Pagi berikutnya, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Rina, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Meskipun dia terjaga sepanjang malam dengan pikiran yang penuh kegelisahan, dia tahu satu hal: dia harus kembali ke rumah tua itu. Sesuatu di dalam dirinya, mungkin rasa ingin tahu yang tak terkendali, atau mungkin dorongan dari sesuatu yang lebih gelap, mendorongnya untuk kembali.
Setelah sarapan cepat di penginapan, Rina memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang rumah tua itu. Dia menuju ke perpustakaan kecil di desa, yang terletak di dekat balai desa. Perpustakaan itu tampak usang dan terabaikan, tetapi dia berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya memahami sejarah rumah itu. Saat dia memasuki perpustakaan, bau buku-buku tua dan kayu yang lapuk segera menyergap hidungnya. Seorang pustakawan tua duduk di belakang meja kayu besar, matanya menatap Rina dengan penuh selidik. "Selamat pagi," sapa Rina dengan senyum ramah. "Saya Rina. Apakah Anda punya buku atau catatan tentang sejarah desa ini, terutama tentang rumah tua di ujung jalan?" Pustakawan itu menatap Rina dengan mata tajam. "Kau juga tertarik dengan rumah itu, ya?" suaranya serak, seperti orang yang jarang berbicara. Rina mengangguk. "Saya mendengar banyak cerita, tapi saya ingin tahu lebih banyak. Mungkin ada catatan sejarah atau dokumen tentang siapa yang pernah tinggal di sana?" Pustakawan itu menghela napas panjang. "Ada banyak cerita tentang rumah itu, Nak. Tak semuanya menyenangkan untuk didengar. Orang-orang di sini lebih suka melupakannya." Namun, setelah beberapa detik keheningan, pria tua itu bangkit dari kursinya dan berjalan perlahan ke rak buku yang tersembunyi di sudut ruangan. Dia menarik sebuah buku besar dengan sampul yang sudah kusam. "Ini satu-satunya buku yang memuat tentang sejarah rumah itu," katanya sambil menyerahkan buku tersebut kepada Rina. Rina menerima buku itu dengan hati-hati. Judulnya terbaca samar, "Sejarah Kegelapan Desa Sunyaragi." Dia membuka halaman pertama dan melihat bahwa buku ini penuh dengan catatan tangan, gambar, dan peta tua. Pustakawan itu kembali duduk dan memperhatikannya dengan seksama. "Banyak yang hilang, banyak yang disembunyikan. Rumah itu… pernah menjadi saksi bisu dari banyak tragedi." Rina membaca dengan seksama, halaman demi halaman. Dia menemukan bahwa rumah itu awalnya dimiliki oleh keluarga Wiratama, keluarga kaya yang memiliki pengaruh besar di desa pada awal abad ke-20. Namun, ada beberapa halaman yang tampaknya dirobek. Bagian yang menceritakan tentang peristiwa mengerikan yang terjadi pada keluarga itu tidak ada. "Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Wiratama?" Rina bertanya. Pustakawan itu menggeleng. "Yang kita tahu, mereka semua menghilang suatu malam. Tanpa jejak. Rumah itu tetap kosong selama bertahun-tahun, hingga akhirnya… menjadi seperti sekarang ini." Rina mengucapkan terima kasih kepada pustakawan itu dan membawa buku tersebut ke meja baca. Saat dia membalik-balik halaman, dia menemukan sesuatu yang menarik: sebuah peta rumah tua itu, termasuk denah ruang bawah tanah yang tersembunyi. Rina merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Apakah mungkin ada sesuatu di ruang bawah tanah itu yang menjelaskan semua kejadian aneh? Setelah beberapa jam membaca dan menyalin beberapa catatan penting, Rina merasa cukup. Dia mengembalikan buku itu dan berterima kasih sekali lagi kepada pustakawan. Pustakawan itu menatapnya lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya hanya mengangguk. Keluar dari perpustakaan, Rina melihat matahari sudah mulai turun. Dia memutuskan untuk kembali ke penginapan dan bersiap-siap untuk kunjungan selanjutnya ke rumah tua. Dia merasa ada sesuatu di sana yang menunggunya, dan dia harus mengetahuinya malam ini. Saat matahari tenggelam di balik gunung dan kegelapan mulai merayap di desa, Rina bergegas menuju rumah tua itu. Dia membawa senter, kamera, dan alat perekam suara. Dengan napas tertahan, dia melangkah menuju gerbang besi yang berkarat yang sudah ia kenal semalam. Angin malam bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon di sekitar berayun-ayun seperti tangan yang meraih. Dengan keberanian yang tak tergoyahkan, Rina mendorong gerbang dan berjalan ke halaman rumah. Rumput liar dan tanaman merambat menyelimuti hampir seluruh bagian depan rumah, seakan-akan mencoba menelan bangunan tua itu ke dalam tanah. Dia berdiri di depan pintu kayu besar, yang tampak lebih rapuh di siang hari. Dengan tangan gemetar, dia meraih gagang pintu dan menariknya perlahan. Pintu itu terbuka dengan suara berderit yang menusuk telinga, memperlihatkan kegelapan di dalamnya. Saat dia melangkah masuk, udara dingin menyergapnya, lebih dingin daripada udara luar. Jantungnya berdetak kencang, namun dia terus melangkah. Rumah itu terasa lebih menyeramkan di dalam daripada yang dia bayangkan. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan tua yang sudah kusam, dan perabotan yang tertutup kain putih tampak seperti hantu yang berdiri diam di tengah kegelapan. Rina menyalakan senter dan mulai menjelajahi ruangan satu per satu, mencoba mengingat denah yang dia lihat di buku tadi. Dia mendengar suara-suara pelan, seperti bisikan yang datang dari dinding-dinding rumah. "Apa itu?" gumamnya, mencoba tetap tenang. Dia tahu suara-suara ini bukan angin, melainkan sesuatu yang lebih menyeramkan. Di tengah kegelapan, dia melihat sebuah pintu kecil yang hampir tersembunyi di balik tirai tua. Pintu itu tampak berbeda dari yang lain—lebih tua dan lebih berat. Ini pasti pintu menuju ruang bawah tanah, pikirnya. Dengan napas tertahan, dia meraih gagang pintu dan menariknya. Pintu itu terbuka dengan suara keras, dan aroma tanah basah dan busuk segera menyeruak keluar. Tangga batu yang curam dan gelap menurun ke bawah tanah. Rina merasa takut, tapi juga penasaran. Dia menyalakan senter dan mulai menuruni tangga, satu per satu langkah diambil dengan hati-hati. Saat dia mencapai dasar tangga, udara menjadi lebih dingin dan lembab. Dinding-dinding ruang bawah tanah dipenuhi dengan lumut dan jamur, dan bau busuk semakin kuat. Di tengah ruang bawah tanah yang gelap itu, dia melihat sesuatu yang aneh—sebuah lingkaran besar yang digambar di lantai, dikelilingi oleh simbol-simbol aneh yang tampak seperti tulisan kuno. Di tengah lingkaran itu, ada boneka kecil yang sudah rusak, tergeletak seperti telah dibuang di sana. Jantung Rina berdebar semakin kencang. Ada sesuatu yang sangat tidak beres di tempat ini. Tiba-tiba, dia mendengar suara bisikan di belakangnya, lebih jelas dari sebelumnya. Bisikan itu terdengar seperti suara anak kecil. "Mainlah denganku... mainlah denganku..." Rina merasakan bulu kuduknya meremang. Dia menoleh dengan cepat, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya kegelapan. Dia merasa ada sesuatu yang bergerak di sudut matanya. Cahaya senternya menangkap bayangan hitam yang melesat cepat di sepanjang dinding. Rina menahan napas, takut untuk bergerak. Bayangan itu berhenti di ujung ruang bawah tanah, dan meskipun tidak ada mata yang terlihat, Rina merasa bayangan itu sedang menatapnya. Ketakutan mulai merayapi dirinya, namun dia tahu bahwa dia tidak bisa berhenti sekarang. Dengan tangan yang gemetar, dia mengeluarkan alat perekam suara dan mulai berbicara dengan suara pelan. "Siapa di sini? Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya. Tidak ada jawaban langsung, hanya keheningan yang mengerikan. Kemudian, tiba-tiba, perekam suara itu menangkap sebuah suara yang tidak berasal dari mulutnya. Suara anak kecil yang berkata pelan, "Aku ingin teman... mainlah denganku..." Rina tersentak mundur, alat perekam hampir jatuh dari tangannya. Dia merasakan kepanikan mulai merayap. Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, sebuah suara keras terdengar dari atas, seperti sesuatu yang berat jatuh. Pintu ruang bawah tanah tertutup dengan keras, dan seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Rina merasa jantungnya hampir berhenti. Dia berusaha untuk tetap tenang, menyalakan kembali senternya, dan mencoba mendekati tangga. Tapi saat dia melangkah maju, dia merasa ada sesuatu yang menariknya kembali. Sesuatu yang kuat dan dingin. Dia berteriak dan berjuang melawan tarikan itu, tetapi kekuatan itu terlalu kuat. Rina berusaha sekuat tenaga untuk melawan tarikan misterius yang mencengkeram pergelangan kakinya. Rasanya seperti tangan-tangan yang tak terlihat, dingin dan kuat, menariknya kembali ke dalam kegelapan ruang bawah tanah. Dia berteriak, namun suaranya tercekik oleh udara dingin yang memenuhi ruangan. Senter di tangannya bergetar hebat, cahayanya berkedip-kedip seperti nyala lilin yang tertiup angin kencang. Dia mencoba menggapai tangga batu di depannya, tapi setiap kali dia mendekati tangga, tarikan itu semakin kuat. Dia bisa merasakan jari-jari tak terlihat itu menekan lebih keras di pergelangan kakinya, memaksanya untuk tetap di tempat. Ketakutan mulai menjalar di seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, kegelapan terasa lebih padat, hampir seperti kabut tebal yang membekapnya. Rina tahu dia harus melakukan sesuatu, atau dia mungkin tidak akan keluar dari sini hidup-hidup. Dalam kepanikan, dia merogoh saku celananya dan menemukan pisau lipat kecil yang selalu dia bawa sebagai langkah berjaga-jaga. Dengan tangan gemetar, dia membuka pisau itu dan mulai menebas ke arah udara di sekitarnya, berharap mengenai apa pun yang sedang menahannya. Tiba-tiba, tarikan itu menghilang. Rina jatuh terduduk di lantai basah, terengah-engah. Keheningan kembali menyelimuti ruang bawah tanah, tapi kali ini terasa berbeda—lebih berat, lebih menakutkan. Dia merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, matanya terpaku pada kegelapan yang mengelilinginya. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, dia berdiri perlahan, mencoba menjaga keseimbangan. Dia memfokuskan kembali senternya ke arah lingkaran di lantai. Boneka tua itu masih di sana, tergeletak diam dengan ekspresi wajah yang tampak rusak dan mengerikan. Rina merasa ada sesuatu yang salah dengan boneka itu—sesuatu yang mengintai di dalamnya. Dia melangkah mundur perlahan, berusaha tidak membuat suara. Dia tahu harus keluar dari sini secepat mungkin, tapi pintu ruang bawah tanah di atas masih tertutup rapat. Dia menoleh ke arah tangga, tapi bayangan itu masih ada, berdiri diam di ujung ruangan. Rina merasa seperti dikepung, tidak ada jalan keluar. Dia harus menemukan cara untuk membuka pintu itu kembali. Kemudian, dia mendengar suara langkah kaki yang berat dari atas tangga. Langkah-langkah itu terdengar seperti datang mendekat. "Siapa di sana?" Rina berteriak dengan suara yang nyaris pecah. Tidak ada jawaban. Langkah kaki itu berhenti tepat di atas tangga, di balik pintu yang tertutup. Rina tahu dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan segala kekuatan yang tersisa, dia berlari menuju tangga, melewati bayangan yang berdiri di sana. Dia merasakan udara dingin menyapu wajahnya saat dia berlari, seolah-olah melewati kabut yang tebal. Saat dia mencapai tangga, dia mendengar suara tertawa pelan di telinganya—suara anak kecil yang sama seperti sebelumnya. "Mainlah denganku..." Dia berusaha tidak mendengarkan suara itu dan terus berlari menaiki tangga. Tiba di depan pintu, dia mendorongnya sekuat tenaga, tapi pintu itu tidak bergerak. Dia mencoba lagi, kali ini dengan bahu menabrak pintu, dan akhirnya pintu itu terbuka dengan suara keras, hampir membuatnya terjatuh ke lantai. Dia melangkah keluar dari ruang bawah tanah dengan cepat, membanting pintu di belakangnya. Rumah itu masih gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar masuk melalui jendela-jendela yang berdebu. Rina berdiri di sana, terengah-engah, mencoba mengatur napasnya. Dia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Ada sesuatu yang sangat salah dengan tempat ini. Tanpa berpikir dua kali, dia berlari keluar dari rumah tua itu, melewati halaman yang ditumbuhi rumput liar, dan kembali ke jalan desa. Begitu dia mencapai jalan, dia berhenti sejenak untuk menarik napas. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena kedinginan, tapi juga ketakutan yang mencengkeram hatinya. Saat dia berlari kembali ke penginapan, pikirannya masih berkutat pada apa yang baru saja dia alami. Apa yang terjadi di ruang bawah tanah itu? Siapa yang berbicara padanya? Dan mengapa dia merasakan dorongan kuat untuk kembali ke rumah itu, meskipun jelas ada sesuatu yang sangat salah? Ketika dia tiba di penginapan, Bu Marni sedang menunggunya di teras, ekspresi khawatir tergambar jelas di wajahnya. "Nak, kau baik-baik saja?" tanya Bu Marni dengan suara gemetar. "Aku mendengar suara-suara aneh dari arah rumah tua itu. Apa yang terjadi?" Rina mencoba tersenyum, meskipun bibirnya bergetar. "Saya... saya baik-baik saja, Bu. Hanya… hanya sedikit ketakutan." Bu Marni menatapnya dengan tatapan prihatin. "Kau seharusnya tidak pergi ke sana, Nak. Tempat itu… bukan untuk manusia. Kau beruntung bisa kembali." Rina tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Dia merasa lelah, lebih lelah dari yang pernah dia rasakan. Dia ingin beristirahat, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa begitu saja melupakan apa yang terjadi malam ini. Dia masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Namun, dia tahu bahwa tidurnya tidak akan tenang malam ini. Saat dia menutup matanya, dia bisa mendengar suara bisikan di kepalanya, suara anak kecil itu. "Mainlah denganku… jangan pergi… mainlah denganku…" Rina berusaha mengusir suara itu, tetapi suara itu semakin kuat, memenuhi pikirannya, membuatnya terjebak di antara tidur dan terjaga. Malam itu, Rina terbangun beberapa kali, berkeringat dingin. Mimpi-mimpinya dipenuhi oleh bayangan hitam, boneka tua, dan suara-suara yang berbisik dari dalam kegelapan. Di satu mimpi, dia melihat dirinya terjebak di ruang bawah tanah itu lagi, dikelilingi oleh sosok-sosok tanpa wajah yang mengulurkan tangan-tangan dingin mereka, mencoba menariknya ke dalam kegelapan. Saat pagi tiba, Rina tahu satu hal: dia tidak bisa meninggalkan desa ini sampai dia menemukan kebenaran di balik rumah tua itu. Dia harus tahu apa yang terjadi pada keluarga Wiratama, dan mengapa rumah itu terasa begitu jahat. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang mengintai di balik dinding-dinding tua itu, dan dia bertekad untuk menemukannya, meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawanya.Pagi itu, Rina terbangun dengan perasaan campur aduk. Mimpi buruk yang mengganggu tidurnya semalam masih jelas di benaknya. Meski demikian, ada dorongan yang kuat dalam dirinya untuk mencari jawaban. Dia tahu bahwa rahasia kelam dari rumah tua itu tidak akan berhenti menghantuinya sampai dia menemukan kebenaran. Setelah membersihkan diri dan bersiap-siap, Rina keluar dari kamarnya dan disambut oleh aroma kopi segar dan roti panggang dari dapur penginapan. Bu Marni sudah menunggunya dengan secangkir kopi di tangan, matanya menatap Rina dengan penuh perhatian. "Bagaimana tidurmu, Nak?" tanyanya lembut. Rina menghela napas panjang dan duduk di meja makan. "Tidak terlalu baik, Bu. Saya masih memikirkan tentang rumah tua itu dan apa yang saya alami semalam. Ada yang aneh dengan tempat itu." Bu Marni mengangguk pelan. "Aku tahu. Banyak orang yang pernah mencoba mencari tahu tentang rumah itu, tapi kebanyakan mereka pergi dengan ketakutan. Desa ini memiliki banyak rahasia, dan rumah tua i
Rina melangkah dengan hati-hati menuju pinggiran desa, di mana Nyai Murni tinggal. Jalan setapak yang ia lalui semakin kecil dan dipenuhi rerumputan liar, seolah jarang dilewati orang. Udara pagi yang segar mulai berubah menjadi angin yang dingin dan sedikit menyeramkan. Beberapa burung gagak terbang di atasnya, suaranya memecah keheningan dan membuat Rina semakin merinding. Akhirnya, Rina melihat sebuah rumah kecil di tengah pepohonan yang lebat. Rumah itu tampak tua dan agak miring, dengan atap rumbia yang sudah banyak bolong. Dindingnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dan di sekeliling rumah ada berbagai macam tanaman liar yang tumbuh dengan bebas. Rina merasa sedikit gugup, tapi ia tahu bahwa inilah tempat yang harus ia tuju. Ia melangkah mendekat dan mengetuk pintu kayu yang sudah tua itu. Tidak ada jawaban. Rina mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Masih tidak ada jawaban. Saat ia akan mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara berde
Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Angin berdesir dingin, membawa bau lembab dari pepohonan yang mengelilingi rumah tua di sudut jalan. Rina dan Bu Marni berdiri di depan rumah itu, merasakan getaran aneh di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat, seolah-olah tempat itu sendiri menolak kehadiran mereka. “Apakah kau yakin ingin melakukannya, Nak?” tanya Bu Marni, suaranya bergetar ringan meskipun dia mencoba tetap tenang. Rina mengangguk, matanya menatap tajam ke rumah yang menjulang di depannya. “Ya, Bu. Saya harus tahu apa yang terjadi di sini. Jika ada cara untuk membantu roh-roh yang terperangkap, kita harus mencobanya.” Mereka melangkah masuk, menyalakan senter mereka untuk menerangi kegelapan di dalam rumah. Cahaya senter mereka menari-nari di dinding kayu yang tua dan retak, menciptakan bayangan yang tampak hidup dan bergerak. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, hampir membekukan, dan Rina bisa merasakan energi aneh yang mengalir melalui dirinya. Mereka segera menuj
Keesokan harinya, matahari terbit dengan perlahan di atas desa, membawa sinar yang seharusnya menghangatkan, namun tetap terasa dingin di hati Rina. Setelah kejadian di rumah tua malam sebelumnya, ia tak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bayangan yang mereka lihat di pintu ruang bawah tanah. Apakah itu roh yang masih terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih jahat? Rina duduk di teras penginapan, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang mengarah ke rumah tua. Dia masih bisa merasakan energi aneh yang mengalir dari tempat itu, seolah-olah ada kekuatan yang mengawasi setiap gerakannya. Bu Marni datang membawa secangkir teh hangat. "Minumlah, Nak. Kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu," katanya dengan lembut, meletakkan cangkir itu di depan Rina. "Terima kasih, Bu," jawab Rina sambil mengambil cangkir dan menyeruput sedikit teh. "Saya masih memikirkan tentang apa yang kita lihat tadi malam. Saya merasa seperti ada sesuatu yang masih berus
Rina dan Bu Marni kembali ke rumah Nyai Murni pagi itu dengan kepala penuh pertanyaan. Pikiran Rina terus berkutat pada sosok gadis dalam cermin yang terlihat ketakutan dan meminta bantuan. Siapa dia? Bagaimana dia bisa terjebak di sana? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di rumah tua itu yang menyebabkan begitu banyak roh terperangkap? Nyai Murni menyambut mereka dengan wajah tenang, seolah-olah dia sudah tahu bahwa mereka akan datang dengan lebih banyak pertanyaan. “Masuklah, anak-anak,” katanya sambil menunjuk ke kursi kayu di ruang tamunya yang sederhana namun terasa hangat. "Aku tahu kalian pasti punya banyak hal yang ingin ditanyakan." Rina duduk, masih memegang potongan cermin yang pecah di tangannya. "Nyai, tadi malam cermin ini menunjukkan bayangan seorang gadis. Dia meminta bantuan kami, mengatakan bahwa dia terperangkap. Siapa dia? Apakah dia salah satu korban dari ritual yang dilakukan oleh Tuan Wiratama?" Nyai Murni mengangguk pelan. "Ya, sepertinya
Malam itu, Rina merasa lelah luar biasa setelah kembali dari rumah tua. Mereka telah melakukan lebih dari yang dia bayangkan. Nyai Murni menutup pintu rumahnya, menyuruh Rina dan Bu Marni untuk beristirahat. “Kalian berdua butuh tidur. Besok kita akan merencanakan langkah berikutnya. Aku akan menjaga rumah ini untuk sementara,” kata Nyai Murni dengan lembut. Rina mengangguk, matanya terasa berat. “Terima kasih, Nyai. Semoga kita tidak perlu menghadapi hal-hal menakutkan lagi.” Namun, Rina tahu bahwa kata-katanya itu mungkin lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Malam itu, Rina tidur di kamar tamu rumah Nyai Murni. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berkutat dengan kejadian-kejadian yang baru saja mereka lalui. Apakah bayangan besar itu benar-benar telah pergi? Apakah Ambar dan roh-roh lainnya kini benar-benar bebas? Sekitar tengah malam, Rina mulai terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sebuah energi gelap yang merayap di seluruh tub
