"Sepertinya sampai di sini saja saya bisa membantu kalian," ucap dr. Fahmi seraya berjalan keluar menuju area parkir."Saya tidak mau ikut campur lebih dalam tentang masalah ini, karena bukan ranah saya lagi," terangnya. Lelaki berkaca mata ini menghentikan langkahnya."Iy-iya, Pak dokter, terimakasih banyak Pak dokter sudah mau menolong saya," ucapku.Dokter yang memiliki lesung pipi ini hanya tersenyum simpul kepadaku. Sambil membenahi kaca matanya yang tebal ia berkata, "Sudah tugas setiap manusia saling tolong menolong, apalagi masalah yang rumit seperti ini," serunya."Ngomong-ngomong, tadi saya sudah memberi tahu pihak polisi di mana klinik dr.Syarif. Dan katanya hari ini juga mereka akan menangkap dokter penipu itu. Bukti-buktinya juga sudah saya serahkan kepada mereka," lanjutnya."Pihak polisi tadi meminta kalian untuk menunggu di sini saja. Kalian tidak perlu ikut kesana!" terangnya."Kalau begitu saya pamit ya, Bu, Adik Hana," ucapnya seraya membuka pintu mobilnya, "Polisi
"Jadi, bagaimana, Pak?" tanyaku kepada polisi yang menangani kasusku. Sekarang aku dan Ibu Syarah berada di kantor polisi. Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi.Tadi setelah mereka melakukan apel pagi aku dan Ibu Syarah langsung mendatangi kantor polisi. Dengan berjalan kaki kami menuju kantor polisi. Hotel di mana kami menginap hanya berjarak tiga ratus meter dari kantor polisi."Tadi malam saya sudah berdiskusi panjang dengan anggota saya. Rencananya kami akan mempertemukan si tersangka di sebuah kafe. dr.Syarif juga sudah berkomunikasi dengan orang tersebut. Dan orang tersebut bilang, Oke!" jelas Pak Kapolda.Polisi yang sudah berumur dan berpangkat tinggi ini kemudian duduk di hadapan kami. Sambil merapihkan seragamnya ia berkata, "Ibu dan adik nanti akan ikut dengan kita. Ada empat orang polisi yang juga ikut dengan kita. Untuk jaga-jaga. Yang penting Ibu dan adik mengikuti alur yang sudah kami susun!""Siap, Pak," jawabku. Apapun yang diinstruksikan mereka, aku akan mengikutinya.
Kami perlahan mendekati dr. Syarif dan juga orang tersebut. Empat orang polisi berjalan melalui arah depan, sedangkan kami berjalan membelakangi orang yang belum aku tahu siapa itu. Jantungku berdegup kencang. Sebentar lagi aku akan mengetahui siapa aktor di balik ini semua."Selamat sore," sapa salah satu dari empat orang polisi yang sudah berdiri dengan sigap mengelilingi dr. Syarif dan lelaki itu."Iy-- iya selamat sore, ada apa, ya?" jawab lelaki itu sambil menyeruput kopi yang ia pesan. Ia masih terlihat santai."Ad apa, ya," sambung dr. Syarif. Ia pura-pura tidak mengenal keempat polisi tersebut.Aku, Ibu Syarah, dan Pak Kapolda berdiri di belakang lelaki itu. Ia masih tidak sadar kalau ada tiga orang yang berdiri di belakangnya. Suasana di Kafe yang bernama 'Gemerlap Malam' ini masih terlihat sepi. Hanya ada karyawan-karyawan kafe yang tengah sibuk membersihkan kursi dan meja. Ketika kami datang karyawan-karyawan kafe yang tengah bekerja seketika menghentikan aktivitas mereka
"Siapa nama kamu?" tanya seorang Polisi wanita. Sekarang kami sudah berada di kantor polisi. Tepatnya di ruangan interogasi. Bang Arkan dan dr. Syarif duduk berdampingan. Mereka dihadapkan dengan seseorang yang wajahnya begitu angker.Bang Arkan sekarang memakai baju orange dan rambutnya juga telah ditebas habis sama seperti dr. Syarif. Mereka berdua sudah seperti dua pelakon animasi asal Malaysia yang begitu digandrungi masyarakat Indonesia. Upin dan Ipin."Arkan, Bu," jawab Bang Arkan. Ia tak berani melihat orang yang tengah menginterogasinya."Nama panjang?" tanya wanita paruh baya itu lagi dengan ketus seraya memainkan jari jemarinya di atas papan keyboard. Matanya terfokus ke layar laptop dihadapannya."Arkan bin Abdullah?" jawab Bang Arkan lagi. Ia masih tak berani melihat wajah orang yang tengah menginterogasinya."Kenapa kamu menunduk? Takut sama saya?" ketus polisi wanita yang memakai hijab itu.Perlahan Bang Arkan menengadahkan wajahnya. Kemudian ia berkata dengan suara ter
