“Sean, apa maksudmu? Jangan mengada-ngada. Kita tidak pernah melakukan hal itu!” sambar Hania dengan wajah cemas.
“Aku tidak mengada-ngada, Hania. Aku serius dengan ucapanku, bahwa benih yang sedang kamu kandung itu milikku.” Hania membuang wajahnya, ekspresinya tampak begitu frustrasi tak mengerti apa yang telah terjadi. “Kapan, Sean? Kapan kita melakukannya? Sementara kita baru bertemu kemarin di rumah sakit. Sean, tolong jangan memperkeruh keadaan.” “Tapi, Hania, aku tidak berbohong. Aku berkata jujur dan benar adanya.” Sean menatap Hania dengan tatapan serius, mencoba meyakinkannya. Semakin ke sini semakin membuat Hania kebingungan. Ia menggelengkan kepala, merasa tak berdaya. Ingatannya kosong, tak ada satu pun kenangan yang terukir tentang pertemuannya dengan Sean sebelum di rumah sakit. Perlahan Sean melangkah menjauh, memasukan kedua tangannya di saku celana, kemudian ia pun menjelaskan tentang apa yang terjadi. “Saat itu ….” Sean terduduk berhadapan dengan seorang dokter laki-laki. “Bagaimana, apa kerjamu berhasil?” tanya Sean menatap tajam dokter muda tersebut. Tak langsung menjawab, laki-laki berjas putih itu hanya menggelengkan kepala, membuat Sean mengerutkan dahi tak mengerti. “Kenapa?” “Sean, kita salah sasaran,” ucapnya yang membuat Sean melebarkan mata. “Salah sasaran, maksudnya?” “Benihmu tidak tertanam dalam rahim wanita bayaranmu itu.” “Lalu?” “Benihmu tertanam pada seorang wanita lain yang sudah bersuami,” jelas dokter yang membuat Sean melebarkan mata dan menggelengkan kepala. “Kenapa kalian ceroboh sekali, sih? Kalian ini kubayar, kenapa tidak becus? Kalau sudah seperti ini aku harus bagaimana?” “Cari wanita itu, Sean. Itu adalah satu-satunya cara.” “Sekarang katakan, Ndra, di mana benihku tertanam? Siapa perempuan itu? Biar kucari dia.” “Ini data dari dokter kandungan. Perempuan ini yang mengandung benihmu,” ucap dokter muda yang memberikan sebuah map di hadapan Sean. Dengan cepat Sean membukanya dan membaca dengan seksama, kemudian matanya terbelalak setelah data itu ia baca. Raut wajahnya berubah, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Apa, Hania? Jadi perempuan yang mengandung benihku adalah Hania?” ucap Sean terkejut. Seketika semua yang mendengar pun ikut terkejut. Surya, Bian, Keysa, dan Hania menggelengkan kepala tak percaya. “Karena itu saya datang ke sini untuk bertanggung jawab atas kehamilan Hania. Biarkan saya membantu Anda untuk membiayai kehamilan Hania,” ucap Sean yang membuat Bian terdiam. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya, Bian terkekeh lalu berkata, “Silakan saja, karena saya tidak peduli dengan Hania ataupun kehamilannya itu!” Kembali ucapan sadis yang berhasil membuat Hania bersedih, ia merasa malu di hadapan Sean, Bian menunjukan sikap acuh tak acuhnya itu. Setelah menjelaskan apa yang terjadi Sean pun berlalu pergi bersama kedua bodyguardnya meninggalkan kebingungan di hati Hania. “Kenapa ini harus terjadi? Apa alasan Sean hingga harus bertindak seperti ini, dan kenapa juga harus aku wanita salah sasaran itu?” gumam Hania merenung memikirkan ketidakmungkinan yang terjadi. Akan tetapi, di sisi lain Hania merasa tenang, karena akhirnya ia dapat membuktikan jika ia tak pernah berkhianat dari Bian, ia dapat membuktikan jika ia bukan wanita buruk seperti yang dituduhkan. *** “Mas, sekarang kamu percaya kan kalau aku tidak pernah mengkhianati kamu,” ucap Hania malam itu. Di bawah cahaya rembulan dan langit