“Ikat dia sebelum kabur! Sumpal mulutnya juga!”
‘Sial! Keberuntungan belum juga dipihakku. Ditangkap oleh ular licik ini.’
“Cih. Tutupi mukanya juga, aku tak tahan!” dengan bergidik ia menatapku yang memandangnya dengan dendam berkilat-kilat.
Aku berontak saat orang suruhannya memegangi tubuhku, namun staminaku yang telah terkuras kalah tanpa perjuangan berarti.
Suara sirine terdengar mendekat dari arah jalan raya, rasa bahagiaku terbit namun segera dipadamkan oleh jalang itu dengan menampar pipiku begitu kuat dan membuatku pingsan. Sayup-sayup aku mendengar, kaki tangan si jalang memintanya untuk bersembunyi menutup kepala dan menambatkan sekoci di bawah jembatan agar tak terlihat.
Kembali ke masa dimana masalah paling berat yang kuhadapi hanya seputar tugas dan laporan bulanan.
Sir Langdon con artist itu, adalah magnet kuat popularitas, siapapun yang berhasil masuk dalam lingkarannya akan terciprat kepopulerannya itu. Dan ia senang mengundang segelintir mahasiswa yang menarik minatnya ke perjamuan megah yang ia adakan setiap tiga bulan sekali di kediamannya yang mewah.
Terkadang, apa yang menarik baginya itu terlihat begitu random. Ia tak suka hal-hal mainstream. Cukup berhasil untuk membuat para mahasiswa bersinar dengan cara mereka masing-masing agar mampu memikat sang kunang-kunang. Akupun tak tahu apa yang membuat minatnya beralih padaku, si cupu asisten laboratorium mikrobiologi ini.
Dopaminku meningkat ketika suatu hari ia datang ke laboratoriumku sendiri tanpa Rene - asisten galaknya. Awalnya ia menanyakan tentang penelitian yang sedang kujalankan, yaitu seleksi beberapa kandidat khamir yang paling ampuh dalam mengurai gula.
Aku bercerita dengan menggebu-gebu, dan ia memperhatikanku dengan seksama tanpa menginterupsi dengan mata elangnya.
“Oh, maaf Sir. Aku terlalu banyak berbicara,” jedaku tersipu malu sembari menggigit bibir, khawatir.
Ada rasa gugup dan takut saat pandangan matanya yang lekat memperhatikan bibirku dengan pandangan.... sensual? Dan apa yang dilakukannya setelah itu, menyapu lembut bibirku dengan ibu jarinya.
Glek!
Si perawan yang zero pengalaman ini semakin berdebar tak karuan.
Clang!
Suara besi yang dijatuhkan dengan sengaja mengejutkan kami dari arah pintu.
Remi melihat kami dengan pandangan marah. Aku menjauh dari Sir Langdon yang terkekeh geli.
Jika kalian belum tahu, Remi adalah anak satu-satunya Sir Langdon dari mendiang istri pertamanya.
“Hello, Remi.”
“Hai dad. Aku tak tahu jika dad sudah pandai melarikan diri dari Rene.”
“Sir. Rapat dengan senat dalam 5 menit.” Rene muncul dari balik Remi dengan wajah dingin tanpa ekspresinya.
“Tsk! Rene - Remi, kalian penghancur pesta. Oya, Meha kau kuundang dalam pesta perjamuan akhir minggu ini, datanglah.”
“Baik, terimakasih Sir.”
Sir Langdon keluar dari ruangan, menyisakan Remi yang masih berkacak pinggang di depan pintu, masih dengan pandangan marah ke arahku. Tinggal kami berdua di ruangan, ia mendatangiku dengan gusar. Aku tak paham, karena kami tak pernah sedekat itu, untuk apa ia marah?
“Kupikir kau berbeda, Meha. Kau sama-sama murahannya.”
“Apa?! Bisa-bisanya! Apa urusannya denganmu?! Kita bukan siapa-siapa, jadi urus saja urusanmu sendiri, TU-AN RE-MI.”
