“Ikut Tante! Kamu harus tanggung jawab karena udah kabur semalem!” Suara lantang Lia sungguh mengejutkan Ara.
Adik mendiang mama Ara itu sudah menunggu di depan sekolah yang tentu saja membuat Ara panik. Harus kepada siapa dia meminta tolong seandainya perempuan itu hendak membawanya secara paksa?
“Enggak! Aku enggak mau ikut Tante! Aku udah ada kerja part time dan seharusnya Tante hargai itu. Aku juga udah usaha cari kerja part time lain tapi belum ada, seenggaknya Tante bisa nunggu, kan?” Ara mencoba membela diri supaya Lia tidak seenaknya memperlakukan dirinya.
Lagi pula, bagaimana bisa Lia mencoba menjual Ara kepada lelaki hidung belang? Bagi Ara, hal itu sudah sangat keterlaluan.
“Nunggu? Sampai berapa lama? Waktu terus berputar, dan kebutuhan Tante juga semakin banyak! Apalagi ditambah kebutuhan adik kamu itu!” sentak Lia yang nada bicaranya mendadak naik satu oktaf, mengundang perhatian beberapa siswa dari sekolah Ara yang melintas di dekatnya.
Ara benar-benar pusing dibuatnya. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri.
Aku enggak bisa kayak gini terus. Aku harus cari Papa dan minta Bion tinggal sama Papa secepatnya. Kalau enggak, Tante Lia pasti bakal semakin menjadi.
“Biar Bion tinggal sama aku dulu sebelum aku tahu di mana Papa. Itu bisa meringankan beban Tante, kan?” Ara sudah mencoba mencari berbagai solusi, hingga itu satu-satunya kalimat yang bisa lolos dari bibirnya.
Lia terkekeh sembari menggeleng, menatap Ara dengan tatapan remeh. “Kamu pikir Tante bodoh? Kamu mau coba-coba kabur tanpa ganti semua uang Tante yang udah kepakai buat biaya hidup kamu sama Bion?”
Ara menunduk dalam, menyembunyikan matanya yang mulai berembun. Gadis yang belum lama menginjak usia tujuh belas tahun itu sudah harus merasakan pahitnya hidup karena mengalami broken home. Mendiang Mama yang tadinya juga menumpang hidup di rumah Lia pasca bercerai dengan papanya, menjadi sakit-sakitan hingga akhirnya tutup usia, sementara papanya menikah lagi dan Ara tidak tahu bagaimana kabarnya.
“Aku pasti ganti semua, Tante. Tapi Tante tahu sendiri kalau aku juga masih harus sekolah. Jadi aku mohon, Tante sedikit pengertian dengan kondisi aku sekarang.”
Usai mengerjap guna menjaga pertahanan supaya bulir hangat tidak luruh, Ara mendongak perlahan dan memberanikan diri menatap kedua netra Lia.
Lia melipat kedua tangan di depan dada, ciri khasnya yang selalu begitu setiap kali mulai jengah menghadapi Ara. “Kamu itu sama aja kayak Mama kamu! Sama-sama nyusahin, nyebelin!” desisnya dengan tatap semakin tajam.
“Tante enggak usah bawa-bawa Mama. Kalau dari awal Mama tahu bakal dapetin laki-laki enggak tanggung jawab kayak Papa, pasti Mama enggak bakal nikah sama Papa.” Ara berucap pelan, tetapi penuh penekanan.
Suara klakson mengalihkan perhatian Lia. Dilihatnya sebuah mobil sport hitam berhenti di belakang Ara, disusul dengan seorang siswa yang keluar dari sana dan mendekati Ara.
“Maaf, Ara harus ikut aku. Ada urusan penting yang enggak bisa ditinggal dan Ara harus tanggung jawab!” Saga menarik pergelangan tangan Ara menuju mobil, kemudian membukakan pintu untuk Ara. “Masuk!” titahnya yang tidak bisa ditolak.
Saga segera menjalankan mobilnya menjauh dari area sekolah. Sementara Ara, dia memperhatikan Lia yang jelas kesal melihatnya dibawa pergi tanpa persetujuan.
“Makasih tumpangannya, Saga. Tolong turunin aku di depan aja,” pinta Ara ketika mobil sudah berada jauh dari sekolah.
