Ara dipaksa mengikuti Lia memasuki ruang dengan cahaya remang-remang. Suasana ingar-bingar yang begitu ramai membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Belum lagi dengan dentuman irama musik DJ yang terdengar kencang, membuat sakit gendang telinga Ara. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Ara bahwa Lia akan membawanya ke tempat seperti ini.
Lia dengan kuat mencengkeram lengan Ara, membuat gadis itu sulit melepaskan diri. Terlebih, ada seorang laki-laki yang sejak tadi mengikuti Lia, seolah-olah dia adalah seorang body guard yang bertugas mengawal atasannya. "Lepasin, Tante! Sakit," seru Ara setengah berteriak karena merasakan panas pada lengan yang sejak tadi menjadi sasaran empuk Lia. "Kamu mau kerja, kan?" Lia menarik paksa Ara ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas, barulah lengan Ara dia loloskan dari cengkeraman. Dalam ruangan tersebut tampak beberapa lelaki sedang bermain kartu sambil menikmati berbagai minuman haram. Mereka sama-sama terkejut melihat Lia yang tiba-tiba memasuki ruangan bersama Ara yang notabenenya adalah daun muda. Ara tercengang. "K—kenapa Tante bawa aku ke sini?" "Jadi kamu punya stok daun muda, Li?" tanya seorang laki-laki yang sepertinya sedikit hilang kesadaran akibat meminum minuman haram. "Masih gres enggak, tuh?" Laki-laki lain bertanya setelah mengisap sigaret yang terselip di jari tangan kanannya. Kepulan asap terlihat menggulung mengotori udara. Lia tersenyum miring. "Gres, dong, bisa dipastiin kalau dia sama sekali belum pernah disentuh. Aku jamin itu." Ara menggeleng cepat. Dia tidak rela jika para lelaki itu benar-benar menyentuhnya. Jijik sekali. "Enggak! Aku enggak mau, Tante! Aku enggak mau kerja di tempat kayak gini!" Ara tidak sudi. Lia mendecak kesal. "Kalau kamu enggak mau kerja, gimana kamu mau bayar hutang-hutang kamu?" gertaknya dengan tatapan tajam seolah-olah mengharuskan Ara untuk menuruti kemauannya. Seorang laki-laki berdiri dengan botol di tangan. Kelihatan belum mabuk, tetapi Ara khawatir laki-laki itu akan menyentuhnya. Ara mundur perlahan saat laki-laki itu mulai mendekat. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat kakinya merasa menginjak sesuatu. Gadis itu membalikkan badan dan melihat laki-laki yang sejak tadi bersama Lia telah berdiri di belakangnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Seringai lebarnya terlihat begitu menakutkan. "Enggak, Tante! Aku enggak mau di sini!" seru Ara sambil terus menggeleng. "Tinggalin dia! Biar kami yang mengurus. Jadi berapa yang kamu minta?" Ara tidak menyangka Lia akan tega menjualnya kepada laki-laki yang lebih pantas untuk dia panggil 'Om'. Ara benar-benar tidak habis pikir bahwa Lia akan tega melakukan itu kepadanya. "Oke. Dia cukup cantik, kan? Jadi aku harap, dia bisa main cantik juga sama kalian. Karena itu ... aku juga mau minta bayaran sepadan. Lagian hutang dia banyak," jawab Lia. Sesaat kemudian, Lia tersenyum senang setelah salah seorang laki-laki menyorongkan sebuah amplop cokelat kepadanya yang setelah dicek, amplop tersebut berisi banyak lembaran uang seratus ribuan. Lia benar-benar takjub. Iris matanya mendadak berwarna hijau saat melihatnya. "Cantik sekali," ujar laki-laki yang sama, sambil memperhatikan Ara dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bagaimana tidak? Saat ini, Ara terlihat smart dengan rambut diikat bagai ekor kuda. Make up natural yang melekat membuat wajah Ara terlihat ayu. Namun, siapa sangka jika di sekolah, Ara akan berpenampilan jauh berbeda dengan penampilannya sekarang? Bahkan Erick saja sampai tidak mengenali Ara ketika mereka bertemu di kafe Hana, tempat Ara bekerja. Ara bingung memikirkan bagaimana caranya supaya bisa lolos dari tempat terkutuk itu. Setelah dirasa laki-laki yang dianggapnya body guard Lia sedikit lengah, Ara melangkahkan kaki secepat kilat keluar ruangan. "Kurang ajar! Cepet kejar dia, dong!" teriak Lia memberi perintah. Ara mendengar teriakan Lia, tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi niatnya untuk kabur dari tempat yang tidak diinginkan. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Ara sama sekali tidak menghiraukan Lia yang sudah pasti akan memarahinya karena telah membuat ulah. Tetapi yang jelas, Ara tidak ingin diperlakukan seperti sebuah barang yang bisa dijual. Suasana diskotek mendadak semakin riuh saat beberapa pengunjung saling berteriak melihat aksi kejar-kejaran di hadapan mereka. Ara menjadi heran dan sedikit kesal, karena dari sekian banyak orang, tidak ada sama sekali yang tergerak hatinya untuk menolong Ara yang sedang membutuhkan bantuan. Ingin sekali dia menyumpahi pengunjung diskotek yang bukannya menolong, tetapi justru bersorak seolah-olah aksi kejar-kejaran itu adalah lomba dadakan. Ya Tuhan, sial banget nasib aku hari ini! Ini semua enggak akan terjadi kalau Papa enggak pergi. Harusnya Papa lebih punya hati buat jaga dan mempertahankan anaknya sendiri ketimbang memilih perempuan itu. Oh, Papa ... aku dan Bion jadi menderita karena Papa tega ninggalin kami! Ara merutuk dalam hati. Ingin sekali Ara menangis, berteriak sekeras-kerasnya, tetapi Ara tidak mungkin melakukan hal itu di dalam diskotek payah ini. Siapa yang akan mendengarnya? Yang ada, orang-orang yang melihat hanya akan menganggap bahwa Ara adalah gadis yang tidak waras. Ara masih fokus berlari hingga ikat rambutnya mengendur dan talinya terlepas, membuat rambut panjang Ara jatuh tergerai. Tentu saja Ara merasa kesal karena rambutnya yang tertiup angin sesekali menghalangi pandangan mata. Dan benar, hal yang ditakutkan Ara terjadi. Tidak sengaja, kakinya bersentuhan dengan kaki salah seorang pengunjung diskotek hingga membuat Ara hilang keseimbangan. Namun, orang itu dengan sigap menangkap pinggang Ara hingga mereka saling bertatap sejenak. Parahnya, Ara sangat mengenal siapa laki-laki yang telah menolongnya tersebut. Tidak ada adegan romantis dalam kejadian singkat itu karena setelahnya, laki-laki tadi menarik tangan Ara dan membawanya menuju sebuah tempat untuk bersembunyi. "Kenapa mereka ngejar-ngejar lo? Apa lo punya utang sama mereka?" Laki-laki dengan postur tubuh tinggi dengan wajah blasteran itu mulai berbisik. Ara tidak berani berkutik, apalagi menatap matanya. Dia tidak ingin laki-laki itu sadar bahwa dirinya adalah Ara yang dikenalnya sebagai gadis cupu di sekolah. Ara tidak ingin teman-teman sekolahnya tahu tentang kehidupan pribadinya, terutama laki-laki yang menolongnya barusan, Saga. "Hei, kenapa diem aja? Seenggaknya jawab pertanyaan gue karna udah tolongin lo," bisik Saga untuk yang kedua kalinya. "Aku ...." Ara menggantung kalimat. Dia harus memikirkan kata-kata yang hendak diucapkan pada Saga yang sekiranya tidak akan membuat laki-laki itu bertanya lebih. Ya Tuhan, harus bilang apa aku ke Saga? Dia enggak akan tahu kalau aku Ara, kan?Thanks for reading. Jangan lupa tambahkan buku ke rak dan ikuti terus update-nya yaaa... Mau saling sapa boleh banget mampir ke akun I G saya, @setyaaiwidi ^^ Semoga panjang umur, sehat selalu, tambah lancar rezeki untuk Kakak semua... ^^
