Hari demi hari berlalu.
Hania menjalani hari-harinya dalam kepedihan. Bian yang semakin hari semakin tak menganggapnya, bersikap acuh tak acuh, membuat Hania merasa hidup seorang diri. Setiap hari terasa hampa, dipenuhi kesepian yang mencekam. Hati Hania terluka, dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan. Siang ini, hawa panas ruangan seakan ikut memanas saat Bian duduk berhadapan dengan ayahnya, Pak Haris, di ruang tamu yang ber-AC. Udara dingin tak mampu meredam ketegangan yang terpancar dari wajah Bian. "Apa Papa tahu? Perempuan pilihan Papa jauh dari akhlak yang baik," ucap Bian, suaranya bergetar menahan amarah. Pak Haris mengernyit, heran dengan nada bicara Bian yang tiba-tiba berubah. "Maksudnya?" tanyanya penasaran. "Pah, Hania hamil!" Bian menelan ludah, berusaha agar suaranya tetap tenang. Seutas senyum mengembang di bibir Pak Haris. "Loh, justru ini kabar bahagia dong, Bi, tapi kenapa kamu seperti tidak suka?" tanyanya, nada suaranya penuh kebahagiaan. "Jelas, Pah, aku tidak suka! Karena Hania bukan mengandung anakku, tapi sedang mengandung anak laki-laki lain." Deg! Seketika ekspresi Pak Haris berubah. Senyumnya sirna, digantikan dengan raut wajah yang terkejut dan tak percaya. "Apa maksudmu, Bian?" Pak Haris tergagap, matanya terbelalak menatap Bian. "Papa sendiri yang bilang, Hania adalah perempuan yang baik, yang akan menjadi istri yang ideal untukku. Tapi ternyata Papa salah, Pah. Hania bukan perempuan baik-baik. Selama ini Papa tertipu dengan penampilannya. Nyatanya sekarang dia hamil, tapi anak yang dikandungnya bukan anakku!" Bian menunjuk dada, suaranya bergetar menahan emosi. Sejenak terdiam Pak Haris mencoba mencerna ucapan sang anak, tapi tiba-tiba Keysa datang menyambar ucapan Bian hingga membuat sang ayah menoleh. “Papa salah pilih wanita, wanita nakal seperti Mbak Hania tidak pantas untuk Mas Bian, Pah,” ucapnya yang kemudian ikut terduduk di antara Bian dan Pak Haris. "Dari mana kamu tahu kalau Hania bukan mengandung anak kamu, Bian?" tanya Pak Haris, suaranya terdengar parau. "Selama dua bulan ini aku belum pernah menyentuhnya, Pah. Jadi sudah jelas, Hania telah berselingkuh dan mengkhianati pernikahannya!” Seketika Pak Haris pun melebarkan mata, tak menyangka dengan apa yang ia dengar. Selama ini ia mengenal Hania adalah sosok wanita sholehah, tapi kenapa kenyataannya malah seperti ini? “Lalu, apa Papa masih mau memaksaku? Dengan menarik semua fasilitas jika aku menceraikan Hania?” tanya Bian menatap sang ayah dengan tajam. Belum saja Pak Haris menjawab, Hania yang tampak melintas membuat pandangan ketiganya beralih. “Hania,” panggil Pak Haris membuat Hania dengan cepat menoleh. Kini Hania pun mendekat. Membuat pandangan tak suka Keysa seketika terlihat. “Iya, ada apa, Pah?” “Apa benar yang dikatakan Bian? Kamu hamil?” tanya Pak Haris yang membuat Hania menunduk. Ia tak sanggup berkata karena ia merasa anak dalam kandunganya memang bukanlah anak suaminya. Hania merasa takut dan tak tahu harus berbuat apa. “Hania, siapa ayah dari janin dalam rahimmu itu? Kamu mengkhianati suamimu? Kamu berselingkuh?” Seketika pandangan Hania kembali menegak, matanya berembun dan perlahan menggelengkan kepala. “Tidak, Pah, aku tidak pernah melakukan hal itu, aku tidak pernah berkhianat, apalagi sampai berzina dengan laki-laki lain, aku tidak seburuk itu, Pah.” Hania mencoba menegakkan rasa percaya dirinya dan menepis tuduhan yang dilontarkan Pak Haris. “Halah, masih aja ngeles,” sambar Keysa tanpa memandang, gerak bibirnya seolah mencibir. “Lalu kenapa kamu bisa hamil, Hania? Bian sudah cerita semuanya kalau selama dua bulan ini kalian belum saling menyentuh, kan?” Hania kebingungan, ia tak tahu harus menjawab apa, membuat Bian mengernyitkan