Pagi itu, langit desa tampak suram, seolah-olah alam semesta merespons ketegangan yang mereka rasakan. Udara pagi yang dingin dan lembap menyelimuti desa kecil itu ketika Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni bersiap untuk pergi menemui dukun tua yang disebut Nyai Murni. Mereka tahu bahwa harapan mereka untuk menghadapi kekuatan gelap tergantung pada apa yang akan mereka temukan dari orang tua itu. Nyai Murni membawa mereka ke bagian paling terpencil dari desa, menuju rumah seorang dukun bernama Ki Wirya. Dia adalah orang yang hampir terlupakan di desa itu, seseorang yang jarang terlihat atau didengar kabarnya. Dulu, dia dikenal sebagai dukun dengan kemampuan luar biasa dalam hal ilmu gaib dan ilmu hitam. Namun, sejak istrinya meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu, Ki Wirya mengasingkan diri dan menutup diri dari dunia luar. “Ki Wirya adalah orang yang berbahaya,” bisik Nyai Murni saat mereka berjalan di jalan setapak yang sempit dan berlumut. “Tapi dia satu-satunya yang tahu
Hari-hari berikutnya setelah ritual penangkapan terasa lebih tenang di desa. Warga desa yang sebelumnya ketakutan mulai merasa sedikit lega. Rumah tua tempat kejadian mengerikan itu pun dibiarkan kosong, tidak ada yang berani mendekat lagi. Bagi mereka, hal itu cukup, asal kekuatan gelap itu tidak kembali. Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni merasa sedikit lega setelah keberhasilan mereka menangkap Asma Gendhis. Tapi ada sesuatu yang tetap mengganjal di hati Rina. Meskipun bayangan besar itu sudah tertangkap, rasa gelisah tidak pernah benar-benar meninggalkan dirinya. Ia masih teringat pada jeritan Ambar di dalam mimpinya, seolah-olah ada sesuatu yang belum selesai. “Nyai, aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Ambar,” kata Rina suatu pagi ketika mereka duduk bersama di beranda rumah Nyai Murni. “Aku merasa ada sesuatu yang belum kita lakukan. Seolah-olah roh Ambar masih belum tenang.” Nyai Murni mengangguk, tatapannya penuh perhatian. “Aku juga merasakan hal yang sama, Rina. Meskip
Setelah Rina, Siska, Ardi, dan Lisa berhasil menyelesaikan ritual pemutusan perjanjian roh bangsawan dengan iblis, mereka semua merasakan beban yang terangkat dari hati mereka. Ketenangan yang jarang mereka rasakan kini menyelimuti hati masing-masing. Pa Kiai mengucapkan selamat kepada mereka, memuji kekuatan dan kesabaran mereka dalam menghadapi ujian berat ini. "Kalian telah berhasil melawan kegelapan dengan cahaya iman. Semoga hidup kalian setelah ini penuh dengan keberkahan," ucap Pa Kiai dengan bijaksana. Mereka meninggalkan rumah Pa Kiai dan kembali ke penginapan untuk beristirahat. Rina dan ketiga temannya tidur dengan nyenyak malam itu, tanpa diganggu oleh mimpi buruk atau kehadiran roh-roh jahat. Setelah perjuangan yang panjang dan penuh tantangan, mereka akhirnya bisa merasa aman. Keesokan paginya, sinar matahari pagi yang hangat membangunkan mereka dari tidur. Setelah bersiap-siap, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa memutuskan untuk pergi ke desa lama, tempat mereka pernah meng
Setelah berhasil keluar dari goa yang telah runtuh, Rina, Siska, Ardi, dan Lisa merasa kelegaan yang luar biasa. Meskipun mereka telah menghadapi berbagai rintangan dan gangguan roh bangsawan, mereka berhasil menyelesaikan tugas mengubur jengglot seperti yang diperintahkan oleh Pa Kiai. Namun, perjalanan mereka belum selesai. Mereka masih harus kembali ke rumah Pa Kiai untuk memastikan bahwa roh bangsawan tersebut benar-benar dihentikan. Dengan langkah yang mantap, meskipun rasa lelah mulai terasa, mereka berjalan kembali menuju rumah Pa Kiai. Jalan yang mereka lalui terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meskipun masih ada bayangan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Namun, dengan keyakinan bahwa mereka telah menjalankan perintah Pa Kiai dengan benar, mereka merasa optimis bahwa langkah-langkah terakhir ini akan berhasil. Setelah beberapa jam berjalan, akhirnya mereka sampai di rumah Pa Kiai. Rumah itu tampak tenang, dengan cahaya remang-remang di teras depan.
