Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Angin berdesir dingin, membawa bau lembab dari pepohonan yang mengelilingi rumah tua di sudut jalan. Rina dan Bu Marni berdiri di depan rumah itu, merasakan getaran aneh di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat, seolah-olah tempat itu sendiri menolak kehadiran mereka.
“Apakah kau yakin ingin melakukannya, Nak?” tanya Bu Marni, suaranya bergetar ringan meskipun dia mencoba tetap tenang. Rina mengangguk, matanya menatap tajam ke rumah yang menjulang di depannya. “Ya, Bu. Saya harus tahu apa yang terjadi di sini. Jika ada cara untuk membantu roh-roh yang terperangkap, kita harus mencobanya.” Mereka melangkah masuk, menyalakan senter mereka untuk menerangi kegelapan di dalam rumah. Cahaya senter mereka menari-nari di dinding kayu yang tua dan retak, menciptakan bayangan yang tampak hidup dan bergerak. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, hampir membekukan, dan Rina bisa merasakan energi aneh yang mengalir melalui dirinya. Mereka segera menuju ruang bawah tanah, tempat di mana lingkaran simbol aneh itu ditemukan. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah rumah itu sendiri berusaha menahan mereka agar tidak masuk lebih dalam. Rina bisa merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, tapi dia mencoba untuk tetap tenang. Setibanya di ruang bawah tanah, mereka meletakkan kantong ramuan di tengah ruangan. Rina membuka kantong itu perlahan, menyebarkan ramuan pemurnian seperti yang diajarkan oleh Nyai Murni. Aroma tajam ramuan itu memenuhi udara, membuat suasana menjadi lebih tegang. Bu Marni berdiri di samping Rina, memegang dupa yang sudah disiapkan. “Kau ingat mantra yang diajarkan Nyai Murni, Nak?” tanyanya dengan suara berbisik. Rina mengangguk. “Ya, Bu. Saya ingat.” Dengan tangan yang gemetar, dia menyalakan dupa dan menempatkannya di tengah lingkaran ramuan. Asap putih mulai mengepul, membentuk lingkaran di udara yang semakin lama semakin tebal. Rina menarik napas dalam-dalam dan mulai mengucapkan mantra pemurnian dengan suara pelan tapi jelas, seperti yang diajarkan Nyai Murni. Kata-kata itu mengalir dari bibirnya dengan ritme yang aneh, hampir seperti nyanyian kuno. Ruangan itu seolah-olah merespon, udara semakin berat dan dingin, dan Rina bisa merasakan energi yang berputar di sekeliling mereka. Tiba-tiba, suara aneh terdengar dari sudut ruangan. Seperti suara bisikan, atau mungkin tawa anak kecil. Rina menghentikan mantranya sejenak, menoleh ke arah suara itu. Bu Marni menggenggam tangannya dengan kuat, mencoba memberikan ketenangan. “Teruskan, Nak. Jangan berhenti,” katanya dengan nada tegas. Rina mengangguk dan melanjutkan mantra. Suara-suara itu semakin keras, menjadi jeritan dan tangisan yang menyayat hati. Dinding-dinding ruang bawah tanah seolah-olah bergetar, dan bayangan-bayangan di sekeliling mereka tampak hidup, bergerak dengan cara yang menakutkan. Tiba-tiba, lampu senter mereka padam, membuat ruangan itu benar-benar gelap. Rina bisa merasakan ketakutan mulai menguasai dirinya, tapi dia berusaha keras untuk tetap fokus. “Demi roh-roh yang terperangkap, kami meminta kalian pergi dengan damai!” teriak Rina, mencoba membuat suaranya lebih kuat dari kebisingan di sekeliling mereka. Jeritan dan tangisan itu berhenti seketika, dan keheningan yang menakutkan menyelimuti ruangan. Kemudian, satu per satu, bayangan di dinding mulai memudar, seolah-olah mereka tersedot oleh kekuatan yang tak terlihat. Asap dupa menjadi lebih tebal, kemudian menghilang secara tiba-tiba, meninggalkan ruangan yang sepi. Rina dan Bu Marni berdiri di sana, terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Napas mereka terasa berat, tapi ada perasaan lega yang mulai muncul. “Apa itu berhasil?” tanya Bu Marni dengan suara