Share

5. First Case

Penulis: WuSaKoRi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-01 00:23:46

DOR!

Raymond rebah ke tanah diikuti teriakanku yang menggema ke segala arah. Rahang Remi mengeras menahan emosinya tumpah. Siapa sangka, orang yang paling ia percaya berkhianat. 

Jika itu orang lain, atau bahkan papanya sekalipun ia maklum, tapi ini Raymond?

“Ray? Bagaimana bisa?” 

“Kamu tak papa? Love?” tanya Remi padaku yang masih ternganga, aku menggeleng sebagai jawaban.

Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan posesif, menyiratkan kekhawatirannya padaku. Ku balas dengan melingkarkan lenganku lembut di lehernya. Oh, betapa rindunya aku pada lelaki ini.

Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, aku memberinya kecupan-kecupan kecil. Yang berhasil membuatnya menggeram.

“Kucing kecil....” suara dalam dan menggetarkan Remi memanggilku dengan julukan kesayangannya di telingaku, membuat kulitku meremang akan gairah. Ia bagai dewa Eros bagiku, memancing hasrat seksual yang tak pernah sadar kumiliki.

Dihirupnya bau tubuhku kuat-kuat, awalnya pelan, lembut, hingga gairahnya menguasai dan mulai semakin berani mendaratkan kecupan-kecupan di leher dan dadaku. Tangannya menyusup ke balik piyama dan mengelus-elus punggungku dengan telapak tangannya yang lebar. Aku benar-benar merasa menjadi kucing kecil. Beruntung aku masih bisa menahan diri untuk tak mengeong dihadapannya.

“Mmmh....” aku sekuat tenaga menahan desahan keluar dengan menggigit bibirku, seluruh tubuhku sudah bergetar.

“Kenapa kau tahan, love? Lepaskanlah, untukku.” Suara serak Remi membuat rasa panas di tubuh ini menyebar, tatapanku padanya mengabut dan ia tahu sekali apa yang kuinginkan jika sudah begini.

Kami berpagutan dengan panas seolah tak ada hari esok. 

HONK HONK!!

Suara keras dari boat yang ditambatkan mengejutkanku, sukses memadamkan gairah dan memisahkan adegan panas kami tadi.

“Sh*t!” umpat Remi. “Cam! Kau gila!”

Oh, rupanya itu Camden sepupu Remi dari garis ibu.

Aku ingat ia pernah malu-malu mengatakan perasaan sukanya padaku. Dan sejak saat itu hubungan kami sudah tak sama lagi, ia menjauh mengetahui penolakanku. 

Bagiku, ia tak lebih dari sekedar adik. 

“Naiklah! Cepat!” Camden berteriak dengan nada kesal.

“Kemana?” aku bertanya pada Remi.

“Kita harus membawamu ke tempat aman dulu. Kaki tangan mereka di mana-mana, bahkan dalam interpol sekalipun, ayo!” Seolah tak berbobot tubuhku diangkat oleh Remi begitu entengnya.

Boat sedikit bergoyang saat tubuh besar Remi menaikinya, dengan lembut aku didudukkan di sofa belakang kemudi. Camden tak mengindahkan kami, kaku menghadap depan. 

Aku tak tahu apakah Remi sadar atau tidak dengan perasaan Camden padaku karena aku tak pernah memberitahunya soal itu, aku tak ingin merusak hubungan mereka yang begitu dekat.

“Hai Cam,” sapaku berusaha mencairkan suasana.

“Hai.” Sapanya balik masih enggan menatapku.

“Cam, bantu aku menyingkirkan mayat-mayat itu terlebih dahulu. Kita tak mau menimbulkan kehebohan.” Pesan Remi pada Camden yang mengangguk. 

Kuperhatikan punggung mereka berdua yang berlalu ke arah dermaga.

Goyangan kecil air laut menampar boat membuatnya bergoyang-goyang. Aku yang kelelahan dan kurang tidur seolah dininabobokkan, karena setelah itu aku tertidur sangat pulas. Mengetahui jika akan ada dua orang yang menyayangiku yang akan menjagaku.

Aku tak harus berlari lagi.

*

*

*

Enam bulan sebelumnya -

Sore hari awal seluruh rentetan kejadian ini terjadi.

