Share

Bab 5: Ritual di Tengah Kegelapan

Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Angin berdesir dingin, membawa bau lembab dari pepohonan yang mengelilingi rumah tua di sudut jalan. Rina dan Bu Marni berdiri di depan rumah itu, merasakan getaran aneh di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat, seolah-olah tempat itu sendiri menolak kehadiran mereka.

“Apakah kau yakin ingin melakukannya, Nak?” tanya Bu Marni, suaranya bergetar ringan meskipun dia mencoba tetap tenang.

Rina mengangguk, matanya menatap tajam ke rumah yang menjulang di depannya. “Ya, Bu. Saya harus tahu apa yang terjadi di sini. Jika ada cara untuk membantu roh-roh yang terperangkap, kita harus mencobanya.”

Mereka melangkah masuk, menyalakan senter mereka untuk menerangi kegelapan di dalam rumah. Cahaya senter mereka menari-nari di dinding kayu yang tua dan retak, menciptakan bayangan yang tampak hidup dan bergerak. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, hampir membekukan, dan Rina bisa merasakan energi aneh yang mengalir melalui dirinya.

Mereka segera menuju ruang bawah tanah, tempat di mana lingkaran simbol aneh itu ditemukan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah rumah itu sendiri berusaha menahan mereka agar tidak masuk lebih dalam. Rina bisa merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, tapi dia mencoba untuk tetap tenang.

Setibanya di ruang bawah tanah, mereka meletakkan kantong ramuan di tengah ruangan. Rina membuka kantong itu perlahan, menyebarkan ramuan pemurnian seperti yang diajarkan oleh Nyai Murni. Aroma tajam ramuan itu memenuhi udara, membuat suasana menjadi lebih tegang.

Bu Marni berdiri di samping Rina, memegang dupa yang sudah disiapkan. “Kau ingat mantra yang diajarkan Nyai Murni, Nak?” tanyanya dengan suara berbisik.

Rina mengangguk. “Ya, Bu. Saya ingat.” Dengan tangan yang gemetar, dia menyalakan dupa dan menempatkannya di tengah lingkaran ramuan. Asap putih mulai mengepul, membentuk lingkaran di udara yang semakin lama semakin tebal.

Rina menarik napas dalam-dalam dan mulai mengucapkan mantra pemurnian dengan suara pelan tapi jelas, seperti yang diajarkan Nyai Murni. Kata-kata itu mengalir dari bibirnya dengan ritme yang aneh, hampir seperti nyanyian kuno. Ruangan itu seolah-olah merespon, udara semakin berat dan dingin, dan Rina bisa merasakan energi yang berputar di sekeliling mereka.

Tiba-tiba, suara aneh terdengar dari sudut ruangan. Seperti suara bisikan, atau mungkin tawa anak kecil. Rina menghentikan mantranya sejenak, menoleh ke arah suara itu. Bu Marni menggenggam tangannya dengan kuat, mencoba memberikan ketenangan. “Teruskan, Nak. Jangan berhenti,” katanya dengan nada tegas.

Rina mengangguk dan melanjutkan mantra. Suara-suara itu semakin keras, menjadi jeritan dan tangisan yang menyayat hati. Dinding-dinding ruang bawah tanah seolah-olah bergetar, dan bayangan-bayangan di sekeliling mereka tampak hidup, bergerak dengan cara yang menakutkan.

Tiba-tiba, lampu senter mereka padam, membuat ruangan itu benar-benar gelap. Rina bisa merasakan ketakutan mulai menguasai dirinya, tapi dia berusaha keras untuk tetap fokus. “Demi roh-roh yang terperangkap, kami meminta kalian pergi dengan damai!” teriak Rina, mencoba membuat suaranya lebih kuat dari kebisingan di sekeliling mereka.

