Senjahari memandang gadis yang terlihat mengikuti punggung Badai yang menjauh, dengan lirikan matanya. Mungkin ibu guru ini malu kalau terlihat terang-terangan ketakutan di tinggal sendiri oleh Badai. Wajar saja, setelah melalui saat-saat yang berat dan menguras adrenalin, gadis ini pasti memerlukan seorang kesatria berbaju zirah untuk melindunginya.
"Bu, Tante ini siapa? Kok bawa-bawa tas besar? Tante mau tinggal di sini dengan Bintang ya? Hore!"
Ochi melihat kalau anak yang ada di gendongan Senja mulai menggeliat meminta turun. Sementara kembarannya terlihat sudah duduk anteng sambil membaca buku.
"Oh ya Bintang, Langit. Ayo salim dulu dengan ibu guru Ochi, sayang. Bu Ochi akan tinggal sementara di sini untuk menemani kita semua. Senang tidak Nak?"
"Senang bingits, Bu. Rumah kita jadi nambah orangnya ya, Bu?" Bintang kembali melonjak-lonjak kegirangan.
"Selamat datang di rumah kami ya, Bu guru. Semoga saja Ibu senang tinggal bersama kami untuk sementara."
Ochi tertegun saat Langit yang merupakan kembaran Bintang bisa berbicara lugas dan sopan seperti orang dewasa.
"Hallo, Mas Langit. Ibu minta maaf ya kalau Ibu membuat Mas jadi tidak nyaman, karena ada Ibu yang ikut tinggal sementara di sini."
Ochi berjongkok dan mensejajarkan tubuhnya dengan bocah kecil yang berpikiran dewasa itu.
"Tidak apa-apa, Bu guru. Langit malah gembira sekali kalau ada Bu guru di sini. Jadi Bintang nanti ada teman mainnya. Kalau tidak biasanya Bintang itu terusss... saja mengintili Langit. Sekali lagi selamat datang di rumah ini ya, Bu guru. Semoga Bu guru senang tinggal di rumah kami ini."
Ochi terkesima melihat cara berpikir Langit yang sama persis dengan omnya. Sepertinya efisiensi memang benar-benar nama tengah keluarga besar ini.
"Hahahaha... kamu tidak usah kaget melihat cara berinteraksi kami semua di sini ya, Ochi? Kami memang menerapkan sistem demokrasi bagi semua anggota keluarga. Setiap anggota keluarga boleh menyuarakan pendapatnya asal dengan cara yang sopan dan masuk akal," terang Senjahari.
"Nah anak-anak, sekarang sana main sendiri dulu. Bu gurunya 'kan capek, jadi akan Ibu bawa istrirahat dulu, ya?"
Dan dua bocah kembar itu pun segera berlari menuju taman belakang untuk bermain dengan para pengasuh mereka.
"Ayo Ochi silahkan masuk. Asisten mbak telah menyiapkan kamar untuk Ochi beristirahat. Ochi pasti pasti seharian ini lelah sekali menghadapi banyak masalah bukan? Mari mbak antar kamu beristirahat dikamar."
"Saya—Saya sangat tidak enak sekali sudah merepotkan Mbak Senja dan keluarga di sini. Tetapi Pak Badai punya pendapat lain. Saya hanya bisa menuruti perintah Pak Badai sebagai warga negara yang baik. Sekali lagi saya minta maaf sudah mengganggu ketentraman hidup Mbak Senja sekeluarga."
Ochi membungkukkan tubuhnya sedikit, sebagai tanda bahwa ia menghormati Senja, dan bersungguh-sungguh dengan semua ucapannya.
Senja tersenyum. Gadis ini santun dan taat peraturan sekali. Tata bahasanya sopan dan jelas. Setiap kalimat selalu mempunyai makna. Bila kaum hawa biasanya suka berbicara ngalor ngidul playing victim sambil berurai air mata menceritakan kemalangan nasib buruknya, akan tetapi gadis ini pengendalian dirinya luar biasa. Ia hanya menjalankan kewajibannya sebagai warga negara yang baik katanya? Aha! adik iparnya sudah bertemu imbang kali ini sepertinya.
"Mbak mengerti, Ochi. Ayo kita masuk saja dulu." Senja berjalan mendahului Ochi dan naik ke lantai dua. Dalam diam dan sungkan Ochi pun mengekori sang nyonya rumah. Mereka berhenti di sebuah pintu kayu jati berwarna kecoklatan.
"Mbak tinggal dulu ya, Chi? Anggap saja rumah sendiri. Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja Mbak atau Mbak Nur yang ada di dapur ya? Selamat beristirahat."
