Share

Bab 7: Petunjuk dari Masa Lalu

Rina dan Bu Marni kembali ke rumah Nyai Murni pagi itu dengan kepala penuh pertanyaan. Pikiran Rina terus berkutat pada sosok gadis dalam cermin yang terlihat ketakutan dan meminta bantuan. Siapa dia? Bagaimana dia bisa terjebak di sana? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di rumah tua itu yang menyebabkan begitu banyak roh terperangkap?

Nyai Murni menyambut mereka dengan wajah tenang, seolah-olah dia sudah tahu bahwa mereka akan datang dengan lebih banyak pertanyaan. “Masuklah, anak-anak,” katanya sambil menunjuk ke kursi kayu di ruang tamunya yang sederhana namun terasa hangat. "Aku tahu kalian pasti punya banyak hal yang ingin ditanyakan."

Rina duduk, masih memegang potongan cermin yang pecah di tangannya. "Nyai, tadi malam cermin ini menunjukkan bayangan seorang gadis. Dia meminta bantuan kami, mengatakan bahwa dia terperangkap. Siapa dia? Apakah dia salah satu korban dari ritual yang dilakukan oleh Tuan Wiratama?"

Nyai Murni mengangguk pelan. "Ya, sepertinya begitu. Ada banyak cerita yang beredar tentang keluarga Wiratama dan apa yang terjadi di rumah itu. Tetapi, yang paling kuat adalah tentang seorang gadis muda bernama Ambar."

“Ambar?” Bu Marni bertanya sambil mengerutkan kening. "Siapa dia?"

Nyai Murni menarik napas panjang. "Ambar adalah putri dari salah satu pekerja di rumah itu. Ayahnya bekerja sebagai tukang kebun, dan ibunya membantu di dapur. Ambar dikenal sebagai gadis yang ceria dan baik hati, selalu bermain di taman rumah Wiratama. Namun, suatu hari, dia menghilang tanpa jejak . Tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya, tetapi banyak yang percaya bahwa dia menjadi korban dari ritual gelap yang dilakukan oleh Tuan Wiratama."

Rina merasakan ada yang meremas hatinya mendengar cerita itu. "Jadi, dia mungkin masih terjebak di sana… sebagai roh."

Nyai Murni mengangguk. "Benar. Jika dia muncul di cermin penjaga itu, berarti rohnya terperangkap di antara dunia kita dan dunia mereka yang telah meninggal. Dia mungkin mencoba berkomunikasi untuk mencari bantuan."

Bu Marni menatap Nyai Murni dengan serius. “Nyai, apakah ada cara untuk memerdekakan Ambar dan roh-roh lain yang terperangkap di sana?”

Nyai Murni teringat sejenak, seolah-olah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ada satu cara, tapi sangat berbahaya. Kita harus melakukan ritual pemanggilan roh yang lebih kuat, yang bisa membuka gerbang antara dunia ini dan dunia roh. Tapi ingat, begitu gerbang itu terbuka, kita tidak tahu apa yang bisa keluar."

Rina merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Saya siap, Nyai. Jika ada cara untuk membantu mereka, saya ingin melakukannya.”

Nyai Murni mengangguk dengan serius. “Baiklah. Kita perlu beberapa persiapan sebelum melakukan ritual ini. Kita membutuhkan lebih banyak ramuan pemurnian, beberapa benda suci, dan yang paling penting, keberanian. Ini tidak akan mudah, dan kita harus siap menghadapi apa pun yang muncul.”

Rina dan Bu Marni menghabiskan beberapa jam berikutnya bersama Nyai Murni, mempersiapkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk ritual pemanggilan roh. Mereka mengumpulkan berbagai ramuan dari hutan sekitar desa, mencari benda-benda suci yang dapat digunakan sebagai perlindungan, dan mempelajari mantra-mantra kuno yang diajarkan oleh Nyai Murni.

Saat malam mulai menjelang, mereka merasa siap untuk kembali ke rumah tua itu. Namun, sebelum mereka berangkat, Nyai Murni memberikan satu pesan penting kepada mereka. “Ingatlah Nak, jangan biarkan rasa takut menguasai kalian. Jika kalian ragu, roh-roh itu akan merasakan kelemahan kalian dan bisa membalikkan serangan. Tetaplah fokus dan kuat.”