“Tsk! Kau sudah pandai menggoda rupanya, apakah itu keahlian tersembunyimu? Apa dari situ kau mendapatkan uang untuk membiayai kuliahmu?”
Apa-apaan sih dia? Dari tadi tak henti-hentinya menghinaku? Mataku memanas, sebagai anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan. Untuk sampai di posisiku sekarang bukanlah perkara mudah, masa muda dan kesenangan sudah kukorbankan. Bisa-bisanya dia menilaiku hanya dari sekali pandang?
“KAU. TAK TAHU. APA-APA. TUAN MUDA. KEMBALILAH KE MANSIONMU YANG ME-,”
Belum selesai aku berbicara saat bibirnya membungkam bibirku dengan rakus. Aku yang semula terkejut dan hendak mendorongnya terhanyut dengan permainannya yang panas. Tangannya bergerilya di dalam blouse ku, setiap inchi yang disentuhnya terasa membakar.
“Ah...” desahan tak kuasa keluar dari mulutku saat bibirnya menyapu leher jenjangku. Hembusan napasnya di telingaku membangkitkan birahi hewaniku yang selama ini tertidur.
Saat hasratku sedang menggebu, ia menghentikan permainannya dengan tiba-tiba. Membingungkanku yang sedang terselimuti kabut hasrat. Aku menatapnya dengan pandangan sayu.
“SIALAN!” umpatnya geram lalu dengan kasar mendudukkanku di meja laboratorium, direnggutnya leherku dan permainan panas kami dimulai lagi, kali ini lebih menuntut dibanding tadi. Aku merasa di awang-awang, tak pernah tahu jika rasanya sememabukkan ini.
“OH!! Meha!!” suara terkejut dari pintu, Nina berdiri di sana sembari menutup matanya dengan kedua tangan.
Kesadaranku datang, kudorong kuat tubuh Remi yang memandangku dengan seringai usilnya seperti biasa. Memalukan, bagaimana bisa aku tertipu olehnya tadi! Bodoh sekali kamu Meha! Aku mengutuk diri.
Kuperbaiki kancing blouseku yang entah kapan terbuka, menampakkan buah dadaku yang kencang. Remi mendekat padaku dan berbisik.
“Siapa sangka jika kau cepat sekali basah, Meha. Permainanmu tadi tak buruk juga, kau pasti sudah biasa melakukannya.”
“SLAP!” kutampar pipinya, cukup sudah hinaannya, ia sempat membuatku lengah tadi, kuakui itu. Dan kini aku begitu menyesalinya.
“Maaf Tuan, tidak akan ada lain kali. Mulai sekarang kita tidak akan saling mengenal. Aku mengutuk diriku karena perbuatanmu tadi.”
“Siapa kau mendikteku? Aku mengklaimmu menjadi milikku Meha.”
“Aku bukan properti yang bisa dibeli.”
“Oya? Bagaimana jika, beasiswamu dicabut? Apakah itu cukup untuk membeli harga dirimu?”
Air mataku hampir jatuh, aku lelah sekali menjadi miskin. Selalu dimanfaatkan, aku tak punya apapun selain harga diri sebagai manusia, dan kini dengan gampangnya ditawar seperti menakar keju dan roti.
“Cabut saja, aku akan pergi sejauh mungkin, ke belahan dunia yang tak terjangkau oleh tangan-tangan kalian yang tak pernah tahu arti dari bekerja keras,”
“No, Meha. Kau tak boleh kemana-mana, sudah kukatakan jika kau milikku. Camkan itu.”
“Aku lelah, mungkin konsep harga diri tak pernah ada dalam kamusmu Tuan. Tapi kami, kaum marjinal ini, berpegang teguh pada itu, dan uang sebanyak apapun tak akan mampu membelinya, setidaknya bagiku.”
“Kenapa kau begitu keras kepala?” tangannya kembali menggamit lenganku.
