Buagh!
Buagh!Buagh!"Beraninya kau menipuku!" teriak Celine. Leon tergeletak di atas lantai dengan bersimbah darah. Ia tidak bisa menahan gejolak dirinya. Meski ia adalah pria normal, tapi hatinya sudah dipenuhi oleh Zaila. Tidak ada celah bagi Celine untuk masuk. Leon berusaha membuang perasaannya. Namun, ia tidak bisa. Pada akhirnya, ia gagal menukar keselamatan Kiana menggunakan nyawanya."Kau yang menawarkan dirimu sendiri, tapi kau juga yang menariknya kembali!" Celine menjambak kasar rambut Leon. "Apa kau tahu kalau kau sudah mempermalukanku?" lanjutnya."Maaf, Nona. Mungkin saya membutuhkan sedikit waktu lagi," ucap Leon."Heuh!" Celine menyeringai kejam. "Aku tidak ingin membuatmu mati, jadi aku harus menggunakan adik tersayangmu itu untuk mengurangi rasa kesalku yang sudah kau pancing hingga memuncak," ucap Celine."Ja--jangan ..." Leon tidak bisa mengangkat kepalanya. Ia hanya bisaKiana mengedip-kedipkan matanya. Ia kembali sadar. Entah sudah berapa lama tubuhnya dipermainkan oleh rasa sakit yang bertubi-tubi meremukkan tulangnya. Siang berganti malam, malam berganti siang. Ruangan yang tertutup, membuat Kiana tidak bisa mengetahui sudah berapa lama waktu berjalan.Suntikan obat terakhir sangat menyiksanya. Namun, Kiana memiliki kekebalan tubuh yang sangat luar biasa hingga bisa bertahan hidup sampai detik ini.Jika rasa sakit itu datang lagi, Kiana akan menjerit, tubuhnya akan menegang kesakitan. Kiana berharap kesulitannya akan cepat berakhir. Tersiksa seperti itu akan mengikis kemampuan dirinya dalam mempertahankan nyawa.Tap ... Tap ... Tap ...Kiana sangat sulit menggerakkan kepalanya untuk mendongak dan melihat siapa yang datang. Ia hanya bisa melihat sepasang kaki yang cantik sudah tegak di hadapannya."Kau siapa?" tanya Kiana.Deg!Leon yang terluka menemani Celine mendatangi Kiana setelah
Arta membawa buket bunga mawar merah yang sangat besar dan juga cantik. Ia memakai pakaian formal dan menyisir rambutnya sangat rapi. Saat ini, Arta berada di depan sebuah rumah. Ia sangat gugup, padahal bukan pertama kalinya ia datang.Tangan Arta berkeringat dingin. Ia berkali-kali mengatur napasnya untuk menghilangkan kegugupan.Arta menekan bell rumah tersebut. Tidak selang lama, pintu terbuka. Wanita cantik langsung tersenyum manis menyambut kedatangan Arta."Masuklah. Ayah sudah menunggumu.""Berikan aku ciuman dulu," bisik Arta.Cup!Arta memegang pipinya. Ia langsung merona saat Agnes memberikan kecupan manis padanya. Berapa lama mereka berpisah? Sebuah permasalahan tidak henti-hentinya merusak suasana indah.Arta mengusap ujung kepala Agnes Gerakannya sangat lembut dan Arta ingin melahap Agnes karena kerinduan yang melonjak keluar dari dirinya."Sayang, maaf. Aku menitipkan mu untuk dijaga Ayah terlalu
Celine menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya. Ia menghisapnya beberapa kali dan membuang asapnya ke udara. Di dalam sebuah ruangan terbuka, ia berhadapan dengan seseorang.Celine adalah wanita pemberani. Ia tidak peduli siapa musuhnya, sekuat apa mereka, Celine tetap menanggapinya dengan santai. Baginya, hidup yang ia jalani harus sesuai dengan apa yang ia sukai."Katakan saja kenapa kau datang," ucap Celine."Aku tidak bisa menemani Anda bermain terlalu lama. Nona Celine, meski Anda mendapatkan dukungan dari Jordan, bukan berarti Anda bisa bersikap seenaknya seperti ini." Nick menghalangi ujung pisau yang Celine todongkan tepat ke arah matanya."Padahal aku tertarik sekali untuk mengambil darahmu sebagai penelitian," ujar Celine."Pekerjaan kita sudah selesai. Saya dan Anda tidak memiliki sangkut paut apapun," kata Nick. "Saya memiliki urusan lain dan Anda harus melakukan sisanya sendiri," sambungnya."Apa itu yang Jorda
Rie diam-diam menyelinap keluar dari rumah sakit. Ia menemui seseorang tidak jauh dari tempatnya di rawat. Orang yang ia temui memiliki tubuh yang tinggi dan besar. Seluruh tubuhnya merupakan otot yang sangat kuat. Rie sangat hormat kepada pria tersebut. Terlihat jelas perbedaan di antara keduanya. Hubungan mereka juga terlihat lebih dekat dari perkiraan mata yang melihat."Rie, bagaimana dengan misi terakhirmu? Seharusnya kau berhasil membuat temanmu itu tetap hidup. Apa kau siap kembali ke markas?" ucapnya. "Kau sudah meninggalkan jejak lamamu dan bergabung dengan tentara bayaran. Seharusnya kau sudah menyiapkan jawaban," sambungnya."Mayor, bisakah aku melakukan satu hal lagi?" pinta Rie. Rie membohongi sekawanan orang yang pernah menjadi rekannya. Mereka ingin membunuh Oscar, sedangkan Rie ingin menyelamatkan Oscar. Rie yang sudah bergabung dengan tentara di bawah pemerintah, harus berpura-oura masih menjadi sekutu lawan.