malam yang tenang, Hania dan Bian duduk bersama, tetapi tidak saling memandang. Suasana yang sepi dan hening, tetapi terasa terbebani dengan ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Hania memutuskan untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya malam itu. Bian, yang sejauh ini enggan menatap wajah Hania akhirnya, memperhatikannya dengan pandangan tajam, "Halah! Mungkin itu hanya akal-akalanmu saja," ucap Bian, "sebenarnya kamu pernah berbuat dengan mantan kekasihmu itu, kan!?” Ucapan itu membuat Hania melebarkan mata, mengapa Bian masih saja mencari-cari kesalahan Hania? Hania terdiam menghela napas berat, merasakan kehancuran di dalam hatinya. “Jangan mencoba merayuku, Hania. Ingat! Sampai kapan pun hatiku tidak pernah bisa terbuka untuk kamu.” Deg! Suara hening malam itu terasa begitu menusuk, perasaan Hania seketika hancur. Ucapan yang seharusnya bisa memberikan ketenangan justru menyakitkan baginya. Hatinya terasa tercabik oleh keputusan dan perasaan yang tak pernah terbalas dengan baik oleh suaminya. Apakah ini peran Bian sebagai seorang suami? Yang selalu menyakiti hati dan tak pernah menganggap istrinya ada? “Tapi, Mas, mau sampai kapan kita seperti ini? Kita sudah menikah, Mas, tapi kamu tidak pernah sedikit pun menganggap aku, lalu untuk apa kita bertahan, Mas?” Kembali pandangan mata elang itu tertuju padanya seolah hendak menerkam mangsa di hadapannya. “Apa kamu pikir aku bahagia hidup denganmu, Hania? Tidak! Asal kamu tahu aku bertahan hanya karena terpaksa,” jawab Bian yang membuat Hania begitu sakit hati. Hanya bertahan karena terpaksa? Sungguh pedih terdengar. Hania menggelengkan kepala heran dan pandangan matanya nanar. “Kamu bener-bener, ya, Mas, percuma jika aku berusaha mencintai kamu, tapi kamu tidak pernah menganggap perasaanku,” ucap Hania dengan mata berkaca-kaca. “Sudah kukatakan, Hania, jangan pernah berharap akan cintaku. Meski ragaku dapat kamu miliki, tapi tidak dengan hatiku. Aku tidak akan pernah mencintai kamu!” Hancur! Hancur berkeping-keping, pedih sekali rasa yang dirasakan Hania. Kata-kata Bian seperti pisau tajam yang menusuk relung hatinya, menghancurkan harapan yang selama ini ia jaga. “Entahlah, Mas, harus bagaimana lagi aku saat ini?” rintih Hania bersandar lemah. “Kamu tidak perlu berbuat apa-apa, kamu hanya harus diam dan ikuti saja alur hidupmu bersamaku, tapi dengan satu syarat jangan pernah menuntut rasa cintaku untukmu.” Mendengar ucapan itu, kini Hania kembali menegakkan tubuhnya, memperhatikan Bian dengan pandangan tajam. Sorot mata itu seolah penuh keyakinan dan harapan. “Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, aku tidak sanggup hidup bersama kamu jika hanya karena terpaksa. Jadi aku mau … kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah,” ucap Hania yang membuat Bian terbelalak. BERSAMBUNG.“Kalau memang harus seperti itu, rasanya aku tidak sanggup, Mas, aku tidak sanggup hidup bersama kamu jika hanya karena terpaksa. Jadi aku mau … kamu talak aku aja, Mas, mungkin lebih baik kita berpisah,” ucap Hania yang membuat Bian terbelalak. Ucapan itu membuat Bian terdiam sejenak sebelum akhirnya membuang wajah dan terkekeh. Raut wajahnya berubah, campuran antara kejutan dan keheranan. “Kalau bukan karena Papa, aku sudah menceraikanmu, Rahma. Tapi sayang Papa adalah orang paling berpengaruh dalam rumah tangga ini, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa, sudahlah terima saja semuanya, anggap ini sebagai ladang amal untukmu, karena telah patuh dan menuruti keinginanku.”“Tapi, Mas, aku ….” Belum usai Hania berkata, tiba-tiba Bian beranjak dan melangkah meninggalkan tempat, membuat ucapan Hania terhenti. “Mas Bian … Mas!” Panggilan Hania tak dihiraukan, Bian terus berjalan menjauh dan membiarkan Hania memperhatikan tubuh bagian belakangnya. Hania terdiam, hatinya tercabik antara kek
