Ara, gadis bernama lengkap Karaisa Naraya itu melangkahkan kaki dengan perasaan waswas menuju ruang kepala sekolah. Dia khawatir sang kepala sekolah akan menegurnya gara-gara kejadian kemarin saat Ara meninggalkan sekolah untuk memenuhi panggilan guru BK Bion.
Bagaimana jika kepala sekolahnya yang terkenal garang tiba-tiba murka dan mencabut beasiswanya? Ara tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa dia kesulitan membayar uang sekolah atau bahkan tidak bisa bersekolah lagi. Lalu, bagaimana Ara bisa maju jika dia tidak bisa tetap sekolah? Sementara di rumah Lia, ada Bion yang membutuhkan uluran tangannya. ‘Enggak, enggak! Itu enggak boleh terjadi!’ Tanpa sadar, Ara menggeleng. "Jangan sampe, jangan sampe!" desis Ara pelan sembari tetap berjalan menunduk. Sesekali jemari kanan membenarkan letak kacamata tebalnya, hingga Ara pun tidak sengaja menabrak seorang laki-laki ketika mereka sama-sama hendak memasuki ruang kepala sekolah. "Ampun deh, Rara. Lo kalau jalan lihat-lihat! Mata aja ada empat, jalan selebar ini lo enggak lihat?" cicit laki-laki yang ditabrak. Ara merasa tidak enak saat mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Saga. "Maaf, maaf. Aku buru-buru," ucap Ara beralasan. Dia memberanikan diri mendongak dan menatap wajah Saga yang terlihat kesal. "Ada apa itu ribut-ribut?" Ratna, wakil kepala sekolah sengaja keluar ruangan untuk memeriksa kegaduhan yang terjadi. Sontak Ara dan Saga membalikkan badan menghadap Ratna. "Enggak ada apa-apa, Bu," jawab Ara dan Saga bersamaan. Setelah itu, mereka saling pandang beberapa detik. "Bagus deh kalau enggak ada apa-apa. Oh ya, bagus juga kalian sudah kompak duluan. Jadi nanti misal dikirim untuk bertanding, jangan sampai kalah, ya?" "Maksud Ibu?" Kali ini Saga lebih dulu bertanya. Ratna tersenyum tipis. "Oh, iya, masuk dulu aja kalian. Nanti akan dijelaskan sama Bapak kepala sekolah," titahnya. Ara dan Saga memasuki ruang kepala sekolah, mengikuti langkah Ratna. "Permisi, Pak," sapa Ara dan Saga yang lagi-lagi bersamaan tanpa sengaja. "Ya, silakan duduk." Bapak kepala sekolah beranjak dari kursi kebesarannya, menghampiri Ara dan Saga yang lebih dulu duduk di sofa tamu. ‘Duh, gimana kalau ternyata emang aku mau dikeluarin dari sekolah? Di depan Saga? Ya Tuhan, malu banget pasti. Mau ditaruh di mana muka aku nanti?’ Dalam hati, Ara masih merasa waswas. Dia mendadak tidak tenang. "Maaf, Pak. Sebenernya ada apa Bapak panggil kami?" tanya Saga memecah keheningan, karena sang kepala sekolah tidak kunjung membuka suara. "Pak, mohon dijelaskan. Waktu mereka tidak banyak," ujar Ratna mengingatkan. "Oh, iya. Saya mau menyampaikan pada kalian." Kepala sekolah bernama Badrun itu berdeham. "Pertama-tama, saya ucapkan selamat, karena kalian telah menjadi siswa-siswi yang terpilih untuk mengikuti Olimpiade matematika tingkat provinsi," ucap Badrun sembari menatap Ara dan Saga satu per satu. "Kok bisa, Pak? Saya kan baru kemarin pindah ke sekolah ini. Kenapa saya bisa terpilih?" Saga bingung. Ara pun sedikit heran. "Jadi begini, saya sudah lihat track record kamu dari Bu Risa yang kemarin menyerahkan berkas-berkas dari sekolahmu yang lama. Juga dari nilai-nilai kamu dalam rapor yang begitu bagus, Saga. Akhirnya saya memutuskan untuk mengajukan kamu sebagai wakil peserta putra dan tentu saja Karaya sebagai peserta putri." "Maaf, Pak, Naraya. Karaisa Naraya. Biar lebih mudah, panggil saya Ara aja, Pak. Karena nama saya bukan