Rina dan Bu Marni kembali ke rumah Nyai Murni pagi itu dengan kepala penuh pertanyaan. Pikiran Rina terus berkutat pada sosok gadis dalam cermin yang terlihat ketakutan dan meminta bantuan. Siapa dia? Bagaimana dia bisa terjebak di sana? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di rumah tua itu yang menyebabkan begitu banyak roh terperangkap?
Nyai Murni menyambut mereka dengan wajah tenang, seolah-olah dia sudah tahu bahwa mereka akan datang dengan lebih banyak pertanyaan. “Masuklah, anak-anak,” katanya sambil menunjuk ke kursi kayu di ruang tamunya yang sederhana namun terasa hangat. "Aku tahu kalian pasti punya banyak hal yang ingin ditanyakan." Rina duduk, masih memegang potongan cermin yang pecah di tangannya. "Nyai, tadi malam cermin ini menunjukkan bayangan seorang gadis. Dia meminta bantuan kami, mengatakan bahwa dia terperangkap. Siapa dia? Apakah dia salah satu korban dari ritual yang dilakukan oleh Tuan Wiratama?" Nyai Murni mengangguk pelan. "Ya, sepertinya begitu. Ada banyak cerita yang beredar tentang keluarga Wiratama dan apa yang terjadi di rumah itu. Tetapi, yang paling kuat adalah tentang seorang gadis muda bernama Ambar." “Ambar?” Bu Marni bertanya sambil mengerutkan kening. "Siapa dia?" Nyai Murni menarik napas panjang. "Ambar adalah putri dari salah satu pekerja di rumah itu. Ayahnya bekerja sebagai tukang kebun, dan ibunya membantu di dapur. Ambar dikenal sebagai gadis yang ceria dan baik hati, selalu bermain di taman rumah Wiratama. Namun, suatu hari, dia menghilang tanpa jejak . Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya, tetapi banyak yang percaya bahwa dia menjadi korban dari ritual gelap yang dilakukan oleh Tuan Wiratama." Rina merasakan ada yang meremas hatinya mendengar cerita itu. "Jadi, dia mungkin masih terjebak di sana… sebagai roh." Nyai Murni mengangguk. "Benar. Jika dia muncul di cermin penjaga itu, berarti rohnya terperangkap di antara dunia kita dan dunia mereka yang telah meninggal. Dia mungkin mencoba berkomunikasi untuk mencari bantuan." Bu Marni menatap Nyai Murni dengan serius. “Nyai, apakah ada cara untuk memerdekakan Ambar dan roh-roh lain yang terperangkap di sana?” Nyai Murni teringat sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ada satu cara, tapi sangat berbahaya. Kita harus melakukan ritual pemanggilan roh yang lebih kuat, yang bisa membuka gerbang antara dunia ini dan dunia roh. Tapi ingat, begitu gerbang itu terbuka, kita tidak tahu apa yang bisa keluar." Rina merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Saya siap, Nyai. Jika ada cara untuk membantu mereka, saya ingin melakukannya.” Nyai Murni mengangguk dengan serius. “Baiklah. Kita perlu beberapa persiapan sebelum melakukan ritual ini. Kita membutuhkan lebih banyak ramuan pemurnian, beberapa benda suci, dan yang paling penting, keberanian. Ini tidak akan mudah, dan kita harus siap menghadapi apa pun yang muncul.” Rina dan Bu Marni menghabiskan beberapa jam berikutnya bersama Nyai Murni, mempersiapkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk ritual pemanggilan roh. Mereka mengumpulkan berbagai ramuan dari hutan sekitar desa, mencari benda-benda suci yang dapat digunakan sebagai perlindungan, dan mempelajari mantra-mantra kuno yang diajarkan oleh Nyai Murni. Saat malam mulai menjelang, mereka merasa siap untuk kembali ke rumah tua itu. Namun, sebelum mereka berangkat, Nyai Murni memberikan satu pesan penting kepada mereka. “Ingatlah Nak, jangan biarkan rasa takut menguasai kalian. Jika kalian ragu, roh-roh itu akan merasakan kelemahan kalian dan bisa membalikkan serangan. Tetaplah fokus dan kuat.” Rina mengangguk, merasa sedikit gugup tapi juga penuh tekad. “Terima kasih, Nyai. Kami akan berhati-hati.” Dengan barang-barang yang mereka perlukan, mereka kembali berjalan menuju rumah tua itu. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan ada perasaan berat yang menggantung di sekeliling mereka. Saat mereka tiba di depan rumah tua itu, mereka bisa merasakan energi yang lebih kuat dan lebih gelap dari sebelumnya. Rina menyalakan senter dan menatap ke rumah tua itu. “Baiklah, Bu. Kita sudah sampai sejauh ini. Ayo kita lakukan ini.” Bu Marni mengangguk dengan tegas. “Ya, kita harus melakukannya. Untuk Ambar, dan untuk semua roh yang terperangkap di sini.” Mereka masuk ke dalam rumah itu, langsung menuju ruang bawah tanah. Kali ini, mereka merasa seolah-olah rumah itu sendiri hidup, mengawasi setiap langkah mereka. Suara-suara aneh terdengar dari dinding, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya. Setibanya di ruang bawah tanah, Rina dan Bu Marni mulai menyiapkan lingkaran pemanggilan. Mereka menempatkan benda-benda suci di sekitar lingkaran, menyalakan dupa, dan menyebarkan ramuan pelindung di sekeliling mereka. Nyai Murni mulai membacakan mantra pemanggilan dengan suara rendah dan dalam, sementara Rina dan Bu Marni mengikutinya dengan hati-hati. Asap mulai mengepul, membentuk lingkaran di udara. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan Rina bisa merasakan energi yang berputar-putar di sekitar mereka. Mantra itu terus berlanjut, semakin cepat dan semakin kuat, dan kemudian, tiba-tiba, ada ledakan cahaya yang terang. Di tengah lingkaran, bayangan Ambar muncul. Wajahnya terlihat lebih jelas sekarang, penuh ketakutan tapi juga harapan. “Tolong… bantu aku,” dengan suara yang terdengar seperti bisikan yang katanya datang dari jauh. Rina merasa ada dorongan kuat untuk melangkah ke arah bayangan itu, tetapi Nyai Murni segera menahannya. “Jangan! Kau tidak bisa menyentuhnya. Itu hanya pantulan rohnya, bukan dirinya yang sebenarnya.” Ambar mulai berbicara lagi, matanya terlihat penuh air mata. “Mereka… mereka tidak membiarkanku pergi. Tolong bebaskan aku…” Rina mencoba berkomunikasi dengannya. “Siapa mereka? Siapa yang menahanmu?” Sebelum Ambar bisa menjawab, bayangan-bayangan lain mulai muncul di sekeliling mereka. Roh-roh yang terlihat marah, dengan mata merah menyala dan wajah yang terdistorsi oleh kebencian. Mereka bergerak menuju Rina dan Bu Marni, seolah-olah mencoba menghalangi mereka. Nyai Murni berteriak, “Cepat, lanjutkan mantranya! Kita harus menyelesaikan ini!” Rina dan Bu Marni melanjutkan mantranya, suara mereka semakin keras untuk melawan roh-roh yang marah. Lingkaran cahaya di sekitar mereka mulai bergetar, dan energi yang lebih kuat dan gelap mulai menekan dari seluruh sisi. Tiba-tiba, suara ledakan keras terdengar, dan lantai di bawah mereka bergetar hebat. Sebuah pintu kecil yang tersembunyi di dinding ruang bawah tanah terbuka dengan keras, menampilkan tangga yang menurun ke sebuah ruang yang lebih dalam. Ambar memandang ke arah pintu itu dengan penuh ketakutan. “Di sana… di sanalah mereka menahanku… tolong…” Rina tahu bahwa mereka harus turun ke dalam ruangan itu untuk menyelesaikan ini. Dia menoleh ke Bu Marni dan Nyai Murni. “Kita harus pergi ke sana. Itu mungkin satu-satunya cara untuk memerdekakan mereka semua.” Bu Marni mengangguk meskipun terlihat jelas ketakutan. “Baiklah, kita akan melakukannya bersama-sama.” Nyai Murni tersenyum tipis, meskipun wajahnya tampak tegang. “Kalian berdua adalah gadis yang merencanakan. Ingat, tetap fokus dan jangan biarkan rasa takut menguasai kalian.” Dengan hati-hati, mereka bertiga mulai menuruni tangga ke dalam kegelapan. Cahaya senter mereka hanya cukup untuk melihat beberapa langkah di depan, dan udara di bawah semakin dingin. Rina bisa merasakan getaran energi aneh di sekeliling mereka, seperti ada sesuatu yang menunggu mereka di bawah sana. Ketika mereka mencapai dasar tangga, mereka menemukan diri mereka di sebuah ruangan kecil dengan dinding batu. Di tengah ruangan, ada sebuah altar tua yang dipenuhi lilin-lilin yang hampir habis terbakar. Di atas altar, terdapat sebuah buku besar yang tampak kuno dan terbuat dari kulit manusia. Nyai Murni mendekati altar itu dengan hati-hati. “Ini dia… buku ritual Tuan Wiratama. Di dalam dia melakukan semua ritualnya yang gelap.” Rina merasakan ketegangan di tulang punggungnya. “Apa yang harus kita lakukan, Nyai?” Nyai Murni membuka buku itu dan mulai membaca dengan cepat. “Kita harus membatalkan ritual terakhirnya. Itu mungkin satu Nyai Murni membuka buku itu dan mulai membacanya dengan cepat. “Kita harus membatalkan ritual terakhirnya. Itu mungkin satu-satunya cara untuk membebaskan Ambar dan roh-roh lainnya.” Suaranya bergetar, dan untuk pertama kalinya, Rina melihat kilatan ketakutan di mata perempuan tua itu. Di ruangan yang gelap dan sempit itu, udara terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. Suara gemerisik dan bisikan terdengar di sekeliling mereka, seolah-olah bayangan-bayangan di dinding tengah berbisik di telinga mereka. Rina bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, adrenalin bergejolak dalam tubuhnya. "Bu, tolong awasi sekeliling," kata Rina dengan suara berbisik kepada Bu Marni yang berdiri di sebelahnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi saat Nyai membatalkan ritual ini." Bu Marni mengangguk, tangannya gemetar sedikit saat dia menggenggam tas berisi benda-benda suci dan dupa. "Aku siap, Nak. Apa pun yang terjadi, kita harus tetap bersama." Nyai Murni mulai mengucapkan mantra pembatalan, suaranya tegas meskipun sedikit terguncang. Kata-katanya dalam bahasa Jawa Kuno terdengar seperti melodi yang beresonansi dengan ruang yang gelap dan menakutkan. Saat dia melanjutkan mantranya, energi di ruangan itu mulai berubah, bergetar dengan frekuensi yang aneh dan menakutkan. Tiba-tiba, ruangan itu bergetar hebat, seperti ada gempa bumi. Batu-batu kecil jatuh dari langit-langit, dan lilin-lilin di atas altar berkedip-kedip, hampir padam. Rina memegang tangannya ke lantai untuk menjaga keseimbangannya, matanya tetap tertuju pada Nyai Murni. Kemudian, dari sudut ruangan, muncul bayangan hitam yang semakin besar. Bayangan itu bergerak dengan cepat, seperti asap yang berkumpul dan memadat menjadi satu sosok yang tinggi dan mengerikan. Sosok itu berbentuk kabur, dengan wajah yang tidak jelas, tapi matanya… matanya memancarkan cahaya merah menyala yang penuh dengan kebencian. “Jangan berhenti, Nyai!” seru Rina, suaranya terdengar di antara gemuruh dan suara-suara roh yang marah. “Kita hampir sampai!” Nyai Murni mengangguk dan melanjutkan mantranya dengan lebih keras. Bayangan itu mendekat, seolah-olah mencoba menghentikannya. Rina meraih dupa dan menyalakannya, melemparnya ke arah bayangan itu. Asap dupa menyebar di udara, menciptakan penghalang sementara yang membuat bayangan itu mundur sedikit. “Ini hanya akan menahannya sebentar!” teriak Bu Marni, yang sekarang berdiri di samping Rina, juga menyalakan dupa lainnya. Saat mantra Nyai Murni mencapai klimaks, suara di ruangan itu berubah menjadi jeritan yang memilukan, seolah-olah seluruh ruangan dipenuhi dengan roh-roh yang menjerit kesakitan. Bayangan besar itu tampak bergetar dan berguncang, mencoba melawan mantra yang semakin kuat. Dan kemudian, dengan suara keras seperti ledakan petir, bayangan itu lenyap, seolah-olah tersedot ke dalam dirinya sendiri. Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening, kecuali suara napas terengah-engah mereka bertiga. Nyai Murni menjatuhkan buku ritual itu dan berlutut, kelelahan. “Kita berhasil… kita membatalkan ritualnya.” Rina bergegas ke sisi Nyai Murni dan membantunya berdiri. “Apakah Ambar sudah bebas? Apakah semua roh sudah terbebaskan?” Namun, sebelum Nyai Murni bisa menjawab, sesuatu terjadi. Di tengah ruangan, sebuah portal kecil mulai terbuka. Cahaya lembut dan hangat keluar dari portal itu, dan dari dalamnya, Rina melihat sosok Ambar. Wajahnya terlihat damai sekarang, tidak lagi dipenuhi dengan ketakutan. “Terima kasih,” bisik Ambar, suaranya seperti angin lembut yang menyentuh wajah Rina. “Kalian telah membebaskanku… dan yang lainnya.” Rina tersenyum, air mata mengalir di pipinya. “Kami senang bisa membantu, Ambar. Semoga kamu bisa beristirahat dengan tenang sekarang.” Ambar tersenyum lembut, dan perlahan-lahan, dia menghilang ke dalam cahaya portal itu. Saat dia pergi, portal itu menutup, dan ruangan itu menjadi lebih terang, seolah-olah semua kegelapan dan energi negatif telah tersedot keluar bersama dengan roh-roh yang terbebaskan. Nyai Murni berdiri dengan susah payah, dibantu oleh Rina dan Bu Marni. “Ini belum berakhir,” katanya dengan suara parau. “Kita mungkin telah membebaskan roh-roh itu, tapi kita belum tahu dampak dari apa yang kita lakukan. Dan bayangan besar itu… Aku takut dia belum sepenuhnya lenyap.” Bu Marni mengangguk. “Kita harus tetap waspada. Mungkin kita telah menenangkan rumah ini untuk sementara, tapi kita tidak tahu apa yang bisa terjadi di masa depan.” Rina merasa lega, tapi juga waspada. Mereka mungkin telah berhasil membebaskan Ambar dan roh-roh lainnya, tetapi bayangan besar itu, dengan mata merahnya yang penuh kebencian, masih menghantui pikirannya. “Kita harus kembali ke desa,” kata Nyai Murni. “Kita perlu berkumpul dan mempersiapkan langkah selanjutnya. Rumah ini mungkin telah tenang untuk sekarang, tapi aku merasa ini belum selesai.” Mereka bertiga berjalan keluar dari ruang bawah tanah itu, melewati lorong gelap yang sekarang terasa lebih ringan. Saat mereka melangkah keluar dari rumah tua itu ke udara malam yang segar, Rina merasa seperti telah melewati suatu ujian besar. Namun, dia juga tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada lebih banyak rahasia yang harus diungkap, lebih banyak kegelapan yang harus dihadapi. Dengan tekad baru dan hati yang lebih kuat, Rina, Bu Marni, dan Nyai Murni kembali ke desa, siap untuk menghadapi apa pun yang datang selanjutnya.Malam itu, Rina merasa lelah luar biasa setelah kembali dari rumah tua. Mereka telah melakukan lebih dari yang dia bayangkan. Nyai Murni menutup pintu rumahnya, menyuruh Rina dan Bu Marni untuk beristirahat. “Kalian berdua butuh tidur. Besok kita akan merencanakan langkah berikutnya. Aku akan menjaga rumah ini untuk sementara,” kata Nyai Murni dengan lembut. Rina mengangguk, matanya terasa berat. “Terima kasih, Nyai. Semoga kita tidak perlu menghadapi hal-hal menakutkan lagi.” Namun, Rina tahu bahwa kata-katanya itu mungkin lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Malam itu, Rina tidur di kamar tamu rumah Nyai Murni. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berkutat dengan kejadian-kejadian yang baru saja mereka lalui. Apakah bayangan besar itu benar-benar telah pergi? Apakah Ambar dan roh-roh lainnya kini benar-benar bebas? Sekitar tengah malam, Rina mulai terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sebuah energi gelap yang merayap di seluruh tub
