Saat ini, ada dua orang sedang berhadapan. Bertemu di salah satu tempat terpencil yang jarang sekali ada orang lain di sana. Tempat paling sepi, hanya terdengar suara-suara hewan kecil saat malam hari.
Tempat itu menjadi tempat persembunyian yang sering digunakan. Dua orang yang saling berdebar, bertemu dengan membawa sebuah kerahasiaan."Apa begitu menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?" Suara lembut, namun bergetar karena menahan rasa yang hampir meledak dari dadanya."Apa aku terlihat seperti itu bagimu?" balasnya.Wajah yang sering kali dilihat namun tidak pernah ditatap. Wajah yng tidak asing tapi sekarang menjadi sangat tidak dikenali karena identitas asli yang terbongkar."Bagaimana sekarang aku harus memanggilmu? Tuan muda? Rael? Atau ...""Kenapa kau tidak memanggilku suami?" celetuk Rael."Heuh!" Kiana tersenyum pahit. Kiana maju selangkah. "Suami? Apa kau layak?" ucap Kiana."Kau datang denga"Aku tidak melihat Kiana padahal sudah dua hari ini aku merindukannya," kata Ken. Mereka sangat sibuk sampai tidak ada yang menyadarinya. Kiana tidak keluar dari kamarnya selama dua hari. Kiana seperti hilang tanpa suara dan jejak."Aku menghampirinya tapi Kiana menolak, Ken. Dia membutuhkan waktu untuk sendiri," jawab Naura.Sesibuk apapun itu, Naura sebagai seorang ibu sangat mengerti keadaan Kiana. Ia terus menghampiri meski Kiana juga selalu menolak untuk bicara."Dua hari terakhir, aku memang tidak mengganggunya sama sekali. Aku membiarkannya bebas untuk memiliki waktu menata kembali hidupnya," ujar Kiana. "Kalau kau khawatir, aku akan mendatanginya lagi," sambungnya."Tidak perlu," tolak Ken. "Aku akan melihatnya sendiri," lanjutnya.Ken baru kembali London karena perjalanan bisnis. Orang yang pertama kali ingin ia lihat saat lelah menempel pada tubuhnya adalah Kiana. Putri yang sangat ia cintai selama ini.Kea
Naura menyusul Delice yang sedang emosi. Langkah Delice sangat cepat masuk ke dalam kamar. Reaksi Delice tidak seperti biasanya. Apa karena live saat itu merupakan clue dan kali ini Kiana terjerat lagi dengan HG Group?"Delice, ada apa denganmu?" teriak Naura. Delice tidak mempedulikan Naura. Ia membuka laci dan mengambil empat pistol yang langsung ia pasang di sekitar tubuhnya."Delice!" bentak Naura. Delice memutar tubuhnya. Ia menatap sekeliling kamar, lalu mengecup bibir Naura."Tolong jelaskan pada Renza kalau aku minta maaf padanya. Dari awal sampai akhir, aku mempercayainya," bisik Delice. Suara Delice sangat lirih. Ia bicara tanpa memiliki kebebasan, padahal di kamarnya merupakan ruangan kedap suara."Kenapa kau berbisik seperti ini?" balas Naura. Bahkan bibirnya tidak terlihat bergerak."Tolong jaga mansion. Penjaga kita sedang kacau. Ada penyusup yang menyamar. Naura, aku akan mencari Kian
Bommm!Bommm!Bommm!Terdengar suara ledakan dari luar mansion Hamid Gul, ketika mereka saling berseteru dengan pendapat masing-masing."Saya akan mengeceknya," ujar Pak Aaron.Delice menghalangi Pak Aaron dengan melintangkan lengannya. Amarah Delice sudah sampai pada puncaknya."Ken, sepertinya itu mobil yang kita bawa," ujar Delice. "Aku tahu kalau kau ingin menemui seseorang. Pergilah," sambungnya."Bagaimana denganmu?" tanya Ken."Jangan khawatir. Aku punya rencana sendiri," gertak Delice.Ken keluar dari mansion. Benar saja tebakan Delice kalau ledakan itu dari mobil yang mereka pakai. Kobaran api tidak terlalu besar karena sudah melahap habis semua body mobil."Setelah sekian lama, akhirnya aku harus menghadapi orang dengan serius lagi."**Delice tidak bisa membiarkan Rael lemah dan pasrah dengan keadaannya sendiri. Rael harus memiliki semangat hidup supaya ia bertanggu
Orva membulatkan matanya. Oscar yang belum pulih dari cidera sebelumnya, tiba-tiba saja sudah bersiap dengan pakaian seadanya."Kak, apa yang kau lakukan?" pekik Orva.Orva sedikit mendorong Oscar supaya Oscar kembali istirahat di atas ranjang. Luka yang di alami oleh Oscar cukup fatal. Membuat Oscar harus memulihkan diri dalam jangka waktu lebih lama dari perkiraannya sendiri.Oscar mngusap ujung kepala Orva sembari tersenyum. "Bersiaplah. Nona membutuhkan kita," ujar Oscar."Kak, biar aku saja. Kau harus istirahat sampai benar-benar pulih," kata Orva. Ia sangat khawatir karena hanya Oscar keluarga satu-satunya yang ia miliki."Orva, kita memiliki tugas penting. Kepercayaan Nona, tidak boleh kita abaikan. Kau tahu, bukan? Sejak kita menerima pekerjaan sebagai pelindung Nona, kita harus melindunginya dengan mempertahankan nyawa kita. Apa kau sudah mengerti?"Dulu, Oscar bukankah orang yang sepeduli itu dengan orang lain. Ia tidak
