Malam itu, Rina merasa lelah luar biasa setelah kembali dari rumah tua. Mereka telah melakukan lebih dari yang dia bayangkan. Nyai Murni menutup pintu rumahnya, menyuruh Rina dan Bu Marni untuk beristirahat. “Kalian berdua butuh tidur. Besok kita akan merencanakan langkah berikutnya. Aku akan menjaga rumah ini untuk sementara,” kata Nyai Murni dengan lembut.
Rina mengangguk, matanya terasa berat. “Terima kasih, Nyai. Semoga kita tidak perlu menghadapi hal-hal menakutkan lagi.” Namun, Rina tahu bahwa kata-katanya itu mungkin lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Malam itu, Rina tidur di kamar tamu rumah Nyai Murni. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berkutat dengan kejadian-kejadian yang baru saja mereka lalui. Apakah bayangan besar itu benar-benar telah pergi? Apakah Ambar dan roh-roh lainnya kini benar-benar bebas? Sekitar tengah malam, Rina mulai terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sebuah energi gelap yang merayap di seluruh tubuhnya. Dia membuka matanya perlahan dan melihat ke sekeliling kamar. Gelap, hanya ada cahaya remang dari bulan yang masuk melalui celah-celah jendela. Dan kemudian, dia mendengar suara itu. Suara gemerisik yang samar, seperti seseorang sedang berbisik dari sudut kamar. Rina duduk, mencoba mencari asal suara itu. Dadanya berdebar kencang saat dia melihat bayangan bergerak di sudut ruangan. Sebuah sosok berdiri di sana, tak bergerak, hanya menatap ke arahnya. Rina merasakan tenggorokannya kering. "Siapa di sana?" tanyanya, suaranya bergetar. Tapi tidak ada jawaban. Sosok itu mulai bergerak maju, perlahan-lahan mendekat ke tempat tidur. Wajahnya masih tidak jelas, tapi matanya… mata itu berkilat merah, persis seperti bayangan besar yang mereka lihat di ruang bawah tanah rumah tua itu. “Tidak… ini tidak mungkin,” bisik Rina, merasa ketakutan merayap naik di tulang punggungnya. Sosok itu terus mendekat, dan sekarang Rina bisa mendengar napasnya yang berat, seperti hembusan angin dingin di telinganya. Suara itu semakin dekat, semakin keras, sampai Rina bisa merasakan napas dingin itu di lehernya. Rina melompat dari tempat tidur dan mencoba menyalakan lampu, tapi saklar lampu tidak berfungsi. Kegelapan masih menyelimuti ruangan itu, membuat sosok itu tampak semakin menyeramkan. Dia berlari ke pintu, mencoba membukanya, tapi pintu itu terkunci. “Nyai! Bu! Tolong!” teriak Rina, berharap seseorang akan mendengar dan datang menolongnya. Namun, suara itu seolah-olah tertahan di tenggorokannya, terdengar begitu kecil di tengah kegelapan yang menakutkan. Sosok itu semakin dekat, matanya yang merah menyala menatap lurus ke arahnya. “Kau tidak bisa lari,” bisik sosok itu dengan suara yang dalam dan menakutkan. “Kami tidak akan membiarkanmu pergi…” Rina merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Dia terus mencoba membuka pintu, tetapi tidak ada yang berhasil. Kemudian, tiba-tiba, sosok itu menghilang, seolah-olah tersedot ke dalam kegelapan yang lebih pekat. Namun, sebelum Rina bisa merasa lega, dia merasakan sebuah tangan dingin menyentuh bahunya dari belakang. Dia berbalik dengan cepat, dan di sanalah dia, sosok yang lebih kecil, tampak seperti Ambar. Tetapi kali ini, wajah Ambar tidak lagi damai. Wajahnya terlihat penuh rasa takut dan kesakitan. “Mereka tidak membiarkanku pergi,” bisik Ambar dengan suara yang putus asa. “Mereka masih di sini… mereka masih menginginkanku.” Rina merasakan air matanya mengalir. “Ambar… kami sudah mencoba membantumu. Apa yang bisa kami lakukan lagi?” Sebelum Ambar bisa menjawab, sosok itu ditarik mundur dengan keras, seolah-olah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Jeritannya bergema