Karaya," jelas Ara yang sedikit kurang suka jika kebanyakan orang salah menyebutkan namanya. "Ya, ya, ya. Kamu punya nama kenapa susah sekali dihafal?" Kepala sekolah menatap heran pada gadis yang biasa dipanggil Ara jika di sekolah, dan biasa dipanggil Raya jika di tempat kerja. Bukan apa-apa, Ara melakukan hal itu hanya untuk menyamarkan identitasnya supaya tidak ada seorang pun yang mengetahui statusnya sebagai pelajar. Lagi pula, Ara tidak ingin mencampur-adukkan masalah pekerjaan dengan urusan sekolah. "Jadi, di mana kita akan mengikuti lomba Olimpiade matematika itu, Pak?" tanya Saga. "Tempatnya di Yogyakarta. Jadi kalian nanti akan menginap di sana selama Olimpiade berlangsung. Akan ada guru pembimbing yang mendampingi kalian nanti," jelas Badrun. Ara manggut-manggut. "Untuk akomodasinya, Pak? Apa tidak dijelaskan sekalian?" Lagi-lagi Ratna mengingatkan. Terkadang Ara merasa heran dengan kepala sekolah. Beliau selalu dicap sebagai kepala sekolah yang galak bagi sebagian siswa. Namun, ada juga yang menganggapnya sebagai kepala sekolah yang sedikit lucu karena pelupa, salah satunya Ara. Tetapi untung saja Ara selalu bisa membawa diri setiap kali berhadapan dengan Badrun, sehingga tidak tergoda untuk menertawakannya. Bisa-bisa Ara kena semprot. "Oh, iya. Jadi nanti untuk biaya akomodasi dan lain-lain, kalian tidak perlu khawatir, karena tentu saja pihak sekolah yang akan menanggung. Kalian hanya tinggal mempersiapkan diri saja untuk Olimpiade tersebut." "Siapkan koper untuk bawa baju ganti selama kalian di Yogyakarta nanti dan jangan sampai lupa, lombanya dilaksanakan tanggal lima belas bulan depan. Jadi mulai tanggal tiga belas, kalian sudah harus bersiap-siap, karena tanggal empat belas kalian sudah harus on the way Yogyakarta." Kali ini Ratna yang memberi penjelasan tambahan. Ara berpikir, mungkin saja wali kepala sekolah itu merasa lelah jika harus berkali-kali mengingatkan sang atasan. "Jadi, rencananya berapa hari kami di Yogyakarta, Pak?" Saga ingin tahu, sementara Ara masih terdiam dalam rasa lega karena panggilan kepala sekolah ternyata tidak seperti yang dia pikir sebelumnya. "Nanti tunggu info dari guru pembimbing saja, mungkin bisa sekitar empat hari," jawab Badrun. "Kamu tidak ingin bertanya, Ara?" Merasa terpanggil, Ara mengarahkan pandangannya pada sang kepala sekolah. Gadis itu bingung harus bertanya apa, karena Saga sudah mengambil alih semua pertanyaan yang ingin dia tanyakan. Beberapa detik kemudian, Ara hanya menggeleng perlahan. "Ya sudah, kalau gitu saya rasa kalian sudah paham. Kalian boleh kembali ke kelas," ujar Badrun seraya berdiri dan kembali menuju kursi kebesaran. "Baik, Pak. Kami permisi dulu. Mari, Bu." Kali ini Ara mendahului. Tanpa menunggu lama, dia keluar dari ruang kepala sekolah. "Mari Pak, Bu." Saga mengekor di belakang Ara. Oh, jadi ternyata Saga ini murid berprestasi juga? Enggak nyangka, padahal kalau dilihat dari gayanya, nyebelin banget dia! Ara menggeleng samar. "Hei, Karaya," panggil Saga setelah mereka keluar dari ruang kepala sekolah. Ara mendadak menghentikan langkah. Gadis itu membalikkan badan. "Kara—" Dia berniat meralat saat Saga salah menyebut namanya. "Karaisa Naraya, sorry, gue lupa." Saga memotong sembari berjalan mendekati Ara. "Kenapa kemarin bolos?”Ara tersentak. Kenapa Saga menanyakan hal itu? Dari mana dia tahu kalau Ara bolos sekolah kemarin? Apa Erick yang memberitahunya? Tapi untuk