"Sebegitu putus asanya anda ingin menikah sampai tidak mempermasalahkan bahwa mempelai prianya itu siapa, begitu? Dengar, menikah itu bukan seperti berjudi. Kalau tidak menang ya kalah. Wanita terkadang nalarnya suka macet kalau sudah berhubungan dengan masalah cinta. Dengan mantan calon suami yang sudah anda kenal selama bertahun-tahun saja anda masih bisa salah memilih, apalagi dengan saya yang anda kenal hanya dalam hitungan jam. Wanita dan pemikirannya, benar-benar luar biasa absurdnya."
Badai melirik Ochi yang sedari tadi terus saja diam dengan pandangan kosong kedepan. Seperti nya gadis ini bahkan tidak menyadari kalau Badai tengah menasehatinya panjang lebar. Dia seperti tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
"Anda tidak mendengar kalau sedari tadi saya sedang berbicara dengan anda, Bu Oceania?" Badai melirik Ochi yang masih saja bersikap seolah-olah sedang bertapa mencari wangsit.
"Saya mendengarnya dengan jelas, Pak. Kata-kata yang bapak ucapkan tadi malah sebenarnya adalah kata-kata wajib saya bila ada teman yang curhat tentang masalah asmara. Seseorang yang menurut kita begitu kita pahami luar dan dalamnya saja, kita masih bisa salah persepsi. Apalagi dengan orang yang baru kita kenal bukan? Tetapi makin kesini saya malah makin menyadari bahwa waktu dan hubungan yang lama tidak menjamin kelanggengan suatu hubungan ternyata."
Ochi mulai berpura-pura mengucek-ucek matanya bersikap seolah-olah dia sedang kelilipan, demi menyamarkan jatuhnya air mata dan tubuhnya yang mulai gemetaran hebat. Mungkin inilah yang disebut dengan reaksi lambat pasca insiden. Setelah dia mengalami begitu banyak kejadian menakutkan hanya dalam hitungan jam. Shocknya baru mulai muncul sekarang. Kesedihan, ketakutan, rasa kecewa dan marah berkumpul menjadi satu di dalam benak Ochi.
Badai menghentikan laju kendaraannya sejenak. Meraih botol air mineral yang masih bersegel dan memberikannya kepada Ochi. Tangan Ochi yang gemetaran hebat tidak bisa membuka tutup botol yang seharusnya bisa dibuka dengan mudah. Badai mengambil kembali botol air minumnya, memutar tutup botol dan memberikannya pada Ochi. Ochi masih saja berusaha menutupi kedua matanya. Ia tidak mau ada orang yang melihat saat-saat kalahnya. Tetapi tak urung ia menerima air mineral yang di sodorkan oleh Badai. Ia memerlukan pengalihan untuk menyamarkan kesedihannya.
Setelah minum beberapa teguk, bukannya merasa lebih tenang, Ochi malah merasa semakin galau saja. Air matanya semakin membanjir seperti keran bocor. Badai menarik nafas panjang. Dalam bidang pekerjaannya, tangis penuh amarah dan caci maki dari para korban kejahatan bukanlah suatu hal yang asing baginya. Bagi para penegak hukum seperti dirinya, hati mereka sudah kebal dengan yang namanya permainan emosi dan perasaan. Mereka semua di bentuk dan didoktrin untuk kuat dalam menghadapi segala situasi dan kondisi.
Ia sering melihat tangis buaya, tangis ketakutan karena berbohong, tangis penyesalan, tangis kemarahan, tangis kesedihan ataupun tangis kemenangan sudah menjadi makanannya sehari-hari. Tetapi tangis sok tegar dan menahan perasaan yang bahkan tidak ingin mencari simpati seperti Ochi inilah yang belum pernah ditemuinya.
Bila biasanya wanita menangis karena ingin mendapatkan dukungan dan simpati, Ochi malah berusaha menutupinya dengan berbagai cara agar terlihat tidak sedang menangis. Dia kini malah berusaha berpura-pura batuk-batuk hebat sambil terlihat seolah-olah sedang kelilipan, demi menyamarkan kesedihan hatinya. Selain Senjahari kakak iparnya, baru Ochi lah wanita yang tidak mengumbar sisi kefeminimannya demi memanipulasi para pemilik hormon maskulin. Dan untuk pertama kalinya perasaan Badai sebagai laki-laki sejatilah yang mulai bermain disini. Dia sudah bersikap tidak professional dan dia pun menyadari hal itu.