di ruangan itu, membuat Rina tertegun ketakutan. Suara pintu berderit keras diikuti oleh suara langkah kaki yang terburu-buru. Pintu kamar terbuka dengan keras, dan Nyai Murni serta Bu Marni masuk ke dalam ruangan dengan panik. “Rina! Apa yang terjadi?” seru Bu Marni sambil menyalakan senter yang dibawanya. Nyai Murni segera melihat ke sekeliling, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. “Kau melihatnya, bukan?” tanyanya dengan suara tegas namun penuh perhatian. “Bayangan itu kembali?” Rina hanya bisa mengangguk, masih terlalu terguncang untuk berbicara. “Dia… dia ada di sini. Dia datang untukku… dan untuk Ambar.” Nyai Murni memejamkan matanya sejenak, menghela napas panjang. “Aku takut ini akan terjadi. Kekuatan itu… bayangan itu… dia belum sepenuhnya lenyap. Dan kini dia menginginkan lebih dari sekadar roh-roh yang terperangkap. Dia menginginkan kita.” Bu Marni menatap Nyai Murni dengan takut. “Apa yang harus kita lakukan, Nyai? Apakah kita harus meninggalkan desa ini?” Nyai Murni menggelengkan kepalanya. “Tidak, meninggalkan desa ini tidak akan menyelesaikan apa pun. Kekuatan gelap itu terikat dengan rumah tua itu dan segala yang pernah terjadi di sana. Kita harus menghadapinya, dan kali ini kita harus lebih siap.” Rina akhirnya menemukan suaranya kembali. “Tapi bagaimana? Kita sudah melakukan ritual pembatalan, dan itu masih belum cukup. Apa lagi yang bisa kita lakukan?” Nyai Murni melihat mereka dengan tatapan serius. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang bayangan itu, tentang kekuatan yang dimilikinya. Kita perlu lebih banyak informasi, lebih banyak pengetahuan. Aku tahu seseorang di desa ini yang mungkin bisa membantu kita. Dia seorang dukun tua, lebih tua dariku, dan dia memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam yang sangat mendalam.” Rina dan Bu Marni saling bertukar pandang. Meskipun rasa takut masih menghantui, mereka tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara. Mereka harus menemukan dukun tua itu dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan untuk menghadapi bayangan tersebut. “Kita akan pergi menemuinya besok pagi,” kata Nyai Murni. “Untuk sekarang, kita harus tetap bersama. Jangan pernah sendirian. Bayangan itu akan mencoba untuk memisahkan kita, dan kita tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.” Mereka bertiga memutuskan untuk tinggal di ruang tengah rumah Nyai Murni malam itu, duduk saling berdekatan dengan lampu senter dan benda-benda suci di sekeliling mereka. Mata mereka tetap terbuka, berjaga-jaga terhadap kegelapan yang mungkin kembali. Dan saat malam semakin larut, mereka tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih menakutkan dan lebih berbahaya. Perjalanan mereka untuk mengungkap kebenaran dan melawan kekuatan gelap baru saja dimulai, dan bayangan yang menghantui mereka masih berkeliaran, menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi.Pagi itu, langit desa tampak suram, seolah-olah alam semesta merespons ketegangan yang mereka rasakan. Udara pagi yang dingin dan lembap menyelimuti desa kecil itu ketika Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni bersiap untuk pergi menemui dukun tua yang disebut Nyai Murni. Mereka tahu bahwa harapan mereka untuk menghadapi kekuatan gelap tergantung pada apa yang akan mereka temukan dari orang tua itu. Nyai Murni membawa mereka ke bagian paling terpencil dari desa, menuju rumah seorang dukun bernama Ki Wirya. Dia adalah orang yang hampir terlupakan di desa itu, seseorang yang jarang terlihat atau didengar kabarnya. Dulu, dia dikenal sebagai dukun dengan kemampuan luar biasa dalam hal ilmu gaib dan ilmu hitam. Namun, sejak istrinya meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu, Ki Wirya mengasingkan diri dan menutup diri dari dunia luar. “Ki Wirya adalah orang yang berbahaya,” bisik Nyai Murni saat mereka berjalan di jalan setapak yang sempit dan berlumut. “Tapi dia satu-satunya yang tahu