"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba ngilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Ara. "Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia ngilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain. Ara yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya. "Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Saga santai sembari melepas hoodie-nya. "Kamu mau ngapain?" Raut Ara mendadak tegang. "Lo pakai aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Saga memakaikan hoodie-nya ke badan Ara. Ara yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Ara terkesiap ketika tangan Saga menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa. "Eh, sorry. Lihat cewek pakai kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda. Dia ngilang di sekitar sini," tanya seorang laki-laki yang suaranya Ara kenal. Laki-laki yang sejak tadi mengikuti ke mana saja Lia melangkah. "Enggak. Dari tadi cuma
“Ikut Tante! Kamu harus tanggung jawab karena udah kabur semalem!” Suara lantang Lia sungguh mengejutkan Ara.Adik mendiang mama Ara itu sudah menunggu di depan sekolah yang tentu saja membuat Ara panik. Harus kepada siapa dia meminta tolong seandainya perempuan itu hendak membawanya secara paksa?“Enggak! Aku enggak mau ikut Tante! Aku udah ada kerja part time dan seharusnya Tante hargai itu. Aku juga udah usaha cari kerja part time lain tapi belum ada, seenggaknya Tante bisa nunggu, kan?” Ara mencoba membela diri supaya Lia tidak seenaknya memperlakukan dirinya.Lagi pula, bagaimana bisa Lia mencoba menjual Ara kepada lelaki hidung belang? Bagi Ara, hal itu sudah sangat keterlaluan.“Nunggu? Sampai berapa lama? Waktu terus berputar, dan kebutuhan Tante juga semakin banyak! Apalagi ditambah kebutuhan adik kamu itu!” sentak Lia yang nada bicaranya mendadak naik satu oktaf, mengundang perhatian beberapa siswa dari sekolah Ara yang melintas di dekatnya.Ara benar-benar pusing dibuatnya.
“Ara! Kamu tuli, ya? Ditanyain bukannya jawab, malah bengong!”Ara terkesiap, kemudian mengusap dahi yang tidak basah. Gadis itu merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia membayangkan Saga kembali menjadi penyelamat bak pangeran berkuda putih seperti dalam dongeng. Ara menggeleng samar.“Tante, tapi aku enggak mau ikut Tante! Aku beneran bisa cari kerjaan lain dan Tante enggak perlu maksa aku buat ikuti kemauan Tante.” Ara mencoba untuk tetap sabar menghadapi perempuan di depannya yang ternyata bukan perempuan baik-baik. Buktinya, Lia dengan kejam membawanya ke klub dan hendak menjualnya kepada para lelaki hidung belang.“Udahlah, Naraya, kamu enggak usah sok suci! Nanti kalau kamu udah ngerasain hasilnya, kamu enggak perlu repot-repot capek kerja di kafe,” ujar perempuan itu sembari mendekatkan bibir di telinga Ara. “Kamu tinggal pasang badan aja dan semua kamu bisa nikmati semau kamu.” Lia terkekeh.“Enggak, Tante! Aku enggak mau, jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Tante juga enggak per
“Kamu kenapa, Ra? Kelihatan beda hari ini?” Hana memperhatikan Ara yang terlihat lebih pendiam dari biasanya. Atasan Ara di kafe itu menduga bahwa apa yang terjadi dengan Ara, disebabkan karena dia belum bisa mencarikan pekerjaan tambahan untuk gadis tersebut.“Enggak, enggak apa-apa, Kak.” Ara berusaha untuk mengukir senyum. “Cuma kepikiran soal Olimpiade matematika di Jogja nanti,” tambahnya.Aku mimpi enggak, sih, dipaksa Saga buat jadi pacarnya? Wait ... dipaksa? Iya, kan, dia emang maksa. Walau aku enggak bisa mangkir kalau sebenernya aku suka dia sejak pertama dia masuk ke sekolah.“Enggak perlu khawatir, kamu pasti bisa. Aku yakin. Nanti kalau kamu jadi juara, akan ada hadiah spesial buat kamu.”Perkataan Hana membuat Ara mengerutkan dahi. “Hadiah spesial?”Hana mengangguk dengan pasti.“Kak, maaf. Tapi ... Kakak udah ngasih aku waktu libur buat ikut Olimpiade, itu udah lebih dari cukup.”“Anggap aja karena kamu pegawai aku yang berprestasi, jadi aku merasa harus mengapresiasi.