"Menangislah. Rasakan setiap bulir air mata. Sedih jangan dilawan, perih ada untuk dirasakan. Menangis tidak membuktikan bahwa anda itu lemah. Tetapi justru mengindikasikan bahwa anda itu hidup. Apa yang anda lakukan setelah menangislah penentu lemah atau tidaknya diri anda. Menangislah dan kemudian bangkitlah!"
Ochi pun mulai menangis tersedu-sedu dalam dekapan erat Badai yang juga balas memeluknya tak kalah erat. Badai tahu dia salah karena sudah melanggar kode etiknya sebagai seseorang yang harusnya selalu berdiri di luar garis teritori. Tetapi apa daya, dia hanyalah sosok pria yang berdarah dan berdaging, bukan seorang gatot kaca.
Ochi lah yang pertama sekali menyadari kalau perbuatannya ini sudah salah. Dia ini adalah seorang guru. Tidak pantas rasanya memeluk seseorang yang bukan apa-apanya apalagi sampai membasahi pakaian kebesarannya sebagai seorang abdi negara. Dia salah!
"Maaf. Tidak seharusnya saya memeluk bapak dan menjadikan seragam kebanggaan bapak menjadi basah karena ulah saya." Ochi segera menjauhkan diri sambil mencabut beberapa tissue dari dashboard mobil Badai.
"Tidak masalah selama kita sama-sama suka dan tidak ada yang merasa dirugikan disini. Apalagi kita berdua sudah berusia diatas 21 tahun. Jadi negara mengganggap kalau kita sudah dewasa dan mampu bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Tujuan saya adalah untuk menenangkan anda semata. Kalau anda dalam keadaan sehat lahir bathin, maka pekerjaan kami akan semakin cepat selesai. Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, saya suka bekerja secara efisien. Jadi selama anda tenang, saya senang, dan tidak ada pengaduan tentang pelecehan dan yang lain sebagainya, semua aman terkendali."
Badai menjawab datar-datar santai. Padahal hatinya sendiri mulai ketar ketir karena sedikit banyak dia punya andil juga dalam membuat situasi menjadi semelodramatis tadi.
"Oh iya, saya lupa. Anda adalah seorang polisi. Panduan hidup anda adalah menguak tabir kebenaran dan keadilan dengan segala cara dan upaya, titik."
"Anda salah. Panduan hidup kami para polisi adalah TRIBARATA dan Catur Prasetya. Yang artinya adalah Kami para polisi rela mengorbankan jiwa dan raga atas azas ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk menjunjung tinggi kebenaran dalam menegakkan hukum. Menjadi pelindung, pengayom dan pelayan bagi seluruh rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Apakah ada hal lain yang bisa saya tambahkan untuk membuat anda semakin yakin akan pedoman hidup saya, Bu Guru?" Badai semakin memanasi Ochi demi untuk meredakan ketegangan dalam dirinya sendiri.
"Ada."
"Apa itu, Bu?"
"Tolong tutup mulut Anda!"
===================
Badai membelokkan mobilnya memasuki satu kompleks perumahan mewah yang terkenal akan ketatnya penjagaannya. Selama dalam perjalanan tadi, Badai telah menjelaskan secara singkat dan padat tentang keadaan Ochi pada kakak iparnya itu.
"Ayo kita turun. Ini adalah rumah kakak ipar saya. Team kami akan berusaha seoptimal mungkin untuk menguak tabir ini, agar anda tidak perlu terlalu lama bersembunyi disini. Ayo sekarang kita masuk."
Ochi menatap kagum pada rumah mewah namun berkesan asri dan klasik ini. Buku-buku tebal dan kuno bertebaran disekat ruang tamu. Luar biasa, tampak sekali kalau penghuni rumah ini pasti berintelegensia tinggi. Rumah adalah cerminan jiwa kita. Banyak rumah mewah yang sering dikunjungi Ochi, terutama rumah Mas Banyu, kerabat dekat semua klan Siliwangi bahkan rumah para orang tua muridnya. Tetapi tidak ada yang membuat Ochi terkesan seperti ini. Rumah ini memperlihatkan kualitas dan integritas penghuninya.