“Lepaskan! Kau menyakitiku.”
Menyadari perbuatannya, ia melepaskan remasannya pada lenganku, lalu berlalu pergi, tak lupa menggumamkan ultimatum.
“Jangan kemana-mana Meha, aku janji tak akan mengganggumu lagi.”
Seharusnya aku lega kan mendengar pernyataannya? Tapi kenapa hatiku terasa sakit?
“Bagaimana rasanya tadi? Aku lihat kamu sangat menikmatinya, ah ah ah!” Nina menirukan suara desahanku tadi membuat pipiku semerah tomat.
“Diamlah! Kau berlebihan!”
“Oya? Jadi, suara siapa itu yang tadi kudengar?”
“Entahlah, tapi bukan aku.”
“Baiklah tuan puteri keras kepala. Hari ini jadi isolasi?”
“Mm, jadi. Ngomong-ngomong, aku diundang oleh Sir Langdon di perjamuannya akhir minggu ini.”
“Oya?! Sungguh luar biasa! Setelah ini kita harus mampir ke Frockney! Aku akan membantumu mencari dress!”
“Haruskah?” godaku dengan mata berbinar.
“Yes. Yes. YES!” Teriak Nina kegirangan.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku memanjakan diri pergi menggunakan taksi, aku tak ingin dress off shoulder satin berwarna hitam dengan potongan sederhana yang kukenakan menjadi berantakan jika bepergian menggunakan trem, di tanganku menggenggam clutch merah yang juga didapatkan dari Frockney, toko yang terkenal akan barang-barang vintage bekas berkualitasnya dengan harga ramah di kantong mahasiswa.
Tak ada perhiasan mahal di leherku yang jenjang, untuk itu aku mengenakan riasan sedikit berani malam ini untuk mengalihkan perhatian orang pada assesorisku yang minim. Begitulah harapanku.
Sesampainya di mansion milik Sir Langdon yang mewah, aku melaporkan namaku pada pelayan yang berjaga di pintu depan. Ia mengangguk setelah memastikan namaku ada di daftar undangan. Salah satu pelayan kemudian mengantarku ke ruangan perjamuan yang sudah di penuhi orang-orang.
Pintu besar dibuka oleh sang pelayan, dan aku masuk ke ruangan yang terang benderang, orang-orang sudah mulai makan mengambil di prasmanan. Aku masuk dengan kikuk, tak ada yang kukenal di sini, wajah-wajah yang asing.
Di ujung ruangan, mataku bersirobok dengan pandangan Remi yang lekat menatapku, beberapa gadis mengelilinginya dengan antusias, wajahnya tampak begitu kesal. Kapan sih dia bersikap ramah padaku! Kilasan pergumulan kami beberapa hari lalu muncul membuatku tersedak dan buru-buru ke kamar mandi.
Dasar orang kaya, di mana kamar mandi mereka?! Aku membuka pintu satu persatu, namun tak mendapati ruangan yang kutuju. Lega saat akhirnya menemukannya di ujung lorong.
Kini, setelah usai dari kamar mandi, aku harus mengingat lagi letak ruangan perjamuan tadi. Menggeram kesal karena kemampuan spasialku yang payah kumat di saat aku membutuhkan keajaiban.
Dengan pelan aku membuka ruangan satu persatu, saat di ruangan yang tampak seperti perpustakaan pribadi itu aku melihat sepasang kekasih yang saling memagut penuh gelora.
“Aah...” pekik tertahan keluar dari mulutku tanpa sengaja kala kusadari siapa dua insan itu.
Remi dan Mrs Leah Thompson.
