Share

Ch 5

“Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, aku tidak sanggup hidup bersama kamu jika hanya karena terpaksa. Jadi aku mau … kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah,” ucap Hania yang membuat Bian terbelalak.

Ucapan itu membuat Bian terdiam sejenak sebelum akhirnya membuang wajah dan terkekeh. Raut wajahnya berubah, campuran antara kejutan dan keheranan.

“Kalau bukan karena Papa, aku sudah menceraikanmu, Rahma. Tapi sayang Papa adalah orang paling berpengaruh dalam rumah tangga ini, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa, sudahlah terima saja semuanya, anggap ini sebagai ladang amal untukmu, karena telah patuh dan menuruti keinginanku.”

“Tapi, Mas, aku ….” Belum usai Hania berkata, tiba-tiba Bian beranjak dan melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti.

“Mas Bian … Mas!” Panggilan Hania tak dihiraukan, Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kekecewaan dan keputusasaan.

***

Beberapa bulan kemudian.

“Hania! Hania!"

Terdengar teriakan Bian menggema di dalam satu ruangan rumah besar itu. ekspresi wajahnya tampak kebingungan. Hania yang mendengar dengan cepat mendekat.

"Iya Mas, ada apa?" tanyanya, langkahnya terhenti di depan pintu ruangan kerja Bian.

"Apa kamu tahu kertas-kertas yang aku taruh di atas meja kerjaku ini?" tanya Bian, suaranya terdengar sedikit panik.

Hania mengerutkan keningnya, matanya menyapu meja kerja Bian yang sudah tertata rapi, tak lagi berserakan oleh banyaknya map dan kertas tak terpakai.

“Kertas? Oh, tadi aku yang membersihkannya, Mas, dan sampahnya sudah kuantar ke tukang sampah,” jawab Hania santai, “apa ada masalah, Mas?”

Mendengar ucapan itu seketika Bian melebarkan mata, ekspresinya marah dan rahangnya mengeras. “Apa, jadi kamu membuangnya? Dasar bodoh!” Suara Bian terdengar tajam dan penuh kemarahan, membuat Hania terkesiap.

Hania menunduk, matanya berkaca-kaca. "Maaf, Mas. Aku tidak tahu kalau itu penting," ucapnya lirih, "aku pikir itu hanya kertas bekas,” ucap Hania lirik dan tak sanggup memandang wajah sang suami.

"Itu bukan sembarang kertas, Hania. Itu adalah dokumen penting yang harus kubawa ke kantor besok! Dan sekarang kamu membuatku harus mengulang semuanya dari awal! Dasar istri bodoh!"

Hania semakin tertunduk, air matanya mulai menetes. "Aku benar-benar tidak tahu, Mas. Aku hanya ingin membantu membersihkan ruangan."

Bian mengeratkan rahangnya dengan ekspresi tajam, matanya menatap langsung ke arah Hania yang tampak gugup. Suaranya lantang memenuhi ruangan yang sunyi, "Hania, sudah berapa kali aku katakan? Jangan pernah ikut campur urusanku, apalagi untuk membereskan ruangan ini, itu bukan urusanmu! Kenapa kamu bengal sekali?”

Amarah yang meluap dari Bian membuat Hania, wanita yang tengah mengandung dengan perut yang semakin membesar itu benar-benar merasa ketakutan. Suasana tegang terasa begitu kental di antara keduanya, membuat udara di ruangan terasa semakin berat dan hening.

“Maafkan aku, Mas, maaf,” ucapnya penuh penyesalan.

“Dasar istri tak berguna! Mau sampai kapan sih kamu selalu merepotkan aku? Kamu selalu menyusahkan, semakin lama bukan semakin membaik, malah semakin membuat kesal. Hania, apa kamu lupa fungsimu di sini hanya untuk diam? Jadi jangan pernah ikut campur urusanku, pekerjaanku, ataupun urusan pribadiku. Ingat itu!” ucap Bian menunjuk tepat di wajah Hania, membuatnya terdiam gemetar. Rasa sakit dan kecewa Hania seolah tersirat jelas dalam tatapan matanya yang terpaku ke lantai.