Dan perempuan yang mempunyai tatapan teduh itu pun pun mulai meninggalkan Ochi sendirian. Membuka pintu kamar. Tatapannya menelusuri interior kamar yang mewah dan berkelas. Setiap ornamennya berunsur kayu yang artistik.
Ochi melemaskan otot-ototnya yang kaku dan pegal. Ia membaringkan tubuh pada spring bed nyaman nyonya rumahnya. Pikirannya sejenak teringat pada saat pertama sekali mengenal Mas Banyunya. Ayahnya dulu adalah supir kepercayaan keluarga konglomerat Singgih Siliwangi. Ayahnya adalah seorang supir yang rajin dan sangat loyal terhadap majikannya. Awal mulanya Pak Singgih dan Ibu Gendis sangat baik terhadap mereka sekeluarga, sampai putra tunggal kebanggaan keluarga mereka, Banyu Biru Siliwangi jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya, yang kala itu masih berstatus sebagai seorang mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas negeri.
Dirinya yang tidak pernah sekali pun berpacaran, merasakan dadanya membuncah saat seorang Banyu Biru mengejarnya mati-matian. Bahkan
sampai berani menentang ancaman kedua orang tuanya. Ochi yang baru pertama sekali mengenal cinta, terpesona oleh segudang perhatian yang ditunjukkan oleh seorang executive muda yang kebetulan adalah anak majikan ayahnya sendiri. Begitulah, mereka pun akhirnya berpacaran dengan romantisme ala anak-anak zaman now. Sampai pada suatu hari, ayahnya tiba-tiba saja terjatuh di kamar mandi dan terkena serangan stroke. Ayahnya akhirnya lumpuh dan tidak bisa lagi mencari nafkah. Mata pencaharian mereka yang hanya mengandalkan gaji ayahnya otomatis berantakan. Tidak mungkin bagi mereka untuk meminta bantuan pada Rainy kakaknya, yang suaminya juga hanya seorang pekerja kantoran biasa.Ochi pun mulai berusaha mencari penghasilan dengan menjadi guru private bagi anak-anak orang kaya yang membutuhkan jasanya. Sambil tetap berusaha menyelesaikam kuliahnya yang hanya tinggal menyusun skripsi dengan sedaya upaya. Ochi tidak pernah mau menerima bantuan apapun dari Banyu. Ia mencintai Banyu pribadi, bukan uangnya. Makanya ia selalu menolak keras semua bantuan yang pernah Banyu tawarkan padanya. Tetapi ternyata malah ibunya sendiri lah yang menerima semua bantuan dari Banyu tanpa sepengetahuannya.
Ochi sebenarnya sempat heran saat melihat Ibunya terlihat sangat royal dan mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, tanpa meminta bantuannya lagi. Setiap ia bertanya, ibunya selalu beralasan, kalau keluarga Siliwangi memberi sejumlah pesangon yang cukup besar untuk ayahnya. Tapi ternyata semua itu omong kosong belaka. Pantas saja kedua orang tua Banyu selalu menghinanya sebagai perempuan materialistis. Ternyata memang ada sebabnya!
Dengan terus memikirkan masalah-masalah hidupnya, Ochi yang sedang lelah lahir bathin pun, akhirnya tertidur setelah menangisi nasib kurang beruntungnya.
===================
Badai mulai memasang safety beltnya. Hari ini ia terpaksa berangkat ke kantor lebih awal, karena harus mengantar Ochi terlebih dahulu ke sekolah tempatnya mengajar. Badai sempat mengira bahwa seperti kebanyakan perempuan lainnya, Ochi pasti akan lama dandannya, dan dia akan menjadi kambing congek di ruang tamu.
Namun semua perkiraannya itu salah besar. Karena Ochi bahkan sudah berdiri menunggunya di depan gerbang rumah kakak iparnya. Luar biasa!
"Itu artinya saya akan melakukan dua kesalahan sekaligus, Pak Polisi. Pertama, saya berbohong. Karena saya 'kan memang tidak sedang berbulan madu. Kedua, itu artinya saya juga mengail di air keruh. Mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Tidak mau rugi istilah kasarnya. Dan kebetulan saya bukanlah jenis orang yang seperti itu," sahut Ochi datar sembari ikut memakai safety belt.
Setelah kendaran berjalan kira-kira tujuh menit, Ochi mengeluarkan ponsel saat mendengar notifikasi pada aplikasi chatnya. Dania dan Fahrani rupanya. Dua sahabat terdekatnya itu menasehatinya untuk pasrah dan tawakal pada Allah subhanawaatala. Ochi pun membalas agar mereka tidak usah terlalu mengkhawatirkan keadaannya, karena ia dalam keadaan baik-baik saja.
