Malam itu, langit gelap pekat, tanpa sedikit pun bintang yang terlihat. Rina berdiri di depan rumah tua bersama Nyai Murni, Bu Marni, dan Ki Wirya. Mereka tahu, setelah segala hal yang telah terjadi, malam ini adalah malam yang menentukan. Malam di mana mereka harus menghadapi kegelapan yang terus mengintai, meresahkan seluruh desa. “Kita harus cepat,” kata Ki Wirya sambil menyiapkan perlengkapan ritual. Matanya penuh dengan kewaspadaan, menyadari bahwa kekuatan jahat yang mereka hadapi jauh lebih besar daripada yang mereka duga sebelumnya. Nyai Murni menggenggam tangan Rina, menguatkan gadis itu yang kini wajahnya pucat. “Ritual ini berbahaya, Rina. Apa pun yang terjadi, jangan panik. Kita harus fokus.” Rina hanya mengangguk. Ketegangan menjalari seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang berbeda dari sebelumnya. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan—namun terasa menakutkan dan memati
Rina dan yang lainnya tidak bisa menahan diri. Tubuh Ki Wirya yang tergeletak di lantai rumah tua itu harus segera dibawa keluar. Wajah Ki Wirya yang biasanya dipenuhi kebijaksanaan dan ketenangan kini terlihat pucat, dengan darah segar yang mengalir dari mulutnya, membuatnya tampak mengerikan. Nyai Murni memimpin mereka semua untuk mengangkat tubuh Ki Wirya, memerintah dengan cepat dan tegas meskipun rasa kehilangan melanda. “Bawa dia ke luar! Kita harus segera membawanya ke rumahnya!” Nyai Murni berteriak, suaranya gemetar namun tetap tegas. Rina dan Bu Marni membantu mengangkat tubuh tak bernyawa itu, sementara air mata mengalir di pipi mereka. Mereka berjalan keluar dari rumah tua itu dengan langkah terburu-buru, berusaha menjaga keseimbangan tubuh Ki Wirya yang tak lagi berdaya. Saat pintu terbuka, mereka disambut oleh kegelapan malam yang tak bersahabat. Udara dingin menyusup ke dalam tulang mereka, dan angin bertiup keras, seolah-olah menambah beban kesedihan yang mereka rasa
Nyai Murni, Rina, dan Bu Marni berdiri dalam kegelapan yang mencekam di ruang tamu rumah Ki Wirya. Tubuh Ki Wirya yang tergeletak di lantai tampak hidup kembali dengan gerakan menakutkan, dan aura jahat mengelilinginya. Suasana di dalam rumah menjadi semakin tegang, dengan setiap napas yang terasa berat dan setiap gerakan yang disertai dengan ketidakpastian. Rina memandang dengan mata terbuka lebar, merasakan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Lampu-lampu di rumah berkelip-kelip, menambah suasana yang sudah mencekam. Ki Wirya yang seharusnya sudah tiada, kini berdiri dengan mata putih kosong dan tangan terulur. Suara entitas jahat yang menguasai tubuhnya menggema, menyatakan ancaman yang membuat hati mereka berdegup kencang. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Tiba-tiba, tubuh Ki Wirya terjatuh kembali ke lantai, dan gerakan menakutkan yang sebelumnya menghantui mereka berhenti. Tubuhnya tampak kembali kaku dan tidak bergerak. Aura jahat yang mengelilinginya perlahan-lah
Rani duduk di tepi tempat tidurnya, memandang kosong ke luar jendela. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban. Setelah kejadian mengerikan di rumah tua itu, rasa penasaran dan kecemasan semakin membelenggu dirinya. Kematian Ki Wirya, yang dibarengi dengan munculnya kekuatan gelap yang begitu dahsyat, membuat Rani terjebak dalam kebingungan yang mendalam. Apa sebenarnya yang terjadi di rumah itu? Dari mana datangnya kekuatan gelap tersebut? Mengapa dampaknya bisa sampai mempengaruhi desa dan bahkan merenggut nyawa Ki Wirya? Rani memejamkan mata sejenak, mencoba merangkai kejadian demi kejadian yang ia alami. Ia mengingat dengan jelas bagaimana tubuh Ki Wirya yang tak bernyawa tiba-tiba bergerak dengan mata melotot dan berbicara dengan suara mengerikan. Meskipun semua tampak kembali tenang setelah mayat Ki Wirya jatuh dan diam, ia merasa bahwa masalah ini belum selesai. Bahkan Nyai Murni, yang dianggap sebagai orang paling spiritual di desa, tampak terke