“SIAL!” umpat Remi. Tak kupedulikan lagi karena aku sudah berlari dari ruangan itu, terlalu malu menjadi saksi skandal sebuah keluarga. Orang-orang kaya ini terlalu bosan dengan hidupnya sehingga mencari percikan dari hubungan terlarang. Hatiku memanas karena itu tadi Remi! Merasa bodoh pernah membuka diri pada pria bejat sepertinya, amoral pula! Tiba di ruangan yang jadi tujuanku sebenarnya, saat tanganku hendak membuka handlenya, urung. Berbalik menuju pintu depan, bodoh sekali aku sempat merasa bangga menjadi bagian dari mereka. Semu. Aku tak cocok menjadi penjilat. Lagipula topeng mereka telah terbuka, mereka bukan orang-orang suci tanpa cela yang diagung-agungkan berita. Tak lagi memedulikan pesta, dengan tekad bulat aku melangkahkan kaki keluar. Sebuah tangan besar menarik lenganku, tubuhku di paksa masuk ke cloakroom yang penuh dengan mantel milik para tamu. “Apa-apaan?!” “Meha, gadis nakal. Kau sudah memergoki perbuatan terlarang dan sekarang hendak kabur? Mau kau jual k
DOR!Raymond rebah ke tanah diikuti teriakanku yang menggema ke segala arah. Rahang Remi mengeras menahan emosinya tumpah. Siapa sangka, orang yang paling ia percaya berkhianat. Jika itu orang lain, atau bahkan papanya sekalipun ia maklum, tapi ini Raymond?“Ray? Bagaimana bisa?” “Kamu tak papa? Love?” tanya Remi padaku yang masih ternganga, aku menggeleng sebagai jawaban.Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan posesif, menyiratkan kekhawatirannya padaku. Ku balas dengan melingkarkan lenganku lembut di lehernya. Oh, betapa rindunya aku pada lelaki ini.Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, aku memberinya kecupan-kecupan kecil. Yang berhasil membuatnya menggeram.“Kucing kecil....” suara dalam dan menggetarkan Remi memanggilku dengan julukan kesayangannya di telingaku, membuat kulitku meremang akan gairah. Ia bagai dewa Eros bagiku, memancing hasrat seksual yang tak pernah sadar kumiliki.Dihirupnya bau tubuhku kuat-kuat, awalnya pelan, lembut, hingga gairahnya menguasai dan m
“Hey, kau baik-baik saja?” Remi bertanya padaku yang sedang terpaku di mobil polisi yang membawa kami ke markas mereka.“Itu...., itu NINA!! NINAAAA!!” histeris kala memutar kembali peristiwa tadi di dalam otakku. Remi memelukku erat, aku tersedu sedan di pelukannya. Sera yang duduk di sampingku termenung menatap ke luar jendela.Aku terlalu mengenal Nina hingga bagaimanapun mengerikannya kondisi mayat tadi aku masih mengenalinya.Nina, Nina-ku, mati. Dengan cara keji yang tak dapat kubayangkan.Apakah aku sedang bermimpi? Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini pada Nina? Padahal dia adalah manusia paling lembut dan baik hati yang kukenal.Tanganku terkepal, rasa marah menguasaiku. Siapapun yang melakukan ini pada Nina, akan kupastikan mendapatkan balasan yang jauh lebih kejam.“Hey, hey. Tenanglah.” Remi mengelus punggungku membuatku memejam.“Gila, sangat mengerikan. Aku tak yakin bisa hidup normal setelah ini. Mata itu, mata itu.” lirih Sera seperti bergumam sendiri.Apa yang dika
Aku menjauh dari dekapan Remi, tahu sekali jika pertahananku lemah jika sudah menyangkut dada bidang dan aroma tubuh Remi yang menghipnotis. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berpikir macam-macam.Remi memandangku yang menelan ludah dengan susah payah. Sisi positif dari rasa gugup ini adalah, aku tak lagi menggigil kedinginan karena jantung memompa darah lebih cepat dari biasanya, mengalirkan hangat ke seluruh tubuhku.“Meha, aku rasa kamu harus berhati-hati mulai sekarang. Jika mereka sampai mengirim detektif untuk membuntutimu artinya ini bukan kasus kecil.”“ITU, atau aku dicurigai sebagai pembunuh Nina.”“Apakah kau pelakunya?”“Apakah semudah itu ditebaknya?” aku bertanya dengan nada sarkas sambil memutar bola mata.“Hanya untuk memastikan.”“No. Dan keinginanku untuk mengungkap pembunuh Nina mungkin lebih besar dibandingkan polisi-polisi itu.”“Kau mencurigai seseorang?”“Ya. David Brown, dia pacar Nina, hubungan mereka tak sehat, ia sangat kasar.”Aku dan Remi bertukar pand