Agnes merasa kepalanya sedikit pusing. Perlahan, ia membuka matanya. Ia menatap langit-langit asing dan termenung beberapa saat. Anehnya, saat ini Agnes sedang berada di atas pangkuan Arta. Arta mendekapnya sangat erat. Raut wajah Arta juga berbeda."Arta," panggil Agnes.Arta menoleh. "Kau sudah bangun?" ujar Arta."Seperti yang kau lihat. Ngomong-ngomong, apa kau bisa menurunkanku?" pinta Agnes.Arta tersenyum. "Kenapa? Apa kau malu?" goda Arta."Bu--bukan seperti itu," elak Agnes. "Ak--aku berat. Aku tidak mau kau ...""Hst!" Arta menempelkan jarinya di atas bibir Agnes. "Aku senang mendekapnya seperti ini," ujar Arta lembut."Ah! Baiklah."Agnes mengalah. Bagaimana mungkin dia bisa menolak keinginan Arta, sedangkan raut wajah Arta penuh harap."Arta, kenapa aku bisa tertidur pulas? Kau mau membawaku ke mana?" tanya Agnes."Istirahatlah dulu. Aku akan menjelaskannya nanti setelah kita sampai, oke." Arta berusaha membujuk Agnes.Kepekaan Agnes sangat tajam. Ia memalingkan wajahnya k
Kiana menatap cermin. Lebam-lebam pada wajahnya sudah tidak terlalu terlihat jika ia menutupinya menggunakan sedikit make up tipis. Gara-gara harus menghajar Kumey tanpa ampun, luka pada seluruh tubuhnya berdarah lagi. Bahkan luka terdalam yang Kiana miliki, terbuka kembali."Ugh!" Kiana meringis menahan sakit. Ia menjahit ulang luka pada lengannya yang terbuka lagi.Di atas meja rias, perban, obat, kapas, kasa steril, sudah berjejer. Kiana melempar satu per satu kapas yang sudah ia gunakan ke dalam kotak sampah."Lukanya terbuka lagi?" Bariton suara yang tiba-tiba saja muncul, sedikit mengejutkan Kiana yang kesulitan mengintai dirinya sendiri."Seperti yang kau lihat," jawab Kiana dingin.Leon menarik kursi dan meletakkannya di sisi kursi Kiana. "Biar aku membantumu," ujar Leon.Kiana menaikkan alisnya. Otaknya sudah rusak dan terisi oleh apapun yang dikatakan Celine. Leon bahkan tidak bisa mengembalikkan sedikit saja ingatan yang berarti bagi Kiana."Kenapa aku harus percaya padamu
Celine adalah penyelanggara resmi acara yang diadakan di puncak kota. Ia didampingi oleh Kiana yang menutup wajahnya menggunakan topi. Leon berdiri sebagai pendamping dan juga bodyguard."Nona Celine." Seorang penjaga yang ada di depan gedung memanggil Celine yang sedang menyapa para tamu."Hm ..." Celine mendekatinya.Penjaga tersebut membisikkan sesuatu ke telinga Celine dalam jarak beberapa cm. Celine mwngangguk. Apa yang ia harapkan benar-benar terjadi."Biarkan mereka masuk seperti tamu vvip," ujar Celine."Baik, Nona. Saya akan melaksanakan tugas dari Anda."Celine menahan tawanya. Rasanya sangat puas dan ingin tertawa terbahak-bahak. Psychopath yang ia sembunyikan dari dunia, sedikit ia tunjukkan.Leon merasa risih dengan tatapan gila Celine. Rasanya cukup menusuk dan membuat mual."Mora, ikut denganku," pinta Celine."Siap, Nona Celine.""Leon, jaga aku dari jauh," pinta Celine."Sial, Nona."Sebenci apapun Leon dengan Celine, perintah Celine di atas segalanya. Ia tidak memban
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p