"Apakah Anda memang terbiasa hidup lurus seperti ini, Bu guru?"
Badai merasa hatinya tercuil saat melihat ternyata ada orang yang sama persis wataknya seperti dirinya sendiri. Seperti bercermin saja. Semua kata-kata Ochi persis sama jika ditanyakan oleh orang lain kepadanya.
Wanita jujur dan tidak manipulatif rupanya masih ada di dunia ini. Bodohnya si Banyu Biru. Shitt! Dalam dua hari ia sudah mengatai Banyu bodoh dua kali.Hati-hati dalam menempatkan hatimu Badai!
Setelah Danti cinta remajanya, Senja cinta dewasanya dan Lily cinta tidak sampainya, baru dengan Ochi lah hatinya mulai berdesir lagi terhadap seorang wanita. Namun masalahnya ibu guru ini dalam perlindungannya. Ia takut tidak bisa bersikap objektif dan professional dalam menjalankan tugasnya, apabila ia sudah mulai menggunakan hatinya. Dan itu bisa berakibat fatal dalam tugasnya dalam melindungi korban.
"Manusia yang suka KKN sudah banyak sekali di dunia ini, Pak. Saya hanya berusaha mengurangi populasi manusia yang tidak berintegritas seperti itu. 'Kan lebih baik berkurang satu, daripada tidak ada sama sekali."
Drtt... drrtt... drtt...
Ochi melihat nama Banyu Biru memanggil. Ia mendiamkannya saja. Ochi tahu, Badai juga ikut melirik sekilas nama pemanggil ponsel Ochi. Ochi adalah type orang yang keras hati. Setiap kata yang sudah diucapkannya pasti akan dilaksanakannya. Dia bukan type orang yang suka menjilat ludahnya sendiri. Saat ia mengatakan pada Banyu bahwa mereka sudah berakhir, itu artinya Ochi sudah tidak ingin saling berhubungan dalam bentuk apapun lagi dengannya.
Badai meliriknya sekilas. Gesture tubuh Ochi yang mendadak tegang dan mulutnya yang terkatup rapat, sedikit banyak membuat Badai tahu kalau ibu guru ini memang benar-benar tidak mau lagi berhubungan dengan mantan calon suaminya. Gadis yang sungguh-sungguh keras hati.
"Mengapa tidak diangkat? Setahu saya, Anda bukannya type seseorang yang pengecut."
Badai mulai memancing-mancing sisi sensitif Ochi. Dia tahu Ochi paling tidak terima kalau dibilang takut terhadap sesuatu.
"Saya tidak mau mengangkat teleponnya, bukan karena saya pengecut. Saya hanya tidak mau mendengar ia berbohong lagi kepada saya. Saya takut kalau penyakit tukak lambung saya akan kambuh lagi mendengar segala alasan basinya pagi-pagi begini," sahut Ochi lugas.
"Begitu? Menurut hemat saya, masalah kalian itu sebaiknya dibicarakan. Untuk apa saling diam dan menduga-duga satu sama lain, kalau sebenarnya kalian berdua masih saling mencintai dan ju—"
"Anda salah, Pak Polisi. Saya sudah tidak mencintai orang itu sama sekali! Untuk apa mencintai laki-laki pengecut dan tukang bohong seperti itu? Buang-buang energi saja!" Ochi mendengkus.
"Nah, sikap Anda yang seperti inilah yang sesungguhnya memperlihatkan bahwa masih adanya cinta di hati Anda untuk calon suami tidak jadi Anda. Kalau memang Anda memang sudah benar-benar tidak mencintainya, sikap Anda tidak akan sedramatis ini hanya karena menerima teleponnya. Anda tidak akan mudah emosi jika hanya mendengar suaranya. Bahkan Anda mungkin akan bisa berbincang santai dengannya kalau Anda memang sudah tidak punya perasaan apa-apa terhadapnya."
Ochi tergugu. Kata-kata Badai itu telak sekali. Kalau memang ia tidak memiliki perasaan apa-apa lagi, harusnya ia tidak usah uring-uringan seperti ini juga bukan? Tetapi ia hanyalah manusia biasa. Tidak mudah baginya memaafkan, apalagi melupakan perlakuan perbuatan Banyu kemarin pagi. Lukanya masih basah dan berdarah!