"Eh tamu nya sudah datang ya? Ayo Bu Guru silahkan masuk." Ochi terpesona saat melihat seorang wanita cantik sedang menggendong seorang anak perempuan dan menuntun seorang anak laki-laki yang wajahnya nyaris sama. Pasti mereka kembar.
"Assalamuaikum, Mbak. Saya Oceania, biasa dipanggil Ochi. Salam kenal ya, Mbak." Ochi menyalami wanita cantik yang bernama Senjahari itu.
"Oh ya Mbak Senja, seperti yang sudah saya katakan tadi, saya titip ibu ini dulu selama beberapa hari disini ya? Elang dan team sedang berupaya semaksimal mungkin untuk menuntaskan kasus ini."
Drtt...drtt..drrt..
Ochi melihat Badai mengangkat telepon sambil menjauh sedikit mencari privacy demi kode etik pekerjaannya. Tetapi diam-diam Ochi mulai memasang telinganya. Dia tahu kalau menguping itu adalah perbuatan yang paling tidak terpuji. Tetapi dia penasaran, siapa tahu mereka sedang membicarakan tentang kasusnya. Ochi merasa berdekatan dengan Badai semakin lama akan semakin merubah akhlaknya. Bayangkan saja dalam setengah harian ini dia sudah dua kali melanggar prinsip hidup nya sendiri. Pertama, dia sudah memeluk dan menangis didada orang asing sembarangan. Kedua yaitu ini, dia juga sudah menguping penbicaraan orang sembarangan. Jangan-jangan besok-besok dia akan memukul orang sembarangan pula!
"Iya, Lang dia sama gue sekarang. Gue sih solo garut aja. Anak buah lo sih sampai sekarang masih solo bandung di lokasi. Oke besok gue bawa dia ke solo pati. Gila lo ya nggak mungkinlah gue bawa dia pulang kerumah. Kampret lo, gue nggak sebejat itu kali. Gue ini kan pria beriman, Bro. Pria beriman itu tahan godaan setan. Kecuali kalo setannya maksa. Itu rezeki namanya. Hahahahah...oke, Siap 8-6 !!"
Ochi mendengar derai tawa Badai yang seperti nya memang betul sedang membicarakan tentang keberadaannya. Dia bilang apa tadi, kecuali kalo setannya maksa? Berarti polisi kampret itu menganggap dirinya setan rupanya, kurang ajar!!!
"Bu Oceania, saya tinggal dulu anda sementara disini. Besok siang saya akan menjemput anda dan mengantarkan anda pada Pak Elang. Beliaulah yang seharus nya bertanggung jawab penuh atas diri anda. Tetapi karena ada sesuatu dan lain hal, makanya anda berada di bawah perlindungan saya untuk hari ini. Besok saya akan mengantarkan anda ke kantor polisi untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar kasus ledakan digedung pernikahan anda kemarin. Oh ya, kami juga akan memanggil kedua orang tua anda dan penghulu yang akan menikahkan anda besok untuk memberi keterangan sesuai prosedur pekerjaan kami. Anda jangan khawatir, anak buah Pak Elang yang akan mengantar jemput kedua orang tua anda. Saya permisi dulu."
Drrtt...drrtt..drtt..
"Ya Reinhard, ada kasus baru? 8-1-0, Motif sama? Organ-organ tubuhnya bagaimana? Oke oke fixed, berarti orangnya sama. Modus operandi nya juga sama. Ini pasti sindikat penjualan organ tubuh manusia, bisa juga sekaligus trafficking. Saya akan segera meluncur kesana. 1-1 ? Tidak bisa, saya maunya 1-4 saja. Kalau bisa satu jam lagi kita 8-8 saja dengan Pak Elang sekalian. Biar clear semua. Oke 8-1-3, Pak AKBP!"
Ochi bingung melihat Badai yang berbicara dengan angka-angka semua. Yang Ochi ingat cuma 8-6 saja. Itu pun dia tidak tahu artinya. Dia cuma sering mendengar istilah itu di televisi.
