Rina menatap keluar jendela bus yang bergetar pelan saat memasuki sebuah kota kecil yang terasa sunyi dan sepi. Kota ini berada di pelosok, jauh dari hiruk-pikuk kota besar yang biasa ia kunjungi. Nama kota ini adalah Desa Sunyaragi, sebuah tempat yang hampir tidak ada di peta, tersembunyi di antara pegunungan dan hutan lebat. Rina datang ke sini bukan karena ingin berlibur atau mencari suasana baru. Sebagai seorang mahasiswa arkeologi yang sedang menyelesaikan skripsinya, Rina tertarik pada cerita-cerita mistis yang sering terdengar tentang rumah tua di sudut jalan desa ini. Rumah yang katanya berhantu.
Saat bus berhenti di satu-satunya halte di desa, Rina menarik napas dalam-dalam. Ia merasa campuran antara antusiasme dan kegugupan. Ada sesuatu yang menggugah di balik suasana tenang desa ini, seolah-olah tempat ini menyimpan rahasia yang tak terlihat oleh mata. Dia mengambil ranselnya dan turun dari bus. Udara segar khas pegunungan menyambutnya, disertai dengan aroma pinus yang kuat. Rina memperhatikan sekeliling. Jalan-jalan kecil berliku dengan rumah-rumah tua berjejer, dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa penduduk setempat menatapnya dengan penuh curiga, seolah-olah mereka tahu dia adalah orang asing. Sebelum memulai petualangannya ke rumah tua itu, Rina memutuskan untuk menginap di penginapan lokal yang terletak di pusat desa. Penginapan itu kecil dan tampak kuno, namun terlihat cukup bersih. Pemilik penginapan, seorang wanita tua bernama Bu Marni, menyambutnya dengan senyuman hangat. "Selamat datang, Nak. Nama saya Marni. Anda pasti tamu yang menghubungi kami kemarin?" sapanya ramah. Rina mengangguk. "Ya, Bu Marni. Nama saya Rina. Terima kasih sudah menerima saya." Setelah mengisi formulir pendaftaran dan mendapatkan kunci kamarnya, Rina tidak bisa menahan rasa penasaran dan bertanya kepada Bu Marni, "Bu, saya mendengar ada rumah tua di ujung desa ini yang katanya berhantu. Apa Anda tahu tentang rumah itu?" Ekspresi Bu Marni berubah seketika. Senyum ramahnya memudar dan digantikan oleh tatapan waspada. "Oh, rumah tua itu. Semua orang di sini tahu tentang rumah itu. Tapi tak ada yang berani mendekat. Terlalu banyak kejadian aneh yang tidak bisa dijelaskan." Rina semakin tertarik. "Kejadian aneh seperti apa, Bu?" Bu Marni menggeleng pelan, seolah ragu untuk menceritakan lebih banyak. "Banyak cerita, Nak. Ada yang bilang pernah melihat bayangan di jendela, ada yang mendengar suara anak kecil menangis. Bahkan ada yang bilang pintu-pintu di dalam rumah itu terbuka dan tertutup sendiri. Yang jelas, tidak ada yang mau berbicara banyak tentang itu. Lebih baik kau tidak perlu pergi ke sana." Rina merasakan sensasi dingin di punggungnya, tetapi rasa ingin tahunya semakin membesar. Dia berterima kasih kepada Bu Marni atas informasinya dan naik ke kamarnya untuk beristirahat sejenak. Namun, pikiran tentang rumah tua itu terus berputar di kepalanya. Di kamar kecil yang sederhana namun nyaman, Rina membuka laptopnya dan mulai menulis catatan tentang apa yang baru saja ia dengar. Ia juga memeriksa kembali catatan yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Rumah tua itu, menurut beberapa artikel yang pernah ia baca, pernah menjadi milik keluarga kaya yang tiba-tiba menghilang sekitar 50 tahun yang lalu. Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi pada mereka, namun banyak rumor yang mengatakan bahwa mereka terlibat dalam praktik-praktik gelap. Ketika malam mulai merayap masuk dan udara semakin dingin, Rina memutuskan untuk pergi keluar dan melihat-lihat desa. Dia mengenakan jaket tebal dan melangkah keluar dari penginapan. Jalan-jalan desa yang tadi tampak hidup sekarang sepi, hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Rina berjalan menuju arah rumah tua yang disebutkan Bu Marni. Meskipun sudah hampir gelap, ia bisa melihat bayangan besar bangunan tua itu di kejauhan. Rumah itu berdiri menjulang di ujung jalan kecil yang terlupakan, dikelilingi oleh semak belukar dan pohon-pohon tua yang rimbun. Dari jarak jauh, rumah itu tampak seperti raksasa tua yang mengawasi desa dengan mata kosong. Jendela-jendelanya yang gelap seperti mata yang tertutup, namun Rina merasa seolah-olah mereka sedang mengintai balik, mengawasi setiap langkahnya. Dia berdiri di depan gerbang besi yang berkarat dan mengamati bangunan itu. Jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang sangat tidak wajar tentang tempat ini. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Rina tersentak dan berbalik dengan cepat. Seorang pria tua berdiri di sana, menatapnya dengan mata tajam. "Kau tidak seharusnya berada di sini," kata pria tua itu dengan suara berat. Rina mencoba tersenyum meskipun hatinya berdebar. "Maaf, Pak. Saya hanya penasaran. Saya mendengar cerita tentang rumah ini dan ingin melihatnya dari dekat." Pria tua itu menggeleng pelan. "Banyak yang penasaran, Nak, tapi rasa penasaran itu tidak membawa kebaikan. Rumah ini… rumah ini membawa kutukan. Banyak yang datang, tapi tidak semuanya bisa pulang dengan selamat." Rina merasakan tenggorokannya mengering. "Apa yang terjadi dengan mereka yang tidak kembali?" Pria tua itu hanya mengangkat bahu. "Ada yang hilang, ada yang kehilangan akal, ada yang… lebih baik tidak kau ketahui. Pulanglah, Nak. Jangan biarkan rasa ingin tahumu menghancurkanmu." Rina tahu seharusnya dia mendengarkan peringatan itu, tetapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk mundur. Dia ingin tahu kebenaran di balik semua cerita ini. "Terima kasih, Pak. Saya akan berhati-hati," jawabnya sebelum berbalik dan berjalan kembali ke penginapan. Namun, ketika ia menoleh ke belakang untuk melihat pria tua itu sekali lagi, dia sudah menghilang, seolah-olah lenyap begitu saja ke dalam kegelapan. Malam itu, Rina berbaring di tempat tidurnya dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Ada misteri besar di desa ini, dan entah bagaimana, dia merasa terhubung dengan tempat ini. Rasa takut dan penasaran bercampur menjadi satu, membuatnya sulit untuk tertidur. Di tengah malam, dia terbangun karena suara-suara aneh. Suara langkah kaki di lorong di luar kamarnya. Rina duduk tegak, mencoba mendengarkan dengan seksama. Langkah kaki itu terdengar mendekat, semakin dekat ke pintu kamarnya. Kemudian, suara itu berhenti tepat di depan pintunya. Jantung Rina berdegup kencang. Dia menahan napas, menunggu sesuatu yang tak pasti. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, tidak ada yang terjadi. Rina menghela napas lega, berpikir mungkin itu hanya imajinasinya. Namun, saat dia akan berbaring kembali, dia mendengar suara ketukan pelan di pintu. "Tok… tok… tok…" Suara itu perlahan dan berirama, seolah-olah seseorang mengetuk dengan sangat hati-hati. Rina menahan napas lagi, mencoba mengumpulkan keberanian. Dengan tangan gemetar, dia meraih pegangan pintu dan membukanya perlahan. Lorong itu kosong. Tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan panjang yang terbentuk oleh cahaya lampu lorong yang remang-remang. Rina melangkah keluar, melihat ke kiri dan ke kanan, tapi tidak ada tanda-tanda orang lain. Merasa kebingungan dan sedikit ketakutan, Rina kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. Dia mencoba menenangkan dirinya, meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanyalah imajinasi atau mungkin angin. Namun, jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Ada sesuatu yang mengintai di desa ini, dan Rina bertekad untuk menemukan apa itu, tidak peduli seberapa berbahayanya. Dia menatap jendela kamar yang menghadap langsung ke arah rumah tua di kejauhan. Rumah itu tampak diam dan tak bergerak, namun ada perasaan bahwa ia sedang menunggu. Menunggu seseorang cukup berani—atau cukup bodoh—untuk masuk dan mengungkap rahasianya. Dan Rina tahu, esok hari, dia akan kembali ke sana.Pagi berikutnya, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Rina, membangunkannya dari tidur yang tidak