"Katamu rumahnya jelek, kumuh. Kok, ini bagus banget?" Sabrina kembali bicara saat aku memindai bangunan rumah yang ada di depan sana. Meskipun Sabrina berhenti sedikit jauh dari mobil Mas Rendra, tapi bangunan di depan sana terlihat begitu jelas. Dan benar kata temanku. Tidak jelek, tidak kumuh dan kotor seperti yang selalu Mas Rendra katakan padaku. Lagi, pikiranku semakin buruk pada Mas Rendra, yang ternyata telah membohongiku. Dia berdusta mengenai rumah orang tuanya. Yang dia katakan buruk, ternyata tidak benar adanya. Justru rumah Ibu sangat bagus dan bersih. Meskipun bukan di perumahan, tapi cukup bagus untuk ukuran hunian yang berada di dalam gang. Bahkan rumah itu menjadi bangunan paling besar di antara rumah-rumah yang ada di sekitarnya. "Tsa, lihat si Rendra. Dia membawa belanjaannya ke rumah," ujar Sabrina mencolek pahaku. Aku memajukan tubuh semakin ke depan, memperhatikan gerak-gerik Mas Rendra dan ibu mertua. Sangat santai. Tidak ada keterkejutan dari Ibu, saat
"Apa, sih, Mas?" Aku memprotes tindakan Mas Rendra yang kembali mencekal lenganku. "Jangan ke sana, tidak sopan. Ini rumah Ibu, bukan rumah kita!" kilahnya. "Aku mau lihat ke sana!" Aku mencoba melepaskan diri dari Mas Rendra. Namun, semakin aku berusaha melepaskan tangannya, semakin erat pula cengkraman dia hingga akhirnya Ibu keluar dari ruangan yang ada di belakang kami seraya menggendong seekor kucing berbulu lebat. "Dia menjatuhkan piring dari meja makan," tutur Ibu seraya menurunkan hewan itu. "Tuh, kamu lihat sendiri. Hanya kucing." Mas Rendra menimpali. Aku diam dengan memperhatikan wajah Mas Rendra dan ibu mertua bergantian. Senyum yang disuguhkan wanita paruh baya itu tidak sama sekali membuat rasa ingin tahuku hilang. Justru semakin menggebu dan curiga jika Ibu hanya bersandiwara dengan membawa kucing sebagai alat kebohongannya. Melihat kediamanku, Mas Rendra pun mengendurkan pegangannya di tanganku. Dan tentu saja itu membuatku dengan mudah lepas dari dia, dan langs
"Kontraksi?" Aku mengulang kata yang baru saja disebutkan suamiku itu. Aku langsung memundurkan tubuh saat pandangan Mas Rendra menoleh ke arahku. Dengan cepat dan tanpa suara, aku pergi ke kamar sebelum dia mengetahui aku telah menguping pembicaraannya. Sepertinya aku tidak bisa mendesak Mas Rendra untuk bicara yang sejujurnya. Aku juga tidak yakin, jika dia akan mengatakan yang sebenarnya. Aku harus punya cara lain untuk bisa mengetahui rahasia yang ada di rumah ibu mertua. "Tsania." Aku terperanjat saat Mas Rendra tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Namun, buru-buru kusembunyikan rasa terkejutku dengan menghindari tatapan darinya. "Tsania, aku ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di rumah Ibu. Oke, jujur aku emang sudah berbohong padamu," ujarnya lagi membuatku menatap dia. Mas Rendra maju beberapa langkah hingga akhirnya dia berada di depanku yang duduk di ujung ranjang. Dia pun ikut duduk, lalu menggenggam tanganku ini. Aku menariknya, tapi tidak berhasil melepaskan
[Wanita itu berjalan ke luar lewat pintu belakang, terus masuk ke bangunan kecil di belakang rumah mertuamu.]Sabrina kembali mengirimkan pesan beserta gambar sebuah bangunan yang lebih mirip seperti kandang. Entahlah itu gubuk atau apa, aku belum pernah melihatnya. Datang ke rumah Ibu pun, baru tadi dengan cara memaksa pula. [Oke, makasih, Sabrina,] balasku padanya. [Sama-sama. Kalau butuh bantuan apa pun, tinggal hubungi aku, ya? Selamat tidur, Tsania.]Pandanganku tak lepas dari foto yang diberikan Sabrina. Ternyata benar saja kecurigaanku, jika wanita itu kabur lewat pintu belakang. Sialnya, aku tidak menyadari itu saat di rumah ibu mertua. Pikiranku buntu karena amarah yang terlalu menggebu. "Sepertinya aku harus ke sana lagi," ucapku pelan, nyaris tanpa suara. Kupandangi wajah Mas Rendra yang sudah terlelap sejak tadi. Demi Tuhan aku tidak percaya jika laki-laki itu telah berkhianat. Dia bahkan tidak sendirian. Ibu mertua pun ikut andil dalam menutupi kebohongan putranya.