"Bapak mau kemana?" Ochi seketika berdiri dan membuntuti Badai. Bagaimana pun cuma Badai yang dikenalnya disini. Ochi merasa ada perasaan takut yang menjalari hatinya saat tahu ia akan ditinggal oleh Badai. Dia ingat, dua kali ia nyaris tinggal nama saja. Yang pertama memang karena nasib baik atau nasib buruk, Ochi pun bingung menerjemahkan perasaannya sendiri. Sementara yang kedua, dia selamat berkat ketenangan dan kesigapan Badai dalam menangani situasi dan kondisi. Jujur Ochi merasa sangat aman kalau ada Badai didekatnya.
" Saya harus pergi sekarang, Bu. Saya sedang ada tugas penting."
"Jadi saya bagaimana?"
"Ibu tinggal saja disini dulu. Rumah saya hanya beberapa blok dari sini. Jadi kalau ada apa-apa saya pasti akan lebih mudah untuk menghubungi ibu. Mbak Senja, saya titip ibu guru ini ya? Nanti kalau ada apa-apa telepon saja saya. Saya permisi dulu Bu Guru, Mbak Senja."
Badai baru saja berjalan dua langkah saat instingnya menyuruhnya untuk berbalik. Dan benar saja, si ibu guru judes itu terlihat sudah mau menangis. Badai menghela nafas dan memegang bahu kecil Ochi.
"Semua akan baik-baik saja. Anda akan aman disini. Nanti setelah semua urusan saya selesai, saya akan menemui anda lagi disini. Oke?" Badai menarik sekilas buntut kuda Ochi. Apa yang bisa Ochi lakukan selain mengangguk bukan?
Drrtt...drtt...drttt...
Sayang, kamu tidak kenapa-kenapa kan? Mas lihat di breaking news kalau gedung tempat ijab kabul kita diledakkan. Kamu sehat-sehat saja kan, Sayang?
"Ochi tidak akan bisa mengangkat telepon mas, kalau Ochi sudah menjadi mayat, Mas. Maaf mas, mulai hari ini dan seterusnya sebaiknya kita tidak usah saling berhubungan la—"
Kamu marah Sayang? M-Mas minta maaf ya? Tadi—tadi Mas bahkan sudah setengah jalan menuju ke gedung pernikahan. Hanya saja..."
Ochi mendengar Banyu mulai terlihat gugup dalam saat mau menjelaskan faktor ketidak hadirannya tadi pagi. Ochi mengenal Banyu sudah cukup lama. Dia tahu kalau Banyu sedang sedang mencoba untuk mengarang bebas.
"Marah? Mas pikir ini hanya soal marah? Mas, yang telah mas permalukan itu bukan cuma Ochi, Mas. Tetapi kedua orang tua Ochi dan keluarga besar, Ochi. Mas seperti menelanjangi Ochi ditengah-tengah ramainya tamu undangan. Bagimana kalau Ochi yang melakukan itu pada Mas? Bagaimana Mas?"
Mas sungguh-sungguh minta maaf, Sayang. Mas—Mas bingung harus menjelaskan pada kamu mulai dari mana. Tetapi Mas kini sudah bisa menyelesaikan semuanya. Mas mohon berikan mas kesempatan sekali lagi, ya Sayang?"
"Kita sudah selesai sekarang, Mas. Dan mulai hari ini, jangan pernah menghubungi Ochi lagi. Ochi hanya ingin bilang satu hal pada, Mas. Jika mas tidak suka membuat alasan untuk meminta maaf, tolong berhentilah berjanji! Berhentilah menjadi seorang pecundang!"
Dan Ochi pun langsung mematikan ponselnya. Deraian air matanya mulai mengaburkan pandangannya. Finally, it's over!
Senjahari memandang gadis yang terlihat mengikuti punggung Badai yang menjauh, dengan lirikan matanya. Mungkin ibu guru ini malu kalau terlihat terang-terangan ketakutan di tinggal sendiri oleh Badai. Wajar saja, setelah melalui saat-saat yang berat dan menguras adrenalin, gadis ini pasti memerlukan seorang kesatria berbaju zirah untuk melindunginya."Bu, Tante ini siapa? Kok bawa-bawa tas besar? Tante mau tinggal di sini dengan Bintang ya? Hore!" Ochi melihat kalau anak yang ada di gendongan Senja mulai menggeliat meminta turun. Sementara kembarannya terlihat sudah duduk anteng sambil membaca buku."Oh ya Bintang, Langit. Ayo salim dulu dengan ibu guru Ochi, sayang. Bu Ochi akan tinggal sementara di sini untuk menemani kita semua. Senang tidak Nak?"