apa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Ara. Haruskah dia menjawab pertanyaan Saga? "Enggak usah kepedean. Gue cuma denger selentingan kalau katanya, Si Kutu Buku lari dari sekolah." Saga memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Dan kamu penasaran, gitu?" tuduh Ara. Kalau dipikir-pikir, kenapa Saga membahasnya jika bukan karena penasaran? Saga terkekeh. "Gue? Penasaran sama cewek cupu macam lo? You wish," gumamnya sembari melanjutkan langkah. ‘Sombong banget kamu ngatain aku cupu. Kamu belum tahu aja siapa aku, Saga.’ Ara kesal. Gadis itu pun membalikkan badan sembari mengentakkan kaki menuju kelas. "Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, balik dari ruang kepsek, kenapa lo jadi manyun gitu, Ra? Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue jadi risi lihatnya," seloroh Erick begitu Ara sampai di kelas dan duduk si bangkunya. Be
Ara dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Ara. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Ara bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini. Lia dengan kuat mencengkeram lengan Ara, membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal atasannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Ara setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Ara ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas, barulah lengan Ara dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan tersebut tampak beberapa lelaki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai minuman haram. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yang tiba-tiba mema
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba ngilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Ara. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia ngilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Ara yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Saga santai sembari melepas hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Ara mendadak tegang. "Lo pakai aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Saga memakaikan hoodie-nya ke badan Ara. Ara yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Ara terkesiap ketika tangan Saga menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pakai kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda. Dia ngilang di sekitar sini," tanya seorang laki-laki yang suaranya Ara kenal. Laki-laki yang sejak tadi mengikuti ke mana saja Lia melangkah. "Enggak. Dari tadi cuma
“Ikut Tante! Kamu harus tanggung jawab karena udah kabur semalem!” Suara lantang Lia sungguh mengejutkan Ara.Adik mendiang mama Ara itu sudah menunggu di depan sekolah yang tentu saja membuat Ara panik. Harus kepada siapa dia meminta tolong seandainya perempuan itu hendak membawanya secara paksa?“Enggak! Aku enggak mau ikut Tante! Aku udah ada kerja part time dan seharusnya Tante hargai itu. Aku juga udah usaha cari kerja part time lain tapi belum ada, seenggaknya Tante bisa nunggu, kan?” Ara mencoba membela diri supaya Lia tidak seenaknya memperlakukan dirinya.Lagi pula, bagaimana bisa Lia mencoba menjual Ara kepada lelaki hidung belang? Bagi Ara, hal itu sudah sangat keterlaluan.“Nunggu? Sampai berapa lama? Waktu terus berputar, dan kebutuhan Tante juga semakin banyak! Apalagi ditambah kebutuhan adik kamu itu!” sentak Lia yang nada bicaranya mendadak naik satu oktaf, mengundang perhatian beberapa siswa dari sekolah Ara yang melintas di dekatnya.Ara benar-benar pusing dibuatnya.
