Share

Bab 6: Rahasia di Balik Dinding

Keesokan harinya, matahari terbit dengan perlahan di atas desa, membawa sinar yang seharusnya menghangatkan, namun tetap terasa dingin di hati Rina. Setelah kejadian di rumah tua malam sebelumnya, ia tak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bayangan yang mereka lihat di pintu ruang bawah tanah. Apakah itu roh yang masih terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih jahat?

Rina duduk di teras penginapan, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang mengarah ke rumah tua. Dia masih bisa merasakan energi aneh yang mengalir dari tempat itu, seolah-olah ada kekuatan yang mengawasi setiap gerakannya.

Bu Marni datang membawa secangkir teh hangat. "Minumlah, Nak. Kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu," katanya dengan lembut, meletakkan cangkir itu di depan Rina.

"Terima kasih, Bu," jawab Rina sambil mengambil cangkir dan menyeruput sedikit teh. "Saya masih memikirkan tentang apa yang kita lihat tadi malam. Saya merasa seperti ada sesuatu yang masih berusaha berkomunikasi dengan kita."

Bu Marni mengangguk pelan. "Mungkin itu benar. Tapi kita harus berhati-hati. Tidak semua roh yang mencoba berkomunikasi dengan kita berniat baik."

Rina mengangguk, tetapi matanya tetap fokus pada jalan setapak itu. “Saya merasa kita harus kembali ke sana, Bu. Saya merasa belum selesai. Ada sesuatu yang perlu kita ketahui.”

Bu Marni terdiam sejenak, jelas terlihat ragu. "Kau yakin, Rina? Apa yang kita lihat tadi malam... itu bisa sangat berbahaya."

Rina mengambil napas dalam-dalam. “Saya tahu, Bu. Tapi saya merasa bahwa ada sesuatu yang ingin memberitahu kita sesuatu. Saya tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikan saya. Jika ada cara untuk mengungkapkan kebenaran, saya ingin melakukannya.”

Bu Marni menatap Rina dengan tatapan penuh keprihatinan, lalu mengangguk. “Baiklah. Jika kau merasa itu yang harus dilakukan, aku akan mendukungmu. Tapi kali ini, kita harus lebih siap. Kita tidak tahu apa yang menunggu kita di sana.”

Rina merasa sedikit lega mendengar dukungan dari Bu Marni. “Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi saya merasa lebih baik jika ada Anda di sisi saya.”

Setelah sarapan singkat, Rina dan Bu Marni kembali mempersiapkan diri. Mereka membawa lebih banyak dupa dan ramuan pemurnian yang diberikan oleh Nyai Murni. Mereka juga memutuskan untuk membawa kamera perekam untuk mencoba menangkap bukti apapun yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Saat mereka siap berangkat, Nyai Murni tiba-tiba muncul di pintu penginapan. "Aku tahu kalian akan kembali," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Aku membawa sesuatu yang mungkin akan membantu kalian."

Rina dan Bu Marni saling bertukar pandang sebelum mendekati Nyai Murni. "Apa itu, Nyai?" tanya Rina.

Nyai Murni menyerahkan sebuah cermin kecil berbingkai kayu yang diukir dengan simbol-simbol aneh. "Ini adalah cermin penjaga. Dulu, Tuan Wiratama menggunakannya untuk berkomunikasi dengan roh-roh yang ingin dia panggil. Cermin ini bisa menangkap bayangan mereka. Mungkin bisa memberikan petunjuk tentang apa yang sebenarnya ada di rumah itu."

Rina menerima cermin itu dengan hati-hati. "Terima kasih, Nyai. Saya akan berhati-hati."

Nyai Murni tersenyum tipis. "Ingat, Nak, kebenaran tidak selalu mudah ditemukan. Kadang, apa yang kita lihat hanya permukaan dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap."

Dengan cermin penjaga di tangan dan tekad yang kuat, Rina dan Bu Marni sekali lagi berangkat menuju rumah tua itu. Saat mereka tiba, mereka bisa merasakan perubahan yang halus namun nyata. Udara terasa lebih tebal, hampir seperti bisa disentuh, dan ada keheningan aneh yang menggantung di sekitar mereka.

Mereka masuk dengan hati-hati, cahaya senter mereka menembus kegelapan yang pekat. Rina mengeluarkan cermin penjaga dan mengangkatnya di depan, mencoba menangkap bayangan apapun yang mungkin muncul. Ruang tamu kosong, tetapi terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Mereka berjalan menuju ruang bawah tanah lagi, dan kali ini, mereka merasakan ada sesuatu yang berbeda. Saat mereka menuruni tangga, Rina melihat sesuatu di dinding samping. Ada goresan-goresan samar, hampir tak terlihat dalam cahaya remang-remang. Dia mendekat dan menyentuh dinding itu, merasakan tekstur kasar dari kayu yang tergores.