Hania, tanpa mampu berkata-kata atau mengangkat wajahnya, terus menunduk sambil menangis. Dia merasa tak berdaya di hadapan suaminya. Kata-kata kasar yang terus dilontarkan seolah menusuk hatinya yang sudah terluka.

“Muak aku melihatmu! Muak!” tambah Bian penuh penekanan, yang kemudian beranjak pergi meninggalkan Hania seorang diri.

Kepergian Bian membuat tubuh Hania lemas seketika, rasa kaki yang seakan tak mampu menopang beban tubuhnya membuat Hania terduduk lemah di lantai.

Hania terus merenung dalam keheningan, "Lagi-lagi aku salah! Kapan, kapan aku terlihat benar di mata Mas Bian? Kapan? Apa seburuk itukah aku? Hingga suaminya tak pernah bisa menghargai aku. Aku lelah, ya Allah! Aku lelah!" Suara teriakan Hania penuh dengan keputusasaan dan luka yang begitu dalam.

Wanita hamil yang sedang tak berdaya itu terus menangis tersedu, tapi tiba-tiba Hania merasakan sakit pada perutnya, seperti sebuah tusukan yang menusuk-nusuk. Wajahnya yang semula pucat kini semakin pucat akibat rasa sakit dan kesedihan yang melanda. Air matanya yang sudah mengalir deras, kini terhenti sejenak akibat fokusnya beralih pada rasa sakit yang mendera.

“Perutku, aduh, sakit!” desah Hania meringis kesakitan, usia kandungan yang baru menginjak enam bulan itu tidak mungkin hendak melahirkan, Hania merasa khawatir jika terjadi sesuatu pada kehamilannya, berusaha sebisa mungkin untuk beranjak. Dengan langkah gontai, Hania berusaha keluar dari ruangan untuk mencari pertolongan.

"Mas Bian ... Mas, perutku sakit, Mas, tolong aku!" ucap Hania dengan suara yang terdengar gemetar sambil terus berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Namun, tak ada sahutan atau respon apa pun atas ucapannya, membuat kegelisahan Hania semakin memuncak. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dipenuhi oleh rasa sakit yang semakin tak tertahankan.

Akan tetapi, Haris, sang mertua yang melangkah hendak menuju dapur tiba-tiba langkahnya terhenti kala melihat Hania tertatih, membuatnya dengan cepat mendekat. “Hania, kamu kenapa?” tanyanya cemas.

“Pah, perutku sakit, Pah, kram, tolong aku!”

“Yasudah, kita ke rumah sakit sekarang!”

Dengan sigap, sang ayah mertua segera membawa Hania ke rumah sakit, dengan harapan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap kehamilan Hania.

***

Setibanya di rumah sakit, Hania segera diberikan perawatan medis yang cepat dan tepat. Dokter dan tim medis dengan sigap menangani kondisi kesehatan Hania, memberikan perawatan yang dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan ibu hamil dan janin yang dikandungnya.

Dengan tubuh yang lemah, Hania terbaring di tempat tidur rumah sakit. Tatapan matanya penuh dengan ketegangan dan kekhawatiran, sementara ia merasakan sentuhan dingin dari linen medis yang menemaninya. Suasana ruangan yang tenang hanya terganggu oleh suara detak jam dinding yang terus berdenting, menandakan waktu yang terus berjalan di saat yang penuh dengan ketidakpastian.

Saat ini, Hania berada di ruang perawatan, di mana kondisinya terus dipantau dengan cermat oleh tim medis dan dokter yang merawatnya.

Hania tidak lagi sendirian, kali ini ia ditemani oleh Haris, sang ayah mertua, dan Bian, suaminya. Meskipun mereka berada bersama, suasana ruangan terasa hening tanpa suara yang berseliweran di antara mereka. Haris terduduk di satu sisi ruangan, sedangkan Bian tenggelam dalam dunianya dengan sibuk memperhatikan ponsel.

Ketika ketiganya tengah dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing bagi Hania, "Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu membuyarkan keheningan dan seketika membuat ketiganya menoleh ke arah sumber suara. Mata mereka melebar kaget saat melihat seseorang muncul di ambang pintu, menciptakan momen kejutan yang tak terduga.

BERSAMBUNG.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status