"Hei perempuan zina enyah kau dari kampung ini!" pekik seorang warga dari luar rumah.
"Angkat kaki kau dari kampung ini! Kami tidak mau kampung ini terkena bencana gara-gara ada perempuan penzina di kampung ini!" geram warga lain. "Keluar kau perempuan zina! Jangan sampai kami seret dan kami bakar kamu hidup-hidup!" berang warga lain. Aku yang masih berada di dalam kamar yang terletak di lantai dua tak berani beranjak keluar rumah. Kali ini aku benar-benar takut. Melalui daun jendela yang kebetulan sedikit terbuka aku memberanikan diri untuk melihat orang-orang kampung yang telah berkumpul di depan rumah. Mereka meneriaki namaku seraya mencaci-maki yang membuat hati ini tercabik-cabik. Mereka terlihat begitu murka. "Ya, Allah. Apa yang harus hamba lakukan?" ucapku di dalam hati seraya memegang perut yang semakin membesar. Beberapa bulan yang lalu pasca meninggalnya kedua orang tuaku dari kecelakaan mobil. Aku mendapatkan perut ini membengkak. Awalnya aku mengira kalau aku terkena penyakit tumor atau sejenisnya. Ternyata aku salah. Aku mengandung seorang bayi. "Ya,Tuhan. Bagaimana aku bisa hamil? Sedangkan aku tak pernah melakukan hubungan badan sekalipun? Aku belum menikah dan baru saja lulus Aliyah. Aku bersumpah atas nama Tuhan dan Rasulku kalau aku tak pernah berbuat zina!" "Kamu bukan terkena tumor, tetapi kamu tengah mengandung seorang bayi. Dan sekarang usianya sudah menginjak empat bulan," ucap seorang Bidan kala itu. "Hei, perempuan penzina enyah kau dari kampung ini sekarang juga! Kalau kau tidak mau pergi detik ini juga kami akan berbuat anarkis! Kami tak mau desa kami yang melahirkan para Alim Ulama tercoreng gara-gara seorang wanita penzina!" teriak warga kampung lagi. Memang benar apa yang dikatakan mereka. Desa ini memang terkenal dengan orang-orang yang Alim Ulama. Di desa ini ada banyak pesantren yang berdiri. Desa ini dijuluki dengan desa seribu menara karena memiliki begitu banyak masjid. Setiap beberapa puluh meter bisa dipastikan ada masjid yang berdiri. "Hana." Seorang wanita bersuara berat mengetuk pintu kamar. "Hana buka pintunya, Nak," bujuk seorang pria paruh baya seraya mengetuk pintu kamar. Suaranya begitu memelas. Bik Misna dan Pak Yanto, sepasang suami isteri yang sudah berpuluh-puluh tahun bekerja di rumah ini, bahkan sebelum aku ada di muka bumi ini mereka sudah bekerja bersama kedua orang tuaku. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu kamar. Sambil memegangi perut yang semakin membesar aku beranjak mendekati pintu kamar. "Bik, Pak," ucapku kepada dua orang tua yang sudah aku anggap seperti kedua orang tuaku seraya membuka pintu kamar. Wajah mereka terlihat begitu sedih. "Sabar, sabar," bisik Bik Misna seraya memeluk erat tubuhku. Deraian air mata mengalir di pipi wanita berusia 55 tahun itu. "Jadi, Hana harus gimana Bik, Pak?" tanyaku kepada mereka. "Lebih baik kamu meninggalkan kampung ini dari pada kamu diamuk warga kampung," usul Pak Yanto. Pria berusia 57 tahun itu juga ikut menangis. Ia mengelus lembut kepalaku. Dari lantai bawah aku mendengar langkah kaki dengan penuh tergesa-gesa menaiki tangga rumah yang terbuat dari bahan marmer. Sepertinya ada dua orang manusia yang hendak menghampiriku. Hentakan kakinya menggema sampai ke langit-langit rumah yang mewah ini. Suaranya beradu dengan lampu gantung kristal mewah yang bergerak akibat angin yang berhembus dari luaran sana. "Hana!" hardik seorang pria berambut klimis dan berpakaian rapih layaknya seorang eksekutif muda. Pria berusia 35 tahun yang belum menikah ini menghampiriku yang tengah berdiri di depan pintu. Bang Farhan. Dia adalah orang kepercayaan ayah dan ibuku. Dialah orang yang mengatur usaha milik kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku memiliki ratusan hektar kebun kelapa sawit dan juga sebuah pabrik kelapa sawit. Bang Farhan adalah Direktur utama di perusahaan keluargaku. "Kamu tidak lihat di bawah sudah banyak warga yang geram sama kamu!" hardiknya lagi dengan penuh emosi. Ia tampak begitu geram denganku. Entah kenapa semenjak kepergian ayah dan ibu ia berubah total. Padahal dulu ia tipikal lelaki penyayang dan lembut tutur katanya. "Lebih baik kamu angkat kaki dari kampung ini, Hana!" ketus Bang Arkan. Bang Arkan adalah anak angkat almarhum ayah dan ibu. Dulu, sebelum aku lahir ayah dan ibuku mengadopsi seorang anak laki-laki dari panti asuhan. Bang Arkanlah orangnya. Ayah dan ibu dulu susah mendapatkan keturunan. Setelah 15 tahun berumah tangga barulah mereka dikaruniai seorang anak. Anak itu adalah aku. Hana binti Abdullah. "Jadi, Hana harus kemana, Bang?" tanyaku kepada dua orang pria yang selama ini sudah aku anggap seperti abang kandungku sendiri. Sejak tadi air mata ini tak habis-habisnya mengalir, tetapi mereka seperti tak merasa iba denganku. Justru mereka terus memaksaku untuk angkat kaki dari rumah ini. "Terserah kamu mau kemana!" ketus Bang Arkan, "itu bukan urusanku!" Sambil menghapus air mata yang sejak tadi berderai aku berkata, "Baiklah, aku akan angkat kaki dari rumah ini! Tetapi.... Aku akan menguak siapa orang yang membuat skenario ini! Dan satu lagi, aku akan mencari siapa dalang atas pembunuhan ayah dan ibuku karena aku yakin ada orang yang sengaja mencelakakan Ayah dan Ibuku! Dan aku yakin bayi yang ada di perut ini juga bagian dari skenario yang tersusun begitu rapih ini!. "Si--silahkan!" tantang Bang Arkan dan Bang Farhan secara bersamaan.Aku meninggalkan manusia-manusia tak berhati nurani itu. Aku benar-benar tak menyangka mereka membiarkan aku pergi. Mereka benar-benar berubah 180 derajat.Terutama Bang Farhan, orang kepercayaan ayahku.Entah kenapa firasatku mengatakan kalau ada seseorang yang sengaja membuat skenario yang disusun begitu apik ini."Ya, Allah, apapun yang terjadi ketika keluar dari rumah ini aku pasrahkan kepadaMu, ya, Allah!" ucapku di dalam hati seraya melangkahkan kaki keluar."Hati-hati, Nak. Jaga dirimu baik-baik," ucap Bik Misnah dengan isakan tangisnya. Sejak tadi ia dan suaminya tak henti-hentinya menangis. Ia tak tega melihatku dicecar habis-habisan oleh Bang Farhan dan juga Bang Arkan.Aku berlalu meninggalkan mereka begitu saja. Setibanya di lantai satu aku mendengar pekikan dan hardikan warga kampung semakin jelas. Suara mereka begitu berisik seperti suara lebah yang sarangnya tengah dihancurkan. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu rumah. Tangan dan kaki ini bergetar ketika melihat b
"Ini semua adalah ujian dari Sang Pencipta. Mungkin ini cara Tuhan untuk menghapus dosa-dosaku. Aku harus menjalaninya dan harus kuat walaupun sekarang tak ada seorang pun yang perduli denganku. Aku yakin Tuhan akan ikut tangan dalam masalah ini. Tuhan tidak tidur! Tuhan Maha segalanya! Ia Tahu ini semua! Aku yakin Tuhan akan membantuku!" "Kemana aku harus pergi?" tanyaku di dalam hati dengan berjalan lunglai. Aku tak tahu mau kemana. Dari kejauhan aku masih mendengar suara warga meneriakiku. Segala sampah serapah mereka lontarkan.Aku terus berjalan meninggalkan kampung halamanku. Kampung halaman yang dulunya adalah sebuah hutan rimba yang kini berubah menjadi perkampungan dan juga perkebunan sawit."Abah lah dulu pendatang yang pertama kali datang ke kampung ini," cerita Ayahku kala itu.Kampung yang bernama Desa Madinah yang terletak di Provinsi Riau ini dulunya adalah hutan belantara. Dulu hanya segelintir orang yang tinggal di kampung ini. Mereka adalah orang-orang Melayu yang s
"Terimakasih banyak, A', semoga jualannya laris manis," ucapku kepada pria berkulit putih itu."Iya, sama-sama, Neng," sahutnya seraya menyerahkan bungkusan kacang rebus tersebut kepadaku, "semoga didengar Gusti Allah. Niat baik pasti didapatnya juga baik," ucapnya."Suaminya kemana, Neng? Kok sendirian wae?" tanyanya seraya memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia tampak iba dengan kondisiku yang seperti orang lunglai."Sudah cerai, A'," jawabku memberi alasan. Aku tak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Terpaksa aku berbohong."Ya, ampun Gusti! Jadi ini mau kemana? Kasian banget kamu, Neng. Lagi hamil di cerai sama Suaminya!" Lelaki berkulit putih ini kemudian mengambil sesuatu dari tas kecilnya."Ini buat beli susu, Neng." Ia menyerahkan tiga lembar uang kertas berwarna merah."Nggak usah, A'. Kacang rebus ini sudah cukup!" jawabku."Udah nggak apa-apa. Rezki nggak boleh ditolak!" ucapnya.Dengan terpaksa aku menerima uang tiga ratus ribu itu."Masya Allah. Terimak
"Tolong! Tolong!" Aku mendengar pria tersebut berteriak seraya menghentikan mobilnya. Kelopak mataku masih belum bisa terbuka, tetapi indera pendengaranku masih bisa merasakan apa yang terjadi di sekelilingku. Badanku masih terasa lemas. Aku mendengar lelaki itu membuka pintu mobilnya, kemudian ia berjalan tergesa-gesa untuk membuka pintu mobil belakang. Lelaki yang belum kutahu wajahnya itu dengan penuh hati-hati mengangkat tubuhku. Tangannya begitu kekar. "Bismillah," ucapnya, "semoga kamu dan bayimu baik-baik saja." "Ada apa, Nak?" Terdengar seorang wanita keluar dari rumah. Langkahnya tergesa-gesa. Ia berjalan menghampiri pria itu. Ia begitu khawatir. "Astaghfirullah, ini siapa?" tanyanya dengan suara seperti orang panik, "kenapa dengan perempuan ini, Nak?" Wanita yang aku yakini sudah berumur itu memeriksa keadaanku. Berkali-kali ia memeriksa suhu tubuhku. Ia meletakkan tangannya di kening dan leherku. "Perempuan ini hampir saja tertabrak mobil di daerah perkebun
Wanita berambut pirang dan berpakaian seksi itu masih tetap mematung di depan pintu. Ia sudah seperti patung manekin di toko-toko baju saja. Matanya bahkan tak berkedip sedikit pun. Ia menatapku dengan mulut yang ternganga. Ada apa dengan dia? "Sayang," seru lelaki berbadan atletis itu. Wanita berambut pirang itu tak menjawab. Ia masih tetap mematung."Sayang, kamu kenapa?" tanya pria berwajah tampan itu seraya menghampirinya.Karena wanita tersebut masih saja mematung ia mencoba mengguncang tubuh wanita itu sambil berkata, "Hei, kamu kenapa, Sayang?!""Eh, ti--tidak apa-apa sayang," serunya. Barulah wanita berpakaian seksi itu bereaksi. Mungkin ada sekitar lima menit ia berdiri seperti orang tak bernyawa."Kamu kenal dengan perempuan ini, Sayang?" tanyanya.Dengan suara terbata-bata ia menjawab pertanyaan dari suaminya itu. Sambil menghela nafasnya panjang ia berkata, "Ti--tidak, aku tidak mengenal perempuan ini!""Jadi, kenapa kamu seperti orang yang shock? Sampai-sampai barang-ba
"Ibu lihat apa?" tanyaku seraya melepaskan pelukan darinya."Ada uang berserakan di lantai," jawabnya seraya bangkit, "itu kertas apa, ya,?"Baru saja Ibu Syarah bangkit kami mendengar suara langkah kaki menuju kamar. Aku melihat Kak Vina masuk ke dalam kamar. Ia seperti tengah mencari sesuatu. Bola matanya berputar-putar mengitari setiap sudut kamar ini. Entah apa yang ia cari. "Dia sedang cari apa ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu Syarah dengan suara berbisik."Pastinya barang yang berharga," bisik Bu Syarah, "duit yang ada di lantai itu mungkin!""Ya, ampun ternyata kamu ada di sini." Wanita berambut pirang dan berbaju seksi itu tampak begitu lega ketika mendapatkan sebuah kwitansi yang ternyata ia injak. Kwitansi itu tercecer bersamaan dengan beberapa lembar uang kertas seratus ribuan. "Untung belum ada yang mengambil dan melihat," gumamnya sambil memungut uang dan kertas kwitansi tersebut."Apa kalian lihat-lihat!" ketus Kak Vina. Ia membesarkan kedua bola matanya sambil memasukan kw
Aku melihat Kak Vina kembali masuk ke dalam rumah. Benar saja, ia kembali mencari kwitansi tersebut. Sepertinya kwitansi tersebut sangat berharga."Aduh! Kemana lagi kwitansi itu," gumam Kak Vina. Ia mencari keberadaan kwitansi tersebut. Ia uring-uringan seperti babi hutan yang terjerat."Kalian lihat ada kertas jatuh?" tanya Kak Vina kepada kami yang masih berdiri di ruang tamu."Tidak ada," jawab Ibu Syarah dengan percaya dirinya. Padahal ia sudah menyimpan kwitansi tersebut ke dalam saku bajunya."Beneran kalian tidak melihatnya?" tanyanya lagi."Iy-Iya, beneran. Kami tidak ada melihatnya," jawab Ibu Syarah."Kertas apa, sih! Kok kayaknya penting sekali!" tanya Ibu Syarah. Ia mencoba berakting. Ia sudah seperti pemain FTV saja. Aku melihat Ibu Syarah memasukkan kertas tersebut lebih dalam ke saku roknya."Nggak perlu tahu kertas apa!" ketus Kak Vina. Ia terus mencari-cari kertas tersebut."Aneh," gerutu Ibu Syarah."Sial!" geram Kak Vina. Ia kemudian keluar meninggalkan kami. Ia ta
Malamnya sekitar pukul 8 Malam setelah bada Isya Ibu syarah memutuskan untuk kembali lagi ke rumah Kak Vina. Ia ingin memberi tahu perihal tersebut kepada Bang Fadlan menantunya yang baik hati itu. Ia ingin memberi tahu kalau Kak Vina baru saja membeli obat untuk menggugurkan kandungan. Ibu Syarah curiga kalau selama ini Kak Vina memakai obat-obatan tersebut agar tak mengandung. Ibu Syarah beranggapan mungkin itu yang membuat Kak Vina menjadi kaya Raya. Ia yakin Kak Vina melakukan ilmu pesugihan agar bisa kaya Raya."Dari mana coba uang dia? Masak baru berapa bulan menjalani bisnis skincare sudah bisa beli rumah mewah, mobil mewah, dan bergaya hedon!" gerutu Ibu Syarah."Bukannya Ibu suuzaon atau syirik! Ibu yakin si Vina memelihara tuyul. Ibu sempat beberapa kali kehilangan uang!" ujarnya."Bisnis skincare nya juga nggak banyak yang beli. Bisnis skincare hanya untuk menutupi saja agar orang-orang tidak curiga. Ibu bahkan tidak pernah melihatnya mengirim paketan skincare ke pelangga
Malamnya sekitar pukul 8 Malam setelah bada Isya Ibu syarah memutuskan untuk kembali lagi ke rumah Kak Vina. Ia ingin memberi tahu perihal tersebut kepada Bang Fadlan menantunya yang baik hati itu. Ia ingin memberi tahu kalau Kak Vina baru saja membeli obat untuk menggugurkan kandungan. Ibu Syarah curiga kalau selama ini Kak Vina memakai obat-obatan tersebut agar tak mengandung. Ibu Syarah beranggapan mungkin itu yang membuat Kak Vina menjadi kaya Raya. Ia yakin Kak Vina melakukan ilmu pesugihan agar bisa kaya Raya."Dari mana coba uang dia? Masak baru berapa bulan menjalani bisnis skincare sudah bisa beli rumah mewah, mobil mewah, dan bergaya hedon!" gerutu Ibu Syarah."Bukannya Ibu suuzaon atau syirik! Ibu yakin si Vina memelihara tuyul. Ibu sempat beberapa kali kehilangan uang!" ujarnya."Bisnis skincare nya juga nggak banyak yang beli. Bisnis skincare hanya untuk menutupi saja agar orang-orang tidak curiga. Ibu bahkan tidak pernah melihatnya mengirim paketan skincare ke pelangga
Aku melihat Kak Vina kembali masuk ke dalam rumah. Benar saja, ia kembali mencari kwitansi tersebut. Sepertinya kwitansi tersebut sangat berharga."Aduh! Kemana lagi kwitansi itu," gumam Kak Vina. Ia mencari keberadaan kwitansi tersebut. Ia uring-uringan seperti babi hutan yang terjerat."Kalian lihat ada kertas jatuh?" tanya Kak Vina kepada kami yang masih berdiri di ruang tamu."Tidak ada," jawab Ibu Syarah dengan percaya dirinya. Padahal ia sudah menyimpan kwitansi tersebut ke dalam saku bajunya."Beneran kalian tidak melihatnya?" tanyanya lagi."Iy-Iya, beneran. Kami tidak ada melihatnya," jawab Ibu Syarah."Kertas apa, sih! Kok kayaknya penting sekali!" tanya Ibu Syarah. Ia mencoba berakting. Ia sudah seperti pemain FTV saja. Aku melihat Ibu Syarah memasukkan kertas tersebut lebih dalam ke saku roknya."Nggak perlu tahu kertas apa!" ketus Kak Vina. Ia terus mencari-cari kertas tersebut."Aneh," gerutu Ibu Syarah."Sial!" geram Kak Vina. Ia kemudian keluar meninggalkan kami. Ia ta
"Ibu lihat apa?" tanyaku seraya melepaskan pelukan darinya."Ada uang berserakan di lantai," jawabnya seraya bangkit, "itu kertas apa, ya,?"Baru saja Ibu Syarah bangkit kami mendengar suara langkah kaki menuju kamar. Aku melihat Kak Vina masuk ke dalam kamar. Ia seperti tengah mencari sesuatu. Bola matanya berputar-putar mengitari setiap sudut kamar ini. Entah apa yang ia cari. "Dia sedang cari apa ya, Bu?" tanyaku kepada Ibu Syarah dengan suara berbisik."Pastinya barang yang berharga," bisik Bu Syarah, "duit yang ada di lantai itu mungkin!""Ya, ampun ternyata kamu ada di sini." Wanita berambut pirang dan berbaju seksi itu tampak begitu lega ketika mendapatkan sebuah kwitansi yang ternyata ia injak. Kwitansi itu tercecer bersamaan dengan beberapa lembar uang kertas seratus ribuan. "Untung belum ada yang mengambil dan melihat," gumamnya sambil memungut uang dan kertas kwitansi tersebut."Apa kalian lihat-lihat!" ketus Kak Vina. Ia membesarkan kedua bola matanya sambil memasukan kw
Wanita berambut pirang dan berpakaian seksi itu masih tetap mematung di depan pintu. Ia sudah seperti patung manekin di toko-toko baju saja. Matanya bahkan tak berkedip sedikit pun. Ia menatapku dengan mulut yang ternganga. Ada apa dengan dia? "Sayang," seru lelaki berbadan atletis itu. Wanita berambut pirang itu tak menjawab. Ia masih tetap mematung."Sayang, kamu kenapa?" tanya pria berwajah tampan itu seraya menghampirinya.Karena wanita tersebut masih saja mematung ia mencoba mengguncang tubuh wanita itu sambil berkata, "Hei, kamu kenapa, Sayang?!""Eh, ti--tidak apa-apa sayang," serunya. Barulah wanita berpakaian seksi itu bereaksi. Mungkin ada sekitar lima menit ia berdiri seperti orang tak bernyawa."Kamu kenal dengan perempuan ini, Sayang?" tanyanya.Dengan suara terbata-bata ia menjawab pertanyaan dari suaminya itu. Sambil menghela nafasnya panjang ia berkata, "Ti--tidak, aku tidak mengenal perempuan ini!""Jadi, kenapa kamu seperti orang yang shock? Sampai-sampai barang-ba
"Tolong! Tolong!" Aku mendengar pria tersebut berteriak seraya menghentikan mobilnya. Kelopak mataku masih belum bisa terbuka, tetapi indera pendengaranku masih bisa merasakan apa yang terjadi di sekelilingku. Badanku masih terasa lemas. Aku mendengar lelaki itu membuka pintu mobilnya, kemudian ia berjalan tergesa-gesa untuk membuka pintu mobil belakang. Lelaki yang belum kutahu wajahnya itu dengan penuh hati-hati mengangkat tubuhku. Tangannya begitu kekar. "Bismillah," ucapnya, "semoga kamu dan bayimu baik-baik saja." "Ada apa, Nak?" Terdengar seorang wanita keluar dari rumah. Langkahnya tergesa-gesa. Ia berjalan menghampiri pria itu. Ia begitu khawatir. "Astaghfirullah, ini siapa?" tanyanya dengan suara seperti orang panik, "kenapa dengan perempuan ini, Nak?" Wanita yang aku yakini sudah berumur itu memeriksa keadaanku. Berkali-kali ia memeriksa suhu tubuhku. Ia meletakkan tangannya di kening dan leherku. "Perempuan ini hampir saja tertabrak mobil di daerah perkebun
"Terimakasih banyak, A', semoga jualannya laris manis," ucapku kepada pria berkulit putih itu."Iya, sama-sama, Neng," sahutnya seraya menyerahkan bungkusan kacang rebus tersebut kepadaku, "semoga didengar Gusti Allah. Niat baik pasti didapatnya juga baik," ucapnya."Suaminya kemana, Neng? Kok sendirian wae?" tanyanya seraya memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia tampak iba dengan kondisiku yang seperti orang lunglai."Sudah cerai, A'," jawabku memberi alasan. Aku tak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Terpaksa aku berbohong."Ya, ampun Gusti! Jadi ini mau kemana? Kasian banget kamu, Neng. Lagi hamil di cerai sama Suaminya!" Lelaki berkulit putih ini kemudian mengambil sesuatu dari tas kecilnya."Ini buat beli susu, Neng." Ia menyerahkan tiga lembar uang kertas berwarna merah."Nggak usah, A'. Kacang rebus ini sudah cukup!" jawabku."Udah nggak apa-apa. Rezki nggak boleh ditolak!" ucapnya.Dengan terpaksa aku menerima uang tiga ratus ribu itu."Masya Allah. Terimak
"Ini semua adalah ujian dari Sang Pencipta. Mungkin ini cara Tuhan untuk menghapus dosa-dosaku. Aku harus menjalaninya dan harus kuat walaupun sekarang tak ada seorang pun yang perduli denganku. Aku yakin Tuhan akan ikut tangan dalam masalah ini. Tuhan tidak tidur! Tuhan Maha segalanya! Ia Tahu ini semua! Aku yakin Tuhan akan membantuku!" "Kemana aku harus pergi?" tanyaku di dalam hati dengan berjalan lunglai. Aku tak tahu mau kemana. Dari kejauhan aku masih mendengar suara warga meneriakiku. Segala sampah serapah mereka lontarkan.Aku terus berjalan meninggalkan kampung halamanku. Kampung halaman yang dulunya adalah sebuah hutan rimba yang kini berubah menjadi perkampungan dan juga perkebunan sawit."Abah lah dulu pendatang yang pertama kali datang ke kampung ini," cerita Ayahku kala itu.Kampung yang bernama Desa Madinah yang terletak di Provinsi Riau ini dulunya adalah hutan belantara. Dulu hanya segelintir orang yang tinggal di kampung ini. Mereka adalah orang-orang Melayu yang s
Aku meninggalkan manusia-manusia tak berhati nurani itu. Aku benar-benar tak menyangka mereka membiarkan aku pergi. Mereka benar-benar berubah 180 derajat.Terutama Bang Farhan, orang kepercayaan ayahku.Entah kenapa firasatku mengatakan kalau ada seseorang yang sengaja membuat skenario yang disusun begitu apik ini."Ya, Allah, apapun yang terjadi ketika keluar dari rumah ini aku pasrahkan kepadaMu, ya, Allah!" ucapku di dalam hati seraya melangkahkan kaki keluar."Hati-hati, Nak. Jaga dirimu baik-baik," ucap Bik Misnah dengan isakan tangisnya. Sejak tadi ia dan suaminya tak henti-hentinya menangis. Ia tak tega melihatku dicecar habis-habisan oleh Bang Farhan dan juga Bang Arkan.Aku berlalu meninggalkan mereka begitu saja. Setibanya di lantai satu aku mendengar pekikan dan hardikan warga kampung semakin jelas. Suara mereka begitu berisik seperti suara lebah yang sarangnya tengah dihancurkan. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu rumah. Tangan dan kaki ini bergetar ketika melihat b
"Hei perempuan zina enyah kau dari kampung ini!" pekik seorang warga dari luar rumah."Angkat kaki kau dari kampung ini! Kami tidak mau kampung ini terkena bencana gara-gara ada perempuan penzina di kampung ini!" geram warga lain."Keluar kau perempuan zina! Jangan sampai kami seret dan kami bakar kamu hidup-hidup!" berang warga lain.Aku yang masih berada di dalam kamar yang terletak di lantai dua tak berani beranjak keluar rumah. Kali ini aku benar-benar takut. Melalui daun jendela yang kebetulan sedikit terbuka aku memberanikan diri untuk melihat orang-orang kampung yang telah berkumpul di depan rumah. Mereka meneriaki namaku seraya mencaci-maki yang membuat hati ini tercabik-cabik. Mereka terlihat begitu murka."Ya, Allah. Apa yang harus hamba lakukan?" ucapku di dalam hati seraya memegang perut yang semakin membesar.Beberapa bulan yang lalu pasca meninggalnya kedua orang tuaku dari kecelakaan mobil. Aku mendapatkan perut ini membengkak. Awalnya aku mengira kalau aku terkena pen