Orva membulatkan matanya. Oscar yang belum pulih dari cidera sebelumnya, tiba-tiba saja sudah bersiap dengan pakaian seadanya.
"Kak, apa yang kau lakukan?" pekik Orva.Orva sedikit mendorong Oscar supaya Oscar kembali istirahat di atas ranjang. Luka yang di alami oleh Oscar cukup fatal. Membuat Oscar harus memulihkan diri dalam jangka waktu lebih lama dari perkiraannya sendiri.Oscar mngusap ujung kepala Orva sembari tersenyum. "Bersiaplah. Nona membutuhkan kita," ujar Oscar."Kak, biar aku saja. Kau harus istirahat sampai benar-benar pulih," kata Orva. Ia sangat khawatir karena hanya Oscar keluarga satu-satunya yang ia miliki."Orva, kita memiliki tugas penting. Kepercayaan Nona, tidak boleh kita abaikan. Kau tahu, bukan? Sejak kita menerima pekerjaan sebagai pelindung Nona, kita harus melindunginya dengan mempertahankan nyawa kita. Apa kau sudah mengerti?"Dulu, Oscar bukankah orang yang sepeduli itu dengan orang lain. Ia tidak'Berapa lama aku tidak sadar?' batinnya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Untuk membuka mata saja rasanya sulit. Napasnya begitu berat. Kiana hanya bisa mengatur napasnya supaya tidak lekas habis karena oksigen yang ada di dalam ruangan tempat ia berada sangat minim. Kondisi Kiana sangat lemah dan juga memprihatinkan. Kiana seperti seorang tawanan yang beberapa saat lalu dijual dengan harga tinggi. Seorang Nona kaya dan memiliki kekuasaan telah membelinya. Ingatan Kiana terpecah belah. Tubuhnya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Kedua tangan Kiana di rantai. Sebelah kakinya juga dijerat oleh rantai yang cukup kuat. Kiana hanya bisa terdiam untuk menghemat tenaganya. Entah berapa lama ia sudah terjebak di dalam ruangan gelap dan juga pengap tersebut. Ruangan yang sama seperti tempat penyiksaan."Hah!" Kiana menghela napasnya. "Kalau setiap hari aku mendapatkan luka yang baru, aku bisa mati," gumam Kiana. Be
"Argh! Argh! Argh!" Suara teriakan itu semakin keras. Keringat dingin mulai bercucuran. Pergelangan tangan membiru, bahkan hampir seperti tercekik dan remuk."Sialan! Sialan kau, HG!" teriak Kiana. Efek obat itu sudah satu jam menguliti tubuh Kiana. Seperti ribuan semut menyengat tubuhnya tanpa henti dan secara bersamaan atau ribuan lebah yang bersuara nyaring di telinganya. Luka baru maupun luka lama Kiana mengeluarkan darah kembali karena Kiana mengejan menahan kesakitannya.Hah! Hah! Hah! Kiana terengah-engah. Ia tidak kuat lagi menahan rasa sakit yang terus menggeroti setiap aliran darahnya. Penglihatannya mulai kabur. Samar-samar, dalam kondisinya yang setengah sadar, ia melihat dua orang yang berjalan ke arahnya."Si--siapa? Aku ..." Kiana bergumam, tapi tidak sepenuhnya bisa mengucapkan apa yang ia rasakan. Kesadarannya hilang dalam kehancuran tubuhnya. Dua orang yang Kiana lihat sudah
Leon berada di tempat istirahat. Ia merindukan Zaila. Ia membayangkan kalau wanita yang ia cintai akan datang dan memeluknya. Sayangnya, semua khayalan itu hanya akan menjadi boomerang. Sepasang kaki melangkah masuk. Suaranya cukup pelan. Lalu, kemudian tangan kecil dan jari yang lentik memeluk dan sedikit meraba dada bidangnya. Leon sedang membuka dasi dan beberapa kancing kemejanya. Ketika telapak tangan Celine menyentuh kulit dadanya, terasa begitu hangat tapi tidak bisa membangunkan hasratnya."Apa aku membuatmu menunggu lama?" tanya Celine."Tidak, Nona." Leon tersenyum. "Nona harus cepat istirahat. Besok Nona akan lebih sibuk dari sekarang," sambungnya. Celine merasa tidak senang, tapi ia tidak ingin merusak pria yang saat ini ada di depan matanya. Pria yang membuatnya tertarik dan hampir gila. Celine tidak bisa menggunakan obat berlebihan seperti yang ia lakukan pada tubuh Kiana untuk merusak otak Leon."Apa
Buagh!Buagh!Buagh!"Beraninya kau menipuku!" teriak Celine. Leon tergeletak di atas lantai dengan bersimbah darah. Ia tidak bisa menahan gejolak dirinya. Meski ia adalah pria normal, tapi hatinya sudah dipenuhi oleh Zaila. Tidak ada celah bagi Celine untuk masuk. Leon berusaha membuang perasaannya. Namun, ia tidak bisa. Pada akhirnya, ia gagal menukar keselamatan Kiana menggunakan nyawanya."Kau yang menawarkan dirimu sendiri, tapi kau juga yang menariknya kembali!" Celine menjambak kasar rambut Leon. "Apa kau tahu kalau kau sudah mempermalukanku?" lanjutnya."Maaf, Nona. Mungkin saya membutuhkan sedikit waktu lagi," ucap Leon."Heuh!" Celine menyeringai kejam. "Aku tidak ingin membuatmu mati, jadi aku harus menggunakan adik tersayangmu itu untuk mengurangi rasa kesalku yang sudah kau pancing hingga memuncak," ucap Celine."Ja--jangan ..." Leon tidak bisa mengangkat kepalanya. Ia hanya bisa
Kiana mengedip-kedipkan matanya. Ia kembali sadar. Entah sudah berapa lama tubuhnya dipermainkan oleh rasa sakit yang bertubi-tubi meremukkan tulangnya. Siang berganti malam, malam berganti siang. Ruangan yang tertutup, membuat Kiana tidak bisa mengetahui sudah berapa lama waktu berjalan.Suntikan obat terakhir sangat menyiksanya. Namun, Kiana memiliki kekebalan tubuh yang sangat luar biasa hingga bisa bertahan hidup sampai detik ini.Jika rasa sakit itu datang lagi, Kiana akan menjerit, tubuhnya akan menegang kesakitan. Kiana berharap kesulitannya akan cepat berakhir. Tersiksa seperti itu akan mengikis kemampuan dirinya dalam mempertahankan nyawa.Tap ... Tap ... Tap ...Kiana sangat sulit menggerakkan kepalanya untuk mendongak dan melihat siapa yang datang. Ia hanya bisa melihat sepasang kaki yang cantik sudah tegak di hadapannya."Kau siapa?" tanya Kiana.Deg!Leon yang terluka menemani Celine mendatangi Kiana setelah
Arta membawa buket bunga mawar merah yang sangat besar dan juga cantik. Ia memakai pakaian formal dan menyisir rambutnya sangat rapi. Saat ini, Arta berada di depan sebuah rumah. Ia sangat gugup, padahal bukan pertama kalinya ia datang.Tangan Arta berkeringat dingin. Ia berkali-kali mengatur napasnya untuk menghilangkan kegugupan.Arta menekan bell rumah tersebut. Tidak selang lama, pintu terbuka. Wanita cantik langsung tersenyum manis menyambut kedatangan Arta."Masuklah. Ayah sudah menunggumu.""Berikan aku ciuman dulu," bisik Arta.Cup!Arta memegang pipinya. Ia langsung merona saat Agnes memberikan kecupan manis padanya. Berapa lama mereka berpisah? Sebuah permasalahan tidak henti-hentinya merusak suasana indah.Arta mengusap ujung kepala Agnes Gerakannya sangat lembut dan Arta ingin melahap Agnes karena kerinduan yang melonjak keluar dari dirinya."Sayang, maaf. Aku menitipkan mu untuk dijaga Ayah terlalu
Celine menyelipkan sebatang rokok di antara bibirnya. Ia menghisapnya beberapa kali dan membuang asapnya ke udara. Di dalam sebuah ruangan terbuka, ia berhadapan dengan seseorang.Celine adalah wanita pemberani. Ia tidak peduli siapa musuhnya, sekuat apa mereka, Celine tetap menanggapinya dengan santai. Baginya, hidup yang ia jalani harus sesuai dengan apa yang ia sukai."Katakan saja kenapa kau datang," ucap Celine."Aku tidak bisa menemani Anda bermain terlalu lama. Nona Celine, meski Anda mendapatkan dukungan dari Jordan, bukan berarti Anda bisa bersikap seenaknya seperti ini." Nick menghalangi ujung pisau yang Celine todongkan tepat ke arah matanya."Padahal aku tertarik sekali untuk mengambil darahmu sebagai penelitian," ujar Celine."Pekerjaan kita sudah selesai. Saya dan Anda tidak memiliki sangkut paut apapun," kata Nick. "Saya memiliki urusan lain dan Anda harus melakukan sisanya sendiri," sambungnya."Apa itu yang Jorda
Rie diam-diam menyelinap keluar dari rumah sakit. Ia menemui seseorang tidak jauh dari tempatnya di rawat. Orang yang ia temui memiliki tubuh yang tinggi dan besar. Seluruh tubuhnya merupakan otot yang sangat kuat. Rie sangat hormat kepada pria tersebut. Terlihat jelas perbedaan di antara keduanya. Hubungan mereka juga terlihat lebih dekat dari perkiraan mata yang melihat."Rie, bagaimana dengan misi terakhirmu? Seharusnya kau berhasil membuat temanmu itu tetap hidup. Apa kau siap kembali ke markas?" ucapnya. "Kau sudah meninggalkan jejak lamamu dan bergabung dengan tentara bayaran. Seharusnya kau sudah menyiapkan jawaban," sambungnya."Mayor, bisakah aku melakukan satu hal lagi?" pinta Rie. Rie membohongi sekawanan orang yang pernah menjadi rekannya. Mereka ingin membunuh Oscar, sedangkan Rie ingin menyelamatkan Oscar. Rie yang sudah bergabung dengan tentara di bawah pemerintah, harus berpura-oura masih menjadi sekutu lawan.