Pagi itu, langit desa tampak suram, seolah-olah alam semesta merespons ketegangan yang mereka rasakan. Udara pagi yang dingin dan lembap menyelimuti desa kecil itu ketika Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni bersiap untuk pergi menemui dukun tua yang disebut Nyai Murni. Mereka tahu bahwa harapan mereka untuk menghadapi kekuatan gelap tergantung pada apa yang akan mereka temukan dari orang tua itu. Nyai Murni membawa mereka ke bagian paling terpencil dari desa, menuju rumah seorang dukun bernama Ki Wirya. Dia adalah orang yang hampir terlupakan di desa itu, seseorang yang jarang terlihat atau didengar kabarnya. Dulu, dia dikenal sebagai dukun dengan kemampuan luar biasa dalam hal ilmu gaib dan ilmu hitam. Namun, sejak istrinya meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu, Ki Wirya mengasingkan diri dan menutup diri dari dunia luar. “Ki Wirya adalah orang yang berbahaya,” bisik Nyai Murni saat mereka berjalan di jalan setapak yang sempit dan berlumut. “Tapi dia satu-satunya yang tahu
Hari-hari berikutnya setelah ritual penangkapan terasa lebih tenang di desa. Warga desa yang sebelumnya ketakutan mulai merasa sedikit lega. Rumah tua tempat kejadian mengerikan itu pun dibiarkan kosong, tidak ada yang berani mendekat lagi. Bagi mereka, hal itu cukup, asal kekuatan gelap itu tidak kembali. Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni merasa sedikit lega setelah keberhasilan mereka menangkap Asma Gendhis. Tapi ada sesuatu yang tetap mengganjal di hati Rina. Meskipun bayangan besar itu sudah tertangkap, rasa gelisah tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya. Ia masih teringat pada jeritan Ambar di dalam mimpinya, seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai. “Nyai, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Ambar,” kata Rina suatu pagi ketika mereka duduk bersama di beranda rumah Nyai Murni. “Aku merasa ada sesuatu yang belum kita lakukan. Seolah-olah roh Ambar masih belum tenang.” Nyai Murni mengangguk, tatapannya penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama, Rina. Meskip
Malam itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menandakan kegelapan yang menyelimuti desa. Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya bersiap-siap untuk kembali ke rumah tua yang pernah menjadi pusat dari semua kejadian mengerikan ini. Rina merasakan ketegangan di udara, campuran antara ketakutan dan keteguhan untuk menghadapi apa pun yang akan mereka temui. Ki Wirya membawa beberapa alat perlindungan dan jimat yang akan membantu mereka menghadapi kekuatan gelap yang masih bersembunyi di sana. “Ini adalah kesempatan terakhir kita,” katanya dengan nada serius. “Kita harus memastikan bahwa tidak ada kekuatan gelap yang tersisa setelah malam ini.” Rina menggenggam tas kecil berisi benda-benda suci dan garam, peralatan yang bisa digunakan untuk mematahkan kekuatan roh jahat. Nyai Murni membawa dupa dan minyak yang telah diberkati, sementara Bu Marni membawa kendi tanah liat yang diisi dengan air suci. “Siapkah kalian?” tanya Ki Wirya dengan tegas. Semua mengangguk. Mereka tahu b