“Bagaimana kamu bisa hamil? Aku tidak pernah menyentuhmu!”Hania memejamkan matanya saat suara Bian Abimana, suaminya, menggema di ruang tamu. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan, kini mengalir deras membasahi pipi. Hania terisak, mencoba mencari kata-kata untuk menjelaskan situasi yang tak terduga ini.“Kamu pasti berbuat zina dengan laki-laki lain, kan? Istri macam apa kamu!”Hania menggeleng cepat-cepat. “Aku tidak melakukan hal itu, Mas,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku tidak pernah berbuat hal berdosa seperti itu.”“Jangan sok alim, Hania,” tukas Bian. Tatapan matanya menatap tajam pada Hania. “Buktinya kamu bisa hamil! Padahal aku tidak pernah menyentuhmu.”Hania makin ketakutan saat melihat kemarahan suaminya. Meskipun ia tahu mengapa suaminya marah, tapi ia sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa dan bagaimana, serta kenapa ia bisa hamil padahal Bian tidak pernah melakukan hubungan badan dengan Hania sejak keduanya menikah beberapa waktu yang lalu.Ya
“Aku tidak selingkuh maupun berzina, Mas. Aku berani bersumpah.”Setelah mengucapkan itu pada Bian yang tampak tidak peduli, Hania pergi keluar. Menuju rumah sakit tempat ia memeriksakan diri.Lorong rumah sakit tampak sepi karena sedang bukan jam besuk ataupun jam periksa. Sendirinya, Hania bingung bagaimana ia menemui dokter yang memeriksanya kemarin untuk berkonsultasi tentang hasil tesnya tempo hari.Saat sedang menelusuri lorong dengan pikiran yang runyam, tiba-tiba–Bruk!Hania bertabrakan dengan seseorang, membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.“Ah, maaf–”“Hania?”Wanita itu lantas mengangkat pandangan saat mendengar namanya dan melihat seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpenampilan rapi berdiri di hadapannya.Hania tercengang saat mengenali pria itu. "Sean ...," ucapnya. Pria itu melepas kacamata hitamnya. Wajahnya yang tampan tengah terkejut."K-kamu ... kamu apa kabar?" kata Hania lagi.Sean hanya mengangguk dan menyahut, “Baik.”Pandangan mata pria itu seolah menyimp
Hari demi hari berlalu. Hania menjalani hari-harinya dalam kepedihan. Bian yang semakin hari semakin tak menganggapnya, bersikap acuh tak acuh, membuat Hania merasa hidup seorang diri. Setiap hari terasa hampa, dipenuhi kesepian yang mencekam. Hati Hania terluka, dipenuhi rasa sakit yang tak tertahankan. Siang ini, hawa panas ruangan seakan ikut memanas saat Bian duduk berhadapan dengan ayahnya, Pak Haris, di ruang tamu yang ber-AC. Udara dingin tak mampu meredam ketegangan yang terpancar dari wajah Bian."Apa Papa tahu? Perempuan pilihan Papa jauh dari akhlak yang baik," ucap Bian, suaranya bergetar menahan amarah.Pak Haris mengernyit, heran dengan nada bicara Bian yang tiba-tiba berubah. "Maksudnya?" tanyanya penasaran."Pah, Hania hamil!" Bian menelan ludah, berusaha agar suaranya tetap tenang.Seutas senyum mengembang di bibir Pak Haris. "Loh, justru ini kabar bahagia dong, Bi, tapi kenapa kamu seperti tidak suka?" tanyanya, nada suaranya penuh kebahagiaan."Jelas, Pah, aku tid