berbisik, matanya masih menatap kosong ke sekeliling. Rina mengangguk pelan. “Saya… saya rasa begitu, Bu. Saya tidak tahu pasti, tapi rasanya energi di sini lebih tenang sekarang.” Mereka berdua saling memandang, dan tanpa disadari, mereka mulai tersenyum. Meskipun mereka masih merasa ketakutan, ada perasaan bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang benar, sesuatu yang penting. Namun, sebelum mereka sempat merayakan keberhasilan kecil mereka, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba tertutup dengan keras, membuat mereka tersentak. Suara ketukan keras bergema dari arah pintu, seolah-olah seseorang atau sesuatu mencoba masuk. Rina merasakan jantungnya berdetak lebih kencang lagi. “Siapa di sana?!” teriaknya, mencoba untuk tetap berani. Tidak ada jawaban. Ketukan itu berhenti, digantikan oleh suara langkah kaki yang berat di atas mereka. Suara itu bergerak dengan perlahan, tapi pasti, seolah-olah sedang mencari sesuatu. Bu Marni menarik napas dalam-dalam dan berbisik, “Kita harus keluar dari sini, Nak. Sekarang juga.” Rina mengangguk setuju, dan mereka berdua bergerak menuju tangga. Saat mereka mulai menaiki tangga, suara langkah kaki di atas semakin keras, mendekat ke arah pintu ruang bawah tanah. Rina merasakan kepanikan mulai muncul, tapi dia berusaha tetap tenang. Ketika mereka mencapai pintu, Rina meraih pegangan pintu dengan tangan gemetar dan membukanya perlahan. Di seberang pintu, di tengah kegelapan, mereka bisa melihat bayangan tinggi berdiri. Bayangan itu tampak seperti sosok manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Wajahnya gelap dan tidak berbentuk, dan matanya tampak seperti dua lubang hitam yang dalam. Rina merasa tubuhnya membeku seketika. Dia tidak bisa bergerak, tidak bisa berteriak. Bayangan itu hanya berdiri di sana, menatap mereka dengan mata kosong yang penuh kebencian. Bu Marni memegang tangan Rina lebih kuat, mencoba menariknya keluar dari rumah. “Kita harus pergi, Rina! Sekarang!” teriak Bu Marni, suaranya penuh ketakutan. Rina tersadar dan mengikuti Bu Marni, berlari keluar dari rumah tua itu. Mereka berlari sejauh mungkin dari rumah itu, tidak berani melihat ke belakang. Saat mereka sampai di jalan utama desa, mereka berhenti dan terengah-engah, mencoba mengatur napas mereka yang terengah-engah. Mereka berdiri di sana untuk beberapa saat, masih terkejut dengan apa yang baru saja mereka alami. Rina merasa lututnya lemas, hampir jatuh ke tanah. Bu Marni merangkulnya, memberikan dukungan. “Kau baik-baik saja, Nak?” tanyanya dengan suara gemetar. Rina mengangguk, meski masih gemetar. “Saya… saya tidak tahu, Bu. Apa yang kita lihat tadi… apa itu?” Bu Marni menggelengkan kepala, matanya masih penuh ketakutan. “Aku tidak tahu, Nak. Tapi yang pasti, rumah itu masih menyimpan rahasia yang belum terungkap.” Rina memandang kembali ke arah rumah tua di kejauhan. Meskipun mereka berhasil melakukan ritual pemurnian, dia tahu bahwa ini belum berakhir. Ada sesuatu yang lebih gelap dan lebih kuat yang masih bersembunyi di dalam sana. Dan dia merasa, entah bagaimana, bahwa ini baru permulaan dari misteri yang jauh lebih besar.Keesokan harinya, matahari terbit dengan perlahan di atas desa, membawa sinar yang seharusnya menghangatkan, namun tetap terasa dingin di hati Rina. Setelah kejadian di rumah tua malam sebelumnya, ia tak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bayangan yang mereka lihat di pintu ruang bawah tanah. Apakah itu roh yang masih terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih jahat? Rina duduk di teras penginapan, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang mengarah ke rumah tua. Dia masih bisa merasakan energi aneh yang mengalir dari tempat itu, seolah-olah ada kekuatan yang mengawasi setiap gerakannya. Bu Marni datang membawa secangkir teh hangat. "Minumlah, Nak. Kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu," katanya dengan lembut, meletakkan cangkir itu di depan Rina. "Terima kasih, Bu," jawab Rina sambil mengambil cangkir dan menyeruput sedikit teh. "Saya masih memikirkan tentang apa yang kita lihat tadi malam. Saya merasa seperti ada sesuatu yang masih berus