“Sampai sini aja.” Ara membuka suara begitu tempat kos sudah dekat.Saga yang mengemudikan mobil sport-nya segera menoleh dan memelankan laju kendaraan. “Gue anter sampai depan tempat kos.”“Mobilnya enggak akan bisa masuk gang, Saga.”Tidak kehilangan akal, Saga menepikan mobil dan berhenti di sisi jalan. “Masuk gangnya jauh enggak? Gue anter sampai depan,” katanya sembari melepas sabuk pengaman.“Enggak usah, tempat kos aku deket, aku—““Enggak ada penolakan. Lo cewek gue sekarang.” Saga memotong kalimat Ara.“Jadi kita beneran pacaran?” tanya Ara polos, kemudian menoleh dan memperhatikan Saga dengan saksama.Jika dipikir-pikir, mana mungkin Saga mau menjadi pacarnya? Sementara perbedaan antara Saga dengan Ara begitu kentara. Saga anak dari keluarga berada, sedangkan Ara, dia saja tidak tahu di mana papanya.Saga menatap Ara lekat-lekat. “Dari awal gue tahu kalau lo bukan cupu dan gue bener, kan?”“Saga, bukan itu yang aku tanyain.” Ara mendesah lelah.“Iya, kita pacaran. Terus kena
“Mau ke mana, lo? Buru-buru banget? Enggak lihat cowok lo tanding basket sama anak kelas sebelah?” Erick memperhatikan Ara yang tergesa memasukkan buku-buku ke dalam tas begitu bel pulang sekolah berbunyi.“Aku ada urusan, jadi enggak bisa nonton.”“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo tuh ada aja urusannya setiap hari. Mana pernah lo pulang telat? Setiap bel bunyi, langsung ngacir aja lo. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, heran gue sama lo, Ara!” sungut Erick.Ara hanya diam. Dalam benaknya sudah tidak sabar untuk segera menemui seseorang yang Sita sebut sebagai perusak rumah tangga kedua orang tuanya. Dan dia harus memanfaatkan momen di mana Saga sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri, sehingga kecil kemungkinan laki-laki itu akan menguntitnya.“Emang demit lo kalau diajakin ngomong malah diem aja.”“Aku bukan demit, Erick. Kayaknya kamu, demitnya.”“Demi Demian Adit yang gentengnya selangit, kayaknya gue terlalu ganteng kalau disamain sama demit. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa
“Seharian ke mana aja? Chatt enggak dibales, telepon enggak diangkat. Sesibuk itu emangnya?” Seperti layaknya pacar, Saga mendadak posesif. Tatapannya beredar memperhatikan taman yang mulai sepi. “Ini juga ketemuan kenapa harus di sini? Enggak aman buat cewek sendirian di sini malem-malem.”“Kan ada kamu.” Ara menyahut singkat.Kejadian hari ini sungguh di luar dugaan dan Ara belum bisa menjelaskan kepada Saga. Semua masih terlalu mendadak untuknya yang bahkan masih mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalu kedua orang tua, tetapi Ara belum menemukan jawabannya. Jadi mana mungkin dia bisa menjelaskan kepada Saga jika laki-laki itu mempertanyakan tentang kepindahannya?“Enggak usah ngeles, tadi aku lihat kamu sendiri sebelum aku ke sini.”“Ada adik aku yang anter. Dia balik pas udah lihat kamu dateng. Lagian kenapa, sih? Aku bisa jaga diri, kok.”“Mana ada? Lupa, waktu malem-malem dikejar bapak-bapak di klub? Enggak takut, bakal dikejar-kejar lagi?”Ara me
“Pergi kamu! Jangan pernah sekali-kali kamu menginjakkan kaki di sini lagi!” sentak seorang wanita yang tidak lain adalah Widya, istri baru Hendra, papa Ara.Singkat cerita, Saga melarang Ara memanggil papanya di keramaian. Dia menyarankan supaya mereka mengikuti Hendra, supaya tahu di mana papa Ara tinggal bersama keluarga baru, dan sesuatu yang tidak diduga terjadi.Bukan hanya istri baru Hendra, tetapi laki-laki itu sendiri juga dengan tega mengusir Ara dan tidak mau mendengar apa pun keluh kesah sang anak. Entah di mana jiwa lembutnya sebagai sosok Papa. Yang jelas, Ara benar-benar kecewa dengan perlakuan laki-laki itu yang sudah menelantarkan keluarga hingga menyebabkan mamanya sakit-sakitan dan meninggal dunia.“Enggak denger, kamu? Sampai kapan pun kamu ngemis-ngemis, Papa kamu enggak akan pernah peduli! Paham?”Sesak sekali rasanya, ketika satu-satunya sosok pahlawan yang diharapkan Ara untuk menjadi penolongnya dan juga Bion, ternyata lebih mendengar hasutan istri baru.Saga