Keesokkan harinya kami pergi menuju kampung halamanku. Sekitar pukul satu siang setelah solat zuhur kami berangkat menuju kampung halamanku yang jaraknya lumayan jauh. Sekitar 4 sampai 5 jam perjalanan dengan menggunakan mobil.Aku dan Ibu Syarah sekarang berada di kantor polisi. Dan kami sudah bersiap untuk pergi ke kampung halamanku.Kali ini Pak Kapolda membawa lebih banyak anggotanya. Ada sekitar sepuluh polisi yang ia bawa. Lima belas dengan kami. Aku, Ibu Syarah, Bang Arkan, dr. Syarif dan Pak Kapolda sendiri. dr. Syarif sengaja dibawa untuk dijadikan saksi.Ada lima mobil yang akan pergi. Empat mobil milik kepolisian dan satunya milik Bang Arkan. Mobil mewah berwarna putih milik Bang Arkan yang selalu mengingatkanku dengan almarhum Ayahku. Abahlah yang membeli mobil mewah berwarna putih itu. Sebagai kado spesial di hari pernikahan Bang Arkan beberapa bulan yang lalu. Selain mobil Abah juga menghadiahkan Bang Arkan sebuah rumah mewah yang dibangun tepat di samping rumah Ayah dan
"Pengumuman-pengumuman, diberitahukan kepada seluruh warga Desa Madinah khususnya kilometer sebelas, dua belas, tiga belas dan sekitarnya untuk segera datang ke Balai desa sekarang juga!" terdengar suara pengumuman melalui toak-toak mesjid."Semua wajib datang ke Balai Desa tanpa terkecuali!" seru orang tersebut.Sekarang kami sudah berada di Balai desa. Aku, Ibu Syarah, dan yang lain masih di dalam mobil. Pak Kapolda menginstruksikan kami untuk tetap menunggu di dalam mobil. Hanya Bang Arkan dan Pak Kapolda yang berada di pelataran Balai desa. Mereka tengah menunggu warga kampung berkumpul.Di balai desa sudah tersusun kursi kosong dan juga sebuah proyektor yang diletakkan di atas meja. Mesin Proyektor sudah dioperasikan, tetapi Bang Arkan belum memutar bukti-bukti rekaman. Hanya musik-musik video yang ia putar melalui kanal youtube.Yang lain juga sudah sampai. Mobil mereka tersusun rapih di belakang mobil kami.Sama seperti kami, mereka masih di dalam menunggu instruksi selanjutnya
"Check...,Check," Terdengar suara seseorang dari 'walkie talkie' yang tersimpan di saku celana sopir kami. Lelaki paruh baya yang juga seorang polisi itu mengeluarkan 'walkie talkie' dari saku celananya."Siap, Komandan!" ujarnya."Ayo, semuanya keluar!" pinta Pak Kapolda."Sebentar lagi akan dimulai!" ucap Pak Kapolda lagi dengan suara berbisik.Kampi pun bergegas keluar dari mobil. Sebelum keluar dari mobil, tadi Pak Kapolda berpesan kepadaku untuk memakai cadar. Aku pun menuruti perintah dari pak Kapolda. Ibu Syarah membantuku memasangkan cadar berwarna hitam yang sepadan dengan baju kaftan yang aku pakai. Ia juga memakai baju yang selaras denganku, tetapi ia tidak memakai cadar sepertiku. dr. Syarif juga ikut keluar. Dia akan menjadi saksi nanti. Suasana di balai desa sangat ramai. Semua kursi penuh."Ada apa sebenarnya ini?" ucap warga kampung. Mereka terheran-heran ketika melihat ada sepuluh orang polisi masuk ke balai desa. Sepuluh orang polisi itu kemudian berpencar dan berdir