Di tengah perjalanan menuju mulut goa, Rina, Ardi, Siska, dan Lisa merasakan perubahan yang tidak biasa. Udara yang tadinya dingin berubah menjadi semakin pekat, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menekan mereka dari segala arah. Kemudian, tanpa peringatan, asap tebal mulai menyelimuti mereka. Asap itu berwarna kelabu gelap, menyelimuti lingkungan sekitar sehingga mereka tak bisa melihat apa-apa. "Asap ini... dari mana datangnya?" bisik Siska dengan panik, matanya bergerak liar mencari tanda-tanda bahaya. "Ayo, kita tetap fokus! Jangan berhenti berdzikir!" ujar Rina, memperingatkan teman-temannya. Dia bisa merasakan bahwa asap ini bukanlah sesuatu yang alami—ini adalah bentuk serangan gaib dari roh bangsawan yang ingin menghentikan mereka. Namun, sebelum Rina bisa mengatakan lebih banyak, mereka semua merasakan sesuatu yang aneh. Perlahan-lahan, asap itu tampak mengubah pemandangan di sekitar mereka. Hutan yang tadinya gelap dan menakutkan menghilang, digantikan oleh bayan
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa akhirnya tiba di rumah Pak Kiai setelah perjalanan yang panjang dan penuh ketegangan. Napas mereka masih terengah-engah, tapi mereka tahu ini bukan saatnya untuk beristirahat. Mereka berdiri di depan pintu rumah Pak Kiai, sebuah bangunan sederhana namun terasa penuh energi spiritual. Rina mengetuk pintu dengan gemetar, perasaan was-was masih menyelimuti hatinya. "Assalamualaikum," ucap Rina dengan suara yang bergetar. Tak lama setelah itu, pintu terbuka. Pak Kiai berdiri di sana, menatap mereka dengan tajam, seakan bisa melihat langsung ke dalam jiwa mereka. Matanya yang berkilau menunjukkan kebijaksanaan dan kewaspadaan. "Awas, jangan sampai putus dzikir kalian," ucapnya serius. "Jika kalian berhenti berdzikir, itu akan sangat berbahaya. Roh bangsawan itu terus memperhatikan kalian, siap menyerang kapan saja. Jangan pernah lengah." Mendengar itu, mereka semua langsung memperkuat dzikir dalam hati masing-masing. Tahu bahwa sedikit saja kelengahan bisa me
Rina, Siska, Ardi, dan Lisa bergegas meninggalkan desa lama, berusaha membawa jengglot yang baru saja mereka temukan di bawah tengkorak gadis yang dikorbankan. Tujuan mereka adalah kembali ke desa baru tempat Pak Kiai berada, untuk meminta petunjuk selanjutnya sebelum membawa jengglot ke gua terlarang. Namun, ketegangan semakin memuncak ketika mereka mendekati gerbang desa. "Semakin cepat kita keluar dari desa ini, semakin baik," kata Rina sambil mempercepat langkahnya. Di tangan kirinya, ia memegang tasbih pemberian Pak Kiai erat-erat, dzikir tidak lepas dari bibirnya. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan suasana desa yang hening membuat jantung mereka berdebar lebih keras. Tiba-tiba, suara angin kencang terdengar, membuat langkah mereka terhenti. Dari arah rumah tua di sudut jalan, sosok roh bangsawan melesat keluar dengan kecepatan mengerikan. Tubuhnya melayang, mengelilingi mereka dalam lingkaran besar, seperti badai yang terus-menerus mengelilingi mereka. "Ini buruk...
