Raina terbangun. Ia merasakan kepalanya sangat nyeri. Ruangan yang saat ini ia tempati telihat sangat asing. Ranjang mewah, hiasan yang tidka membosankan, juga ada obat yang diletakkan di atas meja beserta air putih.
‘Minumlah obatnya kalau kepalamu terasa sakit.’Pesan singkat yang ditulis di atas kertas. Entah siapa pemiliknya. Raina turun dari ranjang. Ia berjalan terhuyug-huyung karema kesadarannya belum menjadi sadar sepenuhnya.Srash!Raina mencuci wajahnya. Ia merasakan kesegaran kembali. Raina terdiam di depan cermin. Ia mencoba berpikir. Mengingat lagi ingatannya yang terhenti terakhir kali.“Ah iya. Aku ingat. Aku sedang makan sesuatu tapi tiba-tiba saja bajingan itu menyergapku dari belakang. Tapi, apakah mungkin dia meninggalkan obat untukku? Ini terasa lebih aneh,” gumam Raina.Raina berbalik. Ia terperanjak kaget dan hampir terkejut. Naura menunggunya sampai sadar sembari menonton live anak-anaknya yang terjebak. SaDanau itu tidak terawat sama sekali. Danau yang dipenuhi oleh semak belukar. Di sekeliling danau seharusnya adalah taman. Tempat yang dulunya indah, sekarang menjadi tempat yang sangat kacau. Mencari jejak di tengah malam sangat tidak mudah. Untungnya, lampu taman tersebut masih ada beberapa yang nyala. Rachel memegang senter dan juga senter pada ponselnya. "Rachel, kalau kau takut kau boleh pulang. Aku akan berikan kuncinya padamu," ucap Brandon."Kalau aku takut, aku tidak akan ada di sini sekarang," tolak Rachel. Mereka memang berteman cukup lama meski tidak terlalu dekat tapi sering saling membantu sama lain. Di dekat danau ada lapangan basket. Danaunya juga sudah mengering dan berubah menjadi lumpur yang tidak terlalu dalam. Deg! Entah kenapa, Brandon tidak fokus pada danau. Malah penasaran dengan gudang yang ada di belakang lapangan basket. "Kau sungguh mau ke sana?" tanya Rachel. "Bukankan p
Bertemu dengan Renza lagi merupakan sesuatu yang tidak pernah Raina bayangkan. Ia bahkan berniat untuk pergi lebih jauh lagi. Scandal tentang Raina yang sudah dimanipulasi oleh pria yang tidak lain adalah mantan suami Raina, membuat Raina menjadi bahan pembicaraan orang yang tidak tahu akan kebenarannya. Lalu, di saat berita simpang siur tentang Raina, juga tentang penerus Naga Hitam, hadirlah sosok yang membuat Raina bisa menepis segala kesulitannya."Bertemu dengan keluargaku." Sebuah kalimat yang terdiri dari tiga kata. Sederhana tapi membuat Raina panas dingin mendengarnya. Wajah Raina memerah, ia gagu Karena tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Bukan karena Raina merasa ragu, tapi karena Raina merasa malu."Ap--apa katamu?" pekik Raina. "Ah, bukan aku membentakmu. Ak--aku hanya terkejut," imbuhnya. Suara yang terbata-bata, wajah yang merah merona, membuat Raina terlihat seperti memberikan respon yang berlebihan.
Malam yang sangat kacau dan berantakan sudah berakhir. Menjelang fajar, Rael bersama beberapa orang yang mendampinginya, datang ke gedung yang cukup tua untuk bertemu dengan seseorang.Gedung tersebut memiliki beberapa lorong yang cukup gelap. Kali ini, entah sehancur apa perasaan Rael. Ia bahkan bertamu dengan membawa bodyguard bersenjata bersamanya."Tuan muda Rael, Anda akhirnya datang," ujarnya.Seorang pria paruh baya menunggu Rael. Ia duduk di atas kursi dengan dua laki-laki berdiri tegap di belakangnya.Pria tersebut memiliki aura yang sudah tercampur. Hidupnya tidak lagi tentang uang. Ia mulai memiliki sebuah perasaan meski enggan untuk mengakuinya."Maaf sudah membuat Anda menunggu. Anda tidak perlu bicara formal pada saya," kata Rael."Silahkan duduk, Tuan muda."Rael duduk setelah dipersilahkan. Pria yang ada di hadapannya saat ini adalah Tuan Dogam. Pria yang bekerja dan bergerak karena uang."Anda m
Renza asyik bercengkerama dengan Raina. Mereka berdua melupakan niat ingin mandi hingga matahari berada tinggi di atas jengkal jari. Sayangnya, Raina merasakan kalau Renza tidak sepenuhnya terbuka padanya. Ada beberapa hal yang Raina rasakan masih tertutupi, seperti jati diri Renza, keluarganya, hingga garis keturunannya. Raina ingin bertanya tapi ia ragu. Renza hanya menceritakan kisah hidupnya yang normal."Sayang, ada apa?" tanya Renza."Apa aku boleh bertanya apapun? Apa kau akan menjawabnya?" tanya Raina."Boleh asal tidak melebihi batasannya," jawab Renza. Batasan? Pikir Raina. Kata yang terselip dalam kalimat, namun tampak lebih menonjol dari kata lain. Seakan-akan menjadi sebuah peringatan pertama kalau Raina tidak boleh bersikap semaunya."Lupakanlah," kata Raina sembari beranjak dari tempatnya duduk. Renza memegang tangan Raina. Ia mencegah Raina untuk pergi. "Mau ke mana?" tanya Renz