"Ochi, Ayo keluar! Ada yang mau Mas bicarakan dengan kamu."Banyu membuka pintu mobil dan menarik paksa Ochi yang masih saja memegang erat lengan kiri Badai."Lepaskan! Sakit Mas!" Ochi meringis kesakitan saat Banyu terus saja berupaya menariknya keluar dari mobil. Ochi sudah khatam sekali dengan segala sifat Banyu. Sebelum keinginannya kesampaian, dia tidak akan pernah berhenti berusaha."Aduhhhh!!" Ochi menjerit tertahan saat merasakan Banyu meremas kuat pangkal lengannya karena geram dan kesal. Badai bereaksi cepat dengan memutar pergelangan tangan Banyu, yang seketika melepaskan Ochi karena kesakitan. Namun Ochi bertahan untuk tidak mau keluar dari mobil. Ia tidak mau menemui Banyu."Eh, Dai. Lo ini kan sekarang posisinya adalah sebagai petugas yang melindungi saksi kan ya? Jadi lo jangan bertingkah seolah-olah bahwa lo adalah pemilik pacar gue. Ingat garis batas teritori lo!"Banyu ma
Di sepanjang perjalanan kembali ke rumah Senja, air mata Ochi seperti tidak bisa berhenti mengalir. Banyu dengan Dania? Bagaimana bisa dua orang terdekatnya itu menghianatinya sampai sedemikian rupa? Ochi memejamkan mata. Ia tidak sanggup membayangkan adegan yang begitu intim yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri ternyata sanggup mereka lakukan di belakangnya. Betapa kejamnya mereka berdua!Isakan-isakan kecil yang lolos dari bibir nya membuat Badai yang sedang menyetir merasa tidak tega. Sedu sedan Ochi makin lama makin membesar saat dia membayangkan persahabatan mereka bertiga, yaitu dirinya, Dania dan Farhani yang sudah mulai terjalin saat MOS mereka di SMU. Suka duka dan canda tawamewarnai masa putih abu abu, kuliah hingga sekarang. Ochi ingat Dania lah yang terus saja mendesak dan menyemangati Ochi untuk menerima cinta Banyu dulu. Menurut Dania, Banyu itu paket lengkap. Kaya, ganteng dan mencintainya setengah gila. Karena
" Jadi benar gadis ini calon istri Anda, Pak Raga? Wah pertama kali go public ya? Namanya siapa, Pak Raga?"Para kerumunan pewarta itu terus maju. Mereka mendesak Ochi yang tengah berdiri di samping meja, hingga ia nyaris jatuh tersungkur. Untung saja ada sepasang tangan kuat yang menahan punggungnya. Tangan Pak Raga ternyata!Ochi mencoba menggeser-geser tubuhnya, menjauhi lengan Raga. Namun ia kalah cepat dengan Raga. Karena lengan Raga kini malah melingkari pinggulnya di hadapan para pewarta. Para kuli tinta itu terlihat sangat anthusias karena akan mendapat berita terkini.Kilatan lampu blitz yang terus menerus menerpa wajahnya, membuat Ochi risih. Ia berupaya memalingkan wajah, sambil meper meper kearah kursi tunggu. Situasi ini begitu tidak mengenakkan baginya. Namun lagi-lagi, Raga menahan langkahnya."Nama kamu siapa, Sayang? Ayo dong kasih tahu mereka? Tadi aja kamu deng
"Sa-Saya Saya minta maaf. Ta-tadi ponsel saya kehabisan daya. Dan saya baru tahunya sewaktu di kantor omnya murid saya. Jadi baru saya charge di sana. Makanya pas tadi Bapak telepon sudah aktif lagi kan ponsel sa-saya?"Ochi memandang Badai takut-takut. Dia memang sudah melakukan kesalahan yang amat besar."Keadaan rumah di Kemang bagaimana ya, Pak? Apa-apakah semuanya baik-baik saja?" Badai menghela nafas panjang. Melindungi saksi kunci seperti Ochi bisa semakin memendekkan usianya sepertinya."Kalau Anda hanya ingin tahu keadaan Banyu tetapi gengsi untuk menanyakannya pada saya, saya akan menjawab rasa penasaran Anda sekarang juga. Mas Banyumu itu baik-baik saja. Puas? Ada hal lain yang ingin Anda tanyakan?"Ochi terdiam. Ia mengenali suasana hati Badai dari panggilannya pada dirinya. Kalau hatinya sedang baik, maka Badai akan memanggilnya bu guru atau kamu. Tetapi kalau Badai
"Kalau analogi lo seperti itu, mari kita luruskan. Status gue memang hanya polisi yang kebetulan mendapat tugas untuk melindungi saksi. Lantas status lo apa terhadap saksi gue? Dibilang pacar? Bukan? Dibilang suami? Bukan juga. Jadi mulai hari ini, berhenti untuk menghubung-hubungi saksi gue lagi. Ngerti lo?!" bentak Badai tegas. Walau hanya berbicara melalui ponsel, Badai tetap menujukkan ketegasannya pada Banyu. Laki-laki modelan Banyu ini memang perlu untuk dicuci otaknya.Badai terkadang heran dengan orang yang sudah jelas-jelas salah, tapi masih saja bersikap playing victim seperti Banyu. Apa lagi itu dilakukan oleh kaumnya sendiri yang katanya berego tinggi. Tidak malu apa dengan burung garuda segede gambreng?"Emang lo siapanya sampe berani ngelarang-larang gue menghubungi pacar gue? Ayahnya?""Lebih tepatnya calon imamnya, insyaallah!" Dan Bada
"Bapak nggak mau masuk dulu sebentar? Nggak enak kalau Bapak cuma nunggu di mobil. Nggak sopan, Pak. Saya akan menyusul ke depan sekalian berpamitan.""Oke. Saya akan menunggu di teras."Setelah Badai mematikan panggilannya, Ochi mencoba memutar otak agar bisa terbebas dari suasana tidak mengenakkan ini tetapi dengan cara yang sopan."Ehm, Tante. Saya permisi pulang dulu ya, Tan? Soalnya saya sudah dijemput."Empat kepala langsung menoleh. Mereka menatapnya dengan pemikiran yang berbeda-beda. Belum sempat Tante Marini menjawab, ponselnya berbunyi. Satpam memberitahukan ada orang yang ingin menjemput Oceania, dan meminta izin masuk. Tante Marini membolehkan, karena
Sepanjang lorong menuju kamar jenazah rumah sakit, Badai terus saja menggenggam telapak tangan Ochi. Sebenarnya Badai tidak tega membawa Ochi untuk melihat jenazah orang bunuh diri. Apalagi dengan cara menembak kepalanya sendiri. Sudah pasti penampakannya tidak manusiawi, dengan kepala bolong dan otak yang berceceran. Tetapi apa boleh buat, tugas tetaplah tugas. Semakin cepat benang merahnya ditarik, maka semakin cepat pula kasus terkuak. Di depan pintu yang bertuliskan kamar jenazah, suhu yang mendadak terasa sangat dingin. Tampak Elang Pramudya telah berdiri di sana bersama dengan AKBP Reihard Ratulangi, reserse devisi kriminal. "Ayo kita langsung saja mengidentifikasi jenazah. Mudah-mudahan saja Ibu dapat mengenalinya. Tolong beri kami satu clue saja, Bu." Elang mensejajari langkah Ochi di sebelah kiri, sedangkan Badai di sebelah kanannya. Dalam diam mencoba memberi kekuatan dalam genggaman tangannya.
"Mas, nasib Rahayu bagaimana ini? Kasihan dia, Mas. Ayah kandung sudah lama meninggal. Ini ibu dan paman rasa ayahnya juga sudah tidak ada. Kasihan Ayu, Mas. Bisa tidak kita mengadopsinya?" Ochi merasa tidak tenang saat mengingat Rahayu Jaya Krisna, muridnya yang masih begitu kecil dan harus hidup sebatang kara karena semua keluarga nya semua tidak bersisa. Ochi masih teringat pada wajah imut yang menangis meraung-raung memanggil nama ayahnya saat JK di makamkan. Anak yang baru berusia lima tahun itu terlihat ketakutan dan kebingungan saat melihat ayahnya pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Bola matanya kosong dan ia juga tidak mau diajak berbicara. Walaupun JK memang bersalah, tapi bagi Ayu, ayahnya adalah segalanya. Ia ingat pembicaraan terakhirnya dengan muridnya itu di pemakaman. "Bu Guru, kenapa ayah Ayu di tembak? Ayah Ayu salah apa? Ayu sudah tidak punya ibu, sekarang Ayu juga sudah tidak punya ayah. Jadi Ayu hidup dengan siapa? Mengapa polisi-pol
"Saya terima nikah dan kawinnya Oceania Samudra binti Darmawan Samudra dengan mas kawin 555 gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Badai dengan suara tegas dan lantang mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?"Tanya Pak Penghulu."SAHHHHH!!!"Koor dari para saksi dan semua tamu undangan yang menyaksikan ijab kabul terdengar lantang."Alhamdullilahhhh."Setelah acara ijab kabul selesai, penghulu meminta Ochi untuk keluar dan duduk disamping suaminya. Setelah itu Ochie mencium punggung tangan Badai yang kini telah sah menjadi suaminya. Acara dilanjutkan dengan acara sungkeman. Pak Darmawan tampak mencium kening putri b
"Dapattt!!! Posisi terakhir mereka ada di perkebunan kelapa sawit kira-kira 14 kilometer dari sini. Kadang gue heran, si JK ini emang kelewat pinter sampai jadi bodoh atau emang bodoh yang kebetulan aja nasibnya beruntung?!!"Elang mengelus-elus dagunya. Ciri khas nya kalau sedang berfikir."Maksud lo?""Lah dia entah sengaja entah lupa tidak mematikan ponsel Ochi. Kan jadi terlalu mudah bagi kita untuk melacaknya.""Lo salah Lang. Dia bukan bodoh, tapi dia sengaja. Dia mau menancing kita kesana. Dia ingin menyiksa perasaan gue, batin gue, pikiran gue melalui satu hal, Ochie. Dia terlalu mengenal gue seperti juga gue terlalu mengenal dia. Dia ingin gue juga merasakan apa yang dia rasakan. Kehilangan orang tercinta, sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa.Oke, mari kita ikuti semua keinginannya. Kita adu otak, adu taktik dan adu sabar aja. Kita lihat saja siapa yang membuat kesalahan dul
Ochi memandangi jam dipergelangan tangan tangan kiri nya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk menunggu kedatangan Badai. Urusan dengan KUA sudah selesai. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan Badai untuk mengambil pakaian yang akan digunakan untuk ijab kabul mereka besok pagi.Uang memang maha segala bila di gunakan untuk hal-hal yang mendesak seperti ini. Ibu Ajeng membayar mahal butik yang mendesign pakaian yang akan di kenakan oleh nya dan Badai karena semuanya di kerjakan hanya dalam kurun waktu lima hari!Menurut pemilik butik semua pekerjanya termasuk dirinya sendiri lembur sampai pagi, demi selesainya kebaya indah bertaburan batu swarovski itu. Makanya Ochi sudah tidak sabar untuk melihatnya.TINN!! TINN!!! TINN!!!Akhirnya yang di tunggu datang juga. Ochi yang sejak semalam memang menginap di rumah orang tuanya bergegas berdiri. Setelah menyalim tangan kedua orang tuanya, tubuh Ochi lang
Ochi meringis saat merasa begitu tidak nyaman dengan keadaan dirinya sendiri. Tubuhnya yang memang sudah sakit-sakit akibat bom di Mapolres tadi, kini di tambah lagi dengan pegal-pegal dan rasa nyeri di pusat dirinya. Untuk menggerakkan tubuhnya saja rasanya Ochi kesusahan. Apalagi saat ingin berdiri dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Ochi merasa tubuh nya lengket oleh keringat nya yang telah bercampur dengan keringat Badai dan hal-hal lainnya. Sesuatu yang hangat terasa mengalir di paha bagian dalamnya dan terasa lengket. Sepertinya dia memang harus segera membersihkan dirinya.Ada butiran air bening yang mengaliri pipi mulusnya. Ochi kesakitan, sedih dan merana. Badai yang katanya mencintainya, kini malah dengan tega menodainya. Titik air mata Ochi yang mengalir pelan pelan, makin lama makin deras seiring isakan-isakan yang mulai terdengar disegenap penjuru kamar. Badai menghela nafas panjang. Tahu bahwa dia telah melak
"Dai, Bu Ochi. Syukurlah kalian berdua selamat. Hebat lo Dai, main solo tapi berhasil mengevakuasi sebegitu banyaknya manusia dengan begitu cepat tanggap. Noh! Itu Pak Fatah ngeliatin adegan romantis sedih plus berdarah-darah kalian dari pinggir jalan. Gue nggak tahu juga sih maksud yang ada dihati dia itu apa. Ya kita kan juga udah pada tahu, dia itu makhluk species bunglon. Keberpihakannya tidak terduga dan bisa nemplok dimana aja.Tapi satu hal yang pasti, lo pasti bakal naik pangkat, Man!!! Selamat ya?!!"Elang menepuk-nepuk punggung Badai dengan keras. Salut dengan keberanian dan totalitas Badai terhadap tugas yang diembannya sebagai polisi pelindung masyarakat."By the way, koq lo bisa-bisanya sih buat adegan TOP GUN ala ala Tom Cruise and Kelly McGillis yang legendaris itu ditengah kekacauan begini? Kalau di film-film hollywood sana udah dibuat scene slowmotion dengan lat
"Kenapa Ochi? Ochi?!! Kamu kenapa sih Sayang?"Badai heran saat melihat Ochi seperti orang ketakutan dan menatap ngeri pada sebuah kertas origami berbentuk burung. Origami berbentuk burung? Astaga!! Jangan-jangan?!!"Berikan origami itu, Ochi." Saat origami berpindah tangan, otak Badai langsung berpikir cepat. Ingatan photografinya langsung bekerja. Potongan kilasan-kilasan masa lalu mulai bermunculan di benaknya.Kalo suatu hari gue kesel sama senior-senior dan atasan-atasan songong ini, bakalan gue bom mereka ini semua pada saat lagi ngumpul rame-rame. Biar matinya berjamaah. Hahahaha...Gue benci banget tuh sama orang-orang TNI dan segala angkatannya. Seperti mereka saja yang bisa perang. Dari mulai doktrin Catur Dharma Eka Karma sampai doktrin Tri Dharma Eka Karma, kelakuan mereka semua itu sama saja. Asal ngomong pasti tugas merekalah yang paling mulia dibandingkan dengan kita. Karena mer
"Lang, lo masih di mall kan sekarang?"Iya. Untung aja si Gading mempercayai kata-kata gue. Gila bener itu si Arini. Kalau bukan perempuan, udah gue ratain tuh mukanya!"Bagus deh. Lang, sekarang lo secepatnya kearah perempatan jalan dekat restaurant kakak ipar gue. Orlando diikuti OTK sejak dari parkiran mall."Ck! Lo lupa siapa Orlando? Mengendarai tank Leopard 2 dengan mesin twin turbo V12 MTU MB 873 Ka-501 seberat 62,3 ton aja dia khatam, apalagi cuma mobil doang. Berasa naik bom bom car aja dia itu, Bro. Santai aja nggak usah panik gitu."Kalau cuma Orlando didalam mobil itu nggak masalah, Kampret. Ada Ochi didalamnya dan... anak lo, Nuri."Bajiruttttt!!! Oke apa rencana lo! Cepetan!!! "Orlando akan berkendara ke a
"Adek mau langsung pulang ya ini? Atau mau singgah ke mall dulu beli kado untuk acara ulang tahun murid adek tanggal 16 nanti?"Orlando menyetir dengar hati-hati. Walaupun dia sedang berbicara, tapi pandangannya tetap lurus kedepan, berkonsentrasi penuh dijalur lalu lintas. Memang lah Orlando ini polisi yang lurus selurus-lurusnya."Oh iya, ke mall depan dulu ya, Bang. Adek mau beli boneka buat Deasy sebentar."Tanggal 16 besok, anak didiknya ada yang berulang tahun disalah satu gerai makanan siap saji. Sebagai gurunya tentu saja Ochi diundang dan dia pasti akan datang. Daisy berkali-kali mengingatkannya untuk datang, karena nanti ada badut sulap katanya.Badai dan Elang hari ini sangat sibuk karena kantor mereka akan mengadakan acara tahunan HUT TNI. Aneh bukan acara HUT TNI tapi diadakan dikantor polisi? Ternyata acara seperti ini memang sengaja diadakan sebagai bentuk apresiasi sinergi