"Kenapa Anda diam? Anda terkesima dengan kebenaran absolut dari kata-kata saya bukan?" Badai memindahkan persnelling dengan anggun. Cara menyetir Badai ini excellent sekali. Tidak grasa grusu seperti para pemilik hormon terstoteron lainnya. Bahkan pada saat disalip dan berkali-kali diklakson pun ia tampak santai saja. Pengendalian diri pak polisi ini memang luar biasa.
"Bukan. Saya terkesima karena setelah saya pandang-pandang, ternyata Anda lumayan tampan juga." Ochi menjawab kalem.
Sabar Ochi sabar. Menghadapi orang seperti ini harus memakai teknik tarik ulur. Angkat saja dulu dia tinggi-tinggi, baru bantingkan!
"Ah, setelah dua hari Anda baru menyadarinya?" Badai menaikkan sudut bibirnya. Dia sempat tertegun sejenak mendengar jawaban tidak terduga Ochi. Sebelum akhirnya kembali bersikap acuh tak acuh demi menyelamatkan jantungnya.
"Saya 'kan juga perlu observasi untuk menentukan wajah Anda itu lebih condong mirip pada siapa." Ochi lagi-lagi menjawab kalem. Santai sekali gaya bicaranya.
"Dan hasil akhirnya? Mirip Channing Tatum atau Chris Hemsworth?" Badai menaikkan sudut bibirnya.
"Tidak dua-duanya. Saya cenderung melihat Anda mirip dengan seorang pria bergigi terang bersinar, yang selalu muncul dalam film-film horor Suzanna zaman dulu."
Badai mengertakkan gerahamnya dengan geram. Sialan! Ibu guru ini menyamakan wajah tampannya dengan Bokir rupanya!
"Astaga!"
Ochi mengumpat saat melihat Banyu telah menunggunya di gerbang sekolah. Entah mengapa saat ini Ochi malah merasa risih dan tidak siap untuk berkonfrotasi dengan Banyu. Dia sebenarnya ingin sekali menghindari Banyu. Tetapi kaca mobil Badai ini terang sekali. Banyu pasti sudah melihatnya ada di dalam mobil ini. Dan benar saja. Melihat kehadirannya, Banyu langsung melangkah lebar-lebar menghampirinya.
"Ochi, Kamu ke mana saja, Sayang? Mas nyariin kamu ke rumah orang tuamu. Kata mereka kamu dalam perlindungan polisi. Kita harus bica— Badai! rupanya pacar gue ada dalam perlindungan lo?" Banyu tampak tidak senang saat melihat Ochi malah sekarang memegang erat lengan kiri Badai.
"Pak Polisi, saya 'kan dalam perlindungan Anda sekarang. Saya tidak mau bertemu dengan Mas Banyu. Anda harus bisa melindungi saya dari Mas Banyu juga ya? Suruh dia pulang, dan jangan mendekati saya lagi." Ochi sekarang bahkan ikut menyembunyikan wajahnya di lengan Badai dan tidak mau keluar dari mobil.
Wajah Banyu sudah mulai memerah. Ia merasa cemburu melihat Ochi yang bahkan tidak pernah dekat dengan pria lain, terlihat sebegitu mesranya dengan Badai di depan kedua matanya sendiri!
"Apa Anda lupa kalau Bokir itu cuma tim hore di film-film Suzanna? Dia kan tidak bisa berkelahi?!"
Sialan!