“Kak Meha!” panggil Sera membuyarkan konsentrasiku yang sedang mengetik laporan bulanan.

“Kak, autoklaf-nya tidak bisa dibuka.”

“Putar tuasnya berlawanan jarum jam.”

“Menurut kakak aku akan bertanya jika belum mencoba semua cara? Semua juga tahu kalau kakak galak.” Lugas Sera berkata, ia memang blak-blakan. Apalagi ia sudah dua bulan penelitian di labku, memakai autoklaf adalah pekerjaan sehari-hari.

 Meninggalkan pekerjaan dengan sedikit enggan aku menuju mesin sterilisasi yang dimaksud Sera. 

Tak lupa kuperiksa dulu suhu body mesin, dingin. Artinya sudah aman untuk dibuka.

“Uugh.” Kuputar tuas dengan sekuat tenaga, namun geming. Setelah percobaan ketiga yang gagal. Sera melihatku dengan senyum puas. Aku memutar kedua bola mataku melihat reaksinya yang seolah berkata.

Benar kan.

“Tunggu di sini, aku cari bala bantuan.”

“Okay...”

Aku pergi ke ruang janitor, siapa tahu mereka bisa membantu. Sesampainya di sana, kosong, aku melihat jam tangan, sadar akan kebodohanku. Ini sudah jam pulang pegawai.

Dengan muka cemberut aku kembali ke ruanganku, Berpapasan dengan Remi – Asisten Laboratorium Komputer yang cuek, dingin, dan sok tampan. Bayangan pergumulan kami di lab sebulan lalu memenuhi otakku, aku menggeleng keras menyingkirkan kilasan itu, kulihat ia membawa kaleng bir dari vending machine.

Sebuah ide muncul di kepala.

“Apa?” ketus Remi melihatku yang sedang menatapnya dengan pandangan memohon.

“Please, mesin sterilisasiku bermasalah. Tak ada orang lagi yang bisa kumintai tolong.”

Ia melihat sekeliling memastikan kebenaran ucapanku.

“Mana?”

‘Yes!’ sorak hatiku.

Tanpa banyak kata aku mendahuluinya, menunjukkan mesin yang kumaksud. Aku berjalan dengan kikuk, merasa ada pandangan yang memperhatikan caraku berjalan. Tawa kecil bahkan terdengar sampai telingaku. Benarkah? Atau hanya perasaanku saja?

Wajah Sera yang berbinar-binar tak luput dari perhatianku saat melihat Remi tiba. Aku tahu apa yang dipikirkannya dan tak paham mengapa para gadis menggilai Remi. Tolonglah! Dia hanya laki-laki kaya sombong dan sok kecakepan!

“Hmmph!” Remi mencoba membukanya, hasilnya sama. Dipercobaan ketiga, peluh mengaliri keningnya, dan menyingsingkan lengan baju. 

Aku dan Sera bertukar pandang. 

“Manual book-nya ada?” pinta Remi.

“Ada, tapi dalam bentuk soft copy, di komputerku.”

“Tunjukkan,”

“Baik, tuan...” gumamku pelan sambil menunjukkan jalan, tawa kecil itu kembali terdengar.

Kali ini aku berbalik ingin memastikan, ia langsung bungkam memasang ekspresi dingin seperti semula.

Aku mengedikkan bahu dan menarik kursi di meja kerjaku. Ia berdiri menjulang di belakangku. File yang kucari ketemu dan menunjukkan padanya file manual book itu. Tubuhnya mendekat saat membaca file tersebut mengikis jarak antara kami, aku terperangkap di kursi. Aku terkesiap memandang pipinya yang hampir menempel padaku. 

Wangi parfumnya yang sangat maskulin itu memenuhi rongga hidungku, bahkan dengan jarak sedekat ini aftershave-nya juga tercium. Aku menunggu dengan berdebar-debar, ini pasti karena aku kelelahan bekerja hingga mengaburkan penilaianku. 

Dia tak semenarik itu! Bahkan walau dada bidang dan berototnya itu begitu dekatnya hingga aku dapat merasakan detak jantungnya di pundakku yang tiba-tiba menjadi sensitif.

“Meha, aku butuh wrench.”

“Oke, sebentar.” Kubuka laci penyimpanan alat-alat pertukangan yang kupunya, kali ini aku yakin mendengarnya mendengus menahan tawa.