Aku berlari sempoyongan menuju arah pintu keluar, dengan panik memencet tombol turun. Pintu lift segera membuka, aku menghambur masuk, melihat Remi yang menyusulku dan ikut masuk. Dengan segera aku memencet tombol tutup dan mengarahkan lift kembali ke basement.“Kenapa? Kau membuatku terkejut Meha. Kau mengenal itu siapa? Karena dari bentuk kakinya, aku bisa pastikan itu bukan milik laki-laki.”“Alice, itu Alice. Alice Garcia.”“Siapa?”“Dia ... Mahasiswa penelitian di labku.”“Oh Meha, situasi ini semakin buruk saja untukmu.”Jari jemariku bergetar, ada apa ini? Mengapa dua orang yang kukenal tew4s dalam keadaan mengerikan dan tak wajar?“Remi, apa yang harus kita lakukan?”“Melaporkannya pada polisi?”Aku menatap Remi tak percaya, bagaimana mungkin ide itu muncul di kepalanya. Apa dia tak ingat jika posisiku di ujung tanduk?“Look Meha, sidik jari kita sudah menempel di mana-mana, akan lebih mencurigakan jika kita memilih diam. Lift ini bahkan sudah merekam wajah kita berdua!”Ding!
“Bagaimana ini Remi? Itu Sera! Sera menghilang!”“Tenang, Meha. Bisa saja ia hanya memutar dan petugas itu selip memperhatikan Sera.”“Oh, Remi. Kali ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Firasatku buruk mengenai ini Remi.”Polisi tua penguntit kami tadi melompat ke ruang kemudi dan membunyikan sirine menuju alamat terakhir Sera terlihat, bergabung dengan petugas yang menunggu di sana.“Hey, kita berputar sebentar ya. Teman kalian hilang dari radar.”“Pak! Apa tadi maksudnya teman saya – Sera Ramirez hilang dari pantauan? Apakah kalian mengamatinya?”“Ya, tidak hanya dia. Kami memang mendapat tugas untuk memantau satu-satu dari kalian. Aku seharusnya memantaumu juga. Lihatlah apa yang terjadi saat kau menghilang! Satu lagi pembunuhan terungkap! Sangat ganjil untuk dibilang kebetulan. Apakah kau kena kutukan, atau kau adalah pelakunya?” lirik tajam sang detektif tua padaku yang mengintip dari jeruji yang memisahkan kami.“Sepertinya aku hanya berada di waktu dan tempat yang s
Aku berlari ke luar dari ruangan berpendingin itu menahan rasa shock, rasa menggigil di badan akibat suhu ruangan yang ekstrem tak terasa lagi.“Meha. Bagaimana? Tak ada?”Dengan mata berkaca-kaca aku menatap Remi, tanganku menunjuk dengan gemetar ruangan tersebut. “Sera... Sera di sana, dalam plastik hitam...”Remi gantian masuk dengan berlari, langsung membuka plastik hitam yang kumaksud. Sama sepertiku, ia keluar dengan wajah pias kehabisan kata-kata. Kami duduk termenung berdua di depan ruangan berpendingin itu hingga suara petugas berlarian mencari kami.“KALIAN!! Menyusahkan sekali!!” petugas tua yang belakangan kutahu bernama Sir George itu berang menatap kami.Aku dan Remi tak mengindahkan amarah detektif tersebut.“Great! Sekarang kalian bertingkah seperti patung. Ayo kembali ke mobil sebelum masa pensiunku ditangguhkan gara-gara kalian.”“Kami menemukan Sera.”Petugas itu menatapku sangsi dan bertanya dengan kalimat menyepelekan. “Sekarang kalian ingat menaruh mayatnya di ma
