“Aku tidak mau ikut,” gumam Kaisar malas-malasan. “Yang benar saja, Kai. Kita akan kena denda dalam jumlah yang besar kalau tidak datang,” keluah Reino memelototi sahabatnya. “Itu kan salahmu. Siapa suruh tanda tangan kontrak tanpa melihat baik-baik.” Kaisar yang berbaring di sofa, menghindari pandangan Reino. “Ya, mana aku tahu kalau dia akan berpikiran untuk semena-mena begitu.” Reino membela diri. “Mana mungkin Reino tahu kalau ternyata Erika seiseng itu. Lagi pula ini hanya pertemuan biasa, Kai. Kau tidak akan sendiri ada aku dan Rei juga.” Viktor ikut membujuk sahabatnya itu. “Jangan jadi penakut.” “Aku bukan penakut.” Kaisar langsung bangkit, ketika mendengar ejekan Reino barusan. Kalau hanya bertemu klien sungguhan, Kaisar tentu tidak akan takut. Masalahnya ini adalah Erika. Dia takut kalau tiba-tiba goyah dengan keputusannya, ketika perempuan yang sesungguhnya dia sayangi itu muncul lagi. Lagi pula, Erika sepertinya sudah berniat yang tidak-tidak dengan memanggil mere
“Ini gila. Aku tidak mungkin melakukan ini.” Kaisar mengomel, sembari mondar-mandir di dalam ruangan. “Kita tidak punya pilihan lain, Kai. Erika memintamu.” Viktor mengedikkan kedua bahunya. Kaisar mengacak rambutnya dengan frustasi. Walau dia memang tidak punya pilihan lain lagi, tapi masa iya dia tiba-tiba jadi pengawal? Demi apapun, Kaisar sama sekali tidak punya pengalaman. Jangankan pengalaman, Kaisar bahkan tak tahu bela diri. Memegang pistol pun tak pernah. Dia cuma punya modal menyetir mobil. “Kita bayar saja dendanya.” “Apa kau gila?” Reino langsung berteriak mendengar yang barusan dikatakan sahabatnya itu. “Dendanya itu bukan berjumlah puluhan juta, Kai.” Reino masih mengomel dengan nada tinggi. “Bayaran selama setahun saja sudah lebih dari setengah milyar, apalagi dendanya yang 5 kali lipat. Apa kau gila?” Kaisar melempar dirinya ke atas sofa. Angka yang sangat fantastis untuk seorang Erika Wiratama. Kaisar saja bingung dari mana perempuan itu mendapat uang sebanyak
Kaisar mondar mandir di dalam kamar yang dia pilih. Dia dengan terpaksa memilih kamar yang di lantai bawah. Inginnya sih di lantai atas saja untuk menghindari Erika yang harusnya tidur di lantai bawah, tapi percuma. Perempuan itu akan mengekori. “Kau harus mengawalku selama 24 jam. Akan lebih efisien jika kamar kita berdekatan. Kau harusnya bersyukur aku tidak memintamu tidur di kamarku.” Itu yang tadi Erika katakan. Ya. Harusnya Kaisar bersyukur. Karena kalau dia tidur di kamar perempuan itu, dia tak yakin bisa menahan diri. “Lama-lama aku bisa gila,” gumam pria itu mengacak rambutnya. Kaisar kemudian menatap sekitarnya. Dia kini menempati kamar bekas ruangan balas dendam Erika. Kini kamar itu telah menjelma menjadi kamar yang lebih normal dari sebelumnya. Tak ada lagi kertas rencana balas dendam yang tertempel di temboknya. “Setidaknya dia sudah jadi lebih baik.” Kaisar masih bergumam sendiri. Merasa sudah perlu pergi mandi, Kaisar keluar dari kamar. Kebetulan di kamar i
“Hei, Erika.” Lydia melirik ke belakang sahabatnya dengan ragu-ragu. Ada rasa risih terlihat jelas di wajahnya. “Kenapa Kaisar harus berdiri di belakangmu?” bisik Lydia melanjutkan apa yang ingin dia katakan. Erika tak langsung menjawab. Dia menoleh terlebih dulu dan menatap lelaki yang berdiri di belakangnya, sebelum mengangguk sebagai jawaban. “Ya. Memang harus seperti itu. Dia kan bodyguard-ku.” “HAH?” Vanessa langsung memekik mendengar jawaban sahabatnya itu. Saat ini, Erika dan para sahabatnya sedang duduk manis untuk makan pagi menjelang sore di sebuah cafe. Hal yang sudah agak lama direncanakan, namun baru terlaksana sekarang. Tenttu saja sebagai bodyguard, Kaisar harus ikut. Kaisar yang sudah mendapat briefing singkat dari Hadi-pengawal pribadi milik sahabatnya-Reino, sudah cukup tahu apa yang perlu dia lakukan. Dalam kondisi makan siang seperti ini, Kaisar bisa mengambil tempat duduk yang dekat dengan Erika. Sayangnya perempuan itu menolak. Dia ingin Kaisar berdiri
“Anda masih ingin belanja lagi?” tanya Kaisar dengan wajah kusut. “Yup.” Erika melangkah keluar dari toko sepatu dengan langkah cepat, membuat Kaisar terburu mengikutinya. Makan siang di cafe tadi pada akhirnya berakhir lebih cepat. Sesuai dugaan, suasananya jadi lebih canggung. Terlebih karena Kaisar benar-benar sangat kaku. Erika tentu saja sudah dimarahi oleh teman-temannya yang lain, tapi dia masih keras kepala. Perempuan itu juga sudah menceritakan rencananya, tapi tetap saja dia dimarahi. Namun Erika tetaplah Erika. Walau dia tahu rencananya jahat, dia tetap melakukannya. Sama seperti saat misi balas dendamnya dulu. Jadilah setelah makan siang yang gagal, Erika pergi berbelanja, tanpa memberikan waktu makan siang untuk Kaisar. Salahkan pria kaku yang tidak ingin ikut makan siang itu. Tapi walau judulnya shopping, Erika tidak benar-benar belanja. Dia akan membeli barang-barang yang dibutuhkan, selebihnya hanya lihat-lihat saja dan sesekali meladeni orang yang mengenalinya
Erika menatap senang kedua lelaki yang berdiri di depannya. Mereka saling menatap dengan raut wajah tak suka yang sangat kentara. “Kalian berdua kenapa sih? Lagi lomba menatap ya?” Erika bertanya setelah cukup lama menikmati pemandangan itu. “Tidak apa-apa.” Kedua pria itu berpaling dan menjawab secara nyaris bersamaan. Kekompakan itu membuat Erika tertawa riang. Tawa kecil yang membuat dua pria di depannya terpana, sekaligus hal yang membuat dia senang. Provokasinya berhasil “Kalau begitu ya sudah. Aku ambil yang ini ya, Ga.” Erika memberikan kembali setelah yang dia pegang, tak lupa meminta diambilkan yang baru dan dengan ukuran Kaisar. Lelaki dengan papan nama Angga tersemat di kantong kemejanya, itu dengan terpaksa harus pergi. Dia mengambil setelan yang dipilih Erika dengan ekspresi tidak rela. Semtara itu Kaisar, menatap punggung pria itu dengan kesal. Tatapannya kentara sekali menusuk dan bisa dirasakan pria itu, namun Angga terus melangkah pergi. “Kau kenal denga
Kaisar melirik ke arah ruang tamu yang bisa dia lihat jelas dari dapur tempatnya berdiri. Di ruang tamu, ada Erika yang tengah menatap ponsel sambil tertawa keras. Tawa yang sangat keras dan riang, sampai Kaisar jadi penasaran siapa yang perempuan itu hubungi. Tidak perlu waktu lama, sampai akhirnya dia tahu siapa yang membuat Erika tertawa begitu keras. “Ya, Ga?” Erika bertanya dengan ponsel menempel di telinga. “Hm ... malam ini ya? Sepertinya sih gaka da janji.” Tangan Kaisar yang sedang memegang gelas kaca, mengeratkan cengkramannya. Dia tahu siapa ‘Ga’ yang dimaksud Erika. Itu pastilah pegawai toko yang kemarin mereka temui. Cemburu? Tentu saja Kaisar merasa cemburu. Sangat cemburu malah, tapi lagi-lagi pemikiran bodohnya lebih menguasai isi pikiran lelaki itu. Kaisar lebih memilih Erika bahagia dengan orang lain selain dirinya. Sayangnya, hatinya tak bisa berbohong. “Oke. Aku akan berdandan yang cantik dan menunggumu menjemputku.” Begitu Erika selesai mengatakan itu, jem
“Bagaimana kau bisa terluka?” Angga segera mendatangi Erika dengan wajah panik. “Aku tidak terluka,” jawab perempuan cantik itu dengan wajah bingung. “Lalu?” Lelaki yang baru datang dengan setelan jas semi formal itu ikut bingung. Erika yang akhirnya tersadar, meringis sambil melirik ke arah Kaisar. Angga pun melakukan hal yang sama, tanpa bisa dia cegah. Dalam sekali lihat, lelaki itu tahu kalau bukan pujaan hatinya yang terluka. Jujur saja, Angga merasa tersaingi. Bagaimana mungkin seorang pengawal pribadi lebih penting dari pada janji mereka? “Sepertinya kau benar-benar melupakanku ya?” gumam Angga dengan senyum miris. “Maafkan aku.” Erika benar-benar jadi tidak enak hati. “Soalnya tadi telapak tangan Kai terluka dan itu bisa infeksi kalau tidak segera ditangani.” “Tidak masalah. Aku bisa mengerti.” Angga mengangguk pelan, sepertinya dia sudah mengerti kalau dirinya memang tak dianggap. “Tapi aku hanya ingin memastikan satu hal karena itu, boleh aku mengantarmu pulang