Aku mengirimnya pandangan ‘Apa yang lucu?’ kurang lebih begitu.

“Ini punyamu semua?!”

“Ya. Kau pikir perempuan bisanya cuma megang spatula?” 

“Okay. My bad.” Ia kembali fokus pada masalah utama kami tadi. Sempat ada rasa bersalah karena aku langsung menjawabnya ketus. Tapi, biarkan saja, aku tak ingin ambil pusing.

“Pelumas,” pintanya lagi, kali ini kembali dengan nada dinginnya semula.

Aku mengangsurkan apa yang ia minta. Peluh mengalir dari pelipisnya saat kembali mencoba membuka mesin itu.

Aku ikut kesal, karena siapa orang bodoh yang memakai mesin ini sebelumnya hingga membuat mesin ini tak bisa dibuka! Pasti ia mengisinya melebihi kapasitas sehingga tekanan udara di dalamnya tak normal dan menyebabkan tutupnya stuck.

Remi membuka kemejanya yang basah oleh keringat, aku dapat mendengar Sera menelan ludah. Well, tak salah juga, lihatlah otot yang kencang pada tempat-tempat seharusnya itu. 

“Tolonglah! Pasang lagi bajumu!” teriakku tanpa sadar, Remi dan Sera memandangku yang terlambat merasa bodoh.

“Kenapa? Apakah itu membuatmu tergoda?” ledek Remi dengan tatapannya yang usil.

“Ti-tidak mungkin! Kau hanya perlu membuka tutup mesin itu, tanpa perlu pamer badan.”

“Well, it’s stuck dan kemejaku basah, menghalangi gerakanku untuk membuka tutup mesin sialanmu ini. Atau kau punya ide yang lebih baik?”

“Tidak. Lanjutkan.”

“Aku tidak bisa diperintah.”

“Lalu?”

“Ucapkanlah kata yang tepat sebagai orang yang membutuhkan bantuan. Karena aku tahu, hanya aku yang bisa membantumu malam ini.”

Sialan, aku terjebak permainannya.

“To-tolong perbaiki mesinku Remi!”

“Kau yakin hanya mesinmu yang butuh diperbaiki?”

‘Mm-maksudnya?’

Pandangan mata Remi jatuh ke buah dadaku, aku langsung menyilangkan tangan melindunginya. Dasar mesum!

“Ayolah Remi, aku serius. Tolong perbaiki mesin autoklaf-ku, please?” kali ini kukeluarkan jurus dalam merayu. Rahang Remi mengeras.

“Katakan itu hanya di depanku saja jika kau tak ingin menjadi korban pelecehan seksual. Tak semua laki-laki memiliki kekuatan iman sepertiku.”

‘Hah? Maksudnya?’ namun demi memenuhi tujuanku, aku mengangguk patuh.

Setelah memoles batang ulirnya, Remi kembali berusaha membuka.

Ceklek!

Bunyi tutup mesinku berhasil dibuka.

“Yeay!” sorakku dan Sera berbarengan dengan gembira.

Ia menyingkir mempersilahkanku untuk memeriksa isinya.

Kubuka lebar tutupnya hingga sepenuhnya terbuka, menampakkan isinya yang tak biasa, seperti yang kuduga jika isinya memang melebihi kapasitas. Namun,

“Apa itu?!” Sera menyuarakan rasa penasaranku. Ya, apa ini? Buntalan kain putih dari kain satin membungkus only God knows. 

Remi ikut-ikutan penasaran melihat keheranan kami. Aku mencoba mengangkat buntalan kain itu.

‘Uggh... beraaat...’ 

Ia dengan sigap membantuku mengangkat buntalan itu.

Sayang, ujungnya tersangkut pinggiran mesin.

Reeek! Suara kain sobek memuntahkan isi di dalamnya yang membuat kami terperangah.

Saat potongan-potongan tubuh yang berwarna keabuan karena sudah direbus matang itu jatuh satu persatu ke lantai, kalian tentu tahu apa yang terjadi pada daging yang telah di presto. Ya, dagingnya terlepas dari tulang saat mencapai lantai, bergelenyar. 

Terakhir, sebagai penutup adalah bagian paling akhir yang paling memberi kesan dramatis. Yaitu potongan kepala dengan rambut panjang jatuh tepat di atas tumpukan tadi sebagai topping, menghadap ke atas dengan mata terbelalak. Seperti meleleh, mata dan semua bagian muka itu dengan cepat melorot ke samping meninggalkan kerangkanya.

PROTT!

Cairan matanya meledak mengenai mukaku.

“AAARRGH!!!”

Teriakku sekuat-kuatnya.

Bab terkait

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   6. Ancaman

    “Hey, kau baik-baik saja?” Remi bertanya padaku yang sedang terpaku di mobil polisi yang membawa kami ke markas mereka.“Itu...., itu NINA!! NINAAAA!!” histeris kala memutar kembali peristiwa tadi di dalam otakku. Remi memelukku erat, aku tersedu sedan di pelukannya. Sera yang duduk di sampingku termenung menatap ke luar jendela.Aku terlalu mengenal Nina hingga bagaimanapun mengerikannya kondisi mayat tadi aku masih mengenalinya.Nina, Nina-ku, mati. Dengan cara keji yang tak dapat kubayangkan.Apakah aku sedang bermimpi? Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini pada Nina? Padahal dia adalah manusia paling lembut dan baik hati yang kukenal.Tanganku terkepal, rasa marah menguasaiku. Siapapun yang melakukan ini pada Nina, akan kupastikan mendapatkan balasan yang jauh lebih kejam.“Hey, hey. Tenanglah.” Remi mengelus punggungku membuatku memejam.“Gila, sangat mengerikan. Aku tak yakin bisa hidup normal setelah ini. Mata itu, mata itu.” lirih Sera seperti bergumam sendiri.Apa yang dika

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   7. Cat Kuku Hint Biru Metalik

    Aku menjauh dari dekapan Remi, tahu sekali jika pertahananku lemah jika sudah menyangkut dada bidang dan aroma tubuh Remi yang menghipnotis. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berpikir macam-macam.Remi memandangku yang menelan ludah dengan susah payah. Sisi positif dari rasa gugup ini adalah, aku tak lagi menggigil kedinginan karena jantung memompa darah lebih cepat dari biasanya, mengalirkan hangat ke seluruh tubuhku.“Meha, aku rasa kamu harus berhati-hati mulai sekarang. Jika mereka sampai mengirim detektif untuk membuntutimu artinya ini bukan kasus kecil.”“ITU, atau aku dicurigai sebagai pembunuh Nina.”“Apakah kau pelakunya?”“Apakah semudah itu ditebaknya?” aku bertanya dengan nada sarkas sambil memutar bola mata.“Hanya untuk memastikan.”“No. Dan keinginanku untuk mengungkap pembunuh Nina mungkin lebih besar dibandingkan polisi-polisi itu.”“Kau mencurigai seseorang?”“Ya. David Brown, dia pacar Nina, hubungan mereka tak sehat, ia sangat kasar.”Aku dan Remi bertukar pand

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   8. Sera Ramirez

    Aku berlari sempoyongan menuju arah pintu keluar, dengan panik memencet tombol turun. Pintu lift segera membuka, aku menghambur masuk, melihat Remi yang menyusulku dan ikut masuk. Dengan segera aku memencet tombol tutup dan mengarahkan lift kembali ke basement.“Kenapa? Kau membuatku terkejut Meha. Kau mengenal itu siapa? Karena dari bentuk kakinya, aku bisa pastikan itu bukan milik laki-laki.”“Alice, itu Alice. Alice Garcia.”“Siapa?”“Dia ... Mahasiswa penelitian di labku.”“Oh Meha, situasi ini semakin buruk saja untukmu.”Jari jemariku bergetar, ada apa ini? Mengapa dua orang yang kukenal tew4s dalam keadaan mengerikan dan tak wajar?“Remi, apa yang harus kita lakukan?”“Melaporkannya pada polisi?”Aku menatap Remi tak percaya, bagaimana mungkin ide itu muncul di kepalanya. Apa dia tak ingat jika posisiku di ujung tanduk?“Look Meha, sidik jari kita sudah menempel di mana-mana, akan lebih mencurigakan jika kita memilih diam. Lift ini bahkan sudah merekam wajah kita berdua!”Ding!

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-04
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   9. Oh, Sera

    “Bagaimana ini Remi? Itu Sera! Sera menghilang!”“Tenang, Meha. Bisa saja ia hanya memutar dan petugas itu selip memperhatikan Sera.”“Oh, Remi. Kali ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Firasatku buruk mengenai ini Remi.”Polisi tua penguntit kami tadi melompat ke ruang kemudi dan membunyikan sirine menuju alamat terakhir Sera terlihat, bergabung dengan petugas yang menunggu di sana.“Hey, kita berputar sebentar ya. Teman kalian hilang dari radar.”“Pak! Apa tadi maksudnya teman saya – Sera Ramirez hilang dari pantauan? Apakah kalian mengamatinya?”“Ya, tidak hanya dia. Kami memang mendapat tugas untuk memantau satu-satu dari kalian. Aku seharusnya memantaumu juga. Lihatlah apa yang terjadi saat kau menghilang! Satu lagi pembunuhan terungkap! Sangat ganjil untuk dibilang kebetulan. Apakah kau kena kutukan, atau kau adalah pelakunya?” lirik tajam sang detektif tua padaku yang mengintip dari jeruji yang memisahkan kami.“Sepertinya aku hanya berada di waktu dan tempat yang s

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   10. Tuduhan

    Aku berlari ke luar dari ruangan berpendingin itu menahan rasa shock, rasa menggigil di badan akibat suhu ruangan yang ekstrem tak terasa lagi.“Meha. Bagaimana? Tak ada?”Dengan mata berkaca-kaca aku menatap Remi, tanganku menunjuk dengan gemetar ruangan tersebut. “Sera... Sera di sana, dalam plastik hitam...”Remi gantian masuk dengan berlari, langsung membuka plastik hitam yang kumaksud. Sama sepertiku, ia keluar dengan wajah pias kehabisan kata-kata. Kami duduk termenung berdua di depan ruangan berpendingin itu hingga suara petugas berlarian mencari kami.“KALIAN!! Menyusahkan sekali!!” petugas tua yang belakangan kutahu bernama Sir George itu berang menatap kami.Aku dan Remi tak mengindahkan amarah detektif tersebut.“Great! Sekarang kalian bertingkah seperti patung. Ayo kembali ke mobil sebelum masa pensiunku ditangguhkan gara-gara kalian.”“Kami menemukan Sera.”Petugas itu menatapku sangsi dan bertanya dengan kalimat menyepelekan. “Sekarang kalian ingat menaruh mayatnya di ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   11. Skenario Yang Rapi

    Decit suara roda brankar yang didorong bergesekan dengan ubin menyakitkan telingaku dan membuatku menyerah pada mimpi sunyi yang lebih memikat. Saat mataku membuka, aku mendapati diri sudah berada di ruangan yang tak kukenal. Namun dari tampilannya yang bersih, mesin dan infus di tangan, juga bau obat-obatan, aku menyimpulkan jika sedang berada di rumah sakit.Kenapa tiba-tiba aku di sini? Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Ah, ledakan! Mengingat suara memekakkan telinga dan bumi berguncang setelahnya membuatku terbangun dari posisi tidur secara tiba-tiba.Clang! Tanganku tertahan oleh borgol di tangan kanan yang mengikatku ke ranjang pasien. Seorang perawat datang membuka tirai yang memisahkan bilikku dengan bilik yang lain.“Oh, kamu sudah sadar, ada keluhan?” ia bertanya ramah.“Oh, Mm- aku di mana?”“Anda sedang dirawat di Rumah Sakit Elephas, unit kesehatan paling dekat dengan Tempat Kejadian Perkara.”“Aku, tadi bersama dengan seorang teman, apakah anda tahu dimana dia?”“Tuan

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-07
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   12. Raymond

    “Maaf, Sir. Anda tak bisa menahan saya dan Meha tanpa ada surat penangkapan resmi. Jika kalian melakukannya, maka pengacara saya yang akan berbicara.” Remi datang dengan kabar yang membuat rasa bahagiaku naik.“Remi, semua ini akan mudah jika kau mau bekerjasama.”“Saya menolak.”Rahang detektif Tom – yang lucunya ternyata bernama Tommy – mengeras, ia yang tadinya jumawa bisa membawa kami berdua dan sudah memikirkan publikasi besar-besaran di depan mata yang akan dia dapat karena berhasil memojokkan anak Sir Langdon yang terkenal itu, menjadi buyar. Dengan anggukan kepala, ia mengajak anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.“Hey, detektif. Tolong lepaskan borgolku.” Aku menunjukkan tangan yang masih terikat di ranjang.“Well, nona Meha. Bukankah anda mahir melakukannya sendiri?”“Maaf, bagaimana maksudnya?”“Tidak ada, Lucas! Lepaskan borgol nona muda ini.”“Terimakasih.”“Jika aku jadi kalian, aku tak akan kemana-mana membuat kekacauan, karena aku tak akan segan-segan langsung meri

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-08
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   13. Nina Smith

    “Meha, apakah kau suka publisitas?”“Nope. Menjadi pusat perhatian adalah antonim dari Meha.”“Maka, kusarankan kau menunggu kami di pintu belakang, nanti kujemput di tangga darurat, bagaimana? Kalau big boy ini sih sudah biasa, biar dia jadi umpan bagimu untuk menjauhkan wartawan. Mereka akan mengerubunginya seperti piranha mencium darah.” Ray menepuk pundak Remi.“Kau bawa topiku?”“Tentu saja! Nih, tangkap!”Remi sigap menangkap topi yang dilemparkan oleh Ray. “Aku titip Meha, Ray.”“Sejak kapan kau percaya padaku? Kau tak takut nona cantik ini nanti malah memilihku? Benar kan nona? Pesonaku lebih menggoda dibandingkan berandalan tampan ini.”Aku hanya tersenyum saja melihat interaksi mereka berdua. Baru ini aku melihat Remi bisa begitu terbuka dan menjadi diri sendiri saat bersama Ray. Di depanku saat ini menjelma seorang Remi yang bersikap sesuai usianya, bahkan di depan papanya sendiri ia tak bersikap seperti ini, tetap menunjukkan sikap stoic. Memunculkan rasa penasaranku terha

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-10

Bab terbaru

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   28. Kemarahan Remi

    Aku tak suka caranya berbicara yang terkesan sangat arogan dan berlagak pahlawan. Sementara tadi aku ingat betul ia membiarkan Cam adu jotos di luar bar, senang mendapat hiburan kala senggang. Kini ia bertingkah selayaknya penguasa wilayah.“Jika anda polisi pintar, anda pasti tahu untuk tak serta merta mempercayai apa yang disiarkan oleh berita. Selain itu, saya cukup tahu untuk tidak harus menjawab tuduhan sepihak anda.”“Karena pertanyaanku tepat sasaran?”“Karena anda tak tahu apa-apa, saya harap anda memfokuskan diri untuk membereskan masalah yang tampak di depan mata ketimbang mengendus-endus permasalahan saya.” Aku menunjuk dengan ekor mataku ke arah puing-puing mobil Albert, tak sanggup melihat dengan seksama isi di dalamnya.Polisi itu, walaupun aku bertekad untuk menyindirnya namun ternyata keras kepala juga, kini ia terkekeh dan menatapku dengan kesan meremehkan. Sangat menyebalkan.“Sebagai orang terakhir yang melihat korban dalam kondisi hidup, saya akan membawa anda bert

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   27. Jackson

    Rasa sakit di seluruh tubuh akibat benturan tak menghalangiku untuk mendorong pintu sekuat tenaga menggunakan kaki, akibat ledakan besar barusan membuat kondisi mobil Ray rusak, aku ingin segera mengetahui kondisi David. Namun harapanku langsung pupus saat melihat kondisi mobil mereka tinggal kerangka saja, api telah melahap habis material yang gampang terbakar, asap hitam tebal membumbung tinggi di udara.Ray dan Cam yang keluar di sisi berlawanan sama-sama menganga tak percaya. Lebih-lebih Cam yang kini nyata-nyata menunjukkan rasa takutnya. Matanya nyalang ke sana kemari, saat ia hendak melangkahkan kaki, tubuhnya ditahan oleh Ray.“Kau mau kemana?!”“Aku harus bersembunyi! Psikopat itu bahkan bisa mengikuti sampai ke sini. Aku tak mau mati!! Lepaskan aku!!” Cam mendorong tubuh Ray yang mendekapnya erat, tangan Cam menolak pelukan Ray pada tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat.“Diam!! Kau pikir bisa kemana?! Kini sudah ada aku yang bisa melindungimu Cam!! Tenanglah, kita cari

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   26. Lagi-lagi

    “Saudara David, kau harus ikut kami kembali ke kota.” Albert buka suara memecah keheningan yang ditimbulkan oleh diamku. David tampak ragu, lalu ia seperti mengingat sesuatu ketika matanya memicing menatap kami satu persatu.“Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?! Rumah ini adalah peninggalan bibiku dari jalur paman, kepemilikannya tak mungkin terlacak oleh kepolisian. Ini dihadiahkan bibi untukku saat usiaku menginjak 18 tahun. Apakah kalian memata-mataiku?! Well, sekarang menyingkir dari rumah ini! Aku tak ingin mengikuti kalian kembali ke kota lagi, bisa-bisa nyawaku melayang.”David sekali lagi membangun tembok tinggi pertahanan diri, aku berdecak kesal karena Albert yang tak sabaran.“Lalu bagaimana Cam bisa menemukanmu?!” Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. “Kalau aku, karena Nina pernah bercerita tentang cottage ini padaku setelah kalian menghabiskan liburan bersama. Apakah cottage yang kau anggap rahasia ini sama “rahasianya” dengan akses masuk ke apartemenmu?”

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   25. How The Game Played

    “Hah? Tapi aku tak pernah merasa menerima?” “Karena Nina bilang kau sedang banyak proyek.” Bahuku merosot lemas, entah harus bersyukur atau bersedih. “Apakah karena ketidak hadiranku justru yang menjadi pemicu kalian diburu?” “Ya, itulah mengapa Nina tak ingin kau tahu. Meha, dia tak ingin kau merasa bersalah dan ikut-ikutan diteror psikopat gila ini. Lagipula, psikopat ini, kuturuti atau tidak sepertinya akan tetap menjadikan kita hewan buruan, ia senang sekali melihat kepanikan kita.” “Bagaimana kau tahu?” “Iya menghubungiku lagi, bilang jika permainan telah dimulai sembari tertawa terbahak-bahak. Menuduhku jika kematian-kematian selanjutnya adalah karena kesalahanku, membebankan ketidakstabilan mentalnya padaku! Dasar gila! Setelah itu, dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan Alice meledak di kamar mandi. Itulah awal teror di mulai.” “Bagaimana kau bisa meninggalkan Nina setelah itu?! Dan bagaimana ceritanya Alice bisa meledak? Apakah kau juga membeli bahan peledak?” “TID

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   24. Runyam

    “Jadi, diantara kalian berdua siapa yang mau memberi tahuku pembunuh Nina?!” Aku berdiri dengan berkacak pinggang memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam berganti-ganti.“....”Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku, “Astagaaa...” Aku memijat pangkal hidung frustasi. Memperhatikan mereka berdua yang sibuk melempar pandang melemparkan tanggungjawab. Aku tak mengerti mengapa begitu susahnya mereka menyerahkan nama si pembunuh itu. Memutus komunikasi mereka, aku berdiri menghalangi dan kini menatap Cam tajam, sepertinya dia lebih gampang dikorek informasi.“Jadi, Cam?! Ini bukan permainan, sudah ada banyak nyawa yang melayang. Aku tahu di usiamu yang masih muda...”“... Pfft!” Ray menahan tawa yang membuatku mengernyit menanyakan alasannya menertawakan ucapanku, benarkan Cam masih muda? Dia tampak seperti baru memulai masa puber.“Oh, sorry Meha. Hanya saja, bocah ini walau tampak seperti remaja, namun sebenarnya dia sudah semester pertama di Elephas.”“Oh... Well, intinya situa

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   23. Hai, Cam

    “David, diam.” Perintahku pada David yang masih sibuk mondar mandir menggumamkan kata-kata penyesalan yang berulang-ulang.“David, DIAM!” Kini aku mengatakannya dengan lebih keras yang membuatnya terpaku di tempat.“Ada apa, Meha? Kau membuatku terkejut.”“Apakah tadi ada orang yang datang sebelum kami?”David mengedikkan bahunya tanda tak tahu, “Aku tadi tidur dan terbangun karena teriakanmu.”Aku menuju kamar mandi sekali lagi untuk memastikan, wangi itu masih lekat di sana jadi tadi bukanlah imajinasiku saja. Selanjutnya aku membuka lemari obat di atas wastafel meneliti isi di dalamnya satu persatu. David tak memakai produk perawatan badan dengan bau vetiver itu, yang artinya hanya satu. Ini adalah wangi dari orang yang tak ingin diketahui identitasnya.“Ayolah David, katakan siapa yang meneror kalian?!”“Kau kenapa sih?! Aku kan sudah bilang kalau tidak akan memberitahumu.”“RAY!! CARI DENGAN SEKSAMA, ADA ORANG YANG DATANG SEBELUM KITA!!” Aku berteriak pada Ray berharap kedua petu

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   22. Vetiver

    “Meha, kau berurusan dengan orang yang salah jika mencari tahu tentang Nina. Sebaiknya kau tak usah ikut campur jika masih ingin selamat. Menjauhlah Meha, tolonglah.” David memohon sembari menggenggam tanganku yang langsung kutarik jengah. Kebencianku pada David menjadi berkali-kali lipat, rasa iba yang tadi muncul karena melihat kondisinya yang berantakan kini sudah hilang. Jadi selama ini dia menghilang karena, dia sibuk menghindar?! Bukannya menuntut balas atas kematian sang kekasih?! Sibuk menyelamatkan b*kongnya sendiri! “Kau menjijikkan David. Mendengarmu mengatakan ini semakin membuatku menyesali kematian Nina yang sia-sia.” Raut wajah David terkejut dan matanya berkaca-kaca, tangannya dengan segera meraup muka untuk menyembunyikan rasa sedihnya, tampak punggungnya yang bergetar karena tangis tertahan. Aku sudah tak peduli, apa yang kukatakan itulah kenyataannya, dia tak layak mendapat simpati. Di sini dia berlindung sementara kekasihnya – sahabatku, mati dalam kondisi menge

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   21. Oh, David

    “David! David!” Panik, aku menggedor pintu kaca itu yang menimbulkan getaran keras. Ray melarangku, khawatir pintu itu pecah dan dituntut karena perusakan properti.Lalu ia dan Albert berusaha membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu, terasa sedikit berat saat digeser. Rumah itu sepi, tak terdengar ada suara apapun dari dalam. Dari lantai yang tampak berdebu dan sarang laba-laba banyak, sepertinya cottage ini sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.Albert meneliti tempat sampah yang penuh dengan bungkus makanan instan, meneliti labelnya yang bertanggal tak terlalu lama. Ia lalu mengirim kode pada temannya dan mereka bersama-sama mengeluarkan senjata. Mataku membulat melihat aksi mereka, jantung berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi. Ketiga pria itu lalu meneliti setiap bagian rumah satu persatu namun tak nampak tanda-tanda kehidupan.Pelan aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak paling dekat denganku, saat itulah aku mencium samar bau yang familiar di udara, aftersh

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   20. Dream Cottage

    “Baiklah, kami ikut kalian. Tapi tuan Ray, kami akan menuntutmu karena melakukan penyerangan terhadap petugas.” Sorot mata petugas itu mengarah pada temannya yang masih terkapar di tanah. “Lakukan saja, aku punya dasar-dasar pembelaan, Dan, jika kalian lupa, aku adalah pengacara maka aku tak akan mundur dengan mudah.” “Cih....” Petugas bernama Albert itu menatap sinis pada Ray. “So, kau mau melanjutkan perdebatan kita atau ikut kami mencari David Brown?” Ganti aku yang memecah situasi, tanganku menyerahkan pistol petugas itu dengan takut-takut yang langsung diletakkan kembali pada tempatnya semula. “WUUU... Mana pertarungannya! Kenapa cepat sekali selesai! Ayo lanjutkan perkelahian kalian!!” Sorak pengunjung pub yang masih menonton kami. Sialan, bukannya melerai malah memanas-manasi, aku menarik lengan Ray menjauh. “Kami akan mengikuti kalian, kali ini dengan jarak dekat. Jangan mencoba kabur dan mengecoh kami.” “Tentu saja, mengekorlah.” Sebelum itu, Ray membantu Albert mengan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status