Decit suara roda brankar yang didorong bergesekan dengan ubin menyakitkan telingaku dan membuatku menyerah pada mimpi sunyi yang lebih memikat. Saat mataku membuka, aku mendapati diri sudah berada di ruangan yang tak kukenal. Namun dari tampilannya yang bersih, mesin dan infus di tangan, juga bau obat-obatan, aku menyimpulkan jika sedang berada di rumah sakit.Kenapa tiba-tiba aku di sini? Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Ah, ledakan! Mengingat suara memekakkan telinga dan bumi berguncang setelahnya membuatku terbangun dari posisi tidur secara tiba-tiba.Clang! Tanganku tertahan oleh borgol di tangan kanan yang mengikatku ke ranjang pasien. Seorang perawat datang membuka tirai yang memisahkan bilikku dengan bilik yang lain.“Oh, kamu sudah sadar, ada keluhan?” ia bertanya ramah.“Oh, Mm- aku di mana?”“Anda sedang dirawat di Rumah Sakit Elephas, unit kesehatan paling dekat dengan Tempat Kejadian Perkara.”“Aku, tadi bersama dengan seorang teman, apakah anda tahu dimana dia?”“Tuan
Aku tak suka caranya berbicara yang terkesan sangat arogan dan berlagak pahlawan. Sementara tadi aku ingat betul ia membiarkan Cam adu jotos di luar bar, senang mendapat hiburan kala senggang. Kini ia bertingkah selayaknya penguasa wilayah.“Jika anda polisi pintar, anda pasti tahu untuk tak serta merta mempercayai apa yang disiarkan oleh berita. Selain itu, saya cukup tahu untuk tidak harus menjawab tuduhan sepihak anda.”“Karena pertanyaanku tepat sasaran?”“Karena anda tak tahu apa-apa, saya harap anda memfokuskan diri untuk membereskan masalah yang tampak di depan mata ketimbang mengendus-endus permasalahan saya.” Aku menunjuk dengan ekor mataku ke arah puing-puing mobil Albert, tak sanggup melihat dengan seksama isi di dalamnya.Polisi itu, walaupun aku bertekad untuk menyindirnya namun ternyata keras kepala juga, kini ia terkekeh dan menatapku dengan kesan meremehkan. Sangat menyebalkan.“Sebagai orang terakhir yang melihat korban dalam kondisi hidup, saya akan membawa anda bert
Rasa sakit di seluruh tubuh akibat benturan tak menghalangiku untuk mendorong pintu sekuat tenaga menggunakan kaki, akibat ledakan besar barusan membuat kondisi mobil Ray rusak, aku ingin segera mengetahui kondisi David. Namun harapanku langsung pupus saat melihat kondisi mobil mereka tinggal kerangka saja, api telah melahap habis material yang gampang terbakar, asap hitam tebal membumbung tinggi di udara.Ray dan Cam yang keluar di sisi berlawanan sama-sama menganga tak percaya. Lebih-lebih Cam yang kini nyata-nyata menunjukkan rasa takutnya. Matanya nyalang ke sana kemari, saat ia hendak melangkahkan kaki, tubuhnya ditahan oleh Ray.“Kau mau kemana?!”“Aku harus bersembunyi! Psikopat itu bahkan bisa mengikuti sampai ke sini. Aku tak mau mati!! Lepaskan aku!!” Cam mendorong tubuh Ray yang mendekapnya erat, tangan Cam menolak pelukan Ray pada tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat.“Diam!! Kau pikir bisa kemana?! Kini sudah ada aku yang bisa melindungimu Cam!! Tenanglah, kita cari
“Saudara David, kau harus ikut kami kembali ke kota.” Albert buka suara memecah keheningan yang ditimbulkan oleh diamku. David tampak ragu, lalu ia seperti mengingat sesuatu ketika matanya memicing menatap kami satu persatu.“Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?! Rumah ini adalah peninggalan bibiku dari jalur paman, kepemilikannya tak mungkin terlacak oleh kepolisian. Ini dihadiahkan bibi untukku saat usiaku menginjak 18 tahun. Apakah kalian memata-mataiku?! Well, sekarang menyingkir dari rumah ini! Aku tak ingin mengikuti kalian kembali ke kota lagi, bisa-bisa nyawaku melayang.”David sekali lagi membangun tembok tinggi pertahanan diri, aku berdecak kesal karena Albert yang tak sabaran.“Lalu bagaimana Cam bisa menemukanmu?!” Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. “Kalau aku, karena Nina pernah bercerita tentang cottage ini padaku setelah kalian menghabiskan liburan bersama. Apakah cottage yang kau anggap rahasia ini sama “rahasianya” dengan akses masuk ke apartemenmu?”