Di tempat lain, di rumah Nyai Murni, suasana tegang menyelimuti. Nyai Murni sedang melakukan ritual penyerangan terhadap Rina dan ketiga temannya. Ruangan dipenuhi asap kemenyan, lilin-lilin menyala redup di sekitar meja ritual yang dipenuhi peralatan persembahan. Nyai Murni memejamkan matanya, merapal mantra-mantra kuno yang ia yakini akan menyerang Rina dan teman-temannya di dunia gaib. Ia menggenggam boneka kecil yang disimbolkan sebagai sosok Rina, menusukkan jarum dengan gerakan tajam, namun tiba-tiba, terjadi ledakan kecil. "Boom!" Peralatan yang ada di atas meja ritual meledak tanpa peringatan. Asap tebal mengepul memenuhi ruangan, lilin-lilin padam seketika. Bu Marni, yang duduk di dekatnya, terkejut dan melompat dari kursinya. "Apa yang terjadi lagi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya gemetar ketakutan. Nyai Murni, yang masih berdiri terpaku di tempatnya, tampak goyah. Dari sudut bibirnya, sedikit darah kental mengalir perlahan. Ia menyeka darah itu dengan lengan b
Malam semakin larut, angin dingin bertiup kencang, menciptakan suasana yang semakin mencekam di sekitar kuburan tua desa itu. Di bawah cahaya bulan yang samar, Rina, Lisa, Ardi, dan Siska terus melangkah, mencari kuburan gadis yang dikorbankan dengan tekad kuat. Namun, pencarian mereka tidak mudah. Setiap sudut penuh dengan kuburan tua yang usianya tampak ratusan tahun. Batu-batu nisan yang retak dan tertutup lumut membuat segalanya tampak sama, tak memberikan petunjuk apapun. "Kita sudah mengelilingi tempat ini berkali-kali," gumam Ardi dengan nada frustrasi. "Bagaimana kita bisa tahu yang mana kuburan gadis itu?" Lisa mengusap dahinya yang berkeringat meskipun udara begitu dingin. "Kita harus terus mencari. Aku yakin, ada tanda yang bisa kita temukan." Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, suasana menjadi semakin aneh. Rina mulai merasakan kehadiran sesuatu yang tidak kasat mata. Hawa dingin yang aneh tiba-tiba menyelimuti mereka. Seketika, mereka melihat sosok-sosok samar mun
Di tempat lain, jauh dari makam tua yang sedang didatangi Rina dan teman-temannya, suasana di rumah Nyai Murni mendadak mencekam. Nyai Murni dan Bu Marni sedang sibuk dengan ritual rutin mereka—menyiapkan sesajen dan alat-alat persembahan untuk roh bangsawan yang telah lama mereka sembah. Sesajen itu tersusun rapi di atas meja kayu tua yang penuh ukiran mistis, sementara asap dupa memenuhi ruangan, menebarkan aroma mistis yang kental. Namun tiba-tiba, tanpa peringatan, alat-alat ritual dan sesajen yang disusun Nyai Murni meledak dengan keras. Gelas-gelas berisi air suci pecah, dupa beterbangan ke udara, dan makanan persembahan hancur seketika. Ledakan itu menggema di seluruh ruangan, membuat Bu Marni menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Nyai Murni, yang awalnya berdiri dengan tenang, terhuyung ke belakang karena ledakan itu, wajahnya berubah muram. "Apa yang terjadi, Nyai?" tanya Bu Marni panik, suaranya bergetar. Nyai Murni terdiam sesaat, wajahnya mengeras dan matanya meny
Rina berdiri di depan gerbang rumah tua itu, menghadap bangunan yang tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Angin malam berembus dingin, membawa suara berdesir seolah ada sesuatu yang bersembunyi di kegelapan. Di belakangnya, ketiga temannya menggigil ketakutan, wajah mereka pucat. Mereka enggan melangkah lebih jauh, tetapi Rina tidak bisa membiarkan rasa takut menghentikannya. "Aku harus masuk sendiri," kata Rina dengan nada tegas, meski di dalam hatinya juga ada sedikit keraguan. "Kalian tunggu di sini." Ketiga temannya tidak membantah. Mereka terlalu takut untuk berdebat, dan hanya bisa menonton ketika Rina melangkah lebih dekat ke pintu rumah tua itu. Tasbih pemberian Pak Kiai tergenggam erat di tangannya, dan alunan dzikir terus bergema dalam hatinya, memberikan kekuatan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya di saat seperti ini. Saat pintu rumah tua itu terbuka dengan derit yang memekakkan telinga, Rina merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk tulang. Ruangan di dal