Hari-hari berikutnya setelah ritual penangkapan terasa lebih tenang di desa. Warga desa yang sebelumnya ketakutan mulai merasa sedikit lega. Rumah tua tempat kejadian mengerikan itu pun dibiarkan kosong, tidak ada yang berani mendekat lagi. Bagi mereka, hal itu cukup, asal kekuatan gelap itu tidak kembali. Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni merasa sedikit lega setelah keberhasilan mereka menangkap Asma Gendhis. Tapi ada sesuatu yang tetap mengganjal di hati Rina. Meskipun bayangan besar itu sudah tertangkap, rasa gelisah tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya. Ia masih teringat pada jeritan Ambar di dalam mimpinya, seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai. “Nyai, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Ambar,” kata Rina suatu pagi ketika mereka duduk bersama di beranda rumah Nyai Murni. “Aku merasa ada sesuatu yang belum kita lakukan. Seolah-olah roh Ambar masih belum tenang.” Nyai Murni mengangguk, tatapannya penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama, Rina. Meskip
Malam itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menandakan kegelapan yang menyelimuti desa. Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya bersiap-siap untuk kembali ke rumah tua yang pernah menjadi pusat dari semua kejadian mengerikan ini. Rina merasakan ketegangan di udara, campuran antara ketakutan dan keteguhan untuk menghadapi apa pun yang akan mereka temui. Ki Wirya membawa beberapa alat perlindungan dan jimat yang akan membantu mereka menghadapi kekuatan gelap yang masih bersembunyi di sana. “Ini adalah kesempatan terakhir kita,” katanya dengan nada serius. “Kita harus memastikan bahwa tidak ada kekuatan gelap yang tersisa setelah malam ini.” Rina menggenggam tas kecil berisi benda-benda suci dan garam, peralatan yang bisa digunakan untuk mematahkan kekuatan roh jahat. Nyai Murni membawa dupa dan minyak yang telah diberkati, sementara Bu Marni membawa kendi tanah liat yang diisi dengan air suci. “Siapkah kalian?” tanya Ki Wirya dengan tegas. Semua mengangguk. Mereka tahu b
Pagi hari setelah malam yang menegangkan itu datang dengan cerah. Matahari terbit memberikan sinar keemasan pada desa, menciptakan suasana yang damai dan menenangkan. Namun, bagi Rina dan teman-temannya, hari ini adalah waktu untuk refleksi dan penutupan dari pengalaman yang mengerikan. Rumah tua yang dulu menjadi tempat teror kini terlihat sepi dan sunyi. Setelah memastikan bahwa semua ancaman telah diatasi, mereka memutuskan untuk pergi ke desa dan mengabarkan berita baik kepada warga desa. Setibanya di desa, mereka disambut dengan penuh antusias oleh penduduk. Mereka telah mendengar dari mulut ke mulut tentang keberanian Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Warga desa berkumpul di alun-alun desa untuk mendengarkan cerita mereka. Rina berdiri di depan kerumunan, merasa campur aduk antara kelegaan dan kelelahan. “Kami ingin memberitahu kalian bahwa ancaman dari rumah tua itu telah berakhir. Kami telah menghancurkan sumber kekuatan gelap dan membebaskan roh Ambar.” Kabar itu