Pagi itu, meski matahari sudah tinggi, desa masih dibungkus suasana mencekam yang terasa menyesakkan. Sisa-sisa malam sebelumnya masih membekas di hati para warga, yang mengalami gangguan dari arwah-arwah yang seharusnya sudah beristirahat. Banyak dari mereka tak mampu tidur semalaman, terutama Rani, Bu Marni, dan Nyai Murni yang masih dihantui oleh bayangan dan sosok-sosok yang muncul di malam sebelumnya. Rani, dengan wajah lelah dan kantung mata yang menghitam, duduk di ruang tamu rumah Nyai Murni bersama Bu Marni dan beberapa warga yang juga datang untuk mencari jawaban. Suasana di dalam rumah sunyi, hanya terdengar suara derak kayu tua yang bergesekan ketika angin menerpa dinding rumah. Tidak ada yang tahu apa yang harus dilakukan. Semua duduk dalam kebingungan dan kecemasan. Nyai Murni, yang biasanya tampak tegar dan tenang, kali ini terlihat lebih rapuh. Rambutnya yang sudah memutih tersisir rapi, tetapi matanya yang lelah memancarkan rasa putus asa. Dia merasa tidak berdaya m
Malam tiba dengan cepat, menyelimuti desa dalam kegelapan pekat yang tampak lebih tebal dari biasanya. Warga yang terlibat dalam ritual berkumpul di rumah Nyai Murni, membawa perasaan waswas dan takut yang tak dapat mereka sembunyikan. Tak ada yang berbicara, kecuali bisikan-bisikan lirih yang memenuhi udara dingin malam itu. Di halaman rumah Nyai Murni, sebuah lingkaran kecil telah dibentuk dengan lilin-lilin yang menyala lemah, seakan merespon dengan getar suasana yang semakin mencekam. Rani, Bu Marni, dan beberapa warga lainnya berdiri di tepi lingkaran, menunggu Nyai Murni memulai ritual. Nyai Murni sendiri berdiri di tengah lingkaran, memegang beberapa bunga dan kemenyan yang siap dibakar untuk memanggil roh anak kecil tersebut. Wajah Nyai Murni tampak tegang, namun penuh keyakinan. Dia tahu risiko yang akan dihadapi, tapi ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban. “Semua sudah siap?” tanya Nyai Murni dengan suara tegas, memecah keheningan yang berat. Warga yang h
Pagi itu, desa terpencil yang sebelumnya tenang berubah menjadi ladang ketakutan dan kecemasan. Kematian Bu Sari yang mengerikan mengguncang setiap warga. Mereka berkumpul di rumah Bu Sari, menatap tubuhnya yang kaku dengan tatapan ngeri. Kepala desa mencoba menenangkan suasana, tapi bisikan dan spekulasi tentang roh anak kecil itu terus terdengar di antara para warga. Rani, Bu Marni, dan Nyai Murni tiba di tempat kejadian dengan wajah pucat dan cemas. Mereka mendekati tubuh Bu Sari yang terbaring dingin di tanah. Melihat luka di kepalanya dan wajah yang masih membekas ketakutan membuat mereka semakin sadar bahwa ini bukan kematian biasa. Bu Sari bukan sekadar jatuh dan terbentur, tetapi ia tewas karena ketakutan yang luar biasa. “Ini semakin parah, Nyai,” bisik Rani dengan suara bergetar. “Kita harus segera melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.” Nyai Murni menunduk, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. “Aku tahu, Rani. Aku tahu. Tapi kita harus hati-hati.
Keesokan harinya, matahari terbit dengan lamban, seolah-olah enggan menyinari desa yang kini penuh dengan ketakutan dan kecemasan. Warga desa masih terjaga dengan wajah lesu, kurang tidur, dan ketegangan yang memuncak. Kematian tragis Bu Sari dan gangguan roh anak kecil itu telah menciptakan suasana yang jauh dari normal. Rumah-rumah yang biasanya penuh tawa, kini dipenuhi bisikan dan doa-doa agar malam selanjutnya tidak membawa teror yang lebih mengerikan. Rani, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, berkumpul kembali dengan Bu Marni dan Nyai Murni di rumah Nyai. Meskipun lelah, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa berlama-lama dalam ketidakpastian. Keputusan harus segera diambil, meskipun resikonya sangat tinggi. “Aku rasa ini sudah saatnya,” ujar Rani pelan, mengawali pembicaraan. “Kita harus memanggil roh anak kecil itu lagi.” Bu Marni terlihat ragu, pandangannya terpaku pada Nyai Murni, berharap wanita tua itu memiliki solusi lain. Namun, Nyai Murni hanya mengangguk dengan be