Rasa sakit di seluruh tubuh akibat benturan tak menghalangiku untuk mendorong pintu sekuat tenaga menggunakan kaki, akibat ledakan besar barusan membuat kondisi mobil Ray rusak, aku ingin segera mengetahui kondisi David. Namun harapanku langsung pupus saat melihat kondisi mobil mereka tinggal kerangka saja, api telah melahap habis material yang gampang terbakar, asap hitam tebal membumbung tinggi di udara.Ray dan Cam yang keluar di sisi berlawanan sama-sama menganga tak percaya. Lebih-lebih Cam yang kini nyata-nyata menunjukkan rasa takutnya. Matanya nyalang ke sana kemari, saat ia hendak melangkahkan kaki, tubuhnya ditahan oleh Ray.“Kau mau kemana?!”“Aku harus bersembunyi! Psikopat itu bahkan bisa mengikuti sampai ke sini. Aku tak mau mati!! Lepaskan aku!!” Cam mendorong tubuh Ray yang mendekapnya erat, tangan Cam menolak pelukan Ray pada tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat.“Diam!! Kau pikir bisa kemana?! Kini sudah ada aku yang bisa melindungimu Cam!! Tenanglah, kita cari
Aku tak suka caranya berbicara yang terkesan sangat arogan dan berlagak pahlawan. Sementara tadi aku ingat betul ia membiarkan Cam adu jotos di luar bar, senang mendapat hiburan kala senggang. Kini ia bertingkah selayaknya penguasa wilayah.“Jika anda polisi pintar, anda pasti tahu untuk tak serta merta mempercayai apa yang disiarkan oleh berita. Selain itu, saya cukup tahu untuk tidak harus menjawab tuduhan sepihak anda.”“Karena pertanyaanku tepat sasaran?”“Karena anda tak tahu apa-apa, saya harap anda memfokuskan diri untuk membereskan masalah yang tampak di depan mata ketimbang mengendus-endus permasalahan saya.” Aku menunjuk dengan ekor mataku ke arah puing-puing mobil Albert, tak sanggup melihat dengan seksama isi di dalamnya.Polisi itu, walaupun aku bertekad untuk menyindirnya namun ternyata keras kepala juga, kini ia terkekeh dan menatapku dengan kesan meremehkan. Sangat menyebalkan.“Sebagai orang terakhir yang melihat korban dalam kondisi hidup, saya akan membawa anda bert
“Kamu! Pelakunya!”Tanganku menunjuk seseorang yang begitu aku kenal.Saat mengetahui siapa biang kerok dari semua teror ini. Aku sempat denial, menyangkal berulang kali karena sosoknya yang benar-benar di luar perkiraanku.Namun seluruh bukti yang kukumpulkan dengan sembunyi-sembunyi itu mengarah hanya padanya seorang. Di tempat kejadian perkara yang sesungguhnya, aku memojokkan sang pelaku.“Meha, kau menyusahkan sekali.” Seringai pembunuh berdarah dingin itu yang membuat seluruh bulu kudukku berdiri.Aku lengah, luput menilai jika ia masih punya sisi baik terlepas dari rangkaian pembunuhan keji yang ia lakukan.“BUGH!”Pukulan ke kepalaku dari arah belakang.Gelap.Aku tak tahu jika ia punya kaki tangan.Aku salah perhitungan.Dan kini, namaku yang mungkin akan terpampang di setiap surat kabar elektronik bersandingan dengan nama-nama korban sebelumnya.Ah, Meha. Padahal kamu baru saja jatuh cinta.“Meha.... Meha.... TOLONG!” Teriakan Nina - sahabatku yang kutemukan dengan tubuh ter
“Bagaimana keadaan gadis itu?”“Belum siuman karena masih kehilangan banyak darah Sir.”“Laporkan keadaannya padaku langsung, tempatkan dua penjaga di depan ruangannya. Dia adalah saksi kunci kita, kita tak mau mengambil resiko kehilangannya.”“Baik, Sir.”Aku mendengar samar-samar percakapan dari luar masih dengan mata terpejam, kesadaranku berusaha mengetuk-ngetuk untuk ke permukaan tapi fisikku tak kuasa. Kegelapan seolah lebih mudah untuk digapai dibanding terang. Aku terseret pasrah pada tarikan kelelahanku lagi.Disorientasi waktu, rasanya lelah. Entah sudah berapa lama rasanya aku berlari di dalam kabut tebal bertelanjang kaki. Rumput di bawah kakiku basah berlumpur, piyama rumah sakit yang kukenakan kotor tak karuan, sela-sela jarikupun mulai terasa gatal.“Meha... Meha...!” Lagi-lagi aku mendengarkan suara teriakan Nina, untuk itulah aku tadi berlari, mencari-cari sumber suaranya.Sumber cahaya satu-satunya di kejauhan layaknya mercusuar yang menjadi tujuan pelarianku. Menemb