'Berapa lama aku tidak sadar?' batinnya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Untuk membuka mata saja rasanya sulit. Napasnya begitu berat. Kiana hanya bisa mengatur napasnya supaya tidak lekas habis karena oksigen yang ada di dalam ruangan tempat ia berada sangat minim. Kondisi Kiana sangat lemah dan juga memprihatinkan. Kiana seperti seorang tawanan yang beberapa saat lalu dijual dengan harga tinggi. Seorang Nona kaya dan memiliki kekuasaan telah membelinya. Ingatan Kiana terpecah belah. Tubuhnya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Kedua tangan Kiana di rantai. Sebelah kakinya juga dijerat oleh rantai yang cukup kuat. Kiana hanya bisa terdiam untuk menghemat tenaganya. Entah berapa lama ia sudah terjebak di dalam ruangan gelap dan juga pengap tersebut. Ruangan yang sama seperti tempat penyiksaan."Hah!" Kiana menghela napasnya. "Kalau setiap hari aku mendapatkan luka yang baru, aku bisa mati," gumam Kiana. Be
"Argh! Argh! Argh!" Suara teriakan itu semakin keras. Keringat dingin mulai bercucuran. Pergelangan tangan membiru, bahkan hampir seperti tercekik dan remuk."Sialan! Sialan kau, HG!" teriak Kiana. Efek obat itu sudah satu jam menguliti tubuh Kiana. Seperti ribuan semut menyengat tubuhnya tanpa henti dan secara bersamaan atau ribuan lebah yang bersuara nyaring di telinganya. Luka baru maupun luka lama Kiana mengeluarkan darah kembali karena Kiana mengejan menahan kesakitannya.Hah! Hah! Hah! Kiana terengah-engah. Ia tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang terus menggeroti setiap aliran darahnya. Penglihatannya mulai kabur. Samar-samar, dalam kondisinya yang setengah sadar, ia melihat dua orang yang berjalan ke arahnya."Si--siapa? Aku ..." Kiana bergumam, tapi tidak sepenuhnya bisa mengucapkan apa yang ia rasakan. Kesadarannya hilang dalam kehancuran tubuhnya. Dua orang yang Kiana lihat sudah
Leon berada di tempat istirahat. Ia merindukan Zaila. Ia membayangkan kalau wanita yang ia cintai akan datang dan memeluknya. Sayangnya, semua khayalan itu hanya akan menjadi boomerang. Sepasang kaki melangkah masuk. Suaranya cukup pelan. Lalu, kemudian tangan kecil dan jari yang lentik memeluk dan sedikit meraba dada bidangnya. Leon sedang membuka dasi dan beberapa kancing kemejanya. Ketika telapak tangan Celine menyentuh kulit dadanya, terasa begitu hangat tapi tidak bisa membangunkan hasratnya."Apa aku membuatmu menunggu lama?" tanya Celine."Tidak, Nona." Leon tersenyum. "Nona harus cepat istirahat. Besok Nona akan lebih sibuk dari sekarang," sambungnya. Celine merasa tidak senang, tapi ia tidak ingin merusak pria yang saat ini ada di depan matanya. Pria yang membuatnya tertarik dan hampir gila. Celine tidak bisa menggunakan obat berlebihan seperti yang ia lakukan pada tubuh Kiana untuk merusak otak Leon."Apa
Buagh!Buagh!Buagh!"Beraninya kau menipuku!" teriak Celine. Leon tergeletak di atas lantai dengan bersimbah darah. Ia tidak bisa menahan gejolak dirinya. Meski ia adalah pria normal, tapi hatinya sudah dipenuhi oleh Zaila. Tidak ada celah bagi Celine untuk masuk. Leon berusaha membuang perasaannya. Namun, ia tidak bisa. Pada akhirnya, ia gagal menukar keselamatan Kiana menggunakan nyawanya."Kau yang menawarkan dirimu sendiri, tapi kau juga yang menariknya kembali!" Celine menjambak kasar rambut Leon. "Apa kau tahu kalau kau sudah mempermalukanku?" lanjutnya."Maaf, Nona. Mungkin saya membutuhkan sedikit waktu lagi," ucap Leon."Heuh!" Celine menyeringai kejam. "Aku tidak ingin membuatmu mati, jadi aku harus menggunakan adik tersayangmu itu untuk mengurangi rasa kesalku yang sudah kau pancing hingga memuncak," ucap Celine."Ja--jangan ..." Leon tidak bisa mengangkat kepalanya. Ia hanya bisa