Aku terperanjat, mulutku menganga dengan mata mengarah pada wajah Sabrina yang kebingungan. "Ada apa, sih, Tsa?" tanya temanku itu. "Apa yang dilakukan Mas Rendra hingga aku bisa tidur selama itu?" "Rendra? Kenapa lagi dengan dia?" Sabrina kembali bertanya. Aku pun mengatakan semua yang sempat aku rencanakan. Niatku untuk ikut ke pabrik teh, harus gagal karena dibuat tidur oleh suamiku sendiri. Iya, aku sangat yakin jika Mas Rendra lah yang sudah membuatku tidur dari pagi hingga malam hari. Kalau bukan dia, siapa lagi? Tidak ada orang lain di sini."Jangan-jangan ... dia emang sengaja memasukkan obat tidur ke minumanmu pagi tadi, Tsa. Gak mungkin, kan kamu tidur kayak orang koma kayak tadi?" Aku diam, membenarkan ucapan Sabrina. Benar-benar keterlaluan Mas Rendra. Dia nekad membuatku tidak sadar demi bisa pergi ke rumah Ibu tanpa ketahuan olehku. Tanganku terkepal kuat meremas seprai. Dada pun naik turun menahan amarah yang tidak terlampiaskan. "Sabar, Tsa. Aku tahu kamu ke
"Makan ... makan di warung nasi dekat pabrik lah, di mana lagi?" Mas Rendra menjawab pertanyaanku dengan wajah yang sedikit memerah. Aku langsung membuang pandangan, merasa jijik dengan jawaban bohongnya. "Aku sedang tidak enak badan. Cuma bisa masak ini buat makan. Kalau Mas mau menu yang lain, silahkan masak sendiri," tuturku, lalu mulai mengambil nasi untuk disantap. Mas Rendra tidak lagi bicara. Dia membiarkanku menikmati makanan seperti orang lapar. Bayangkan saja, seharian penuh perutku tidak diisi apa pun. Dan itu karena perbuatan Mas Rendra. Aku yakin betul, jika dia yang membuatku tidur seperti orang mati. Dari ekor mata, aku melihat Mas Rendra mengambil sedikit nasi dan lauk ayam goreng yang tadi aku masak. Terlihat sekali dia tidak berselera dengan masakanku. Yang biasanya selalu makan banyak, kini hanya sedikit, bahkan tidak ada setengah dari porsi dia makan. "Kalau sudah kenyang, gak usah maksain makan, Mas," celetukku. Mas Rendra menoleh dengan kedua alis yang t
"Oke, Bu. Tsania akan datang."Suara Ibu terdengar senang saat aku menjawab ajakannya. Aku akan datang memenuhi undangan ibu mertua, bukan karena rindu masakannya. Tapi untuk mencari tahu wanita hamil di sana. Namun ... beberapa kali aku mendengar Mas Rendra mengatakan kontraksi saat bertelepon dengan Ibu. Apa jangan-jangan wanita itu sudah melahirkan?Sepertinya tidak. Kalaupun ada anak bayi, tidak mungkin Ibu mengundangku datang ke rumahnya, karena pasti akan ketahuan.Ah, sudahlah. Akan aku pikirkan nanti tentang itu. Yang jelas, aku harus memanfaatkan kesempatan yang tidak akan datang dua kali. Pergi ke rumah ibu mertua dengan tidak secara diam-diam. "Ekhem!" Mas Rendra berdehem, membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. "Kenapa?" tanyaku, memicingkan mata. Ah, dasar lelaki. Mana paham kalau hati ini sedang tidak ingin berbagi rasa dengannya. Mas Rendra melakukan apa yang tadi dia lakukan di luar. Namun, sayangnya aku tidak bisa menolaknya kali ini. Apa alasanku untuk itu?