bibir dan tertawa sinis. “Sekarang Papa udah lihat sendiri kan, bagaimana Hania? Perempuan yang Papa anggap baik ternyata tidak lebih dari seorang wanita nakal. Sekarang terserah Papa, akan tetap membiarkan aku hidup bersama dia? Atau mengizinkan aku meninggalkannya.” Pertanyaan itu membuat Hania terbelalak, matanya memerah dan ekspresinya cemas. Apakah pernikahannya akan berakhir sampai di sini? Bian yang kini terdiam menunggu jawaban sang ayah dengan penasaran. Begitupun dengan Keysa yang tersenyum smirk memperhatikan wajah pucat pasi Hania, ia merasa puas melihat kakak iparnya itu dalam kehancuran. “Jujur, papa kecewa sama kamu, Hania. Papa pikir kamu perempuan sholehah yang bisa dipercaya, tapi ternyata …,” ucap sang ayah mertua yang membuat Hania menggeleng dengan cepat. Berhasil sudah ia dianggap buruk di mata orang lain. Entah bagaimana ia harus bangkit? Sementara nama baik sudah tercoreng di sini. Hania menunduk, pipinya memerah menahan air mata. Ia merasa tak berdaya di hadapan mertuanya. Tatapan tajam sang mertua seakan menusuk hati. Akan tetapi, tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka, seorang pria berwajah tegas melangkah masuk, membuat Hania terkesiap, matanya terbelalak. Kehadirannya mendadak mengalihkan semua perhatian, pria itu berdiri di ambang pintu, siluetnya tertangkap cahaya senja yang menyelinap masuk. Laki-laki itu tak datang seorang diri, ia ditemani dua orang laki-laki bertubuh kekar, berseragam dan berkaca mata hitam. “Sean ….” gumam Hania tak bersuara. Surya dan Keysa terpenganga melihat kedatangan Sean. Sementara Bian yang kini beranjak dan dengan cepat menghampiri tamu tak diundangnya itu. Bian menatap Sean seolah mengintimidasi, ia seperti sedang mengingat siapa laki-laki bertubuh tegap yang ada di hadapannya saat ini. “Anda ….” Pandangan Bian seketika memperhatikan Hania dengan raut wajah berbeda, “Anda kan laki-laki yang berkhianat dengan istri saya? Ada urusan apa Anda datang ke rumah saya?” Ucapan itu membuat Hania melebarkan mata, jantungnya berdebar kencang. Bibirnya gemetar, tak mampu berkata apa-apa. Tak langsung menjawab, Sean yang lebih dulu berjalan mendekati Hania yang tampak masih terkejut. Langkahnya pasti, tatapannya lembut, seperti ada sebuah rasa. Hania terpaku di tempat, tubuhnya menegang, tak berdaya menghadapi tatapan Sean yang seolah menusuk ke dalam jiwanya. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” ucap Sean yang memperhatikan Hania, Bian, Keysa, dan Surya secara bergantian. Suaranya tenang, tapi mengandung kekuatan yang membuat mereka penasaran. Semua pandangan memperhatikan dengan seksama, menunggu hal apa yang akan dikatakan oleh Sean. “Apa yang akan Anda sampaikan? Jangan berbasi-basi! Atau Anda ingin bertemu dengan istri saya, ingin mengajaknya pacaran?” tanya Bian melirik Hania. Sean hanya tersenyum smirk mendengar pertanyaan Bian. “Saya hanya ingin menyampaikan, jika janin yang sedang dikandung oleh Hania adalah anak saya!” Seketika semua mata terbelalak, tak menyangka dengan apa yang diucapkan Sean barusan. Begitu juga Hania yang terkejut dengan pengakuan laki-laki masa lalunya itu. “Apa maksudmu, Sean?” tanya Hania tak mengerti. Sementara Bian yang kini tertawa terbahah-bahak, kemudian berkata, “Sudah kuduga. Ternyata kalian benar-benar sudah bermain di belakangku. Terus kenapa Hania tak pernah mau mengaku?” Hania yang masih kebingungan dan tak dapat berkata-kata, ia menggelengkan kepala mencoba mencerna ucapan aneh Sean yang barusan ia dengar. BERSAMBUNG.“Sean, apa maksudmu? Jangan mengada-ngada. Kita tidak pernah melakukan hal itu!” sambar Hania dengan wajah cemas. “Aku tidak mengada-ngada, Hania. Aku serius dengan ucapanku, bahwa benih yang sedang kamu kandung itu milikku.”Hania membuang wajahnya, ekspresinya tampak begitu frustrasi tak mengerti apa yang telah terjadi. “Kapan, Sean? Kapan kita melakukannya? Sementara kita baru bertemu kemarin di rumah sakit. Sean, tolong jangan memperkeruh keadaan.”“Tapi, Hania, aku tidak berbohong. Aku berkata jujur dan benar adanya.” Sean menatap Hania dengan tatapan serius, mencoba meyakinkannya. Semakin ke sini semakin membuat Hania kebingungan. Ia menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Ingatannya kosong, tak ada satu pun kenangan yang terukir tentang pertemuannya dengan Sean sebelum di rumah sakit.Perlahan Sean melangkah menjauh, memasukan kedua tangannya di saku celana, kemudian ia pun menjelaskan tentang apa yang terjadi. “Saat itu ….” Sean terduduk berhadapan dengan seorang dokter
“Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, aku tidak sanggup hidup bersama kamu jika hanya karena terpaksa. Jadi aku mau … kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah,” ucap Hania yang membuat Bian terbelalak. Ucapan itu membuat Bian terdiam sejenak sebelum akhirnya membuang wajah dan terkekeh. Raut wajahnya berubah, campuran antara kejutan dan keheranan. “Kalau bukan karena Papa, aku sudah menceraikanmu, Rahma. Tapi sayang Papa adalah orang paling berpengaruh dalam rumah tangga ini, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa, sudahlah terima saja semuanya, anggap ini sebagai ladang amal untukmu, karena telah patuh dan menuruti keinginanku.”“Tapi, Mas, aku ….” Belum usai Hania berkata, tiba-tiba Bian beranjak dan melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti. “Mas Bian … Mas!” Panggilan Hania tak dihiraukan, Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kek
“Bagaimana kamu bisa hamil? Aku tidak pernah menyentuhmu!”Hania memejamkan matanya saat suara Bian Abimana, suaminya, menggema di ruang tamu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan, kini mengalir deras membasahi pipi. Hania terisak, mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskan situasi yang tak terduga ini.“Kamu pasti berbuat zina dengan laki-laki lain, kan? Istri macam apa kamu!”Hania menggeleng cepat-cepat. “Aku tidak melakukan hal itu, Mas,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tidak pernah berbuat hal berdosa seperti itu.”“Jangan sok alim, Hania,” tukas Bian. Tatapan matanya menatap tajam pada Hania. “Buktinya kamu bisa hamil! Padahal aku tidak pernah menyentuhmu.”Hania makin ketakutan saat melihat kemarahan suaminya. Meskipun ia tahu mengapa suaminya marah, tapi ia sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa dan bagaimana, serta kenapa ia bisa hamil padahal Bian tidak pernah melakukan hubungan badan dengan Hania sejak keduanya menikah beberapa waktu yang lalu.Ya
“Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”Setelah mengucapkan itu pada Bian yang tampak tidak peduli, Hania pergi keluar. Menuju rumah sakit tempat ia memeriksakan diri.Lorong rumah sakit tampak sepi karena sedang bukan jam besuk ataupun jam periksa. Sendirinya, Hania bingung bagaimana ia menemui dokter yang memeriksanya kemarin untuk berkonsultasi tentang hasil tesnya tempo hari.Saat sedang menelusuri lorong dengan pikiran yang runyam, tiba-tiba–Bruk!Hania bertabrakan dengan seseorang, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.“Ah, maaf–”“Hania?”Wanita itu lantas mengangkat pandangan saat mendengar namanya dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi berdiri di hadapannya.Hania tercengang saat mengenali pria itu. "Sean ...," ucapnya. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Wajahnya yang tampan tengah terkejut."K-kamu ... kamu apa kabar?" kata Hania lagi.Sean hanya mengangguk dan menyahut, “Baik.”Pandangan mata pria itu seolah menyimp