Rina mengangguk, merasa sedikit gugup tapi juga penuh tekad. “Terima kasih, Nyai. Kami akan berhati-hati.”

Dengan barang-barang yang mereka perlukan, mereka kembali berjalan menuju rumah tua itu. Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan ada perasaan berat yang menggantung di sekeliling mereka. Saat mereka tiba di depan rumah tua itu, mereka bisa merasakan energi yang lebih kuat dan lebih gelap dari sebelumnya.

Rina menyalakan senter dan menatap ke rumah tua itu. “Baiklah, Bu. Kita sudah sampai sejauh ini. Ayo kita lakukan ini.”

Bu Marni mengangguk dengan tegas. “Ya, kita harus melakukannya. Untuk Ambar, dan untuk semua roh yang terperangkap di sini.”

Mereka masuk ke dalam rumah itu, langsung menuju ruang bawah tanah. Kali ini, mereka merasa seolah-olah rumah itu sendiri hidup, mengawasi setiap langkah mereka. Suara-suara aneh terdengar dari dinding, seolah-olah ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.

Setibanya di ruang bawah tanah, Rina dan Bu Marni mulai menyiapkan lingkaran pemanggilan. Mereka menempatkan benda-benda suci di sekitar lingkaran, menyalakan dupa, dan menyebarkan ramuan pelindung di sekeliling mereka. Nyai Murni mulai membacakan mantra pemanggilan dengan suara rendah dan dalam, sementara Rina dan Bu Marni mengikutinya dengan hati-hati.

Asap mulai mengepul, membentuk lingkaran di udara. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan Rina bisa merasakan energi yang berputar-putar di sekitar mereka. Mantra itu terus berlanjut, semakin cepat dan semakin kuat, dan kemudian, tiba-tiba, ada ledakan cahaya yang terang.

Di tengah lingkaran, bayangan Ambar muncul. Wajahnya terlihat lebih jelas sekarang, penuh ketakutan tapi juga harapan. “Tolong… bantu aku,” dengan suara yang terdengar seperti bisikan yang katanya datang dari jauh.

Rina merasa ada dorongan kuat untuk melangkah ke arah bayangan itu, tetapi Nyai Murni segera menahannya. “Jangan! Kau tidak bisa menyentuhnya. Itu hanya pantulan rohnya, bukan dirinya yang sebenarnya.”

Ambar mulai berbicara lagi, matanya terlihat penuh air mata. “Mereka… mereka tidak membiarkanku pergi. Tolong bebaskan aku…”

Rina mencoba berkomunikasi dengannya. “Siapa mereka? Siapa yang menahanmu?”

Sebelum Ambar bisa menjawab, bayangan-bayangan lain mulai muncul di sekeliling mereka. Roh-roh yang terlihat marah, dengan mata merah menyala dan wajah yang terdistorsi oleh kebencian. Mereka bergerak menuju Rina dan Bu Marni, seolah-olah mencoba menghalangi mereka.

Nyai Murni berteriak, “Cepat, lanjutkan mantranya! Kita harus menyelesaikan ini!”

Rina dan Bu Marni melanjutkan mantranya, suara mereka semakin keras untuk melawan roh-roh yang marah. Lingkaran cahaya di sekitar mereka mulai bergetar, dan energi yang lebih kuat dan gelap mulai menekan dari seluruh sisi.

Tiba-tiba, suara ledakan keras terdengar, dan lantai di bawah mereka bergetar hebat. Sebuah pintu kecil yang tersembunyi di dinding ruang bawah tanah terbuka dengan keras, menampilkan tangga yang menurun ke sebuah ruang yang lebih dalam.

Ambar memandang ke arah pintu itu dengan penuh ketakutan. “Di sana… di sanalah mereka menahanku… tolong…”

Rina tahu bahwa mereka harus turun ke dalam ruangan itu untuk menyelesaikan ini. Dia menoleh ke Bu Marni dan Nyai Murni. “Kita harus pergi ke sana. Itu mungkin satu-satunya cara untuk memerdekakan mereka semua.”

Bu Marni mengangguk meskipun terlihat jelas ketakutan. “Baiklah, kita akan melakukannya bersama-sama.”

Nyai Murni tersenyum tipis, meskipun wajahnya tampak tegang. “Kalian berdua adalah gadis yang merencanakan. Ingat, tetap fokus dan jangan biarkan rasa takut menguasai kalian.”

Dengan hati-hati, mereka bertiga mulai menuruni tangga ke dalam kegelapan. Cahaya senter mereka hanya cukup untuk melihat beberapa langkah di depan, dan udara di bawah semakin dingin. Rina bisa merasakan getaran energi aneh di sekeliling mereka, seperti ada sesuatu yang menunggu mereka di bawah sana.

Ketika mereka mencapai dasar tangga, mereka menemukan diri mereka di sebuah ruangan kecil dengan dinding batu. Di tengah ruangan, ada sebuah altar tua yang dipenuhi lilin-lilin yang hampir habis terbakar. Di atas altar, terdapat sebuah buku besar yang tampak kuno dan terbuat dari kulit manusia.

Nyai Murni mendekati altar itu dengan hati-hati. “Ini dia… buku ritual Tuan Wiratama. Di dalam dia melakukan semua ritualnya yang gelap.”

Rina merasakan ketegangan di tulang punggungnya. “Apa yang harus kita lakukan, Nyai?”

Nyai Murni membuka buku itu dan mulai membaca dengan cepat. “Kita harus membatalkan ritual terakhirnya. Itu mungkin satu

Nyai Murni membuka buku itu dan mulai membacanya dengan cepat. “Kita harus membatalkan ritual terakhirnya. Itu mungkin satu-satunya cara untuk membebaskan Ambar dan roh-roh lainnya.” Suaranya bergetar, dan untuk pertama kalinya, Rina melihat kilatan ketakutan di mata perempuan tua itu.

Di ruangan yang gelap dan sempit itu, udara terasa berat, penuh dengan sesuatu yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. Suara gemerisik dan bisikan terdengar di sekeliling mereka, seolah-olah bayangan-bayangan di dinding tengah berbisik di telinga mereka. Rina bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, adrenalin bergejolak dalam tubuhnya.

"Bu, tolong awasi sekeliling," kata Rina dengan suara berbisik kepada Bu Marni yang berdiri di sebelahnya. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi saat Nyai membatalkan ritual ini."

Bu Marni mengangguk, tangannya gemetar sedikit saat dia menggenggam tas berisi benda-benda suci dan dupa. "Aku siap, Nak. Apa pun yang terjadi, kita harus tetap bersama."

Nyai Murni mulai mengucapkan mantra pembatalan, suaranya tegas meskipun sedikit terguncang. Kata-katanya dalam bahasa Jawa Kuno terdengar seperti melodi yang beresonansi dengan ruang yang gelap dan menakutkan. Saat dia melanjutkan mantranya, energi di ruangan itu mulai berubah, bergetar dengan frekuensi yang aneh dan menakutkan.

Tiba-tiba, ruangan itu bergetar hebat, seperti ada gempa bumi. Batu-batu kecil jatuh dari langit-langit, dan lilin-lilin di atas altar berkedip-kedip, hampir padam. Rina memegang tangannya ke lantai untuk menjaga keseimbangannya, matanya tetap tertuju pada Nyai Murni.

Kemudian, dari sudut ruangan, muncul bayangan hitam yang semakin besar. Bayangan itu bergerak dengan cepat, seperti asap yang berkumpul dan memadat menjadi satu sosok yang tinggi dan mengerikan. Sosok itu berbentuk kabur, dengan wajah yang tidak jelas, tapi matanya… matanya memancarkan cahaya merah menyala yang penuh dengan kebencian.

“Jangan berhenti, Nyai!” seru Rina, suaranya terdengar di antara gemuruh dan suara-suara roh yang marah. “Kita hampir sampai!”