"Alhamdulillah ... akhirnya kalian datang juga. Ibu pikir, Tsania enggak akan mau lagi datang ke sini."Ibu mertua menyambut dengan hangat saat kami tiba di tempat tujuan. Sebelum masuk ke rumah, mataku menelisik mencari orang yang tadi aku kirimi pesan. Namun, aku tidak menemukannya. Di mana dia berada? "Tsa, kamu cari apa?" tanya Ibu, menyadari gerak tubuhku. "Oh, tidak mencari siapa-siapa, Bu. Hanya ... sedikit beda dari pertama datang ke sini." Aku menjawab mencari alasan. "Oh ...." Ibu membulatkan mulut seraya menggiring tubuhku ke dalam rumah. "Itu karena Ibu, baru saja memotong rumput dan menebang beberapa pohon srikaya di halaman, Tsa," lanjutnya. Aku manggut-manggut. Sekarang, mata kuedarkan ke seluruh ruangan, dan berhenti pada foto pernikahanku dengan Mas Rendra yang terpampang cukup besar di ruang tamu. Perasaan ... waktu pertama ke sini aku tidak melihat itu, deh. Mungkin karena masuk dengan buru-buru, jadinya tidak memperhatikan hiasan dinding tersebut. "Tsa, ka
"Kayaknya bukan masalah kerjaan, Tsa. Coba, deh, kamu tanya baik-baik sama Rendra. Siapa tahu, dia ... merindukan ibunya?"Aku termenung mendengar penuturan Papa barusan. Apa iya, suamiku merindukan Ibu? "Kenapa tidak bilang dan pergi temui Ibu? Aku enggak akan larang, kok," kataku kemudian. "Mungkin Rendra malu untuk bilang, makanya dia diam. Kamu sebagai istri, harusnya inisiatif tanya. Bagaimanapun juga, wanita yang saat ini ada di rumah sakit jiwa itu, wanita yang telah melahirkan suamimu. Wajib hukumnya kamu mengingatkan suami agar tetap memperhatikan ibunya. Kalau sehat badan, ya dengan tenaga, kalau punya harta, ya dengan harta. Kalau punya keduanya, lakukan bersamaan. Paham, Tsa?" Aku mengangguk lemah dengan tatapan pada Mas Rendra yang memejamkan mata.Papa yang sudah merasakan kantuk, ia pun pamit pada Ayu, mencium pipi chubby cucunya itu sebelum pergi ke kamar. "Mas." Aku mengusap pipi Mas Rendra dengan lembut. Tidak ada respon. Hanya embusan napas teratur yang kudenga
"Kamu aku izinkan menjenguk Ayu, tapi dengan satu syarat," ujar Mas Rendra, melanjutkan ucapannya yang menggantung. "Apa syaratnya, Mas?" Roy bertanya. "Jangan berharap membawa dia. Aku tidak akan mengizinkan itu."Dengan wajah yang terlihat kecewa, Roy menganggukkan kepalanya. Aku merasa lega, karena Mas Rendra tidak membiarkan Roy mengurus Ayu. Pikirku, Mas Rendra akan dengan senang hati menyerahkan Ayu, membiarkan keponakannya itu diasuh oleh ayah kandungnya. Akan tetapi, itu hanya ketakutanku saja. Mas Rendra juga pasti sudah memikirkan matang-matang tentang jawaban yang dia berikan pada Roy. "Sekarang kamu boleh pergi," ujar Mas Rendra dingin."Mas, sebelum aku pergi, bodoh tidak jika aku menggendong anakku?" Mataku langsung menatap wajah Roy setelah dia berucap demikian. Aku memperhatikan dengan lekat wajah itu, mencari apakah ada niat jelek darinya untuk Ayu. Namun, aku bukan Tuhan yang bisa tahu isi hati manusia. Aku tidak menangkap niat buruk dari Roy, hanya melihat se