Tidak ada balasan dari Saga. Siswa baru di sekolah Ara tersebut tetap melajukan mobilnya hingga berhenti di pinggir jalan, tepat di bawah pohon, di area yang cukup sepi.
“Siapa lo sebenernya?”
“Hah?” Refleks, Ara menoleh ke arah Saga yang tatapannya masih fokus ke depan. “Apa maksud kamu?”
Saga mengubah posisi menghadap Ara, kemudian melepas kacamata gadis itu tanpa permisi.
“Saga—“
“Lo pikir gue enggak tahu kalau gadis semalem itu lo?” potongnya sembari meletakkan kacamata Ara di dasbor.
Ara mendadak speechless. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana Saga bisa mengenalinya semalam.
“Masih mau diem? Enggak ada inisiatif buat jelasin?”
Dari nada bicara Saga, Ara tahu lelaki itu sedang dalam mode serius.
“Tapi itu bukan urusan kamu. Jadi buat apa kamu tahu?” Alih-alih menjawab, Ara justru mencari alasan.
“Jangan lupa, kalau enggak ada gue, lo enggak bisa selamat semalem. Jadi gue berhak tahu masalah apa yang bawa lo sampai ke klub. Pasti ada hubungannya sama tante-tante yang ngintimidasi lo tadi, kan?”
Saga terlalu peka atau bagaimana? Ara bahkan tidak paham bagaimana tebakan lelaki itu bisa seratus persen benar.
Ara tidak lekas menjawab. Gadis itu mengambil kontak lensa dari dalam tas dan segera memakainya. Jika tidak, dia tidak akan bisa melihat jelas tanpa kacamata. Ara juga mengikat rambutnya ala ekor kuda, lalu menyambar kacamata tebalnya dari dasbor dan dimasukkan ke dalam tas.
“Lo suhu yang lagi nyamar jadi cupu?”
“Saga ....”
Kalimat Saga berhasil mengundang perhatian Ara hingga gadis itu menoleh kepadanya.
“Ceritanya panjang, tapi aku harus buru-buru kerja dan enggak mau telat,” tegas Ara saat melihat tatapan Saga yang cukup dalam.
“Jelasin dulu, nanti gue anter. Santai aja enggak akan telat.”
Ara mencoba menghindar. Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Saga dengan sengaja tidak membuka kunci. Gadis itu hanya bisa mendesah lelah tanpa bisa protes.
“Kita bakal tetap di dalem mobil sampai lo cerita.”
“Saga ... aku harus kerja biar bisa bayar utang ke Tante aku, karna kalau enggak ... aku bisa dijual paksa sama dia,” katanya tanpa mendongak sedikit pun.
Dada Ara naik turun seiring dengan napas yang tidak beraturan. Sedih, iya. Kecewa? Tentu saja. Selama ini tidak ada teman sekolah tahu tentang kehidupan pribadinya. Sementara Saga, siswa yang belum genap seminggu memasuki sekolah Ara, entah kenapa bisa lebih peka dan bisa mengenali Ara semalam meski penampilannya jauh berbeda.
Saga melihat jemari Ara yang saling bertaut, tampak jelas raut khawatir menggelayut manja menghiasi wajah cantik Ara.
Wait, cantik? Bahkan Saga baru menyadari, Ara memang cantik. Meski kacamata tebal selalu menempel di wajahnya, Ara memang terlihat berbeda dan Saga tidak bisa membohongi diri sendiri akan ketertarikannya dengan gadis tersebut sejak awal mereka bertemu.
“Gue bayarin utang lo, tapi dengan satu syarat.”
Ara terkesiap dan sontak menoleh ke arah Saga.
“Jadi pacar gue!”
“Apa?”