Dan benar saja sesuatu terjadi di keluarga kami. Bang Arkan mengeluarkan memory card dari CCTV kamera yang berukuran sangat kecil itu. CCTV kamera itu harganya sangat mahal. Biasanya dipakai orang-orang untuk menjebak seseorang yang melakukan tindak kejahatan. Setelah mengeluarkan memory card dari CCTV kamera tersebut Bang Arkan memasukannya ke dalam card reader. Kemudian menghubungkannya ke sebuah laptop. Dan bukti pertama pun akan segera terlihat. Kamera tersebut memperlihatkan ada tiga orang berdiri di depan rumahku. Dua orang pria dan satu orang wanita. Mereka seperti tengah berdiskusi. Entah apa yang mereka diskusikan. Tak jauh dari mereka ada sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mobil tersebut adalah mobil milik almarhum ayahku. Dan mobil itulah yang menghilangkan nyawa Ayah dan ibuku. Buliran air mata kembali membasahi pipi ini setiap mengingat sesuatu hal yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Sebenarnya aku tak sanggup melihat rekaman itu, tetapi aku ingin men
Hari ini adalah hari yang sangat spesial bagi aku dan Bang Fadlan. Seminggu setelah keluar dari rumah sakit kami memutuskan untuk melakukan ijab kabul. Kami tak melakukan acara apapun. Hanya ijab kabul saja yang dihadiri beberapa orang penting di kampungku dan juga beberapa para petinggi di perusahaan almarhum ayahku.Acara ijab kabul dilaksanakan di masjid tak jauh dari rumahku. Kini kami tinggal menunggu penghulu dan juga wali hakim datang. Penghulu yang akan menikahkan ku mengatakan kalau acara ijab kabul akan dilaksanakan sekitar pukul sepuluh pagi. Dan sekarang masih pukul delapan.Aku menikah dengan menggunakan wali hakim. Sebab aku tak pernah mengenal saudara-saudara dari pihak ayah maupun ibuku. Semenjak ayahku menginjakan kaki di kampung ini ia tak pernah kembali lagi ke kampung halamannya. Aku bahkan tak tahu di mana kampung halaman ayahku. Begitu juga dengan kampung halaman Ibuku.Walaupun aku aku tak mengadakan pesta pernikahan, tetapi orang-orang di kampungku berbondong
Tiga minggu kemudian...Hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Pagi ini aku, Ibu Syarah, Kak Aisyah, dan juga Bang Fadlan akan berangkat ke rumah sakit yang ada di Pekan Baru. Siang ini rencananya aku akan melakukan persalinan. Jantungku berdetak tak karuan. Sebentar lagi aku akan melahirkan seorang bayi. Dan sebentar lagi aku resmi menjadi seorang ibu."Semuanya sudah dibawa?" tanya Bang Fadlan sambil beranjak masuk ke dalam mobil. Bang Fadlan tampak gelisah. Sebab setelah bayi ini lahir ia akan melakukan tes DNA. Kami semua ingin tahu apakah bayi yang aku lahirkan adalah darah daging Bang Fadlan atau bukan. Kalau ternyata bukan aku tak tahu bagaimana mana menemukan ayah dari anakku ini. Karena orang yang tahu dari mana benih ini berasal hanyalah Kak Vina. Kalau pun bayi ini darah daging Bang Fadlan apakah dia mau menikahi aku? Jujur dari dalam lubuk hati yang terdalam aku sangat berharap ia menjadi suami ku. Siapa yang tak mau memiliki suami gagah, tampan, dan soleh, tetapi sayangnya
Tiga bulan kemudian...Tiga bulan telah berlalu. Bayi yang aku kandung sudah memasuki bulan ke-sembilan. Beberapa minggu ke depan aku akan melahirkan seorang bayi. Aku sudah tidak sabar melihat darah dagingku meskipun aku belum tahu siapa ayah dari bayi yang aku kandung ini."Bayi Ibu laki-laki," kata dokter yang memeriksaku beberapa hari yang lalu. Sudah lebih dari tiga kali aku melakukan USG. Dan hasilnya sama."Kira-kira apa nama bayi ini yang cocok, Ma?" tanyaku kepada Ibu Syarah. Wanita paruh baya ini sekarang tinggal bersamaku di rumah peninggalan kedua orang tuaku.Begitu juga dengan Bang Fadlan. Ia juga tinggal di kampung ku, tetapi ia tidak tinggal di rumahku. Ia tinggal di rumah Bang Arkan seorang diri. Semenjak Bang Arkan dipenjara isterinya memutuskan untuk meninggalkan kampung ini. Ia tidak tahan mendengar gunjingan orang-orang kampung. Salah seorang warga sempat melihat kak Anggi di Pekan Baru. Ia melihat Kak Anggi berdiri di depan rumah karoke dengan berpakaian seksi.
Tetapi Polisi-polisi itu tak bisa menyelamatkan Kak Vina. Wanita yang selalu berpakaian seksi itu jatuh ke jurang."Vinaaaaaa!!!!" teriak Ibu Syarah seraya mendekati pagar pembatas. Semua orang ikut berlari mendekati pagar pembatas untuk melihat Kak Vina. "Vinaaaaaa!!" lirihnya. Ia terduduk lemas seraya memegang besi pembatas. Ia menangis sesunggukan meratapi anaknya yang telah jatuh ke jurang yang terjal itu. Hati siapa yang tak hancur melihat anak satu-satunya terjatuh ke jurang.Walaupun anaknya durhaka, tetapi dia tetaplah darah dagingnya. Yang ia kandung sembilan bulan lamanya."Sabar, Ma," Aku mencoba menenangkan Ibu angkatku itu seraya memeluk erat tubuhnya.Pak Kapolda kemudian meraih telfon genggamnya. Segera ia menghubungi tim SAR."Lebih baik kita kembali ke kantor polisi!" ajak Pak Kapolda. Kami pun meninggalkan tempat ini.***Jam menunjukkan pukul 12 malam. Kami tengah menunggu kabar dari tim SAR apakah mereka berhasil menemukan Kak Vina."Selamat malam," seorang pria p
Ketika orang tersebut membuka kaca mata dan jaket hitamnya aku dan Ibu Syarah begitu terperanjat. Ternyata apa yang kami sangka-sangka selama ini benar. Orang tersebut adalah Kak Vina anak Ibu Syarah. Wanita berambut pirang itu mengibas-ngibaskan rambutnya yang tergerai panjang. Ia tak gentar walaupun ada lima orang polisi di hadapannya. Kak Vina kemudian menatap aku dan Ibu Syarah. Ia bertanya-tanya di dalam hati siapa dua wanita bercadar ini."Astaghfirullah, ternyata dugaan kami selama ini benar, ternyata anakku ikut dalam masalah ini," ucap Ibu Syarah sambil terus beristighfar. Tangannya bergetar. Matanya berkaca-kaca."Anda jangan sembarangan menuduh saya! Mana buktinya kalau saya melakukan tindakan kejahatan, ha!" ucap Kak Vina dengan meninggikan suaranya."Sudah, kamu mengaku saja Vina, anakku!" ucap Ibu Syarah. Ia kemudian membuka cadarnya.Kak Vina terlihat shock. Ia tak menyangka ternyata orang yang memakai cadar itu adalah ibunya."Ma--ma," seru Kak Vina dengan suara terbat
"Bagaimana, Pak? Kapan kita bertemu dengan orang tersebut?" tanyaku kepada Pak Kapolda. Aku dan Ibu Syarah sekarang berada di kantor polisi. Tadi pagi sekitar pukul sepuluh kami berangkat dari rumah. Salah seorang warga mengantarkan kami ke kantor polisi."Hari ini kita akan bertemu dengan orang tersebut," jawab pak Kapolda."Kira-kira siapa orang tersebut?" Aku bertanya-tanya di dalam hati."Dimana bertemunya, Pak?" tanyaku lagi."Seperti biasa di tempat-tempat nongkrong, tetapi bukan tempat yang kemarin," jawabnya."Ayo bersiap-siap semuanya kita berangkat sekarang!" seru Pak Kapolda seraya bangkit.Bang Arkan kembali ikut karena dialah orang yang tahu siapa pemilik benih yang tertanam di dalam rahimku ini. Sebelum kami pergi aku menyempatkan diri untuk bertemu dengan Bik Misnah. Aku ingin melihat bagaimana kondisi perempuan yang tak memiliki hati nurani itu."Hai manusia berhati iblis," sapa ku ketika bertemu Bik Misnah yang mendekap di dalam sell. Aku tersenyum sinis kepada wani