“Hah? Tapi aku tak pernah merasa menerima?” “Karena Nina bilang kau sedang banyak proyek.” Bahuku merosot lemas, entah harus bersyukur atau bersedih. “Apakah karena ketidak hadiranku justru yang menjadi pemicu kalian diburu?” “Ya, itulah mengapa Nina tak ingin kau tahu. Meha, dia tak ingin kau merasa bersalah dan ikut-ikutan diteror psikopat gila ini. Lagipula, psikopat ini, kuturuti atau tidak sepertinya akan tetap menjadikan kita hewan buruan, ia senang sekali melihat kepanikan kita.” “Bagaimana kau tahu?” “Iya menghubungiku lagi, bilang jika permainan telah dimulai sembari tertawa terbahak-bahak. Menuduhku jika kematian-kematian selanjutnya adalah karena kesalahanku, membebankan ketidakstabilan mentalnya padaku! Dasar gila! Setelah itu, dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan Alice meledak di kamar mandi. Itulah awal teror di mulai.” “Bagaimana kau bisa meninggalkan Nina setelah itu?! Dan bagaimana ceritanya Alice bisa meledak? Apakah kau juga membeli bahan peledak?” “TID
“Jadi, diantara kalian berdua siapa yang mau memberi tahuku pembunuh Nina?!” Aku berdiri dengan berkacak pinggang memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam berganti-ganti.“....”Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku, “Astagaaa...” Aku memijat pangkal hidung frustasi. Memperhatikan mereka berdua yang sibuk melempar pandang melemparkan tanggungjawab. Aku tak mengerti mengapa begitu susahnya mereka menyerahkan nama si pembunuh itu. Memutus komunikasi mereka, aku berdiri menghalangi dan kini menatap Cam tajam, sepertinya dia lebih gampang dikorek informasi.“Jadi, Cam?! Ini bukan permainan, sudah ada banyak nyawa yang melayang. Aku tahu di usiamu yang masih muda...”“... Pfft!” Ray menahan tawa yang membuatku mengernyit menanyakan alasannya menertawakan ucapanku, benarkan Cam masih muda? Dia tampak seperti baru memulai masa puber.“Oh, sorry Meha. Hanya saja, bocah ini walau tampak seperti remaja, namun sebenarnya dia sudah semester pertama di Elephas.”“Oh... Well, intinya situa
“David, diam.” Perintahku pada David yang masih sibuk mondar mandir menggumamkan kata-kata penyesalan yang berulang-ulang.“David, DIAM!” Kini aku mengatakannya dengan lebih keras yang membuatnya terpaku di tempat.“Ada apa, Meha? Kau membuatku terkejut.”“Apakah tadi ada orang yang datang sebelum kami?”David mengedikkan bahunya tanda tak tahu, “Aku tadi tidur dan terbangun karena teriakanmu.”Aku menuju kamar mandi sekali lagi untuk memastikan, wangi itu masih lekat di sana jadi tadi bukanlah imajinasiku saja. Selanjutnya aku membuka lemari obat di atas wastafel meneliti isi di dalamnya satu persatu. David tak memakai produk perawatan badan dengan bau vetiver itu, yang artinya hanya satu. Ini adalah wangi dari orang yang tak ingin diketahui identitasnya.“Ayolah David, katakan siapa yang meneror kalian?!”“Kau kenapa sih?! Aku kan sudah bilang kalau tidak akan memberitahumu.”“RAY!! CARI DENGAN SEKSAMA, ADA ORANG YANG DATANG SEBELUM KITA!!” Aku berteriak pada Ray berharap kedua petu