Rina dan Bu Marni kembali ke rumah Nyai Murni pagi itu dengan kepala penuh pertanyaan. Pikiran Rina terus berkutat pada sosok gadis dalam cermin yang terlihat ketakutan dan meminta bantuan. Siapa dia? Bagaimana dia bisa terjebak di sana? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di rumah tua itu yang menyebabkan begitu banyak roh terperangkap? Nyai Murni menyambut mereka dengan wajah tenang, seolah-olah dia sudah tahu bahwa mereka akan datang dengan lebih banyak pertanyaan. “Masuklah, anak-anak,” katanya sambil menunjuk ke kursi kayu di ruang tamunya yang sederhana namun terasa hangat. "Aku tahu kalian pasti punya banyak hal yang ingin ditanyakan." Rina duduk, masih memegang potongan cermin yang pecah di tangannya. "Nyai, tadi malam cermin ini menunjukkan bayangan seorang gadis. Dia meminta bantuan kami, mengatakan bahwa dia terperangkap. Siapa dia? Apakah dia salah satu korban dari ritual yang dilakukan oleh Tuan Wiratama?" Nyai Murni mengangguk pelan. "Ya, sepertinya
Malam itu, Rina merasa lelah luar biasa setelah kembali dari rumah tua. Mereka telah melakukan lebih dari yang dia bayangkan. Nyai Murni menutup pintu rumahnya, menyuruh Rina dan Bu Marni untuk beristirahat. “Kalian berdua butuh tidur. Besok kita akan merencanakan langkah berikutnya. Aku akan menjaga rumah ini untuk sementara,” kata Nyai Murni dengan lembut. Rina mengangguk, matanya terasa berat. “Terima kasih, Nyai. Semoga kita tidak perlu menghadapi hal-hal menakutkan lagi.” Namun, Rina tahu bahwa kata-katanya itu mungkin lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Malam itu, Rina tidur di kamar tamu rumah Nyai Murni. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berkutat dengan kejadian-kejadian yang baru saja mereka lalui. Apakah bayangan besar itu benar-benar telah pergi? Apakah Ambar dan roh-roh lainnya kini benar-benar bebas? Sekitar tengah malam, Rina mulai terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sebuah energi gelap yang merayap di seluruh tub
Pagi itu, langit desa tampak suram, seolah-olah alam semesta merespons ketegangan yang mereka rasakan. Udara pagi yang dingin dan lembap menyelimuti desa kecil itu ketika Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni bersiap untuk pergi menemui dukun tua yang disebut Nyai Murni. Mereka tahu bahwa harapan mereka untuk menghadapi kekuatan gelap tergantung pada apa yang akan mereka temukan dari orang tua itu. Nyai Murni membawa mereka ke bagian paling terpencil dari desa, menuju rumah seorang dukun bernama Ki Wirya. Dia adalah orang yang hampir terlupakan di desa itu, seseorang yang jarang terlihat atau didengar kabarnya. Dulu, dia dikenal sebagai dukun dengan kemampuan luar biasa dalam hal ilmu gaib dan ilmu hitam. Namun, sejak istrinya meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu, Ki Wirya mengasingkan diri dan menutup diri dari dunia luar. “Ki Wirya adalah orang yang berbahaya,” bisik Nyai Murni saat mereka berjalan di jalan setapak yang sempit dan berlumut. “Tapi dia satu-satunya yang tahu