Nyai Murni mengangguk dan melanjutkan mantranya dengan lebih keras. Bayangan itu mendekat, seolah-olah mencoba menghentikannya. Rina meraih dupa dan menyalakannya, melemparnya ke arah bayangan itu. Asap dupa menyebar di udara, menciptakan penghalang sementara yang membuat bayangan itu mundur sedikit.

“Ini hanya akan menahannya sebentar!” teriak Bu Marni, yang sekarang berdiri di samping Rina, juga menyalakan dupa lainnya.

Saat mantra Nyai Murni mencapai klimaks, suara di ruangan itu berubah menjadi jeritan yang memilukan, seolah-olah seluruh ruangan dipenuhi dengan roh-roh yang menjerit kesakitan. Bayangan besar itu tampak bergetar dan berguncang, mencoba melawan mantra yang semakin kuat.

Dan kemudian, dengan suara keras seperti ledakan petir, bayangan itu lenyap, seolah-olah tersedot ke dalam dirinya sendiri. Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening, kecuali suara napas terengah-engah mereka bertiga.

Nyai Murni menjatuhkan buku ritual itu dan berlutut, kelelahan. “Kita berhasil… kita membatalkan ritualnya.”

Rina bergegas ke sisi Nyai Murni dan membantunya berdiri. “Apakah Ambar sudah bebas? Apakah semua roh sudah terbebaskan?”

Namun, sebelum Nyai Murni bisa menjawab, sesuatu terjadi. Di tengah ruangan, sebuah portal kecil mulai terbuka. Cahaya lembut dan hangat keluar dari portal itu, dan dari dalamnya, Rina melihat sosok Ambar. Wajahnya terlihat damai sekarang, tidak lagi dipenuhi dengan ketakutan.

“Terima kasih,” bisik Ambar, suaranya seperti angin lembut yang menyentuh wajah Rina. “Kalian telah membebaskanku… dan yang lainnya.”

Rina tersenyum, air mata mengalir di pipinya. “Kami senang bisa membantu, Ambar. Semoga kamu bisa beristirahat dengan tenang sekarang.”

Ambar tersenyum lembut, dan perlahan-lahan, dia menghilang ke dalam cahaya portal itu. Saat dia pergi, portal itu menutup, dan ruangan itu menjadi lebih terang, seolah-olah semua kegelapan dan energi negatif telah tersedot keluar bersama dengan roh-roh yang terbebaskan.

Nyai Murni berdiri dengan susah payah, dibantu oleh Rina dan Bu Marni. “Ini belum berakhir,” katanya dengan suara parau. “Kita mungkin telah membebaskan roh-roh itu, tapi kita belum tahu dampak dari apa yang kita lakukan. Dan bayangan besar itu… Aku takut dia belum sepenuhnya lenyap.”

Bu Marni mengangguk. “Kita harus tetap waspada. Mungkin kita telah menenangkan rumah ini untuk sementara, tapi kita tidak tahu apa yang bisa terjadi di masa depan.”

Rina merasa lega, tapi juga waspada. Mereka mungkin telah berhasil membebaskan Ambar dan roh-roh lainnya, tetapi bayangan besar itu, dengan mata merahnya yang penuh kebencian, masih menghantui pikirannya.

“Kita harus kembali ke desa,” kata Nyai Murni. “Kita perlu berkumpul dan mempersiapkan langkah selanjutnya. Rumah ini mungkin telah tenang untuk sekarang, tapi aku merasa ini belum selesai.”

Mereka bertiga berjalan keluar dari ruang bawah tanah itu, melewati lorong gelap yang sekarang terasa lebih ringan. Saat mereka melangkah keluar dari rumah tua itu ke udara malam yang segar, Rina merasa seperti telah melewati suatu ujian besar. Namun, dia juga tahu bahwa perjalanan ini belum selesai. Ada lebih banyak rahasia yang harus diungkap, lebih banyak kegelapan yang harus dihadapi.

Dengan tekad baru dan hati yang lebih kuat, Rina, Bu Marni, dan Nyai Murni kembali ke desa, siap untuk menghadapi apa pun yang datang selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status