Aku dan Mas Rendra saling pandang, sangat terkejut dengan ucapan yang pria itu lontarkan. Mas Rendra membalikkan badan, menatap heran pada pria yang melihat suamiku dengan nyalang. "Siapa yang kau sebut anakku?" tanya suamiku kemudian. Pria itu meneguk ludah dengan kasar. Tanpa mengucapkan satu kata pun, dia pergi menjauhi kami dan naik ke atas kendaraan roda duanya. Mas Rendra mengejar. Suamiku itu berhasil menahan pria asing tadi untuk kabur, sementara aku menghampiri mobil untuk mengambil Ayu yang sengaja kami biarkan di dalam mobil. Awalnya, aku sengaja meninggalkan aku untuk memancing pria itu. Karena aku kira, dia penculik yang mengincar Ayu. Akan tetapi, sepertinya aku salah duga. Dari cara dia tadi berteriak menghentikan Mas Rendra, aku yakin dia bukanlah penculik. "Siapa kamu sebenarnya? Katakan, siapa?!" ujar Mas Rendra, memaksa laki-laki itu untuk bicara. "Lepaskan!" Pria yang kedua tangannya dicekal Mas Rendra, berteriak seraya berontak. "Aku akan melepaskanmu, as
"Ini Anak Bayi mau ke mana? Ya ampun ... pagi-pagi gini sudah cantik aja." "Jalan-jalan, dong, Opa," kataku, menjawab pertanyaan yang Papa tujukan pada Ayu. Sekarang hari minggu. Karena pabrik libur di hari ini, aku pun berinisiatif untuk pergi jalan-jalan bersama Ayu. Alhamdulillah-nya, Mas Rendra tidak menolak ketika aku menyampaikan keinginan untuk pergi di hari minggu. Dan sekarang, aku sudah siap untuk pergi. Tinggal menunggu Mas Rendra yang masih mandi, karena tadi gantian menjaga Ayu. "Kalian mau pergi ke mana? Jangan jauh-jauh, kasihan Ayu. Dan ingat kondisi kamu juga, Tsa," ujar Papa seraya meletakkan Ayu di stroller. "Iya, Papa. Palingan ke taman, terus makan-makan doang, sih. Janji, deh enggak akan pulang malam." Aku mengacungkan dua jari ke depan wajah. "Yasudah, kalian hati-hati, ya? Papa udah transfer buat jajan kalian.""Emh ... Papa .... Makasih," tuturku, lalu memeluk Papa. Sebenarnya, Papa sudah aku ajak untuk ikut bersamaku dan Mas Rendra. Akan tetapi, Papa m
Gorden yang aku tutup tiba-tiba, aku buka kembali untuk melihat orang tadi. Akan tetapi, orang asing itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia pergi dan entah ke mana. Hati semakin khawatir, takut jika orang tadi punya niat buruk padaku, atau semua penghuni rumah ini. Sangat menyeramkan. [Mas, tadi ada orang asing yang ngintai rumah kita,] ujarku, mengirimkan pesan pada Mas Rendra. Sayangnya, suamiku itu membalas pesan yang aku kirim. Jangankan membalasnya, dibaca pun tidak sama sekali. Suamiku itu pasti sedang bekerja saat ini. [Pah.] Aku memanggil Papa, lewat pesan juga. Sama seperti Mas Rendra, Papa juga tidak sama sekali membaca pesanku. Ada rasa kesal pada dua lelaki itu karena mengabaikan pesanku, tapi aku juga sadar jika mereka sedang bekerja saat ini. Lalu aku harus apa untuk mengalihkan rasa takut ini? "Astaghfirullah!"Ketukan di pintu membuatku yang tengah melamun, terlonjak kaget mendengarnya. Dada kuusap berulang kali seraya mengatur napas. "Siapa?" tanyaku, seteng
"Setelah Mama pergi, dia belum pernah datang ke mimpi Papa, Tsa. Papa ingin sekali melihatnya," ujar Papa seraya mengusap kedua matanya. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Tanganku mengusap-usap punggung Papa, lalu akhirnya kami berpelukan. Sebenarnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tadi setelah salat maghrib, tiba-tiba mengingat Mama. Namun, aku tidak mengatakannya pada siapa pun. Aku pendam rasa ini, karena mungkin hanya aku yang merasakannya. Ternyata tidak, Papa pun merasakan kerinduan yang sama pada wanita yang sudah tidak lagi bersama kami saat ini. "Masih ada penyesalan di sini, Tsa." Papa meraba dadanya. "Seandainya saja saat itu Papa langsung pulang, mungkin sekarang Mama masih ada, ya?" lanjut Papa lagi. "Ssttt .... Jangan bicara seperti itu, Pah. Kan, kata Papa juga semuanya sudah Allah atur. Kapan kita meninggal, di mana dan dengan cara apa, sudah Allah tentukan lebih dulu sebelum kita dilahirkan ke dunia ini."Papa mengurai pelukan, lalu mengangguk pelan. Dia menari