“Ara! Kamu tuli, ya? Ditanyain bukannya jawab, malah bengong!”Ara terkesiap, kemudian mengusap dahi yang tidak basah. Gadis itu merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia membayangkan Saga kembali menjadi penyelamat bak pangeran berkuda putih seperti dalam dongeng. Ara menggeleng samar.“Tante, tapi aku enggak mau ikut Tante! Aku beneran bisa cari kerjaan lain dan Tante enggak perlu maksa aku buat ikuti kemauan Tante.” Ara mencoba untuk tetap sabar menghadapi perempuan di depannya yang ternyata bukan perempuan baik-baik. Buktinya, Lia dengan kejam membawanya ke klub dan hendak menjualnya kepada para lelaki hidung belang.“Udahlah, Naraya, kamu enggak usah sok suci! Nanti kalau kamu udah ngerasain hasilnya, kamu enggak perlu repot-repot capek kerja di kafe,” ujar perempuan itu sembari mendekatkan bibir di telinga Ara. “Kamu tinggal pasang badan aja dan semua kamu bisa nikmati semau kamu.” Lia terkekeh.“Enggak, Tante! Aku enggak mau, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Tante juga enggak per
“Kamu kenapa, Ra? Kelihatan beda hari ini?” Hana memperhatikan Ara yang terlihat lebih pendiam dari biasanya. Atasan Ara di kafe itu menduga bahwa apa yang terjadi dengan Ara, disebabkan karena dia belum bisa mencarikan pekerjaan tambahan untuk gadis tersebut.“Enggak, enggak apa-apa, Kak.” Ara berusaha untuk mengukir senyum. “Cuma kepikiran soal Olimpiade matematika di Jogja nanti,” tambahnya.Aku mimpi enggak, sih, dipaksa Saga buat jadi pacarnya? Wait ... dipaksa? Iya, kan, dia emang maksa. Walau aku enggak bisa mangkir kalau sebenernya aku suka dia sejak pertama dia masuk ke sekolah.“Enggak perlu khawatir, kamu pasti bisa. Aku yakin. Nanti kalau kamu jadi juara, akan ada hadiah spesial buat kamu.”Perkataan Hana membuat Ara mengerutkan dahi. “Hadiah spesial?”Hana mengangguk dengan pasti.“Kak, maaf. Tapi ... Kakak udah ngasih aku waktu libur buat ikut Olimpiade, itu udah lebih dari cukup.”“Anggap aja karena kamu pegawai aku yang berprestasi, jadi aku merasa harus mengapresiasi.
“Sampai sini aja.” Ara membuka suara begitu tempat kos sudah dekat.Saga yang mengemudikan mobil sport-nya segera menoleh dan memelankan laju kendaraan. “Gue anter sampai depan tempat kos.”“Mobilnya enggak akan bisa masuk gang, Saga.”Tidak kehilangan akal, Saga menepikan mobil dan berhenti di sisi jalan. “Masuk gangnya jauh enggak? Gue anter sampai depan,” katanya sembari melepas sabuk pengaman.“Enggak usah, tempat kos aku deket, aku—““Enggak ada penolakan. Lo cewek gue sekarang.” Saga memotong kalimat Ara.“Jadi kita beneran pacaran?” tanya Ara polos, kemudian menoleh dan memperhatikan Saga dengan saksama.Jika dipikir-pikir, mana mungkin Saga mau menjadi pacarnya? Sementara perbedaan antara Saga dengan Ara begitu kentara. Saga anak dari keluarga berada, sedangkan Ara, dia saja tidak tahu di mana papanya.Saga menatap Ara lekat-lekat. “Dari awal gue tahu kalau lo bukan cupu dan gue bener, kan?”“Saga, bukan itu yang aku tanyain.” Ara mendesah lelah.“Iya, kita pacaran. Terus kena
“Mau ke mana, lo? Buru-buru banget? Enggak lihat cowok lo tanding basket sama anak kelas sebelah?” Erick memperhatikan Ara yang tergesa memasukkan buku-buku ke dalam tas begitu bel pulang sekolah berbunyi.“Aku ada urusan, jadi enggak bisa nonton.”“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo tuh ada aja urusannya setiap hari. Mana pernah lo pulang telat? Setiap bel bunyi, langsung ngacir aja lo. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, heran gue sama lo, Ara!” sungut Erick.Ara hanya diam. Dalam benaknya sudah tidak sabar untuk segera menemui seseorang yang Sita sebut sebagai perusak rumah tangga kedua orang tuanya. Dan dia harus memanfaatkan momen di mana Saga sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri, sehingga kecil kemungkinan laki-laki itu akan menguntitnya.“Emang demit lo kalau diajakin ngomong malah diem aja.”“Aku bukan demit, Erick. Kayaknya kamu, demitnya.”“Demi Demian Adit yang gentengnya selangit, kayaknya gue terlalu ganteng kalau disamain sama demit. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa
“Seharian ke mana aja? Chatt enggak dibales, telepon enggak diangkat. Sesibuk itu emangnya?” Seperti layaknya pacar, Saga mendadak posesif. Tatapannya beredar memperhatikan taman yang mulai sepi. “Ini juga ketemuan kenapa harus di sini? Enggak aman buat cewek sendirian di sini malem-malem.”“Kan ada kamu.” Ara menyahut singkat.Kejadian hari ini sungguh di luar dugaan dan Ara belum bisa menjelaskan kepada Saga. Semua masih terlalu mendadak untuknya yang bahkan masih mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalu kedua orang tua, tetapi Ara belum menemukan jawabannya. Jadi mana mungkin dia bisa menjelaskan kepada Saga jika laki-laki itu mempertanyakan tentang kepindahannya?“Enggak usah ngeles, tadi aku lihat kamu sendiri sebelum aku ke sini.”“Ada adik aku yang anter. Dia balik pas udah lihat kamu dateng. Lagian kenapa, sih? Aku bisa jaga diri, kok.”“Mana ada? Lupa, waktu malem-malem dikejar bapak-bapak di klub? Enggak takut, bakal dikejar-kejar lagi?”Ara me
“Pergi kamu! Jangan pernah sekali-kali kamu menginjakkan kaki di sini lagi!” sentak seorang wanita yang tidak lain adalah Widya, istri baru Hendra, papa Ara.Singkat cerita, Saga melarang Ara memanggil papanya di keramaian. Dia menyarankan supaya mereka mengikuti Hendra, supaya tahu di mana papa Ara tinggal bersama keluarga baru, dan sesuatu yang tidak diduga terjadi.Bukan hanya istri baru Hendra, tetapi laki-laki itu sendiri juga dengan tega mengusir Ara dan tidak mau mendengar apa pun keluh kesah sang anak. Entah di mana jiwa lembutnya sebagai sosok Papa. Yang jelas, Ara benar-benar kecewa dengan perlakuan laki-laki itu yang sudah menelantarkan keluarga hingga menyebabkan mamanya sakit-sakitan dan meninggal dunia.“Enggak denger, kamu? Sampai kapan pun kamu ngemis-ngemis, Papa kamu enggak akan pernah peduli! Paham?”Sesak sekali rasanya, ketika satu-satunya sosok pahlawan yang diharapkan Ara untuk menjadi penolongnya dan juga Bion, ternyata lebih mendengar hasutan istri baru.Saga
“Om Rey?” Ara terkejut saat melihat kedatangan Rey secara tiba-tiba. Belum juga dia memberi alasan yang tepat supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, tetapi kedatangan Rey seakan menjadi harapan baru bagi Ara untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Masuk, Om,” lanjutnya mempersilakan.“Maaf, tadi Om enggak ada rencana ke sini dan kebetulan lewat, jadi Om pikir, sekalian aja mampir tanpa kabari kamu lebih dulu,” jelas Rey.“Enggak apa-apa, Om. Kebetulan banget saya masih libur kerja, jadi bisa ketemu Om. Silakan duduk, Om.” Ara buru-buru merapikan buku-buku yang memenuhi meja ruang tamu, kemudian meletakkannya di meja kecil yang terletak di sisi sofa.“Terima kasih.”“Maaf, Om mau minum kopi atau teh?” Ara menawarkan.“Enggak usah repot-repot, air putih aja. Om sudah terlalu banyak minum minuman manis hari ini,” balas Rey.Ara mengangguk dan segera mengambilkan segelas air putih untuk Rey. Tidak lama, dia pun mendengar cerita Rey dengan saksama tentang apa hubungan lelaki itu da