"Kenapa kau tega melakukan ini kepada ku?!" pekikku seraya melepaskan cadarku, "Apa salah ku!?".Seluruh tubuhku seketika menjadi panas dingin. Buliran air mata terus membasahi pipi ini. Aku menangis sesenggukan di hadapan warga kampung."Hana?" seru warga kampung. Mereka begitu terperanjat. Mereka baru menyadari kalau orang yang memakai cadar itu adalah aku. Hana binti Abdullah. Gadis yang mereka caci maki dan mereka fitnah. Beberapa warga desa terlihat menundukkan kepala mereka. Mereka merasa malu karena pernah memfitnahku."Kenapa kau tega melakukan ini kepadaku? pekikku lagi dengan suara bergetar."Kurang baik apa ayah dan ibuku kepada kau!" tanyaku seraya mendekatinya."Kenapa kau menunduk!" geram ku. Aku kemudian meramas wajah orang tersebut dengan kedua tanganku. Ya, kali ini aku menjadi anak yang tak sopan. Meramas wajah orang yang puluhan tahun lebih tua dariku. Sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya aku berkata, "lihat aku!" "Bik Misnah!" tatapku dengan penuh emosi. Suaraku
Dan benar saja sesuatu terjadi di keluarga kami. Bang Arkan mengeluarkan memory card dari CCTV kamera yang berukuran sangat kecil itu. CCTV kamera itu harganya sangat mahal. Biasanya dipakai orang-orang untuk menjebak seseorang yang melakukan tindak kejahatan. Setelah mengeluarkan memory card dari CCTV kamera tersebut Bang Arkan memasukannya ke dalam card reader. Kemudian menghubungkannya ke sebuah laptop. Dan bukti pertama pun akan segera terlihat. Kamera tersebut memperlihatkan ada tiga orang berdiri di depan rumahku. Dua orang pria dan satu orang wanita. Mereka seperti tengah berdiskusi. Entah apa yang mereka diskusikan. Tak jauh dari mereka ada sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mobil tersebut adalah mobil milik almarhum ayahku. Dan mobil itulah yang menghilangkan nyawa Ayah dan ibuku. Buliran air mata kembali membasahi pipi ini setiap mengingat sesuatu hal yang berhubungan dengan kedua orang tuaku. Sebenarnya aku tak sanggup melihat rekaman itu, tetapi aku ingin men
"Check...,Check," Terdengar suara seseorang dari 'walkie talkie' yang tersimpan di saku celana sopir kami. Lelaki paruh baya yang juga seorang polisi itu mengeluarkan 'walkie talkie' dari saku celananya."Siap, Komandan!" ujarnya."Ayo, semuanya keluar!" pinta Pak Kapolda."Sebentar lagi akan dimulai!" ucap Pak Kapolda lagi dengan suara berbisik.Kampi pun bergegas keluar dari mobil. Sebelum keluar dari mobil, tadi Pak Kapolda berpesan kepadaku untuk memakai cadar. Aku pun menuruti perintah dari pak Kapolda. Ibu Syarah membantuku memasangkan cadar berwarna hitam yang sepadan dengan baju kaftan yang aku pakai. Ia juga memakai baju yang selaras denganku, tetapi ia tidak memakai cadar sepertiku. dr. Syarif juga ikut keluar. Dia akan menjadi saksi nanti. Suasana di balai desa sangat ramai. Semua kursi penuh."Ada apa sebenarnya ini?" ucap warga kampung. Mereka terheran-heran ketika melihat ada sepuluh orang polisi masuk ke balai desa. Sepuluh orang polisi itu kemudian berpencar dan berdir