nyenyak. Meskipun dia terjaga sepanjang malam dengan pikiran yang penuh kegelisahan, dia tahu satu hal: dia harus kembali ke rumah tua itu. Sesuatu di dalam dirinya, mungkin rasa ingin tahu yang tak terkendali, atau mungkin dorongan dari sesuatu yang lebih gelap, mendorongnya untuk kembali. Setelah sarapan cepat di penginapan, Rina memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang rumah tua itu. Dia menuju ke perpustakaan kecil di desa, yang terletak di dekat balai desa. Perpustakaan itu tampak usang dan terabaikan, tetapi dia berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya memahami sejarah rumah itu. Saat dia memasuki perpustakaan, bau buku-buku tua dan kayu yang lapuk segera menyergap hidungnya. Seorang pustakawan tua duduk di belakang meja kayu besar, matanya menatap Rina dengan penuh selidik. "Selamat pagi," sapa Rina dengan senyum ramah. "Saya Rina. Apakah A
Pagi itu, Rina terbangun dengan perasaan campur aduk. Mimpi buruk yang mengganggu tidurnya semalam masih jelas di benaknya. Meski demikian, ada dorongan yang kuat dalam dirinya untuk mencari jawaban. Dia tahu bahwa rahasia kelam dari rumah tua itu tidak akan berhenti menghantuinya sampai dia menemukan kebenaran. Setelah membersihkan diri dan bersiap-siap, Rina keluar dari kamarnya dan disambut oleh aroma kopi segar dan roti panggang dari dapur penginapan. Bu Marni sudah menunggunya dengan secangkir kopi di tangan, matanya menatap Rina dengan penuh perhatian. "Bagaimana tidurmu, Nak?" tanyanya lembut. Rina menghela napas panjang dan duduk di meja makan. "Tidak terlalu baik, Bu. Saya masih memikirkan tentang rumah tua itu dan apa yang saya alami semalam. Ada yang aneh dengan tempat itu." Bu Marni mengangguk pelan. "Aku tahu. Banyak orang yang pernah mencoba mencari tahu tentang rumah itu, tapi kebanyakan mereka pergi dengan ketakutan. Desa ini memiliki banyak rahasia, dan rumah tua i
Rina melangkah dengan hati-hati menuju pinggiran desa, di mana Nyai Murni tinggal. Jalan setapak yang ia lalui semakin kecil dan dipenuhi rerumputan liar, seolah jarang dilewati orang. Udara pagi yang segar mulai berubah menjadi angin yang dingin dan sedikit menyeramkan. Beberapa burung gagak terbang di atasnya, suaranya memecah keheningan dan membuat Rina semakin merinding. Akhirnya, Rina melihat sebuah rumah kecil di tengah pepohonan yang lebat. Rumah itu tampak tua dan agak miring, dengan atap rumbia yang sudah banyak bolong. Dindingnya terbuat dari kayu yang sudah lapuk, dan di sekeliling rumah ada berbagai macam tanaman liar yang tumbuh dengan bebas. Rina merasa sedikit gugup, tapi ia tahu bahwa inilah tempat yang harus ia tuju. Ia melangkah mendekat dan mengetuk pintu kayu yang sudah tua itu. Tidak ada jawaban. Rina mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Masih tidak ada jawaban. Saat ia akan mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara berde
Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Angin berdesir dingin, membawa bau lembab dari pepohonan yang mengelilingi rumah tua di sudut jalan. Rina dan Bu Marni berdiri di depan rumah itu, merasakan getaran aneh di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat, seolah-olah tempat itu sendiri menolak kehadiran mereka. “Apakah kau yakin ingin melakukannya, Nak?” tanya Bu Marni, suaranya bergetar ringan meskipun dia mencoba tetap tenang. Rina mengangguk, matanya menatap tajam ke rumah yang menjulang di depannya. “Ya, Bu. Saya harus tahu apa yang terjadi di sini. Jika ada cara untuk membantu roh-roh yang terperangkap, kita harus mencobanya.” Mereka melangkah masuk, menyalakan senter mereka untuk menerangi kegelapan di dalam rumah. Cahaya senter mereka menari-nari di dinding kayu yang tua dan retak, menciptakan bayangan yang tampak hidup dan bergerak. Udara di dalam rumah terasa lebih dingin, hampir membekukan, dan Rina bisa merasakan energi aneh yang mengalir melalui dirinya. Mereka segera menuj
Keesokan harinya, matahari terbit dengan perlahan di atas desa, membawa sinar yang seharusnya menghangatkan, namun tetap terasa dingin di hati Rina. Setelah kejadian di rumah tua malam sebelumnya, ia tak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok bayangan yang mereka lihat di pintu ruang bawah tanah. Apakah itu roh yang masih terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih jahat? Rina duduk di teras penginapan, matanya menatap kosong ke arah jalan setapak yang mengarah ke rumah tua. Dia masih bisa merasakan energi aneh yang mengalir dari tempat itu, seolah-olah ada kekuatan yang mengawasi setiap gerakannya. Bu Marni datang membawa secangkir teh hangat. "Minumlah, Nak. Kau butuh sesuatu yang bisa menenangkan pikiranmu," katanya dengan lembut, meletakkan cangkir itu di depan Rina. "Terima kasih, Bu," jawab Rina sambil mengambil cangkir dan menyeruput sedikit teh. "Saya masih memikirkan tentang apa yang kita lihat tadi malam. Saya merasa seperti ada sesuatu yang masih berus
Rina dan Bu Marni kembali ke rumah Nyai Murni pagi itu dengan kepala penuh pertanyaan. Pikiran Rina terus berkutat pada sosok gadis dalam cermin yang terlihat ketakutan dan meminta bantuan. Siapa dia? Bagaimana dia bisa terjebak di sana? Dan yang lebih penting, apa yang sebenarnya terjadi di rumah tua itu yang menyebabkan begitu banyak roh terperangkap? Nyai Murni menyambut mereka dengan wajah tenang, seolah-olah dia sudah tahu bahwa mereka akan datang dengan lebih banyak pertanyaan. “Masuklah, anak-anak,” katanya sambil menunjuk ke kursi kayu di ruang tamunya yang sederhana namun terasa hangat. "Aku tahu kalian pasti punya banyak hal yang ingin ditanyakan." Rina duduk, masih memegang potongan cermin yang pecah di tangannya. "Nyai, tadi malam cermin ini menunjukkan bayangan seorang gadis. Dia meminta bantuan kami, mengatakan bahwa dia terperangkap. Siapa dia? Apakah dia salah satu korban dari ritual yang dilakukan oleh Tuan Wiratama?" Nyai Murni mengangguk pelan. "Ya, sepertinya
Malam itu, Rina merasa lelah luar biasa setelah kembali dari rumah tua. Mereka telah melakukan lebih dari yang dia bayangkan. Nyai Murni menutup pintu rumahnya, menyuruh Rina dan Bu Marni untuk beristirahat. “Kalian berdua butuh tidur. Besok kita akan merencanakan langkah berikutnya. Aku akan menjaga rumah ini untuk sementara,” kata Nyai Murni dengan lembut. Rina mengangguk, matanya terasa berat. “Terima kasih, Nyai. Semoga kita tidak perlu menghadapi hal-hal menakutkan lagi.” Namun, Rina tahu bahwa kata-katanya itu mungkin lebih merupakan harapan daripada kenyataan. Malam itu, Rina tidur di kamar tamu rumah Nyai Murni. Meski tubuhnya lelah, pikirannya terus berkutat dengan kejadian-kejadian yang baru saja mereka lalui. Apakah bayangan besar itu benar-benar telah pergi? Apakah Ambar dan roh-roh lainnya kini benar-benar bebas? Sekitar tengah malam, Rina mulai terjaga dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dia merasa ada sesuatu yang salah, sebuah energi gelap yang merayap di seluruh tub
Pagi itu, langit desa tampak suram, seolah-olah alam semesta merespons ketegangan yang mereka rasakan. Udara pagi yang dingin dan lembap menyelimuti desa kecil itu ketika Rina, Nyai Murni, dan Bu Marni bersiap untuk pergi menemui dukun tua yang disebut Nyai Murni. Mereka tahu bahwa harapan mereka untuk menghadapi kekuatan gelap tergantung pada apa yang akan mereka temukan dari orang tua itu. Nyai Murni membawa mereka ke bagian paling terpencil dari desa, menuju rumah seorang dukun bernama Ki Wirya. Dia adalah orang yang hampir terlupakan di desa itu, seseorang yang jarang terlihat atau didengar kabarnya. Dulu, dia dikenal sebagai dukun dengan kemampuan luar biasa dalam hal ilmu gaib dan ilmu hitam. Namun, sejak istrinya meninggal secara misterius bertahun-tahun yang lalu, Ki Wirya mengasingkan diri dan menutup diri dari dunia luar. “Ki Wirya adalah orang yang berbahaya,” bisik Nyai Murni saat mereka berjalan di jalan setapak yang sempit dan berlumut. “Tapi dia satu-satunya yang tahu