Jeritan dan tangisan itu berhenti seketika, dan keheningan yang menakutkan menyelimuti ruangan. Kemudian, satu per satu, bayangan di dinding mulai memudar, seolah-olah mereka tersedot oleh kekuatan yang tak terlihat. Asap dupa menjadi lebih tebal, kemudian menghilang secara tiba-tiba, meninggalkan ruangan yang sepi.

Rina dan Bu Marni berdiri di sana, terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Napas mereka terasa berat, tapi ada perasaan lega yang mulai muncul. “Apa itu berhasil?” tanya Bu Marni dengan suara berbisik, matanya masih menatap kosong ke sekeliling.

Rina mengangguk pelan. “Saya… saya rasa begitu, Bu. Saya tidak tahu pasti, tapi rasanya energi di sini lebih tenang sekarang.”

Mereka berdua saling memandang, dan tanpa disadari, mereka mulai tersenyum. Meskipun mereka masih merasa ketakutan, ada perasaan bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang benar, sesuatu yang penting.

Namun, sebelum mereka sempat merayakan keberhasilan kecil mereka, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat mereka tersentak. Suara ketukan keras bergema dari arah pintu, seolah-olah seseorang atau sesuatu mencoba masuk.

Rina merasakan jantungnya berdetak lebih kencang lagi. “Siapa di sana?!” teriaknya, mencoba untuk tetap berani.

Tidak ada jawaban. Ketukan itu berhenti, digantikan oleh suara langkah kaki yang berat di atas mereka. Suara itu bergerak dengan perlahan, tapi pasti, seolah-olah sedang mencari sesuatu.

Bu Marni menarik napas dalam-dalam dan berbisik, “Kita harus keluar dari sini, Nak. Sekarang juga.”

Rina mengangguk setuju, dan mereka berdua bergerak menuju tangga. Saat mereka mulai menaiki tangga, suara langkah kaki di atas semakin keras, mendekat ke arah pintu ruang bawah tanah. Rina merasakan kepanikan mulai muncul, tapi dia berusaha tetap tenang.

Ketika mereka mencapai pintu, Rina meraih pegangan pintu dengan tangan gemetar dan membukanya perlahan. Di seberang pintu, di tengah kegelapan, mereka bisa melihat bayangan tinggi berdiri. Bayangan itu tampak seperti sosok manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Wajahnya gelap dan tidak berbentuk, dan matanya tampak seperti dua lubang hitam yang dalam.

Rina merasa tubuhnya membeku seketika. Dia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak. Bayangan itu hanya berdiri di sana, menatap mereka dengan mata kosong yang penuh kebencian. Bu Marni memegang tangan Rina lebih kuat, mencoba menariknya keluar dari rumah.

“Kita harus pergi, Rina! Sekarang!” teriak Bu Marni, suaranya penuh ketakutan.

Rina tersadar dan mengikuti Bu Marni, berlari keluar dari rumah tua itu. Mereka berlari sejauh mungkin dari rumah itu, tidak berani melihat ke belakang. Saat mereka sampai di jalan utama desa, mereka berhenti dan terengah-engah, mencoba mengatur napas mereka yang terengah-engah.

Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat, masih terkejut dengan apa yang baru saja mereka alami. Rina merasa lututnya lemas, hampir jatuh ke tanah. Bu Marni merangkulnya, memberikan dukungan. “Kau baik-baik saja, Nak?” tanyanya dengan suara gemetar.

Rina mengangguk, meski masih gemetar. “Saya… saya tidak tahu, Bu. Apa yang kita lihat tadi… apa itu?”

Bu Marni menggelengkan kepala, matanya masih penuh ketakutan. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi yang pasti, rumah itu masih menyimpan rahasia yang belum terungkap.”

Rina memandang kembali ke arah rumah tua di kejauhan. Meskipun mereka berhasil melakukan ritual pemurnian, dia tahu bahwa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang lebih gelap dan lebih kuat yang masih bersembunyi di dalam sana. Dan dia merasa, entah bagaimana, bahwa ini baru permulaan dari misteri yang jauh lebih besar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status