“Meha, kau berurusan dengan orang yang salah jika mencari tahu tentang Nina. Sebaiknya kau tak usah ikut campur jika masih ingin selamat. Menjauhlah Meha, tolonglah.” David memohon sembari menggenggam tanganku yang langsung kutarik jengah. Kebencianku pada David menjadi berkali-kali lipat, rasa iba yang tadi muncul karena melihat kondisinya yang berantakan kini sudah hilang. Jadi selama ini dia menghilang karena, dia sibuk menghindar?! Bukannya menuntut balas atas kematian sang kekasih?! Sibuk menyelamatkan b*kongnya sendiri! “Kau menjijikkan David. Mendengarmu mengatakan ini semakin membuatku menyesali kematian Nina yang sia-sia.” Raut wajah David terkejut dan matanya berkaca-kaca, tangannya dengan segera meraup muka untuk menyembunyikan rasa sedihnya, tampak punggungnya yang bergetar karena tangis tertahan. Aku sudah tak peduli, apa yang kukatakan itulah kenyataannya, dia tak layak mendapat simpati. Di sini dia berlindung sementara kekasihnya – sahabatku, mati dalam kondisi menge
“David! David!” Panik, aku menggedor pintu kaca itu yang menimbulkan getaran keras. Ray melarangku, khawatir pintu itu pecah dan dituntut karena perusakan properti.Lalu ia dan Albert berusaha membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu, terasa sedikit berat saat digeser. Rumah itu sepi, tak terdengar ada suara apapun dari dalam. Dari lantai yang tampak berdebu dan sarang laba-laba banyak, sepertinya cottage ini sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.Albert meneliti tempat sampah yang penuh dengan bungkus makanan instan, meneliti labelnya yang bertanggal tak terlalu lama. Ia lalu mengirim kode pada temannya dan mereka bersama-sama mengeluarkan senjata. Mataku membulat melihat aksi mereka, jantung berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi. Ketiga pria itu lalu meneliti setiap bagian rumah satu persatu namun tak nampak tanda-tanda kehidupan.Pelan aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak paling dekat denganku, saat itulah aku mencium samar bau yang familiar di udara, aftersh
“Baiklah, kami ikut kalian. Tapi tuan Ray, kami akan menuntutmu karena melakukan penyerangan terhadap petugas.” Sorot mata petugas itu mengarah pada temannya yang masih terkapar di tanah. “Lakukan saja, aku punya dasar-dasar pembelaan, Dan, jika kalian lupa, aku adalah pengacara maka aku tak akan mundur dengan mudah.” “Cih....” Petugas bernama Albert itu menatap sinis pada Ray. “So, kau mau melanjutkan perdebatan kita atau ikut kami mencari David Brown?” Ganti aku yang memecah situasi, tanganku menyerahkan pistol petugas itu dengan takut-takut yang langsung diletakkan kembali pada tempatnya semula. “WUUU... Mana pertarungannya! Kenapa cepat sekali selesai! Ayo lanjutkan perkelahian kalian!!” Sorak pengunjung pub yang masih menonton kami. Sialan, bukannya melerai malah memanas-manasi, aku menarik lengan Ray menjauh. “Kami akan mengikuti kalian, kali ini dengan jarak dekat. Jangan mencoba kabur dan mengecoh kami.” “Tentu saja, mengekorlah.” Sebelum itu, Ray membantu Albert mengan