Kehidupan di desa yang damai tidak berlangsung lama tanpa gangguan. Meskipun Rina dan teman-temannya telah berhasil mengatasi ancaman dari rumah tua, mereka segera menyadari bahwa kegelapan yang tersisa mungkin belum sepenuhnya hilang. Seiring dengan berjalannya waktu, tanda-tanda aneh mulai muncul, mengindikasikan bahwa mungkin ada sesuatu yang belum sepenuhnya teratasi. Rina baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumahnya ketika dia merasakan perubahan aneh di udara. Mungkin itu hanya perasaannya, tapi dia merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. “Sesuatu tidak beres,” katanya kepada Nyai Murni saat mereka bertemu di pasar desa. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa akhir-akhir ini.” Nyai Murni menatap Rina dengan penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama. Ada beberapa warga yang mengeluhkan mimpi buruk dan kejadian aneh di rumah mereka. Mungkin ini terkait dengan kekuatan gelap yang kita hadapi sebelumnya.” Bu Marni bergabung dengan mereka
Malam itu, langit gelap pekat, tanpa sedikit pun bintang yang terlihat. Rina berdiri di depan rumah tua bersama Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Mereka tahu, setelah segala hal yang telah terjadi, malam ini adalah malam yang menentukan. Malam di mana mereka harus menghadapi kegelapan yang terus mengintai, meresahkan seluruh desa. “Kita harus cepat,” kata Ki Wirya sambil menyiapkan perlengkapan ritual. Matanya penuh dengan kewaspadaan, menyadari bahwa kekuatan jahat yang mereka hadapi jauh lebih besar daripada yang mereka duga sebelumnya. Nyai Murni menggenggam tangan Rina, menguatkan gadis itu yang kini wajahnya pucat. “Ritual ini berbahaya, Rina. Apa pun yang terjadi, jangan panik. Kita harus fokus.” Rina hanya mengangguk. Ketegangan menjalari seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang berbeda dari sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—namun terasa menakutkan dan memati
Rina dan yang lainnya tidak bisa menahan diri. Tubuh Ki Wirya yang tergeletak di lantai rumah tua itu harus segera dibawa keluar. Wajah Ki Wirya yang biasanya dipenuhi kebijaksanaan dan ketenangan kini terlihat pucat, dengan darah segar yang mengalir dari mulutnya, membuatnya tampak mengerikan. Nyai Murni memimpin mereka semua untuk mengangkat tubuh Ki Wirya, memerintah dengan cepat dan tegas meskipun rasa kehilangan melanda. “Bawa dia ke luar! Kita harus segera membawanya ke rumahnya!” Nyai Murni berteriak, suaranya gemetar namun tetap tegas. Rina dan Bu Marni membantu mengangkat tubuh tak bernyawa itu, sementara air mata mengalir di pipi mereka. Mereka berjalan keluar dari rumah tua itu dengan langkah terburu-buru, berusaha menjaga keseimbangan tubuh Ki Wirya yang tak lagi berdaya. Saat pintu terbuka, mereka disambut oleh kegelapan malam yang tak bersahabat. Udara dingin menyusup ke dalam tulang mereka, dan angin bertiup keras, seolah-olah menambah beban kesedihan yang mereka rasa
Nyai Murni, Rina, dan Bu Marni berdiri dalam kegelapan yang mencekam di ruang tamu rumah Ki Wirya. Tubuh Ki Wirya yang tergeletak di lantai tampak hidup kembali dengan gerakan menakutkan, dan aura jahat mengelilinginya. Suasana di dalam rumah menjadi semakin tegang, dengan setiap napas yang terasa berat dan setiap gerakan yang disertai dengan ketidakpastian. Rina memandang dengan mata terbuka lebar, merasakan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Lampu-lampu di rumah berkelip-kelip, menambah suasana yang sudah mencekam. Ki Wirya yang seharusnya sudah tiada, kini berdiri dengan mata putih kosong dan tangan terulur. Suara entitas jahat yang menguasai tubuhnya menggema, menyatakan ancaman yang membuat hati mereka berdegup kencang. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Tiba-tiba, tubuh Ki Wirya terjatuh kembali ke lantai, dan gerakan menakutkan yang sebelumnya menghantui mereka berhenti. Tubuhnya tampak kembali kaku dan tidak bergerak. Aura jahat yang mengelilinginya perlahan-lah