"Waalaikumsalam," ucapku, lalu diikuti Mas Rendra dan Papa. Mataku tak lepas dari seseorang yang saat ini masih bergeming di tempatnya. Begitu juga dengan Mas Rendra dan Papa. Sedangkan yang diperhatikan, matanya memindai kami yang ada di dalam rumah, lalu berhenti di Mas Rendra. Untuk beberapa detik keduanya saling mengunci pandangan, hingga akhirnya Mas Rendra melihat ke arahku seraya tersenyum. "Masuk, Na." Aku berucap demikian. Wanita yang tak lain adalah Sabrina, melangkahkan kaki ke dalam rumah, lalu menyalami Papa yang berada paling dekat dengan pintu. Ayahku berpindah duduk, lalu sofa yang tadi ia tempati, kini diduduki Sabrina. Panjang umur Sabrina ini. Baru saja kami membahasnya, tahu-tahu sekarang dia ada di hadapan kami. "Mas Rendra sejak kapan di sini?" tanya Sabrina pada suamiku. Sebagai seorang wanita dewasa, aku paham betul jika tatapan Sabrina pada suamiku mengandung arti. Masih ada rasa yang aku lihat dari sorot matanya itu. Mas Rendra tidak langsung menjawa
"Kakak kaget, loh tadi pas kamu masuk sama Rendra. Kakak kira, kalian mau ngomongin perpisahan. Eh, tahunya sebaliknya. Seneng, deh lihat kamu ceria lagi kayak gini. Tadi, gimana kata dokter? Janinnya baik-baik saja, kan? Kamunya juga sehat?"Aku terkekeh ketika diberondong banyak pertanyaan oleh Kak Anna. Awal aku datang, wajah Kak Anna memang menunjukkan keheranan. Apa lagi alasannya kalau bukan karena aku yang datang bersama Mas Rendra. Dan setelah dijelaskan, baik Kak Anna maupun Bang Ben, menerima keputusanku. Mereka mendukung penuh aku untuk tetap bersama Mas Rendra, apalagi aku yang tengah mengandung anaknya Mas Rendra. "Kandungan aku baik. Meskipun, tadi pagi sempat kram, tapi Alhamdulillah semuanya normal-normal saja. Aku juga sehat," jawabku kemudian."Syukurlah kalau baik-baik saja. Iya, tahu, kok kalau kalian pasti rindu, kan? Tapi, harus ingat, ada Tsania junior di sini. Atau mungkin, Rendra junior?" Aku tertawa, mengikuti Kak Anna yang terkekeh seraya mengusap-usap p
"Jadi, kalian memutuskan untuk bersama lagi?"Aku dan Mas Rendra mengangguk, menjawab pertanyaan yang diberikan Papa. Sekitar satu jam yang lalu, aku dan Mas Rendra memutuskan pulang ke rumah Papa. Setelah makan bersama, Papa mengajak kami untuk bicara, membahas rumah tangga kami yang sempat berada di ujung perpisahan. "Papa senang, jika akhirnya kalian kembali bersama. Karena bagaimanapun, kalian ini akan jadi orang tua. Sudah jadi orang tua bahkan, karena Ayu adalah bagian dari kalian," ujar Papa lagi. Tanganku dan tangan Mas Rendra saling menggenggam. Kami duduk berdampingan, tidak ingin jauh satu sama lain. "Rendra." Papa menyebut nama suamiku. "Iya, Pah?" "Ini kesempatan terakhir yang Papa berikan kepada kamu. Jika suatu hari nanti kamu membuat kesalahan lagi, menutupi masalah apa pun itu dari Tsania, hingga membuat anak Papa terluka, Papa sendiri yang akan memintamu pergi. Ingat, Rendra. Laki-laki yang dipegang itu omongannya. Maka, bersikaplah seperti ucapan yang kamu jan