“Ada sesuatu di sini,” kata Rina dengan suara rendah. “Sepertinya ini… sebuah pesan.”

Bu Marni mendekat, mencoba melihat lebih jelas. "Apa itu, Nak?"

Rina mengangkat senternya lebih tinggi, mencoba memeriksa lebih dekat. Goresan-goresan itu ternyata adalah tulisan dalam bahasa Jawa kuno. "Ini seperti… sebuah peringatan," gumam Rina.

Bu Marni mengerutkan kening. “Apa yang dikatakannya?”

Rina mencoba membaca dengan keras. “Jangan masuk. Jangan ganggu yang bersemayam. Mereka yang terperangkap tidak bisa diselamatkan…”

Suara Rina terhenti ketika dia mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Mereka berbalik dengan cepat, hanya untuk melihat bayangan yang bergerak cepat melewati mereka. Rina merasakan ketakutan mengalir melalui tubuhnya, tapi dia mencoba tetap fokus.

“Cepat, nyalakan dupa dan mulai mantranya lagi!” seru Bu Marni, dengan cepat mengeluarkan dupa dan menyalakannya.

Rina mengikuti instruksi Bu Marni, membakar dupa dan mulai mengucapkan mantra pemurnian. Asap mulai memenuhi ruangan lagi, tapi kali ini, suara di sekitar mereka terdengar lebih keras, lebih marah. Bayangan-bayangan mulai muncul di dinding, menari dengan cara yang menakutkan.

Kemudian, tiba-tiba, cermin di tangan Rina mulai bergetar. Cahaya aneh muncul di dalam cermin, membentuk bayangan wajah seorang gadis muda. Wajah itu tampak ketakutan, dan bibirnya bergerak seolah-olah berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar.

“Lihat, Bu Marni! Ada sesuatu di cermin ini!” seru Rina, memperlihatkan cermin itu kepada Bu Marni.

Bu Marni menatap cermin itu dengan ketakutan. “Siapa dia? Apa yang dia katakan?”

Rina mencoba membaca gerak bibir gadis itu. “Tolong… bantu aku… mereka… mereka tidak membiarkanku pergi…”

Rina merasa ada dorongan kuat untuk menolong gadis itu, meskipun dia tahu itu mungkin berbahaya. “Kita harus melakukan sesuatu, Bu. Dia terperangkap di sini, dan dia butuh bantuan kita!”

Namun, sebelum mereka bisa melakukan apa-apa, cermin itu tiba-tiba meledak, pecahan kaca kecil terlempar ke segala arah. Rina terjatuh ke belakang, sementara Bu Marni segera menariknya menjauh dari puing-puing itu.

“Apa yang terjadi?” teriak Rina, merasa kebingungan dan ketakutan.

Bu Marni menatap ke sekeliling dengan cemas. “Aku tidak tahu, tapi kita harus keluar dari sini sekarang! Ini semakin berbahaya!”

Mereka bergegas keluar dari ruang bawah tanah, mendengar suara gemuruh yang semakin keras di belakang mereka. Saat mereka mencapai lantai atas, pintu depan terbuka dengan keras, seolah-olah ditiup oleh angin yang kuat.

Mereka berlari keluar, tak berani melihat ke belakang. Saat mereka mencapai jalan, mereka berhenti, mencoba mengatur napas. Rumah tua itu kini terlihat lebih gelap dari sebelumnya, seolah-olah bayangan di dalamnya telah menguasai seluruh tempat.

Rina menatap Bu Marni dengan mata lebar. “Bu, saya pikir ini baru permulaan. Ada sesuatu yang lebih besar dan lebih jahat di dalam sana. Kita harus mencari tahu lebih banyak, mungkin kembali ke Nyai Murni atau mencari catatan lama tentang keluarga Wiratama.”

Bu Marni mengangguk dengan tegas. “Kau benar, Rina. Ini belum berakhir. Kita harus bersiap lebih baik lagi untuk menghadapi apa pun yang ada di dalam sana.”

Dengan tekad yang lebih kuat dan perasaan ingin tahu yang semakin besar, mereka berdua kembali ke desa, siap untuk mencari jawaban lebih lanjut dan menghadapi kegelapan yang mengintai di balik dinding rumah tua itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status