Dawai asmara membuat keduanya bergetar. Detak jantung yang tidak karuan, belum lagi desiran darah yang membuat keduanya saling berbagi kehangatan.Bibir yang saling bersentuhan, lidah yang saling menyapa. Terasa ringan, nyaman, tapi semakin memanas.Renza melumat bibir Raina sangat rakus. Tangannya mulai meraba ke bagian-bagian sensitif Raina yang sudah berada di luar kepala.Tidak ada kata yang keluar kecuali desahan dan erangan. Renza memindahkan Raina ke atas ranjang. Keduanya saling melempar tatapan. Wajah yang sangat dekat, kembali saling menghembuskan napas gairah yang sangat lekat."Ren, kenapa kau sangat terburu-buru?" tanya Raina."Karena aku sangat merindukanmu."Jawaban singkat yang bahkan belum terdengar memuaskan. Sayangnya, Renza kembali membungkam bibir Raina menggunakan bibirnya.Raina mencengkeram lengan Renza. Renza yang masih sangat muda, sangat berenergik. Permainan kali ini, Renza sebagai pemimpinnya
Menghabiskan satu hari penuh bersama dengan orang yang memenuhi relung hati merupakan moment yang membuat perasaan puas. Sayangnya, cinta yang masih menggebu-gebu itu membuat pemiliknya serakah karena didorong oleh rindu yang tidak juga berkurang."Kenapa murung?" tanya Raina."Aku masih ingin di sini," ucap Renza."Kalau begitu, kita di sini saja," balas Raina. Ia sedikit kegirangan karena waktu kunjungan keluarga akhirnya diundur."Tapi aku mau makan malam dengan keluarga besarku. Apa kau tahu berapa lama aku tidak kembali?" ujar Renza.Raina menyumbingkan bibirnya. Renza yang sedang labil terlihat menggemaskan. Apalagi ia duduk sembari memeluk Raina yang sedang berdiri.Raina ingin sekali membuat pria muda dihadapannya menangis karena dijahili. Sayangnya, Raina masih menjaga sikap dan belum menunjukkan tentang dirinya sepenuhnya."Memangnya berapa lama? Apa lebih lama dariku yang selama ini tidak tahu apa itu rumah?"
Raina tidak percaya. Gerbang utama yang sangat besar dan tinggi seperti akan menelannya. Dua orang membuka pagar tersebut dan puluhan orang berbaris sembari membungkuk.Raina kembali bertanya-tanya. Rasa ingin tahunya menumpuk di dalam otak sampai tidak bisa lagi ia takar.Penyambutan penuh hormat, belum lagi jalan dari gerbang utama ke mansion cukup jauh. Beratus-ratus hektar.Raina sangat terkejut. Mansion yang mentereng megah dan indah, belum lagi taman yang terlihat manis. Ada juga hutan buatan dan masih banyak yang lain. Berapa keluarga yang tinggal di tempat itu? Pikir Raina."Kenapa tanganmu dingin?" tanya Renza."Ren, apa ini sebabnya kau tidak bisa jawab apakah ini bisa disebut rumah?" tanya Raina."Iya." Renza mengurangi kecepatan motornya.Mereka semakin masuk ke dalam. Pemandangan yang sangat Renza rindukan. Apakah ia akan mendapatkan pelukan rindu atau sebaliknya?"Ren, aku tidak menyangka kalau kau
Selama Renza merawat lukanya, Zavier, Eren, langsung penasaran dengan sosok Raina. Wanita cantik meski terlihat dewasa yang menjadi pilihan Renza."Kak, apa kau punya semacam trik?" tanya Eren."Hust!" Zavier membungkam mulut Eren. "Apa yang sedang kau tanyakan?" pekik Zavier. Eren kesal. Ia menggigit tangan Zavier. "Huh! Aku cuma bertanya. Siapa tahu ada semacam trik biar aku bisa membuatmu semakin tergila-gila padaku," ujar Eren sembari tersenyum menampakkan jajaran giginya yang berbaris."Jangan berekspresi seperti itu. Aku jadi ingin menggigitmu," bisik Zavier."Cih!" Eren mendorong wajah Zavier. Ia lebih memilih mendekati Raina.Raina sedikit terhibur. Ia sama sekali tidak merasa terganggu sedikitpun. Malah, kehadiran Zavier dan Eren melelehkan suasana yang sempat membeku beberapa saat yang lalu."Aku sudah selesai. Nona, nanti kita bisa ngobrol-ngobrol lagi, tapi sekarang aku harus mandi. Kita lanjutkan perkena
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p