“Ikat dia sebelum kabur! Sumpal mulutnya juga!”‘Sial! Keberuntungan belum juga dipihakku. Ditangkap oleh ular licik ini.’“Cih. Tutupi mukanya juga, aku tak tahan!” dengan bergidik ia menatapku yang memandangnya dengan dendam berkilat-kilat.Aku berontak saat orang suruhannya memegangi tubuhku, namun staminaku yang telah terkuras kalah tanpa perjuangan berarti.Suara sirine terdengar mendekat dari arah jalan raya, rasa bahagiaku terbit namun segera dipadamkan oleh jalang itu dengan menampar pipiku begitu kuat dan membuatku pingsan. Sayup-sayup aku mendengar, kaki tangan si jalang memintanya untuk bersembunyi menutup kepala dan menambatkan sekoci di bawah jembatan agar tak terlihat.Kembali ke masa dimana masalah paling berat yang kuhadapi hanya seputar tugas dan laporan bulanan.Sir Langdon con artist itu, adalah magnet kuat popularitas, siapapun yang berhasil masuk dalam lingkarannya akan terciprat kepopulerannya itu. Dan ia senang mengundang segelintir mahasiswa yang menarik minatn
“SIAL!” umpat Remi. Tak kupedulikan lagi karena aku sudah berlari dari ruangan itu, terlalu malu menjadi saksi skandal sebuah keluarga. Orang-orang kaya ini terlalu bosan dengan hidupnya sehingga mencari percikan dari hubungan terlarang. Hatiku memanas karena itu tadi Remi! Merasa bodoh pernah membuka diri pada pria bejat sepertinya, amoral pula! Tiba di ruangan yang jadi tujuanku sebenarnya, saat tanganku hendak membuka handlenya, urung. Berbalik menuju pintu depan, bodoh sekali aku sempat merasa bangga menjadi bagian dari mereka. Semu. Aku tak cocok menjadi penjilat. Lagipula topeng mereka telah terbuka, mereka bukan orang-orang suci tanpa cela yang diagung-agungkan berita. Tak lagi memedulikan pesta, dengan tekad bulat aku melangkahkan kaki keluar. Sebuah tangan besar menarik lenganku, tubuhku di paksa masuk ke cloakroom yang penuh dengan mantel milik para tamu. “Apa-apaan?!” “Meha, gadis nakal. Kau sudah memergoki perbuatan terlarang dan sekarang hendak kabur? Mau kau jual k
DOR!Raymond rebah ke tanah diikuti teriakanku yang menggema ke segala arah. Rahang Remi mengeras menahan emosinya tumpah. Siapa sangka, orang yang paling ia percaya berkhianat. Jika itu orang lain, atau bahkan papanya sekalipun ia maklum, tapi ini Raymond?“Ray? Bagaimana bisa?” “Kamu tak papa? Love?” tanya Remi padaku yang masih ternganga, aku menggeleng sebagai jawaban.Ia merengkuhku ke dalam pelukannya dengan posesif, menyiratkan kekhawatirannya padaku. Ku balas dengan melingkarkan lenganku lembut di lehernya. Oh, betapa rindunya aku pada lelaki ini.Menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, aku memberinya kecupan-kecupan kecil. Yang berhasil membuatnya menggeram.“Kucing kecil....” suara dalam dan menggetarkan Remi memanggilku dengan julukan kesayangannya di telingaku, membuat kulitku meremang akan gairah. Ia bagai dewa Eros bagiku, memancing hasrat seksual yang tak pernah sadar kumiliki.Dihirupnya bau tubuhku kuat-kuat, awalnya pelan, lembut, hingga gairahnya menguasai dan m
“Hey, kau baik-baik saja?” Remi bertanya padaku yang sedang terpaku di mobil polisi yang membawa kami ke markas mereka.“Itu...., itu NINA!! NINAAAA!!” histeris kala memutar kembali peristiwa tadi di dalam otakku. Remi memelukku erat, aku tersedu sedan di pelukannya. Sera yang duduk di sampingku termenung menatap ke luar jendela.Aku terlalu mengenal Nina hingga bagaimanapun mengerikannya kondisi mayat tadi aku masih mengenalinya.Nina, Nina-ku, mati. Dengan cara keji yang tak dapat kubayangkan.Apakah aku sedang bermimpi? Siapa yang bisa melakukan kekejaman ini pada Nina? Padahal dia adalah manusia paling lembut dan baik hati yang kukenal.Tanganku terkepal, rasa marah menguasaiku. Siapapun yang melakukan ini pada Nina, akan kupastikan mendapatkan balasan yang jauh lebih kejam.“Hey, hey. Tenanglah.” Remi mengelus punggungku membuatku memejam.“Gila, sangat mengerikan. Aku tak yakin bisa hidup normal setelah ini. Mata itu, mata itu.” lirih Sera seperti bergumam sendiri.Apa yang dika
Aku tak suka caranya berbicara yang terkesan sangat arogan dan berlagak pahlawan. Sementara tadi aku ingat betul ia membiarkan Cam adu jotos di luar bar, senang mendapat hiburan kala senggang. Kini ia bertingkah selayaknya penguasa wilayah.“Jika anda polisi pintar, anda pasti tahu untuk tak serta merta mempercayai apa yang disiarkan oleh berita. Selain itu, saya cukup tahu untuk tidak harus menjawab tuduhan sepihak anda.”“Karena pertanyaanku tepat sasaran?”“Karena anda tak tahu apa-apa, saya harap anda memfokuskan diri untuk membereskan masalah yang tampak di depan mata ketimbang mengendus-endus permasalahan saya.” Aku menunjuk dengan ekor mataku ke arah puing-puing mobil Albert, tak sanggup melihat dengan seksama isi di dalamnya.Polisi itu, walaupun aku bertekad untuk menyindirnya namun ternyata keras kepala juga, kini ia terkekeh dan menatapku dengan kesan meremehkan. Sangat menyebalkan.“Sebagai orang terakhir yang melihat korban dalam kondisi hidup, saya akan membawa anda bert
Rasa sakit di seluruh tubuh akibat benturan tak menghalangiku untuk mendorong pintu sekuat tenaga menggunakan kaki, akibat ledakan besar barusan membuat kondisi mobil Ray rusak, aku ingin segera mengetahui kondisi David. Namun harapanku langsung pupus saat melihat kondisi mobil mereka tinggal kerangka saja, api telah melahap habis material yang gampang terbakar, asap hitam tebal membumbung tinggi di udara.Ray dan Cam yang keluar di sisi berlawanan sama-sama menganga tak percaya. Lebih-lebih Cam yang kini nyata-nyata menunjukkan rasa takutnya. Matanya nyalang ke sana kemari, saat ia hendak melangkahkan kaki, tubuhnya ditahan oleh Ray.“Kau mau kemana?!”“Aku harus bersembunyi! Psikopat itu bahkan bisa mengikuti sampai ke sini. Aku tak mau mati!! Lepaskan aku!!” Cam mendorong tubuh Ray yang mendekapnya erat, tangan Cam menolak pelukan Ray pada tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat.“Diam!! Kau pikir bisa kemana?! Kini sudah ada aku yang bisa melindungimu Cam!! Tenanglah, kita cari
“Saudara David, kau harus ikut kami kembali ke kota.” Albert buka suara memecah keheningan yang ditimbulkan oleh diamku. David tampak ragu, lalu ia seperti mengingat sesuatu ketika matanya memicing menatap kami satu persatu.“Bagaimana kalian tahu aku ada di sini?! Rumah ini adalah peninggalan bibiku dari jalur paman, kepemilikannya tak mungkin terlacak oleh kepolisian. Ini dihadiahkan bibi untukku saat usiaku menginjak 18 tahun. Apakah kalian memata-mataiku?! Well, sekarang menyingkir dari rumah ini! Aku tak ingin mengikuti kalian kembali ke kota lagi, bisa-bisa nyawaku melayang.”David sekali lagi membangun tembok tinggi pertahanan diri, aku berdecak kesal karena Albert yang tak sabaran.“Lalu bagaimana Cam bisa menemukanmu?!” Aku mencoba menggali informasi lebih banyak lagi. “Kalau aku, karena Nina pernah bercerita tentang cottage ini padaku setelah kalian menghabiskan liburan bersama. Apakah cottage yang kau anggap rahasia ini sama “rahasianya” dengan akses masuk ke apartemenmu?”
“Hah? Tapi aku tak pernah merasa menerima?” “Karena Nina bilang kau sedang banyak proyek.” Bahuku merosot lemas, entah harus bersyukur atau bersedih. “Apakah karena ketidak hadiranku justru yang menjadi pemicu kalian diburu?” “Ya, itulah mengapa Nina tak ingin kau tahu. Meha, dia tak ingin kau merasa bersalah dan ikut-ikutan diteror psikopat gila ini. Lagipula, psikopat ini, kuturuti atau tidak sepertinya akan tetap menjadikan kita hewan buruan, ia senang sekali melihat kepanikan kita.” “Bagaimana kau tahu?” “Iya menghubungiku lagi, bilang jika permainan telah dimulai sembari tertawa terbahak-bahak. Menuduhku jika kematian-kematian selanjutnya adalah karena kesalahanku, membebankan ketidakstabilan mentalnya padaku! Dasar gila! Setelah itu, dengan mata kepala sendiri kami menyaksikan Alice meledak di kamar mandi. Itulah awal teror di mulai.” “Bagaimana kau bisa meninggalkan Nina setelah itu?! Dan bagaimana ceritanya Alice bisa meledak? Apakah kau juga membeli bahan peledak?” “TID
“Jadi, diantara kalian berdua siapa yang mau memberi tahuku pembunuh Nina?!” Aku berdiri dengan berkacak pinggang memperhatikan keduanya dengan tatapan tajam berganti-ganti.“....”Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku, “Astagaaa...” Aku memijat pangkal hidung frustasi. Memperhatikan mereka berdua yang sibuk melempar pandang melemparkan tanggungjawab. Aku tak mengerti mengapa begitu susahnya mereka menyerahkan nama si pembunuh itu. Memutus komunikasi mereka, aku berdiri menghalangi dan kini menatap Cam tajam, sepertinya dia lebih gampang dikorek informasi.“Jadi, Cam?! Ini bukan permainan, sudah ada banyak nyawa yang melayang. Aku tahu di usiamu yang masih muda...”“... Pfft!” Ray menahan tawa yang membuatku mengernyit menanyakan alasannya menertawakan ucapanku, benarkan Cam masih muda? Dia tampak seperti baru memulai masa puber.“Oh, sorry Meha. Hanya saja, bocah ini walau tampak seperti remaja, namun sebenarnya dia sudah semester pertama di Elephas.”“Oh... Well, intinya situa
“David, diam.” Perintahku pada David yang masih sibuk mondar mandir menggumamkan kata-kata penyesalan yang berulang-ulang.“David, DIAM!” Kini aku mengatakannya dengan lebih keras yang membuatnya terpaku di tempat.“Ada apa, Meha? Kau membuatku terkejut.”“Apakah tadi ada orang yang datang sebelum kami?”David mengedikkan bahunya tanda tak tahu, “Aku tadi tidur dan terbangun karena teriakanmu.”Aku menuju kamar mandi sekali lagi untuk memastikan, wangi itu masih lekat di sana jadi tadi bukanlah imajinasiku saja. Selanjutnya aku membuka lemari obat di atas wastafel meneliti isi di dalamnya satu persatu. David tak memakai produk perawatan badan dengan bau vetiver itu, yang artinya hanya satu. Ini adalah wangi dari orang yang tak ingin diketahui identitasnya.“Ayolah David, katakan siapa yang meneror kalian?!”“Kau kenapa sih?! Aku kan sudah bilang kalau tidak akan memberitahumu.”“RAY!! CARI DENGAN SEKSAMA, ADA ORANG YANG DATANG SEBELUM KITA!!” Aku berteriak pada Ray berharap kedua petu
“Meha, kau berurusan dengan orang yang salah jika mencari tahu tentang Nina. Sebaiknya kau tak usah ikut campur jika masih ingin selamat. Menjauhlah Meha, tolonglah.” David memohon sembari menggenggam tanganku yang langsung kutarik jengah. Kebencianku pada David menjadi berkali-kali lipat, rasa iba yang tadi muncul karena melihat kondisinya yang berantakan kini sudah hilang. Jadi selama ini dia menghilang karena, dia sibuk menghindar?! Bukannya menuntut balas atas kematian sang kekasih?! Sibuk menyelamatkan b*kongnya sendiri! “Kau menjijikkan David. Mendengarmu mengatakan ini semakin membuatku menyesali kematian Nina yang sia-sia.” Raut wajah David terkejut dan matanya berkaca-kaca, tangannya dengan segera meraup muka untuk menyembunyikan rasa sedihnya, tampak punggungnya yang bergetar karena tangis tertahan. Aku sudah tak peduli, apa yang kukatakan itulah kenyataannya, dia tak layak mendapat simpati. Di sini dia berlindung sementara kekasihnya – sahabatku, mati dalam kondisi menge
“David! David!” Panik, aku menggedor pintu kaca itu yang menimbulkan getaran keras. Ray melarangku, khawatir pintu itu pecah dan dituntut karena perusakan properti.Lalu ia dan Albert berusaha membuka pintu yang ternyata tak terkunci itu, terasa sedikit berat saat digeser. Rumah itu sepi, tak terdengar ada suara apapun dari dalam. Dari lantai yang tampak berdebu dan sarang laba-laba banyak, sepertinya cottage ini sudah ditinggal lama oleh pemiliknya.Albert meneliti tempat sampah yang penuh dengan bungkus makanan instan, meneliti labelnya yang bertanggal tak terlalu lama. Ia lalu mengirim kode pada temannya dan mereka bersama-sama mengeluarkan senjata. Mataku membulat melihat aksi mereka, jantung berdegup kencang menunggu apa yang akan terjadi. Ketiga pria itu lalu meneliti setiap bagian rumah satu persatu namun tak nampak tanda-tanda kehidupan.Pelan aku berjalan ke arah kamar mandi yang terletak paling dekat denganku, saat itulah aku mencium samar bau yang familiar di udara, aftersh
“Baiklah, kami ikut kalian. Tapi tuan Ray, kami akan menuntutmu karena melakukan penyerangan terhadap petugas.” Sorot mata petugas itu mengarah pada temannya yang masih terkapar di tanah. “Lakukan saja, aku punya dasar-dasar pembelaan, Dan, jika kalian lupa, aku adalah pengacara maka aku tak akan mundur dengan mudah.” “Cih....” Petugas bernama Albert itu menatap sinis pada Ray. “So, kau mau melanjutkan perdebatan kita atau ikut kami mencari David Brown?” Ganti aku yang memecah situasi, tanganku menyerahkan pistol petugas itu dengan takut-takut yang langsung diletakkan kembali pada tempatnya semula. “WUUU... Mana pertarungannya! Kenapa cepat sekali selesai! Ayo lanjutkan perkelahian kalian!!” Sorak pengunjung pub yang masih menonton kami. Sialan, bukannya melerai malah memanas-manasi, aku menarik lengan Ray menjauh. “Kami akan mengikuti kalian, kali ini dengan jarak dekat. Jangan mencoba kabur dan mengecoh kami.” “Tentu saja, mengekorlah.” Sebelum itu, Ray membantu Albert mengan