“Ara! Kamu tuli, ya? Ditanyain bukannya jawab, malah bengong!”Ara terkesiap, kemudian mengusap dahi yang tidak basah. Gadis itu merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia membayangkan Saga kembali menjadi penyelamat bak pangeran berkuda putih seperti dalam dongeng. Ara menggeleng samar.“Tante, tapi aku enggak mau ikut Tante! Aku beneran bisa cari kerjaan lain dan Tante enggak perlu maksa aku buat ikuti kemauan Tante.” Ara mencoba untuk tetap sabar menghadapi perempuan di depannya yang ternyata bukan perempuan baik-baik. Buktinya, Lia dengan kejam membawanya ke klub dan hendak menjualnya kepada para lelaki hidung belang.“Udahlah, Naraya, kamu enggak usah sok suci! Nanti kalau kamu udah ngerasain hasilnya, kamu enggak perlu repot-repot capek kerja di kafe,” ujar perempuan itu sembari mendekatkan bibir di telinga Ara. “Kamu tinggal pasang badan aja dan semua kamu bisa nikmati semau kamu.” Lia terkekeh.“Enggak, Tante! Aku enggak mau, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Tante juga enggak per
“Kamu kenapa, Ra? Kelihatan beda hari ini?” Hana memperhatikan Ara yang terlihat lebih pendiam dari biasanya. Atasan Ara di kafe itu menduga bahwa apa yang terjadi dengan Ara, disebabkan karena dia belum bisa mencarikan pekerjaan tambahan untuk gadis tersebut.“Enggak, enggak apa-apa, Kak.” Ara berusaha untuk mengukir senyum. “Cuma kepikiran soal Olimpiade matematika di Jogja nanti,” tambahnya.Aku mimpi enggak, sih, dipaksa Saga buat jadi pacarnya? Wait ... dipaksa? Iya, kan, dia emang maksa. Walau aku enggak bisa mangkir kalau sebenernya aku suka dia sejak pertama dia masuk ke sekolah.“Enggak perlu khawatir, kamu pasti bisa. Aku yakin. Nanti kalau kamu jadi juara, akan ada hadiah spesial buat kamu.”Perkataan Hana membuat Ara mengerutkan dahi. “Hadiah spesial?”Hana mengangguk dengan pasti.“Kak, maaf. Tapi ... Kakak udah ngasih aku waktu libur buat ikut Olimpiade, itu udah lebih dari cukup.”“Anggap aja karena kamu pegawai aku yang berprestasi, jadi aku merasa harus mengapresiasi.
“Sampai sini aja.” Ara membuka suara begitu tempat kos sudah dekat.Saga yang mengemudikan mobil sport-nya segera menoleh dan memelankan laju kendaraan. “Gue anter sampai depan tempat kos.”“Mobilnya enggak akan bisa masuk gang, Saga.”Tidak kehilangan akal, Saga menepikan mobil dan berhenti di sisi jalan. “Masuk gangnya jauh enggak? Gue anter sampai depan,” katanya sembari melepas sabuk pengaman.“Enggak usah, tempat kos aku deket, aku—““Enggak ada penolakan. Lo cewek gue sekarang.” Saga memotong kalimat Ara.“Jadi kita beneran pacaran?” tanya Ara polos, kemudian menoleh dan memperhatikan Saga dengan saksama.Jika dipikir-pikir, mana mungkin Saga mau menjadi pacarnya? Sementara perbedaan antara Saga dengan Ara begitu kentara. Saga anak dari keluarga berada, sedangkan Ara, dia saja tidak tahu di mana papanya.Saga menatap Ara lekat-lekat. “Dari awal gue tahu kalau lo bukan cupu dan gue bener, kan?”“Saga, bukan itu yang aku tanyain.” Ara mendesah lelah.“Iya, kita pacaran. Terus kena
“Mau ke mana, lo? Buru-buru banget? Enggak lihat cowok lo tanding basket sama anak kelas sebelah?” Erick memperhatikan Ara yang tergesa memasukkan buku-buku ke dalam tas begitu bel pulang sekolah berbunyi.“Aku ada urusan, jadi enggak bisa nonton.”“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo tuh ada aja urusannya setiap hari. Mana pernah lo pulang telat? Setiap bel bunyi, langsung ngacir aja lo. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, heran gue sama lo, Ara!” sungut Erick.Ara hanya diam. Dalam benaknya sudah tidak sabar untuk segera menemui seseorang yang Sita sebut sebagai perusak rumah tangga kedua orang tuanya. Dan dia harus memanfaatkan momen di mana Saga sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri, sehingga kecil kemungkinan laki-laki itu akan menguntitnya.“Emang demit lo kalau diajakin ngomong malah diem aja.”“Aku bukan demit, Erick. Kayaknya kamu, demitnya.”“Demi Demian Adit yang gentengnya selangit, kayaknya gue terlalu ganteng kalau disamain sama demit. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb
