada Renza. "Kau tidak membawaku masuk ke kamar?" tanya Raina sembari menggoda Renza. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Renza. Bahkan, ia han
Aretha tidak mengajak Loid bicara sampai tengah malam menghampiri mereka. Entah sejak kapan mata Loid terpejam. Ia tersadar dan membuka matanya."Eh, kenapa tanganku terikat di atas?" pekik Loid.Mata Loid mendelik. Aretha yang mengenakan pakaian dinas malam terlihat sangat seksi. Di bawah penerang kamar yang remang-remang, Loid tahu apa yang Aretha inginkan.Sayangnya, apa yang akan terjadi tidak akan sesuai dengan apa yang Loid bayangkan. Di tangan Aretha, ada sebuah cambuk yang membuat Loid menelan air liurnya.Loid memperhatikan tubuhnya. "Ke mana perginya pakaianku?" gumam Loid.Aretha naik ke atas ranjang. Ia biasanya sangat lembut, tapi kali ini ia terlihat berbeda. Apa selama pernikahan Aretha menahan diri karena kepuasannya cukup mengerikan? Pikir Loid."Sayang," bisik Aretha."Sayang, apa yang kau inginkan?" tanya Loid. Ia tersenyum canggung karena ditelanjangi istri sendiri.'Apa karena cemburu?' bati
Apa yang terjadi? Naura ingin menguasai Delice malam ini. Dari ujung rambut sampai ujung kaki Delice adalah miliknya. Meski kedua tangan Delice terikat, tapi Delice masih bisa bergerak bebas.Rasa cemburu itu menghilangkan akal sehat Naura. Trauma akan perasaan dikhianati muncul kembali. Ternyata, luka itu sama sekali tidak terkikis.Naura menyentuh Delice. Sepanjang sentuhan tangannya yang semakin terasa panas, Naura berpikir bagaimana caranya membuat Delice tetap tinggal.Delice, pria yang dulunya bebas berganti wanita seperti sebuah pakaian yang mudah ia buang. Hal itu menghantui Naura karena setelah menikah dengannya, Delice hanya memakai pakaian yang sama yaitu dirinya. Bagaimana jika Delice bosan? Bagaimana jika di belakang Naura ia mulai merayu wanita lain?Pikiran dangkal itu terjadi karena trauma masa lalu saat Delice tidak setia padanya. Insiden demi insiden buruk muncul secara berkala."Ngh ... Sayang, jangan menggigit dadaku,"
Raina terlihat sangat tidak nyaman. Ia begitu cemas dan dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Renza yang baru saja kembali, langsung memeluknya.'Dia gemetaran. Apa yang terjadi?' batin Renza. Tubuh Raina sampai dingin. Renza tidak langsung bertanya. Ia menggendong Raina dan membawanya masuk ke dalam kamar."Maaf karena meninggalkanmu terlalu lama," ujar Renza."Aku takut." Tangan Raina meremas kerah kemeja Renza. Menyalurkan ketakutannya melalui reaksi tubuh. Tak bisa dijelaskan dengan kata. Mana mungkin Raina mengatakan ia takut kalau Naura dan Aretha akan bertengkar dengan pasangan mereka karena dirinya."Apa yang terjadi?" tanya Renza."Aku takut kau pergi tanpa bicara padaku. Iya ... Aku hanya takut itu," jawab Raina. Renza menurunkan Raina di atas ranjang. Ia mengambil kaos miliknya yang ada di lemari. Saat ini, Renza bahkan memakai kemeja Delice karena pakaian miliknya sudah tidak ada ya
Malam yang panjang dan tegang telah usai. Semua orang sudah berkumpul di ruang santai tanpa terkecuali. Kiana sudah beberapa hari tidak menemui siapapun. Ia juga membiarkan Kumey bebas menjalani kehidupannya. Kiana masih mengenakan baju tidur yang lucu. Rambutnya setengah berantakan dan wajahnya tanpa riasan sedikitpun.Tap ... Tap ... Tap ... Kiana turun dari tangga. Semua kepala menoleh padanya. Namun, Kiana sangat acuh dan tidak menyapa satu orangpun di sana. Kiana mengusap matanya. Ia mengerutkan keningnya sembari menatap semua orang. Semuanya terlihat kelelahan, tapi Kiana tetap tidak peduli."Kiana!" panggil Delice. "Ambil sampah itu dan buang keluar," pinta Delice."Siapa?" tanya Kiana. "Aku, Ayah?" tanya Kiana lagi sembari menunjuk dirinya sendiri."Iya. Buang sampah itu dan jemput seseorang untukku," pinta Delice."Kalian terlihat lelah. Apa yang terjadi? Kenapa bangun sepagi ini kalau masih l
Jordan datang ke salah satu penjara. Tempat yang beberapa tahun lalu pernah menjadi rumahnya. Jordan menyembunyikan senyumnya. Penampilannya seperti biasanya. Kemeja yang dipadukan dengan celana yang senada, juga kacamata yang menempel di atas hidungnya. Jordan datang khusus untuk menemui seseorang yang akan ia keluarkan dari tempat terkutuk itu. Tentu saja, Jordan tidak akan melakukan apapun tanpa rencana."Apa yang membawa Tuan Jordan ke sini? Apalagi, Anda datang seorang diri tanpa pengawal khusus saat bertemu dengan kriminal sepertiku," ujarnya. Seorang wanita muda, saat ini berhadapan dengan Jordan. Dia sudah berada di dalam penjara selama dua tahun karena keliarannya. Bahkan setiap hari, dinding penjara itu bertambah percikan darah baru."Nona Celine, mohon perhatikan tata bicara Anda," ujar Jordan. "Saya akan menjamin kebebasan Anda dengan sebuah syarat. Bagaimana?" sambungnya."Ayah yang memintamu untuk datang?" Celine
Saat ini, ada dua orang sedang berhadapan. Bertemu di salah satu tempat terpencil yang jarang sekali ada orang lain di sana. Tempat paling sepi, hanya terdengar suara-suara hewan kecil saat malam hari.Tempat itu menjadi tempat persembunyian yang sering digunakan. Dua orang yang saling berdebar, bertemu dengan membawa sebuah kerahasiaan."Apa begitu menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?" Suara lembut, namun bergetar karena menahan rasa yang hampir meledak dari dadanya."Apa aku terlihat seperti itu bagimu?" balasnya.Wajah yang sering kali dilihat namun tidak pernah ditatap. Wajah yng tidak asing tapi sekarang menjadi sangat tidak dikenali karena identitas asli yang terbongkar."Bagaimana sekarang aku harus memanggilmu? Tuan muda? Rael? Atau ...""Kenapa kau tidak memanggilku suami?" celetuk Rael."Heuh!" Kiana tersenyum pahit. Kiana maju selangkah. "Suami? Apa kau layak?" ucap Kiana."Kau datang denga