Hari-hari berikutnya setelah ritual penangkapan terasa lebih tenang di desa. Warga desa yang sebelumnya ketakutan mulai merasa sedikit lega. Rumah tua tempat kejadian mengerikan itu pun dibiarkan kosong, tidak ada yang berani mendekat lagi. Bagi mereka, hal itu cukup, asal kekuatan gelap itu tidak kembali. Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni merasa sedikit lega setelah keberhasilan mereka menangkap Asma Gendhis. Tapi ada sesuatu yang tetap mengganjal di hati Rina. Meskipun bayangan besar itu sudah tertangkap, rasa gelisah tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya. Ia masih teringat pada jeritan Ambar di dalam mimpinya, seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai. “Nyai, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Ambar,” kata Rina suatu pagi ketika mereka duduk bersama di beranda rumah Nyai Murni. “Aku merasa ada sesuatu yang belum kita lakukan. Seolah-olah roh Ambar masih belum tenang.” Nyai Murni mengangguk, tatapannya penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama, Rina. Meskip
Malam itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya, menandakan kegelapan yang menyelimuti desa. Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya bersiap-siap untuk kembali ke rumah tua yang pernah menjadi pusat dari semua kejadian mengerikan ini. Rina merasakan ketegangan di udara, campuran antara ketakutan dan keteguhan untuk menghadapi apa pun yang akan mereka temui. Ki Wirya membawa beberapa alat perlindungan dan jimat yang akan membantu mereka menghadapi kekuatan gelap yang masih bersembunyi di sana. “Ini adalah kesempatan terakhir kita,” katanya dengan nada serius. “Kita harus memastikan bahwa tidak ada kekuatan gelap yang tersisa setelah malam ini.” Rina menggenggam tas kecil berisi benda-benda suci dan garam, peralatan yang bisa digunakan untuk mematahkan kekuatan roh jahat. Nyai Murni membawa dupa dan minyak yang telah diberkati, sementara Bu Marni membawa kendi tanah liat yang diisi dengan air suci. “Siapkah kalian?” tanya Ki Wirya dengan tegas. Semua mengangguk. Mereka tahu b
Pagi hari setelah malam yang menegangkan itu datang dengan cerah. Matahari terbit memberikan sinar keemasan pada desa, menciptakan suasana yang damai dan menenangkan. Namun, bagi Rina dan teman-temannya, hari ini adalah waktu untuk refleksi dan penutupan dari pengalaman yang mengerikan. Rumah tua yang dulu menjadi tempat teror kini terlihat sepi dan sunyi. Setelah memastikan bahwa semua ancaman telah diatasi, mereka memutuskan untuk pergi ke desa dan mengabarkan berita baik kepada warga desa. Setibanya di desa, mereka disambut dengan penuh antusias oleh penduduk. Mereka telah mendengar dari mulut ke mulut tentang keberanian Rina, Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Warga desa berkumpul di alun-alun desa untuk mendengarkan cerita mereka. Rina berdiri di depan kerumunan, merasa campur aduk antara kelegaan dan kelelahan. “Kami ingin memberitahu kalian bahwa ancaman dari rumah tua itu telah berakhir. Kami telah menghancurkan sumber kekuatan gelap dan membebaskan roh Ambar.” Kabar itu
Kehidupan di desa yang damai tidak berlangsung lama tanpa gangguan. Meskipun Rina dan teman-temannya telah berhasil mengatasi ancaman dari rumah tua, mereka segera menyadari bahwa kegelapan yang tersisa mungkin belum sepenuhnya hilang. Seiring dengan berjalannya waktu, tanda-tanda aneh mulai muncul, mengindikasikan bahwa mungkin ada sesuatu yang belum sepenuhnya teratasi. Rina baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan di rumahnya ketika dia merasakan perubahan aneh di udara. Mungkin itu hanya perasaannya, tapi dia merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. “Sesuatu tidak beres,” katanya kepada Nyai Murni saat mereka bertemu di pasar desa. “Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa akhir-akhir ini.” Nyai Murni menatap Rina dengan penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama. Ada beberapa warga yang mengeluhkan mimpi buruk dan kejadian aneh di rumah mereka. Mungkin ini terkait dengan kekuatan gelap yang kita hadapi sebelumnya.” Bu Marni bergabung dengan mereka
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal