Share

4. Klaim

Penulis: WuSaKoRi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-29 00:31:16

“SIAL!” umpat Remi.

Tak kupedulikan lagi karena aku sudah berlari dari ruangan itu, terlalu malu menjadi saksi skandal sebuah keluarga. Orang-orang kaya ini terlalu bosan dengan hidupnya sehingga mencari percikan dari hubungan terlarang.

Hatiku memanas karena itu tadi Remi! Merasa bodoh pernah membuka diri pada pria bejat sepertinya, amoral pula!

Tiba di ruangan yang jadi tujuanku sebenarnya, saat tanganku hendak membuka handlenya, urung. Berbalik menuju pintu depan, bodoh sekali aku sempat merasa bangga menjadi bagian dari mereka. Semu. Aku tak cocok menjadi penjilat. Lagipula topeng mereka telah terbuka, mereka bukan orang-orang suci tanpa cela yang diagung-agungkan berita.

Tak lagi memedulikan pesta, dengan tekad bulat aku melangkahkan kaki keluar. Sebuah tangan besar menarik lenganku, tubuhku di paksa masuk ke cloakroom yang penuh dengan mantel milik para tamu.

“Apa-apaan?!”

“Meha, gadis nakal. Kau sudah memergoki perbuatan terlarang dan sekarang hendak kabur? Mau kau jual kemana informasi tadi?” bisik Remi di telingaku dalam ruangan sempit itu.

Tubuh kami berhimpitan dan aku muak dengan glenyar rasa aneh dari area bawah perutku setiap berdekatan dengan Remi. Sadarlah gadis bodoh! Batinku sambil menggigit bibir.

“Lepas... Lepaskan!” aku mendorong badannya yang berat, ia dengan sengaja menghimpit tubuh mungilku dengan tubuhnya yang kekar, memutus ruang gerakku.

Tanpa aba-aba, Remi kembali melumat bibirku, membuat pertahananku runtuh. Belum lagi kecupan-kecupannya pada bahuku yang terbuka secara membabi buta, tak ada area yang dilewatinya, aku mengutuk diriku yang malah menikmatinya.

Mengapa aku bisa begitu benci dan cinta pada orang yang sama?

Sadarlah! Sadarlah Meha sebelum kau semakin terlena! Logikaku berkata. Ya benar, jika aku lengah maka aku akan terluka.

Saat tangannya dengan begitu berani masuk ke dalam celah pahaku. Cukup sudah.

“STOP!” teriakku yang membuatnya terkejut dan sukses membuatnya mundur mengangkat tangan.

“Thank you,” aku menghormati keputusannya dan hendak keluar dari ruangan sempit-laknat-yang-membuatku-ingin-menerkamnya-lagi ini.

Remi menahan tanganku lembut.

“Meha, apa yang kau lihat di perpustakaan tadi tak seperti yang kau duga.”

“Bukan urusanku tuan Remi.”

“Menjadi urusan untukku, karena jika itu orang lain maka aku tak akan ambil pusing. Tapi aku tak ingin jika itu kau yang salah persepsi terhadapku.”

“Aku bukan siapa-siapa tuan. Usah pedulikan.”

“Kau milikku Meha.”

“Tsk!” aku berdecak karena kesal dengan cara orang-orang kaya ini memandang orang lain layaknya properti.

“Sudah kukatakan tuan. Terimakasih, tapi tidak. Aku tak sedang mendaftar sebagai salah satu pelayan tuan.”

“Begitukah kau menilaiku Meha?”

Kulirik ia, mempertanyakan isi otaknya yang tampak lemot.

“Ayo, kukenalkan pada kedua orang tuaku,” ajaknya mengangsurkan tangan untuk kupegang. Aku sempat menimbang untuk sesaat, bijakkah menerima undangannya ini. Karena jika salah langkah, maka tak ada jalan lurus untuk kembali.

“Sebentar,” aku memperbaiki penampilan dibantu olehnya, well tidak juga karena jarinya tak henti-henti dimainkan di pundakku yang terbuka. Aku mengutuk setan yang tertawa melihatku hampir tergoda untuk tetap tinggal di ruangan ini dan melanjutkan adegan panas kami tadi.

“Huuuft...” ia menghembuskan napas kecewa karena melihat pendirianku yang tetap teguh dan reaksi jujurnya itu membuatku geli, tak tahu saja ia jika aku mengerahkan seluruh tekad yang kupunya untuk menahan diri.

“Ayo.” Ajakku dengan senyum tersungging, dikecupnya tanganku manis, dan aku meleleh.

Ia menuntun tanganku kembali ke ballroom. Kali ini saat kami masuk, ruangan yang semula bising tiba-tiba hening, seluruh mata memandang. Kutarik tanganku dari genggaman Remi namun ditahannya.

Dituntunnya tanganku menuju Mr dan Mrs Langdon yang memandang kami tanpa berkedip.

“Dad, Leah. Ini kekasihku, kenalkan Miss Meha Fumiko Azeeza.” Sempat terkejut karena ia tahu nama panjangku.

“Selamat malam Sir dan Mrs Langdon.” Sapaku berusaha tampak sopan.

“Remi, aku tak tahu jika ia milikmu.”

“Begitulah, dad. Kuharap kau tak mengganggunya.”

“Haha, kau bisa bercanda juga.”

“Aku serius dad.”

Kuperhatikan Mrs Leah yang menenggak gelas sampanyenya hingga habis, tak mengindahkan perdebatan ayah – anak di dekatnya, mungkin sebuah adegan yang sudah biasa di matanya.

“Oh, ini gadis tak tahu sopan santun yang menggeledah rumah orang-orang yang baru didatanginya? Dimana kau pungut dia Remi?”

“Tutup mulutmu Leah,”

“It’s MOM, Remi. Dan jangan buat kegaduhan di sini, semua orang sedang menonton. Kalian berdua, akurlah!” perintah Sir Langdon.

“Kau sangat tahu dad, sampai kapanpun aku tak akan pernah memanggilnya dengan sebutan yang tak pantas ia sandang itu! Permintaanmu berlebihan.”

“Baiklah, baiklah. Pergilah bergaul, sapa tamu-tamu kita. Mereka adalah aset masa depan. Aku sudah muak melihat pertengkaran kalian berdua. Senang mengetahui kau akan jadi bagian dari keluarga kita, Meha. Selamat bergabung.”

Aku menundukkan kepala hormat.

Mrs Leah menatapku dengan pandangan sinis yang tak disembunyikan. Saat Remi pamit untuk mengambilkanku minuman, jalang licik itu mendekatiku.

“Yang kau lihat tadi belum apa-apanya. Remi tak akan pernah bisa berpaling dariku. Camkan itu jalang kecil. Oya, di toko loak mana kau temukan pakaianmu? Baunya seperti sampah,” hinanya dengan bibir mengerucut yang membuat amarahku memuncak.

“Setidaknya, harga diriku masih lebih tinggi dibandingkan denganmu, Mrs Leah. Kemana saja kau umpankan bibir tua penuh silikonmu itu? Kau tak sadar seringai jijik pria yang jadi korbanmu?”

“KURANG AJAR!” teriaknya lalu tanpa diduga menarik rambutku yang tadinya tergelung ke atas kini sukses berantakan.

Aku menahan rasa sakit di kulit kepalaku. Orang-orang sudah riuh melihat pergulatan kami. Beruntung Remi dan Sir Langdon melerai sebelum aku semakin malu menjadi pusat perhatian untuk hal yang memalukan.

Remi membawaku pulang dengan mobilnya, syukurlah. Aku tak tahan harus menjadi pajangan jika tetap di sana.

“Hal baik apa yang sudah kau katakan sehingga membuat berang-berang itu marah?” goda Remi.

Mendengar pertanyaan konyolnya itu membuatku tertawa terbahak-bahak.

Remi menghentikan mobilnya di halaman parkir asrama yang sepi. Ia menatap mataku lekat-lekat, kami menelan ludah dengan susah payah. Saat bibir kami semakin dekat.

“Kruuk...” suara perutku tak sopan, aku memejamkan mata malu.

“Hahaha!” ganti Remi yang tertawa lepas. “Ayo, tak baik jika bercinta dengan perut lapar.” Remi memundurkan mobilnya dan mengajakku mencari makan. Perut sialan! Rutuk hatiku.

Diluar dugaan, Remi mengajakku ke pub kecil yang dipenuhi mahasiswa kampus kami. Aku senang karena menunya di sini sesuai dengan lidahku. Beberapa kawan yang kukenal menyapa dengan anggukan, namun saat dilihatnya aku bersama Remi mereka menghindar.

“Hei, Meha!” sapa Daniel menepuk pundakku akrab. Wajah Remi merah padam melihat tangan Daniel yang masih menempel di sana.

Melihatnya yang sudah siap memulai perkelahian, aku berinisiatif mencairkan suasana.

“Dan! Kenalkan temanku, Remi! Kau mau bergabung bersama kami?”

“Wah! Bo-,”

“Tidak, dia bisa cari meja sendiri.” Potong Remi dingin membuat suasana menjadi kikuk.

“Woah, oke. Sampai jumpa di lab, Meha!” Daniel yang tahu diri menyingkir.

“Apa katamu tadi? TEMAN? Aku sudah mengenalkanmu pada kedua orang tuaku sebagai kekasih dan kau mengenalkanku sebagai TEMAN?”

“Sabarlah, tuan Remi. Aku masih begitu bingung, kau sama sekali tak meminta persetujuanku atas klaimmu.”

“Tapi aku tak melihat penolakanmu saat tanganku berada di dalam blouse mu.” goda Remi nakal.

Aku memejamkan mata, mengutuk nasibku yang tak kunjung membaik.

“Berhentilah menggoda semua pria, Meha. Kau sudah menjadi milikku.”

Dahlah, aku menyerah. Benar-benar tak paham cara kerja otak orang-orang kaya.

*

*

*

Kembali ke masa kini, aku dibawa menuju entah kemana oleh si jalang licik. Yang pasti sudah tidak dalam sekoci lagi karena suara deru mesin mobil dan jalanan berbatu menyakitkan bokongku.

Wangi udara yang kami lewati tampak asing, sedikit beraroma asin laut? Kemana ia membawaku? Sepertinya inilah akhir hidupku.

Mobil berhenti. Hatiku semakin mencelos.

“Buka tudungnya!”

“SRAK!” kain yang menutupi kepalaku dilepaskan.

Mataku memicing karena sinar siang hari yang teramat terang.

“Meha....” sapa suara yang sangat kurindukan, aku mencari-cari sosoknya dan tak dapat menyembunyikan kegembiraan saat ekor mataku menangkap sosoknya yang sedang berdiri di tepi dermaga terpencil.

“Hmmph!” teriakku tertahan.

“Oh, aku lupa, maaf.” Seloroh Leah dan melepaskan sumbat di mulutku.

“Remi!” teriakku, pegangan pada kedua tanganku dilepaskan oleh anak buah Leah. Dengan langkah sempoyongan aku berlari ke arah Remi.

Remi terkejut melihat kondisiku dan menangkapku tepat saat tubuhku hendak membentur aspal.

“Aku sudah menepati janjiku. Kini saatnya kau memenuhi permintaanku, Remi.”

Aku memandang Remi bingung, Remi membuat kesepakatan dengan jalang licik ini? Apa yang dia minta?

Remi memerintahkan Raymond untuk menyerahkan apa yang Leah minta. Dengan sangat enggan Raymond melakukannya.

Leah memeriksanya dengan seksama, saat apa yang dimintanya sesuai ia tertawa terbahak-bahak “HAHAHA! Kau bodoh sekali Remi! Menyerahkan warisanmu hanya untuk seorang gadis yang asal usulnya tak jelas! Serang mereka!” perintahnya tiba-tiba.

Tiga lawan dua, Raymond dan Remi sepertinya sudah memperkirakan hal ini, karena detik berikutnya. Seluruh anak buah Leah tewas terkapar tertembak oleh mereka berdua.

Leah menganga kehabisan kata-kata, ia tak bisa sesumbar senang lagi.

“Re- Remi, kau tentu tahu jika tadi hanya main-main, aku tak mungkin melukaimu.”

“Andai kau tadi langsung pergi, aku tak akan meminta kembali apa yang sudah kuberikan Leah. Tapi kau masih saja tamak, untuk itu terpaksa aku ambil kembali apa yang memang menjadi milikku.”

“Ti-tidak! Jangan Remi! Aku berjanji tak akan mengganggumu dan jala- maksudku Meha. Aku merestui kalian. Biarkan aku pergi sekali ini, Remi. Setelah ini aku akan menghilang.”

“Apa tadi kau juga mau memberikanku kesempatan kedua? Kurasa tidak. Ray, selesaikan.” Perintah Remi dingin.

DOR!

Sekali tembak.

Dan kisah hidup Mrs Leah Thompson-Bortolomov itu tamat.

Aku terpaku menatap rentetan peristiwa bertubi-tubi yang terjadi padaku. Berakhirkah sudah? Apakah ini artinya aku boleh bernapas lega?

Remi berjalan ke arahku dengan seringai usilnya yang kurindu. Saat senyum hendak terkembang di bibirku, aku menyaksikan Raymond yang kini mengacungkan glock-nya ke arah Remiku dari arah belakang.

‘TIDAK! Jangan bercanda!’ suaraku tercekat di tenggorokan. Remi melihat ekspresiku yang berubah pias, ia berbalik namun.

DOR!

Bunyi tembakan pecah di udara, aku kesulitan bernapas.

Bab terkait

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   5. First Case

    DOR!Raymond rebah ke tanah diikuti teriakanku yang menggema ke segala arah. Rahang Remi mengeras menahan emosinya tumpah. Siapa sangka, orang yang paling ia percaya berkhianat. Jika itu orang lain, atau bahkan papanya sekalipun ia maklum, tapi ini Raymond?“Ray? Bagaimana bisa?” “Kamu tak papa? Love?” tanya Remi padaku yang masih ternganga, aku menggeleng sebagai jawaban.Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan posesif, menyiratkan kekhawatirannya padaku. Ku balas dengan melingkarkan lenganku lembut di lehernya. Oh, betapa rindunya aku pada lelaki ini.Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, aku memberinya kecupan-kecupan kecil. Yang berhasil membuatnya menggeram.“Kucing kecil....” suara dalam dan menggetarkan Remi memanggilku dengan julukan kesayangannya di telingaku, membuat kulitku meremang akan gairah. Ia bagai dewa Eros bagiku, memancing hasrat seksual yang tak pernah sadar kumiliki.Dihirupnya bau tubuhku kuat-kuat, awalnya pelan, lembut, hingga gairahnya menguasai dan m

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   6. Ancaman

    “Hey, kau baik-baik saja?” Remi bertanya padaku yang sedang terpaku di mobil polisi yang membawa kami ke markas mereka.“Itu...., itu NINA!! NINAAAA!!” histeris kala memutar kembali peristiwa tadi di dalam otakku. Remi memelukku erat, aku tersedu sedan di pelukannya. Sera yang duduk di sampingku termenung menatap ke luar jendela.Aku terlalu mengenal Nina hingga bagaimanapun mengerikannya kondisi mayat tadi aku masih mengenalinya.Nina, Nina-ku, mati. Dengan cara keji yang tak dapat kubayangkan.Apakah aku sedang bermimpi? Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini pada Nina? Padahal dia adalah manusia paling lembut dan baik hati yang kukenal.Tanganku terkepal, rasa marah menguasaiku. Siapapun yang melakukan ini pada Nina, akan kupastikan mendapatkan balasan yang jauh lebih kejam.“Hey, hey. Tenanglah.” Remi mengelus punggungku membuatku memejam.“Gila, sangat mengerikan. Aku tak yakin bisa hidup normal setelah ini. Mata itu, mata itu.” lirih Sera seperti bergumam sendiri.Apa yang dika

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   7. Cat Kuku Hint Biru Metalik

    Aku menjauh dari dekapan Remi, tahu sekali jika pertahananku lemah jika sudah menyangkut dada bidang dan aroma tubuh Remi yang menghipnotis. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berpikir macam-macam.Remi memandangku yang menelan ludah dengan susah payah. Sisi positif dari rasa gugup ini adalah, aku tak lagi menggigil kedinginan karena jantung memompa darah lebih cepat dari biasanya, mengalirkan hangat ke seluruh tubuhku.“Meha, aku rasa kamu harus berhati-hati mulai sekarang. Jika mereka sampai mengirim detektif untuk membuntutimu artinya ini bukan kasus kecil.”“ITU, atau aku dicurigai sebagai pembunuh Nina.”“Apakah kau pelakunya?”“Apakah semudah itu ditebaknya?” aku bertanya dengan nada sarkas sambil memutar bola mata.“Hanya untuk memastikan.”“No. Dan keinginanku untuk mengungkap pembunuh Nina mungkin lebih besar dibandingkan polisi-polisi itu.”“Kau mencurigai seseorang?”“Ya. David Brown, dia pacar Nina, hubungan mereka tak sehat, ia sangat kasar.”Aku dan Remi bertukar pand

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-03
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   8. Sera Ramirez

    Aku berlari sempoyongan menuju arah pintu keluar, dengan panik memencet tombol turun. Pintu lift segera membuka, aku menghambur masuk, melihat Remi yang menyusulku dan ikut masuk. Dengan segera aku memencet tombol tutup dan mengarahkan lift kembali ke basement.“Kenapa? Kau membuatku terkejut Meha. Kau mengenal itu siapa? Karena dari bentuk kakinya, aku bisa pastikan itu bukan milik laki-laki.”“Alice, itu Alice. Alice Garcia.”“Siapa?”“Dia ... Mahasiswa penelitian di labku.”“Oh Meha, situasi ini semakin buruk saja untukmu.”Jari jemariku bergetar, ada apa ini? Mengapa dua orang yang kukenal tew4s dalam keadaan mengerikan dan tak wajar?“Remi, apa yang harus kita lakukan?”“Melaporkannya pada polisi?”Aku menatap Remi tak percaya, bagaimana mungkin ide itu muncul di kepalanya. Apa dia tak ingat jika posisiku di ujung tanduk?“Look Meha, sidik jari kita sudah menempel di mana-mana, akan lebih mencurigakan jika kita memilih diam. Lift ini bahkan sudah merekam wajah kita berdua!”Ding!

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-04
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   9. Oh, Sera

    “Bagaimana ini Remi? Itu Sera! Sera menghilang!”“Tenang, Meha. Bisa saja ia hanya memutar dan petugas itu selip memperhatikan Sera.”“Oh, Remi. Kali ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Firasatku buruk mengenai ini Remi.”Polisi tua penguntit kami tadi melompat ke ruang kemudi dan membunyikan sirine menuju alamat terakhir Sera terlihat, bergabung dengan petugas yang menunggu di sana.“Hey, kita berputar sebentar ya. Teman kalian hilang dari radar.”“Pak! Apa tadi maksudnya teman saya – Sera Ramirez hilang dari pantauan? Apakah kalian mengamatinya?”“Ya, tidak hanya dia. Kami memang mendapat tugas untuk memantau satu-satu dari kalian. Aku seharusnya memantaumu juga. Lihatlah apa yang terjadi saat kau menghilang! Satu lagi pembunuhan terungkap! Sangat ganjil untuk dibilang kebetulan. Apakah kau kena kutukan, atau kau adalah pelakunya?” lirik tajam sang detektif tua padaku yang mengintip dari jeruji yang memisahkan kami.“Sepertinya aku hanya berada di waktu dan tempat yang s

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-05
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   10. Tuduhan

    Aku berlari ke luar dari ruangan berpendingin itu menahan rasa shock, rasa menggigil di badan akibat suhu ruangan yang ekstrem tak terasa lagi.“Meha. Bagaimana? Tak ada?”Dengan mata berkaca-kaca aku menatap Remi, tanganku menunjuk dengan gemetar ruangan tersebut. “Sera... Sera di sana, dalam plastik hitam...”Remi gantian masuk dengan berlari, langsung membuka plastik hitam yang kumaksud. Sama sepertiku, ia keluar dengan wajah pias kehabisan kata-kata. Kami duduk termenung berdua di depan ruangan berpendingin itu hingga suara petugas berlarian mencari kami.“KALIAN!! Menyusahkan sekali!!” petugas tua yang belakangan kutahu bernama Sir George itu berang menatap kami.Aku dan Remi tak mengindahkan amarah detektif tersebut.“Great! Sekarang kalian bertingkah seperti patung. Ayo kembali ke mobil sebelum masa pensiunku ditangguhkan gara-gara kalian.”“Kami menemukan Sera.”Petugas itu menatapku sangsi dan bertanya dengan kalimat menyepelekan. “Sekarang kalian ingat menaruh mayatnya di ma

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-06
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   11. Skenario Yang Rapi

    Decit suara roda brankar yang didorong bergesekan dengan ubin menyakitkan telingaku dan membuatku menyerah pada mimpi sunyi yang lebih memikat. Saat mataku membuka, aku mendapati diri sudah berada di ruangan yang tak kukenal. Namun dari tampilannya yang bersih, mesin dan infus di tangan, juga bau obat-obatan, aku menyimpulkan jika sedang berada di rumah sakit.Kenapa tiba-tiba aku di sini? Aku mencoba mengingat-ingat kembali. Ah, ledakan! Mengingat suara memekakkan telinga dan bumi berguncang setelahnya membuatku terbangun dari posisi tidur secara tiba-tiba.Clang! Tanganku tertahan oleh borgol di tangan kanan yang mengikatku ke ranjang pasien. Seorang perawat datang membuka tirai yang memisahkan bilikku dengan bilik yang lain.“Oh, kamu sudah sadar, ada keluhan?” ia bertanya ramah.“Oh, Mm- aku di mana?”“Anda sedang dirawat di Rumah Sakit Elephas, unit kesehatan paling dekat dengan Tempat Kejadian Perkara.”“Aku, tadi bersama dengan seorang teman, apakah anda tahu dimana dia?”“Tuan

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-07
  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   12. Raymond

    “Maaf, Sir. Anda tak bisa menahan saya dan Meha tanpa ada surat penangkapan resmi. Jika kalian melakukannya, maka pengacara saya yang akan berbicara.” Remi datang dengan kabar yang membuat rasa bahagiaku naik.“Remi, semua ini akan mudah jika kau mau bekerjasama.”“Saya menolak.”Rahang detektif Tom – yang lucunya ternyata bernama Tommy – mengeras, ia yang tadinya jumawa bisa membawa kami berdua dan sudah memikirkan publikasi besar-besaran di depan mata yang akan dia dapat karena berhasil memojokkan anak Sir Langdon yang terkenal itu, menjadi buyar. Dengan anggukan kepala, ia mengajak anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.“Hey, detektif. Tolong lepaskan borgolku.” Aku menunjukkan tangan yang masih terikat di ranjang.“Well, nona Meha. Bukankah anda mahir melakukannya sendiri?”“Maaf, bagaimana maksudnya?”“Tidak ada, Lucas! Lepaskan borgol nona muda ini.”“Terimakasih.”“Jika aku jadi kalian, aku tak akan kemana-mana membuat kekacauan, karena aku tak akan segan-segan langsung meri

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-08

Bab terbaru

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   28. Kemarahan Remi

    Aku tak suka caranya berbicara yang terkesan sangat arogan dan berlagak pahlawan. Sementara tadi aku ingat betul ia membiarkan Cam adu jotos di luar bar, senang mendapat hiburan kala senggang. Kini ia bertingkah selayaknya penguasa wilayah.“Jika anda polisi pintar, anda pasti tahu untuk tak serta merta mempercayai apa yang disiarkan oleh berita. Selain itu, saya cukup tahu untuk tidak harus menjawab tuduhan sepihak anda.”“Karena pertanyaanku tepat sasaran?”“Karena anda tak tahu apa-apa, saya harap anda memfokuskan diri untuk membereskan masalah yang tampak di depan mata ketimbang mengendus-endus permasalahan saya.” Aku menunjuk dengan ekor mataku ke arah puing-puing mobil Albert, tak sanggup melihat dengan seksama isi di dalamnya.Polisi itu, walaupun aku bertekad untuk menyindirnya namun ternyata keras kepala juga, kini ia terkekeh dan menatapku dengan kesan meremehkan. Sangat menyebalkan.“Sebagai orang terakhir yang melihat korban dalam kondisi hidup, saya akan membawa anda bert

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   27. Jackson

    Rasa sakit di seluruh tubuh akibat benturan tak menghalangiku untuk mendorong pintu sekuat tenaga menggunakan kaki, akibat ledakan besar barusan membuat kondisi mobil Ray rusak, aku ingin segera mengetahui kondisi David. Namun harapanku langsung pupus saat melihat kondisi mobil mereka tinggal kerangka saja, api telah melahap habis material yang gampang terbakar, asap hitam tebal membumbung tinggi di udara.Ray dan Cam yang keluar di sisi berlawanan sama-sama menganga tak percaya. Lebih-lebih Cam yang kini nyata-nyata menunjukkan rasa takutnya. Matanya nyalang ke sana kemari, saat ia hendak melangkahkan kaki, tubuhnya ditahan oleh Ray.“Kau mau kemana?!”“Aku harus bersembunyi! Psikopat itu bahkan bisa mengikuti sampai ke sini. Aku tak mau mati!! Lepaskan aku!!” Cam mendorong tubuh Ray yang mendekapnya erat, tangan Cam menolak pelukan Ray pada tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat.“Diam!! Kau pikir bisa kemana?! Kini sudah ada aku yang bisa melindungimu Cam!! Tenanglah, kita cari

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   26. Lagi-lagi

    “Saudara David, kau harus ikut kami kembali ke kota.” Albert buka suara memecah keheningan yang ditimbulkan oleh diamku. David tampak ragu, lalu ia seperti mengingat sesuatu ketika matanya memicing menatap kami satu persatu.“Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?! Rumah ini adalah peninggalan bibiku dari jalur paman, kepemilikannya tak mungkin terlacak oleh kepolisian. Ini dihadiahkan bibi untukku saat usiaku menginjak 18 tahun. Apakah kalian memata-mataiku?! Well, sekarang menyingkir dari rumah ini! Aku tak ingin mengikuti kalian kembali ke kota lagi, bisa-bisa nyawaku melayang.”David sekali lagi membangun tembok tinggi pertahanan diri, aku berdecak kesal karena Albert yang tak sabaran.“Lalu bagaimana Cam bisa menemukanmu?!” Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. “Kalau aku, karena Nina pernah bercerita tentang cottage ini padaku setelah kalian menghabiskan liburan bersama. Apakah cottage yang kau anggap rahasia ini sama “rahasianya” dengan akses masuk ke apartemenmu?”

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   25. How The Game Played

    “Hah? Tapi aku tak pernah merasa menerima?” “Karena Nina bilang kau sedang banyak proyek.” Bahuku merosot lemas, entah harus bersyukur atau bersedih. “Apakah karena ketidak hadiranku justru yang menjadi pemicu kalian diburu?” “Ya, itulah mengapa Nina tak ingin kau tahu. Meha, dia tak ingin kau merasa bersalah dan ikut-ikutan diteror psikopat gila ini. Lagipula, psikopat ini, kuturuti atau tidak sepertinya akan tetap menjadikan kita hewan buruan, ia senang sekali melihat kepanikan kita.” “Bagaimana kau tahu?” “Iya menghubungiku lagi, bilang jika permainan telah dimulai sembari tertawa terbahak-bahak. Menuduhku jika kematian-kematian selanjutnya adalah karena kesalahanku, membebankan ketidakstabilan mentalnya padaku! Dasar gila! Setelah itu, dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan Alice meledak di kamar mandi. Itulah awal teror di mulai.” “Bagaimana kau bisa meninggalkan Nina setelah itu?! Dan bagaimana ceritanya Alice bisa meledak? Apakah kau juga membeli bahan peledak?” “TID

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   24. Runyam

    “Jadi, diantara kalian berdua siapa yang mau memberi tahuku pembunuh Nina?!” Aku berdiri dengan berkacak pinggang memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam berganti-ganti.“....”Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku, “Astagaaa...” Aku memijat pangkal hidung frustasi. Memperhatikan mereka berdua yang sibuk melempar pandang melemparkan tanggungjawab. Aku tak mengerti mengapa begitu susahnya mereka menyerahkan nama si pembunuh itu. Memutus komunikasi mereka, aku berdiri menghalangi dan kini menatap Cam tajam, sepertinya dia lebih gampang dikorek informasi.“Jadi, Cam?! Ini bukan permainan, sudah ada banyak nyawa yang melayang. Aku tahu di usiamu yang masih muda...”“... Pfft!” Ray menahan tawa yang membuatku mengernyit menanyakan alasannya menertawakan ucapanku, benarkan Cam masih muda? Dia tampak seperti baru memulai masa puber.“Oh, sorry Meha. Hanya saja, bocah ini walau tampak seperti remaja, namun sebenarnya dia sudah semester pertama di Elephas.”“Oh... Well, intinya situa

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   23. Hai, Cam

    “David, diam.” Perintahku pada David yang masih sibuk mondar mandir menggumamkan kata-kata penyesalan yang berulang-ulang.“David, DIAM!” Kini aku mengatakannya dengan lebih keras yang membuatnya terpaku di tempat.“Ada apa, Meha? Kau membuatku terkejut.”“Apakah tadi ada orang yang datang sebelum kami?”David mengedikkan bahunya tanda tak tahu, “Aku tadi tidur dan terbangun karena teriakanmu.”Aku menuju kamar mandi sekali lagi untuk memastikan, wangi itu masih lekat di sana jadi tadi bukanlah imajinasiku saja. Selanjutnya aku membuka lemari obat di atas wastafel meneliti isi di dalamnya satu persatu. David tak memakai produk perawatan badan dengan bau vetiver itu, yang artinya hanya satu. Ini adalah wangi dari orang yang tak ingin diketahui identitasnya.“Ayolah David, katakan siapa yang meneror kalian?!”“Kau kenapa sih?! Aku kan sudah bilang kalau tidak akan memberitahumu.”“RAY!! CARI DENGAN SEKSAMA, ADA ORANG YANG DATANG SEBELUM KITA!!” Aku berteriak pada Ray berharap kedua petu

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   22. Vetiver

    “Meha, kau berurusan dengan orang yang salah jika mencari tahu tentang Nina. Sebaiknya kau tak usah ikut campur jika masih ingin selamat. Menjauhlah Meha, tolonglah.” David memohon sembari menggenggam tanganku yang langsung kutarik jengah. Kebencianku pada David menjadi berkali-kali lipat, rasa iba yang tadi muncul karena melihat kondisinya yang berantakan kini sudah hilang. Jadi selama ini dia menghilang karena, dia sibuk menghindar?! Bukannya menuntut balas atas kematian sang kekasih?! Sibuk menyelamatkan b*kongnya sendiri! “Kau menjijikkan David. Mendengarmu mengatakan ini semakin membuatku menyesali kematian Nina yang sia-sia.” Raut wajah David terkejut dan matanya berkaca-kaca, tangannya dengan segera meraup muka untuk menyembunyikan rasa sedihnya, tampak punggungnya yang bergetar karena tangis tertahan. Aku sudah tak peduli, apa yang kukatakan itulah kenyataannya, dia tak layak mendapat simpati. Di sini dia berlindung sementara kekasihnya – sahabatku, mati dalam kondisi menge

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   21. Oh, David

    “David! David!” Panik, aku menggedor pintu kaca itu yang menimbulkan getaran keras. Ray melarangku, khawatir pintu itu pecah dan dituntut karena perusakan properti.Lalu ia dan Albert berusaha membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu, terasa sedikit berat saat digeser. Rumah itu sepi, tak terdengar ada suara apapun dari dalam. Dari lantai yang tampak berdebu dan sarang laba-laba banyak, sepertinya cottage ini sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.Albert meneliti tempat sampah yang penuh dengan bungkus makanan instan, meneliti labelnya yang bertanggal tak terlalu lama. Ia lalu mengirim kode pada temannya dan mereka bersama-sama mengeluarkan senjata. Mataku membulat melihat aksi mereka, jantung berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi. Ketiga pria itu lalu meneliti setiap bagian rumah satu persatu namun tak nampak tanda-tanda kehidupan.Pelan aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak paling dekat denganku, saat itulah aku mencium samar bau yang familiar di udara, aftersh

  • Misteri Mayat Sahabat-Sahabatku   20. Dream Cottage

    “Baiklah, kami ikut kalian. Tapi tuan Ray, kami akan menuntutmu karena melakukan penyerangan terhadap petugas.” Sorot mata petugas itu mengarah pada temannya yang masih terkapar di tanah. “Lakukan saja, aku punya dasar-dasar pembelaan, Dan, jika kalian lupa, aku adalah pengacara maka aku tak akan mundur dengan mudah.” “Cih....” Petugas bernama Albert itu menatap sinis pada Ray. “So, kau mau melanjutkan perdebatan kita atau ikut kami mencari David Brown?” Ganti aku yang memecah situasi, tanganku menyerahkan pistol petugas itu dengan takut-takut yang langsung diletakkan kembali pada tempatnya semula. “WUUU... Mana pertarungannya! Kenapa cepat sekali selesai! Ayo lanjutkan perkelahian kalian!!” Sorak pengunjung pub yang masih menonton kami. Sialan, bukannya melerai malah memanas-manasi, aku menarik lengan Ray menjauh. “Kami akan mengikuti kalian, kali ini dengan jarak dekat. Jangan mencoba kabur dan mengecoh kami.” “Tentu saja, mengekorlah.” Sebelum itu, Ray membantu Albert mengan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status