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb
“Beneran, kamu mau resign, Ra?” Hana, pemilik kafe tempat Ara bekerja paruh waktu, sedikit terkejut saat mendengar pernyataan Ara yang hendak berhenti bekerja di sana.Gadis yang ditanya segera mengangguk. “Iya, Kak. Ada kerabat yang kasih aku kerjaan online dan bisa dikerjain dari rumah.”“Oh, syukurlah kalau gitu, Ra. Malah bagus kalau bisa dikerjain dari rumah aja, kan? Jadi kamu bisa lebih fokus, kerjaan cepet selesai dan bisa belajar juga supaya tetap bisa mengimbangi antara kerjaan paruh waktu dan kerjain tugas sekolah.”Ara mengangguk membenarkan. “Iya, Kak. Aku berterima kasih banget karena Kakak udah kasih kerjaan selama ini dan mohon maaf kalau banyak salah.”“Formal banget kamu, Ra.” Hana terkekeh. “Aku juga makasih banyak karena kamu udah bantu-bantu di sini. Bukan cuma kamu, tapi kemungkinan aku juga ada salah, maafin, ya?”“Enggak. Kakak selalu baik, kok.” Bibir Ara terkembang.“Oh, ya, ini hadiah buat kamu yang udah aku janjiin. Selamat, ya. Jangan lupa selalu semangat
“HP kamu mana?”Sebuah pertanyaan Saga mengejutkan Ara yang baru saja tiba di sekolah. Dia tidak tahu sudah berapa menit Saga menunggunya di dekat gerbang. Gadis itu mendongak dan memperhatikan raut Saga yang tidak seperti biasa.Melihat Ara yang hanya diam, Saga mengambil benda pipih dari saku celana, menggulirkan layar ke atas bawah, kemudian menempelkan benda tersebut di telinga.Ara merasakan getar gawainya. Dia segera mengambil benda tersebut dari dalam tas dan melihat nama Saga tertera pada layar. Gadis itu baru sadar, ada 26 panggilan tidak terjawab dari nama yang sama. “Ayang, maaf, aku enggak tahu. Semalem aku mode getar waktu ngerjain tugas. Aku ketiduran dan bangun kesiangan sampai enggak sempat cek HP,” sesal Ara.“Ngerjain tugas atau sengaja menghindar?”Ara mati kutu. Dia pikir Saga tidak akan mengungkit alasan-alasannya yang mengusahakan supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, ataupun mempertanyakan tentang masalah pribadi yang belum diceritakan kepada laki-laki i
“Om Rey?” Ara terkejut saat melihat kedatangan Rey secara tiba-tiba. Belum juga dia memberi alasan yang tepat supaya Saga tidak lagi mendatangi tempat kos, tetapi kedatangan Rey seakan menjadi harapan baru bagi Ara untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya. “Masuk, Om,” lanjutnya mempersilakan.“Maaf, tadi Om enggak ada rencana ke sini dan kebetulan lewat, jadi Om pikir, sekalian aja mampir tanpa kabari kamu lebih dulu,” jelas Rey.“Enggak apa-apa, Om. Kebetulan banget saya masih libur kerja, jadi bisa ketemu Om. Silakan duduk, Om.” Ara buru-buru merapikan buku-buku yang memenuhi meja ruang tamu, kemudian meletakkannya di meja kecil yang terletak di sisi sofa.“Terima kasih.”“Maaf, Om mau minum kopi atau teh?” Ara menawarkan.“Enggak usah repot-repot, air putih aja. Om sudah terlalu banyak minum minuman manis hari ini,” balas Rey.Ara mengangguk dan segera mengambilkan segelas air putih untuk Rey. Tidak lama, dia pun mendengar cerita Rey dengan saksama tentang apa hubungan lelaki itu da