Pagi hari setelah malam yang menegangkan itu datang dengan cerah. Matahari terbit memberikan sinar keemasan pada desa, menciptakan suasana yang damai dan menenangkan. Namun, bagi Rina dan teman-temannya, hari ini adalah waktu untuk refleksi dan penutupan dari pengalaman yang mengerikan. Rumah tua yang dulu menjadi tempat teror kini terlihat sepi dan sunyi. Setelah memastikan bahwa semua ancaman telah diatasi, mereka memutuskan untuk pergi ke desa dan mengabarkan berita baik kepada warga desa. Setibanya di desa, mereka disambut dengan penuh antusias oleh penduduk. Mereka telah mendengar dari mulut ke mulut tentang keberanian Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Warga desa berkumpul di alun-alun desa untuk mendengarkan cerita mereka. Rina berdiri di depan kerumunan, merasa campur aduk antara kelegaan dan kelelahan. “Kami ingin memberitahu kalian bahwa ancaman dari rumah tua itu telah berakhir. Kami telah menghancurkan sumber kekuatan gelap dan membebaskan roh Ambar.” Kabar itu
Kehidupan di desa yang damai tidak berlangsung lama tanpa gangguan. Meskipun Rina dan teman-temannya telah berhasil mengatasi ancaman dari rumah tua, mereka segera menyadari bahwa kegelapan yang tersisa mungkin belum sepenuhnya hilang. Seiring dengan berjalannya waktu, tanda-tanda aneh mulai muncul, mengindikasikan bahwa mungkin ada sesuatu yang belum sepenuhnya teratasi. Rina baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumahnya ketika dia merasakan perubahan aneh di udara. Mungkin itu hanya perasaannya, tapi dia merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. “Sesuatu tidak beres,” katanya kepada Nyai Murni saat mereka bertemu di pasar desa. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa akhir-akhir ini.” Nyai Murni menatap Rina dengan penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama. Ada beberapa warga yang mengeluhkan mimpi buruk dan kejadian aneh di rumah mereka. Mungkin ini terkait dengan kekuatan gelap yang kita hadapi sebelumnya.” Bu Marni bergabung dengan mereka
Malam itu, langit gelap pekat, tanpa sedikit pun bintang yang terlihat. Rina berdiri di depan rumah tua bersama Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Mereka tahu, setelah segala hal yang telah terjadi, malam ini adalah malam yang menentukan. Malam di mana mereka harus menghadapi kegelapan yang terus mengintai, meresahkan seluruh desa. “Kita harus cepat,” kata Ki Wirya sambil menyiapkan perlengkapan ritual. Matanya penuh dengan kewaspadaan, menyadari bahwa kekuatan jahat yang mereka hadapi jauh lebih besar daripada yang mereka duga sebelumnya. Nyai Murni menggenggam tangan Rina, menguatkan gadis itu yang kini wajahnya pucat. “Ritual ini berbahaya, Rina. Apa pun yang terjadi, jangan panik. Kita harus fokus.” Rina hanya mengangguk. Ketegangan menjalari seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang berbeda dari sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—namun terasa menakutkan dan memati
Rina dan yang lainnya tidak bisa menahan diri. Tubuh Ki Wirya yang tergeletak di lantai rumah tua itu harus segera dibawa keluar. Wajah Ki Wirya yang biasanya dipenuhi kebijaksanaan dan ketenangan kini terlihat pucat, dengan darah segar yang mengalir dari mulutnya, membuatnya tampak mengerikan. Nyai Murni memimpin mereka semua untuk mengangkat tubuh Ki Wirya, memerintah dengan cepat dan tegas meskipun rasa kehilangan melanda. “Bawa dia ke luar! Kita harus segera membawanya ke rumahnya!” Nyai Murni berteriak, suaranya gemetar namun tetap tegas. Rina dan Bu Marni membantu mengangkat tubuh tak bernyawa itu, sementara air mata mengalir di pipi mereka. Mereka berjalan keluar dari rumah tua itu dengan langkah terburu-buru, berusaha menjaga keseimbangan tubuh Ki Wirya yang tak lagi berdaya. Saat pintu terbuka, mereka disambut oleh kegelapan malam yang tak bersahabat. Udara dingin menyusup ke dalam tulang mereka, dan angin bertiup keras, seolah-olah menambah beban kesedihan yang mereka rasa
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal