Malamnya sekitar pukul 8 Malam setelah bada Isya Ibu syarah memutuskan untuk kembali lagi ke rumah Kak Vina. Ia ingin memberi tahu perihal tersebut kepada Bang Fadlan menantunya yang baik hati itu. Ia ingin memberi tahu kalau Kak Vina baru saja membeli obat untuk menggugurkan kandungan. Ibu Syarah curiga kalau selama ini Kak Vina memakai obat-obatan tersebut agar tak mengandung. Ibu Syarah beranggapan mungkin itu yang membuat Kak Vina menjadi kaya Raya. Ia yakin Kak Vina melakukan ilmu pesugihan agar bisa kaya Raya."Dari mana coba uang dia? Masak baru berapa bulan menjalani bisnis skincare sudah bisa beli rumah mewah, mobil mewah, dan bergaya hedon!" gerutu Ibu Syarah."Bukannya Ibu suuzaon atau syirik! Ibu yakin si Vina memelihara tuyul. Ibu sempat beberapa kali kehilangan uang!" ujarnya."Bisnis skincare nya juga nggak banyak yang beli. Bisnis skincare hanya untuk menutupi saja agar orang-orang tidak curiga. Ibu bahkan tidak pernah melihatnya mengirim paketan skincare ke pelangga
"Kamu memang tidak kenal dengan anak Ibu?" tanya Ibu Syarah. Sekarang kami berada di rumah Ibu Syarah. Jam menunjukkan pukul 12 malam, tetapi kami belum juga tidur. Kami begitu gelisah. Terutama aku."Benar, Ma, Hana tidak kenal dengan Kak Vina," jawabku seraya mendekap kedua tangan Ibu Syarah. Hatiku sekarang campur aduk. Aku takut tiba-tiba ada orang yang datang ke rumah ini dan membunuhku."Jadi, kenapa Vina mau membunuhmu? Mama yakin orang yang ia perbincangkan melalui sambungan telfon tadi adalah kamu," jelas Ibu Syarah."Iya, Ma, Firasat Hana juga seperti itu, Hana yakin orang yang dia maksud adalah Hana, tetapi kenapa dia ingin menghabisi nyawaku, sedangkan Hana tidak pernah mengenal Kak Vina," terangku."Sebenarnya kamu ini siapa, Nak?" tanya Ibu Syarah dengan penuh penasaran."A--aku," Dari mana aku harus memulainya. Aku takut Ibu Syarah tidak percaya kalau aku anak Pak Abdullah."Aku Hana, seorang gadis yang diusir dari kampungku, Ma," ucapku dengan ragu-ragu."Kenapa kamu
Jam menunjukkan pukul dua Malam. Suasana begitu mencekam. Lampu di rumah sudah redup. Di luaran sana terdengar suara burung gagak yang membuat situasi menjadi semakin mencekam saja. Di tambah suasana yang hening. Dan angin malam yang masuk dari sela-sela ventilasi jendela. Tak banyak orang yang tinggal di sekitaran sini. Hampir semua toko-toko yang ada di sini pemilik dan juga pegawai-pegawainya tinggal di rumah mereka masing-masing. Di malam hari tempat keramaian ini sudah seperti kota mati saja. Kendaraan umum pun jarang yang berlalu lalang.Suara langkah kaki itu semakin dekat. Aku dan Ibu Syarah saling berpelukan seraya mendengarkan suara langkah kaki orang misterius itu. Suara langkah kaki itu berhenti tepat di depan rumah."Ma, Hana takut!" bisikku seraya memeluk Ibu angkatku itu. Aku memeluk erat tubuh wanita berusia 60 tahun itu. Badanku panas dingin. Peluh di wajahku mengalir deras. Bajuku basah kuyup sangkin takutnya diri ini."Tenang, ada Mama di sini," bisik Ibu Syarah.
"Alhamdulillah," ucapku di dalam hati. Sekarang aku dan ibu syarah bersembunyi di sebuah lubang."Sandarkan badanmu ke tepi, Nak," pinta Ibu Syarah lagi."Baik, Ma," jawabku seraya menyenderkan tubuhku ke tepi dinding lubang ini. Begitu juga dengan Ibu Syarah, ia ikut menyenderkan tubuhnya.Kami mendengar orang misterius itu terus berusaha membuka pintu rumah ini. Tangannya berkali-kali mengguncang-guncang gagang pintu.Sementara itu, Ibu Syarah kembali menutupi lubang ini dengan sebuah papan triplek, tetapi sebelumnya Ibu Syarah sudah menutupi tubuh kami dengan kain-kain bekas."Sret!" Papan triplek menutupi lubang dengan sempurna."Jangan banyak bergerak dan banyak bersuara!" pinta Ibu Syarah dengan suara berbisik.lubang tempat mesin sanyo ini sangat sempit. Benar-benar pas-pasan untuk tubuh dua orang manusia. Aku yang tengah mengandung empat bulan benar-benar sesak. Aku berharap bayi yang ada di kandungan ku baik-baik saja."Klek!" Terdengar suara pintu terbuka. Dan rumah tiba-t
"Plak!" Sesuatu menghantam kepalaku. Aku mengerang kesakitan. Aku mengira lelaki itu yang menghantam kepalaku. Ternyata serpihan genteng jatuh tepat di kepalaku. Seekor tikus berlalu di atas genteng yang membuat serpihan genteng terjatuh."Au!" erangku. Satu serpihan genteng menghantam kepalaku lagi. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya Ibu Syarah."Tidak apa-apa, Ma," jawabku."Rumah ini sudah cukup lama. Sejak dibangun beberapa puluh tahun yang lalu rumah pemberian dari almarhum orang tua kamu ini tidak pernah direnovasi" jelas Ibu Syarah."Kalau diingat-ingat orang tua kamu benar-benar begitu perduli kepada karyawan-karyawannya, terutama karyawan yang sudah mengabdi puluhan tahun," kenang ibu Syarah. Ia tak henti-hentinya berterima kasih kepada kedua orang tuaku."Sepertinya tempat ini sudah tidak aman lagi. Lebih baik kita pergi meninggalkan tempat ini!" usul Ibu Syarah."Benar, Ma, tempat ini benar-benar sudah tidak aman," lanjutku seraya mengusap-usap kepalaku yang masih terasa sak
"Apa itu In vitro fertilization, dok? tanyaku kepada dokter berkacamata ini seraya bangkit dari tidurku. Ia sudah selesai memeriksaku, "baru ini saya mendengar kalimat itu."Dokter yang masih terlihat muda itu memasukkan alat-alat medisnya ke dalam sebuah box. Sambil memberesi alat-alat medisnya ia berkata, "kalau di Indonesia biasa di sebut dengan bayi tabung.""Itu yang saya herankan. Kenapa kamu bisa hamil sedangkan kamu seorang wanita single. Orang-orang yang melakukan program tersebut hanya di peruntukkan untuk pasangan suami isteri saja," terangnya."Apa itu bayi tabung, Pak Dokter?" tanya Ibu Syarah penasaran. Wanita berusia 60 tahun itu sepertinya belum tahu apa itu bayi tabung."Bayi yang dimasukkan ke dalam tabung?" sambungnya lagi."Bukan, Bu," Dokter yang bernama Fahmi ini terkekeh ketika Ibu Syarah mengatakan kalau bayi tabung itu adalah bayi yang dimasukkan ke dalam tabung."Bayi tabung itu sebuah program hamil yang di peruntukan bagi pasangan suami isteri yang susah men
"dokter siapa, dok?" tanyaku lagi. Aku mengorek-ngorek kedua telingaku. Memastikan apakah nama yang aku dengar itu benar."dr.Syarif, Muhamad Syarif!" terang dokter Fahmi."Apa? Muhammad Syarif?" seketika kedua bola mataku membesar. Jantungku berdegup tidak karuan. Nama itu sama persis dengan nama yang ada di secarik kertas yang aku dapatkan dari penjual kacang rebus. Sayangnya, kertas tersebut sudah hancur lebur karena waktu itu aku terjerembab masuk ke dalam sungai."Kenapa?" tanya dokter fahmi penasaran."Itu, dok.""Itu apa?" tanyanya penasaran."A-anu," ucapku dengan suara terbata-bata."Anu apa? Kamu ini buat saya penasaran saja!" protes dokter Fahmi."Itu, beberapa waktu yang lalu ketika saya membeli kacang rebus saya tidak sengaja melihat secarik kertas. Secarik kertas itu seperti kertas printer an bekas dari sebuah rumah sakit, tetapi sayangnya tulisan-tulisannya memudar karena air kacang rebus," tuturku."Di kertas itu aku hanya bisa membaca dua nama sepasang suami isteri.
Sorenya setelah dr.Fahmi selesai bertugas kami langsung pergi ke klinik dr.Syarif. Kata dr.Fahmi klinik mewah tersebut tidak begitu jauh dari rumah sakit ini. Mungkin sekitar 30 menit dengan mengendarai mobil."Sebentar, saya pergi ke bagian administrasi dulu," ucap dr.Fahmi. Ia ingin mengambil berkas-berkas ketika dr.Syarif mengajukan program bayi tabung."Mudah-mudahan bagian administrasinya mau memberikan," ucapnya lagi. Ia tampak begitu was-was. "Untuk meyakinkan pihak administrasi nanti saya akan berbohong," terangnya lagi."Saya akan mengatakan kalau dr.Syarif yang meminta berkas-berkas tersebut," jelasnya. Ia pun pergi meninggalkan kami. Dengan penuh percaya diri ia melangkah menuju ruang administrasi.Sambil menunggu dr.Fahmi mengambil berkas-berkas aku mendownload soft identitasku."Handphone Mama ada kuotanya?" tanyaku kepada Ibu Syarah. Sekarang kami berada di tempat parkir. Kami duduk di bawah pohon rindang. Hari ini banyak sekali orang yang dibawa ke rumah sakit. Baru
Hari ini adalah hari yang sangat spesial bagi aku dan Bang Fadlan. Seminggu setelah keluar dari rumah sakit kami memutuskan untuk melakukan ijab kabul. Kami tak melakukan acara apapun. Hanya ijab kabul saja yang dihadiri beberapa orang penting di kampungku dan juga beberapa para petinggi di perusahaan almarhum ayahku.Acara ijab kabul dilaksanakan di masjid tak jauh dari rumahku. Kini kami tinggal menunggu penghulu dan juga wali hakim datang. Penghulu yang akan menikahkan ku mengatakan kalau acara ijab kabul akan dilaksanakan sekitar pukul sepuluh pagi. Dan sekarang masih pukul delapan.Aku menikah dengan menggunakan wali hakim. Sebab aku tak pernah mengenal saudara-saudara dari pihak ayah maupun ibuku. Semenjak ayahku menginjakan kaki di kampung ini ia tak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Aku bahkan tak tahu di mana kampung halaman ayahku. Begitu juga dengan kampung halaman Ibuku.Walaupun aku aku tak mengadakan pesta pernikahan, tetapi orang-orang di kampungku berbondong
Tiga minggu kemudian...Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Pagi ini aku, Ibu Syarah, Kak Aisyah, dan juga Bang Fadlan akan berangkat ke rumah sakit yang ada di Pekan Baru. Siang ini rencananya aku akan melakukan persalinan. Jantungku berdetak tak karuan. Sebentar lagi aku akan melahirkan seorang bayi. Dan sebentar lagi aku resmi menjadi seorang ibu."Semuanya sudah dibawa?" tanya Bang Fadlan sambil beranjak masuk ke dalam mobil. Bang Fadlan tampak gelisah. Sebab setelah bayi ini lahir ia akan melakukan tes DNA. Kami semua ingin tahu apakah bayi yang aku lahirkan adalah darah daging Bang Fadlan atau bukan. Kalau ternyata bukan aku tak tahu bagaimana mana menemukan ayah dari anakku ini. Karena orang yang tahu dari mana benih ini berasal hanyalah Kak Vina. Kalau pun bayi ini darah daging Bang Fadlan apakah dia mau menikahi aku? Jujur dari dalam lubuk hati yang terdalam aku sangat berharap ia menjadi suami ku. Siapa yang tak mau memiliki suami gagah, tampan, dan soleh, tetapi sayangnya
Tiga bulan kemudian...Tiga bulan telah berlalu. Bayi yang aku kandung sudah memasuki bulan ke-sembilan. Beberapa minggu ke depan aku akan melahirkan seorang bayi. Aku sudah tidak sabar melihat darah dagingku meskipun aku belum tahu siapa ayah dari bayi yang aku kandung ini."Bayi Ibu laki-laki," kata dokter yang memeriksaku beberapa hari yang lalu. Sudah lebih dari tiga kali aku melakukan USG. Dan hasilnya sama."Kira-kira apa nama bayi ini yang cocok, Ma?" tanyaku kepada Ibu Syarah. Wanita paruh baya ini sekarang tinggal bersamaku di rumah peninggalan kedua orang tuaku.Begitu juga dengan Bang Fadlan. Ia juga tinggal di kampung ku, tetapi ia tidak tinggal di rumahku. Ia tinggal di rumah Bang Arkan seorang diri. Semenjak Bang Arkan dipenjara isterinya memutuskan untuk meninggalkan kampung ini. Ia tidak tahan mendengar gunjingan orang-orang kampung. Salah seorang warga sempat melihat kak Anggi di Pekan Baru. Ia melihat Kak Anggi berdiri di depan rumah karoke dengan berpakaian seksi.
Tetapi Polisi-polisi itu tak bisa menyelamatkan Kak Vina. Wanita yang selalu berpakaian seksi itu jatuh ke jurang."Vinaaaaaa!!!!" teriak Ibu Syarah seraya mendekati pagar pembatas. Semua orang ikut berlari mendekati pagar pembatas untuk melihat Kak Vina. "Vinaaaaaa!!" lirihnya. Ia terduduk lemas seraya memegang besi pembatas. Ia menangis sesunggukan meratapi anaknya yang telah jatuh ke jurang yang terjal itu. Hati siapa yang tak hancur melihat anak satu-satunya terjatuh ke jurang.Walaupun anaknya durhaka, tetapi dia tetaplah darah dagingnya. Yang ia kandung sembilan bulan lamanya."Sabar, Ma," Aku mencoba menenangkan Ibu angkatku itu seraya memeluk erat tubuhnya.Pak Kapolda kemudian meraih telfon genggamnya. Segera ia menghubungi tim SAR."Lebih baik kita kembali ke kantor polisi!" ajak Pak Kapolda. Kami pun meninggalkan tempat ini.***Jam menunjukkan pukul 12 malam. Kami tengah menunggu kabar dari tim SAR apakah mereka berhasil menemukan Kak Vina."Selamat malam," seorang pria p
Ketika orang tersebut membuka kaca mata dan jaket hitamnya aku dan Ibu Syarah begitu terperanjat. Ternyata apa yang kami sangka-sangka selama ini benar. Orang tersebut adalah Kak Vina anak Ibu Syarah. Wanita berambut pirang itu mengibas-ngibaskan rambutnya yang tergerai panjang. Ia tak gentar walaupun ada lima orang polisi di hadapannya. Kak Vina kemudian menatap aku dan Ibu Syarah. Ia bertanya-tanya di dalam hati siapa dua wanita bercadar ini."Astaghfirullah, ternyata dugaan kami selama ini benar, ternyata anakku ikut dalam masalah ini," ucap Ibu Syarah sambil terus beristighfar. Tangannya bergetar. Matanya berkaca-kaca."Anda jangan sembarangan menuduh saya! Mana buktinya kalau saya melakukan tindakan kejahatan, ha!" ucap Kak Vina dengan meninggikan suaranya."Sudah, kamu mengaku saja Vina, anakku!" ucap Ibu Syarah. Ia kemudian membuka cadarnya.Kak Vina terlihat shock. Ia tak menyangka ternyata orang yang memakai cadar itu adalah ibunya."Ma--ma," seru Kak Vina dengan suara terbat
"Bagaimana, Pak? Kapan kita bertemu dengan orang tersebut?" tanyaku kepada Pak Kapolda. Aku dan Ibu Syarah sekarang berada di kantor polisi. Tadi pagi sekitar pukul sepuluh kami berangkat dari rumah. Salah seorang warga mengantarkan kami ke kantor polisi."Hari ini kita akan bertemu dengan orang tersebut," jawab pak Kapolda."Kira-kira siapa orang tersebut?" Aku bertanya-tanya di dalam hati."Dimana bertemunya, Pak?" tanyaku lagi."Seperti biasa di tempat-tempat nongkrong, tetapi bukan tempat yang kemarin," jawabnya."Ayo bersiap-siap semuanya kita berangkat sekarang!" seru Pak Kapolda seraya bangkit.Bang Arkan kembali ikut karena dialah orang yang tahu siapa pemilik benih yang tertanam di dalam rahimku ini. Sebelum kami pergi aku menyempatkan diri untuk bertemu dengan Bik Misnah. Aku ingin melihat bagaimana kondisi perempuan yang tak memiliki hati nurani itu."Hai manusia berhati iblis," sapa ku ketika bertemu Bik Misnah yang mendekap di dalam sell. Aku tersenyum sinis kepada wani
"Kenapa kau tega melakukan ini kepada ku?!" pekikku seraya melepaskan cadarku, "Apa salah ku!?".Seluruh tubuhku seketika menjadi panas dingin. Buliran air mata terus membasahi pipi ini. Aku menangis sesenggukan di hadapan warga kampung."Hana?" seru warga kampung. Mereka begitu terperanjat. Mereka baru menyadari kalau orang yang memakai cadar itu adalah aku. Hana binti Abdullah. Gadis yang mereka caci maki dan mereka fitnah. Beberapa warga desa terlihat menundukkan kepala mereka. Mereka merasa malu karena pernah memfitnahku."Kenapa kau tega melakukan ini kepadaku? pekikku lagi dengan suara bergetar."Kurang baik apa ayah dan ibuku kepada kau!" tanyaku seraya mendekatinya."Kenapa kau menunduk!" geram ku. Aku kemudian meramas wajah orang tersebut dengan kedua tanganku. Ya, kali ini aku menjadi anak yang tak sopan. Meramas wajah orang yang puluhan tahun lebih tua dariku. Sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya aku berkata, "lihat aku!" "Bik Misnah!" tatapku dengan penuh emosi. Suaraku
Dan benar saja sesuatu terjadi di keluarga kami. Bang Arkan mengeluarkan memory card dari CCTV kamera yang berukuran sangat kecil itu. CCTV kamera itu harganya sangat mahal. Biasanya dipakai orang-orang untuk menjebak seseorang yang melakukan tindak kejahatan. Setelah mengeluarkan memory card dari CCTV kamera tersebut Bang Arkan memasukannya ke dalam card reader. Kemudian menghubungkannya ke sebuah laptop. Dan bukti pertama pun akan segera terlihat. Kamera tersebut memperlihatkan ada tiga orang berdiri di depan rumahku. Dua orang pria dan satu orang wanita. Mereka seperti tengah berdiskusi. Entah apa yang mereka diskusikan. Tak jauh dari mereka ada sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mobil tersebut adalah mobil milik almarhum ayahku. Dan mobil itulah yang menghilangkan nyawa Ayah dan ibuku. Buliran air mata kembali membasahi pipi ini setiap mengingat sesuatu hal yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Sebenarnya aku tak sanggup melihat rekaman itu, tetapi aku ingin men
"Check...,Check," Terdengar suara seseorang dari 'walkie talkie' yang tersimpan di saku celana sopir kami. Lelaki paruh baya yang juga seorang polisi itu mengeluarkan 'walkie talkie' dari saku celananya."Siap, Komandan!" ujarnya."Ayo, semuanya keluar!" pinta Pak Kapolda."Sebentar lagi akan dimulai!" ucap Pak Kapolda lagi dengan suara berbisik.Kampi pun bergegas keluar dari mobil. Sebelum keluar dari mobil, tadi Pak Kapolda berpesan kepadaku untuk memakai cadar. Aku pun menuruti perintah dari pak Kapolda. Ibu Syarah membantuku memasangkan cadar berwarna hitam yang sepadan dengan baju kaftan yang aku pakai. Ia juga memakai baju yang selaras denganku, tetapi ia tidak memakai cadar sepertiku. dr. Syarif juga ikut keluar. Dia akan menjadi saksi nanti. Suasana di balai desa sangat ramai. Semua kursi penuh."Ada apa sebenarnya ini?" ucap warga kampung. Mereka terheran-heran ketika melihat ada sepuluh orang polisi masuk ke balai desa. Sepuluh orang polisi itu kemudian berpencar dan berdir