“HP kamu mana?”Sebuah pertanyaan Saga mengejutkan Ara yang baru saja tiba di sekolah. Dia tidak tahu sudah berapa menit Saga menunggunya di dekat gerbang. Gadis itu mendongak dan memperhatikan raut Saga yang tidak seperti biasa.Melihat Ara yang hanya diam, Saga mengambil benda pipih dari saku celana, menggulirkan layar ke atas bawah, kemudian menempelkan benda tersebut di telinga.Ara merasakan getar gawainya. Dia segera mengambil benda tersebut dari dalam tas dan melihat nama Saga tertera pada layar. Gadis itu baru sadar, ada 26 panggilan tidak terjawab dari nama yang sama. “Ayang, maaf, aku enggak tahu. Semalem aku mode getar waktu ngerjain tugas. Aku ketiduran dan bangun kesiangan sampai enggak sempat cek HP,” sesal Ara.“Ngerjain tugas atau sengaja menghindar?”Ara mati kutu. Dia pikir Saga tidak akan mengungkit alasan-alasannya yang mengusahakan supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, ataupun mempertanyakan tentang masalah pribadi yang belum diceritakan kepada laki-laki i
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb
“Beneran, kamu mau resign, Ra?” Hana, pemilik kafe tempat Ara bekerja paruh waktu, sedikit terkejut saat mendengar pernyataan Ara yang hendak berhenti bekerja di sana.Gadis yang ditanya segera mengangguk. “Iya, Kak. Ada kerabat yang kasih aku kerjaan online dan bisa dikerjain dari rumah.”“Oh, syukurlah kalau gitu, Ra. Malah bagus kalau bisa dikerjain dari rumah aja, kan? Jadi kamu bisa lebih fokus, kerjaan cepet selesai dan bisa belajar juga supaya tetap bisa mengimbangi antara kerjaan paruh waktu dan kerjain tugas sekolah.”Ara mengangguk membenarkan. “Iya, Kak. Aku berterima kasih banget karena Kakak udah kasih kerjaan selama ini dan mohon maaf kalau banyak salah.”“Formal banget kamu, Ra.” Hana terkekeh. “Aku juga makasih banyak karena kamu udah bantu-bantu di sini. Bukan cuma kamu, tapi kemungkinan aku juga ada salah, maafin, ya?”“Enggak. Kakak selalu baik, kok.” Bibir Ara terkembang.“Oh, ya, ini hadiah buat kamu yang udah aku janjiin. Selamat, ya. Jangan lupa selalu semangat
“HP kamu mana?”Sebuah pertanyaan Saga mengejutkan Ara yang baru saja tiba di sekolah. Dia tidak tahu sudah berapa menit Saga menunggunya di dekat gerbang. Gadis itu mendongak dan memperhatikan raut Saga yang tidak seperti biasa.Melihat Ara yang hanya diam, Saga mengambil benda pipih dari saku celana, menggulirkan layar ke atas bawah, kemudian menempelkan benda tersebut di telinga.Ara merasakan getar gawainya. Dia segera mengambil benda tersebut dari dalam tas dan melihat nama Saga tertera pada layar. Gadis itu baru sadar, ada 26 panggilan tidak terjawab dari nama yang sama. “Ayang, maaf, aku enggak tahu. Semalem aku mode getar waktu ngerjain tugas. Aku ketiduran dan bangun kesiangan sampai enggak sempat cek HP,” sesal Ara.“Ngerjain tugas atau sengaja menghindar?”Ara mati kutu. Dia pikir Saga tidak akan mengungkit alasan-alasannya yang mengusahakan supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, ataupun mempertanyakan tentang masalah pribadi yang belum diceritakan kepada laki-laki i
“Om Rey?” Ara terkejut saat melihat kedatangan Rey secara tiba-tiba. Belum juga dia memberi alasan yang tepat supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, tetapi kedatangan Rey seakan menjadi harapan baru bagi Ara untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Masuk, Om,” lanjutnya mempersilakan.“Maaf, tadi Om enggak ada rencana ke sini dan kebetulan lewat, jadi Om pikir, sekalian aja mampir tanpa kabari kamu lebih dulu,” jelas Rey.“Enggak apa-apa, Om. Kebetulan banget saya masih libur kerja, jadi bisa ketemu Om. Silakan duduk, Om.” Ara buru-buru merapikan buku-buku yang memenuhi meja ruang tamu, kemudian meletakkannya di meja kecil yang terletak di sisi sofa.“Terima kasih.”“Maaf, Om mau minum kopi atau teh?” Ara menawarkan.“Enggak usah repot-repot, air putih aja. Om sudah terlalu banyak minum minuman manis hari ini,” balas Rey.Ara mengangguk dan segera mengambilkan segelas air putih untuk Rey. Tidak lama, dia pun mendengar cerita Rey dengan saksama tentang apa hubungan lelaki itu da