“Beneran, kamu mau resign, Ra?” Hana, pemilik kafe tempat Ara bekerja paruh waktu, sedikit terkejut saat mendengar pernyataan Ara yang hendak berhenti bekerja di sana.Gadis yang ditanya segera mengangguk. “Iya, Kak. Ada kerabat yang kasih aku kerjaan online dan bisa dikerjain dari rumah.”“Oh, syukurlah kalau gitu, Ra. Malah bagus kalau bisa dikerjain dari rumah aja, kan? Jadi kamu bisa lebih fokus, kerjaan cepet selesai dan bisa belajar juga supaya tetap bisa mengimbangi antara kerjaan paruh waktu dan kerjain tugas sekolah.”Ara mengangguk membenarkan. “Iya, Kak. Aku berterima kasih banget karena Kakak udah kasih kerjaan selama ini dan mohon maaf kalau banyak salah.”“Formal banget kamu, Ra.” Hana terkekeh. “Aku juga makasih banyak karena kamu udah bantu-bantu di sini. Bukan cuma kamu, tapi kemungkinan aku juga ada salah, maafin, ya?”“Enggak. Kakak selalu baik, kok.” Bibir Ara terkembang.“Oh, ya, ini hadiah buat kamu yang udah aku janjiin. Selamat, ya. Jangan lupa selalu semangat
“HP kamu mana?”Sebuah pertanyaan Saga mengejutkan Ara yang baru saja tiba di sekolah. Dia tidak tahu sudah berapa menit Saga menunggunya di dekat gerbang. Gadis itu mendongak dan memperhatikan raut Saga yang tidak seperti biasa.Melihat Ara yang hanya diam, Saga mengambil benda pipih dari saku celana, menggulirkan layar ke atas bawah, kemudian menempelkan benda tersebut di telinga.Ara merasakan getar gawainya. Dia segera mengambil benda tersebut dari dalam tas dan melihat nama Saga tertera pada layar. Gadis itu baru sadar, ada 26 panggilan tidak terjawab dari nama yang sama. “Ayang, maaf, aku enggak tahu. Semalem aku mode getar waktu ngerjain tugas. Aku ketiduran dan bangun kesiangan sampai enggak sempat cek HP,” sesal Ara.“Ngerjain tugas atau sengaja menghindar?”Ara mati kutu. Dia pikir Saga tidak akan mengungkit alasan-alasannya yang mengusahakan supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, ataupun mempertanyakan tentang masalah pribadi yang belum diceritakan kepada laki-laki i
“Om Rey?” Ara terkejut saat melihat kedatangan Rey secara tiba-tiba. Belum juga dia memberi alasan yang tepat supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, tetapi kedatangan Rey seakan menjadi harapan baru bagi Ara untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Masuk, Om,” lanjutnya mempersilakan.“Maaf, tadi Om enggak ada rencana ke sini dan kebetulan lewat, jadi Om pikir, sekalian aja mampir tanpa kabari kamu lebih dulu,” jelas Rey.“Enggak apa-apa, Om. Kebetulan banget saya masih libur kerja, jadi bisa ketemu Om. Silakan duduk, Om.” Ara buru-buru merapikan buku-buku yang memenuhi meja ruang tamu, kemudian meletakkannya di meja kecil yang terletak di sisi sofa.“Terima kasih.”“Maaf, Om mau minum kopi atau teh?” Ara menawarkan.“Enggak usah repot-repot, air putih aja. Om sudah terlalu banyak minum minuman manis hari ini,” balas Rey.Ara mengangguk dan segera mengambilkan segelas air putih untuk Rey. Tidak lama, dia pun mendengar cerita Rey dengan saksama tentang apa hubungan lelaki itu da