"Ochi, Ayo keluar! Ada yang mau Mas bicarakan dengan kamu."Banyu membuka pintu mobil dan menarik paksa Ochi yang masih saja memegang erat lengan kiri Badai."Lepaskan! Sakit Mas!" Ochi meringis kesakitan saat Banyu terus saja berupaya menariknya keluar dari mobil. Ochi sudah khatam sekali dengan segala sifat Banyu. Sebelum keinginannya kesampaian, dia tidak akan pernah berhenti berusaha."Aduhhhh!!" Ochi menjerit tertahan saat merasakan Banyu meremas kuat pangkal lengannya karena geram dan kesal. Badai bereaksi cepat dengan memutar pergelangan tangan Banyu, yang seketika melepaskan Ochi karena kesakitan. Namun Ochi bertahan untuk tidak mau keluar dari mobil. Ia tidak mau menemui Banyu."Eh, Dai. Lo ini kan sekarang posisinya adalah sebagai petugas yang melindungi saksi kan ya? Jadi lo jangan bertingkah seolah-olah bahwa lo adalah pemilik pacar gue. Ingat garis batas teritori lo!"Banyu ma
Di sepanjang perjalanan kembali ke rumah Senja, air mata Ochi seperti tidak bisa berhenti mengalir. Banyu dengan Dania? Bagaimana bisa dua orang terdekatnya itu menghianatinya sampai sedemikian rupa? Ochi memejamkan mata. Ia tidak sanggup membayangkan adegan yang begitu intim yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh sepasang suami istri ternyata sanggup mereka lakukan di belakangnya. Betapa kejamnya mereka berdua!Isakan-isakan kecil yang lolos dari bibir nya membuat Badai yang sedang menyetir merasa tidak tega. Sedu sedan Ochi makin lama makin membesar saat dia membayangkan persahabatan mereka bertiga, yaitu dirinya, Dania dan Farhani yang sudah mulai terjalin saat MOS mereka di SMU. Suka duka dan canda tawamewarnai masa putih abu abu, kuliah hingga sekarang. Ochi ingat Dania lah yang terus saja mendesak dan menyemangati Ochi untuk menerima cinta Banyu dulu. Menurut Dania, Banyu itu paket lengkap. Kaya, ganteng dan mencintainya setengah gila. Karena
" Jadi benar gadis ini calon istri Anda, Pak Raga? Wah pertama kali go public ya? Namanya siapa, Pak Raga?"Para kerumunan pewarta itu terus maju. Mereka mendesak Ochi yang tengah berdiri di samping meja, hingga ia nyaris jatuh tersungkur. Untung saja ada sepasang tangan kuat yang menahan punggungnya. Tangan Pak Raga ternyata!Ochi mencoba menggeser-geser tubuhnya, menjauhi lengan Raga. Namun ia kalah cepat dengan Raga. Karena lengan Raga kini malah melingkari pinggulnya di hadapan para pewarta. Para kuli tinta itu terlihat sangat anthusias karena akan mendapat berita terkini.Kilatan lampu blitz yang terus menerus menerpa wajahnya, membuat Ochi risih. Ia berupaya memalingkan wajah, sambil meper meper kearah kursi tunggu. Situasi ini begitu tidak mengenakkan baginya. Namun lagi-lagi, Raga menahan langkahnya."Nama kamu siapa, Sayang? Ayo dong kasih tahu mereka? Tadi aja kamu deng
"Sa-Saya Saya minta maaf. Ta-tadi ponsel saya kehabisan daya. Dan saya baru tahunya sewaktu di kantor omnya murid saya. Jadi baru saya charge di sana. Makanya pas tadi Bapak telepon sudah aktif lagi kan ponsel sa-saya?"Ochi memandang Badai takut-takut. Dia memang sudah melakukan kesalahan yang amat besar."Keadaan rumah di Kemang bagaimana ya, Pak? Apa-apakah semuanya baik-baik saja?" Badai menghela nafas panjang. Melindungi saksi kunci seperti Ochi bisa semakin memendekkan usianya sepertinya."Kalau Anda hanya ingin tahu keadaan Banyu tetapi gengsi untuk menanyakannya pada saya, saya akan menjawab rasa penasaran Anda sekarang juga. Mas Banyumu itu baik-baik saja. Puas? Ada hal lain yang ingin Anda tanyakan?"Ochi terdiam. Ia mengenali suasana hati Badai dari panggilannya pada dirinya. Kalau hatinya sedang baik, maka Badai akan memanggilnya bu guru atau kamu. Tetapi kalau Badai
"Kalau analogi lo seperti itu, mari kita luruskan. Status gue memang hanya polisi yang kebetulan mendapat tugas untuk melindungi saksi. Lantas status lo apa terhadap saksi gue? Dibilang pacar? Bukan? Dibilang suami? Bukan juga. Jadi mulai hari ini, berhenti untuk menghubung-hubungi saksi gue lagi. Ngerti lo?!" bentak Badai tegas. Walau hanya berbicara melalui ponsel, Badai tetap menujukkan ketegasannya pada Banyu. Laki-laki modelan Banyu ini memang perlu untuk dicuci otaknya.Badai terkadang heran dengan orang yang sudah jelas-jelas salah, tapi masih saja bersikap playing victim seperti Banyu. Apa lagi itu dilakukan oleh kaumnya sendiri yang katanya berego tinggi. Tidak malu apa dengan burung garuda segede gambreng?"Emang lo siapanya sampe berani ngelarang-larang gue menghubungi pacar gue? Ayahnya?""Lebih tepatnya calon imamnya, insyaallah!" Dan Bada
"Bapak nggak mau masuk dulu sebentar? Nggak enak kalau Bapak cuma nunggu di mobil. Nggak sopan, Pak. Saya akan menyusul ke depan sekalian berpamitan.""Oke. Saya akan menunggu di teras."Setelah Badai mematikan panggilannya, Ochi mencoba memutar otak agar bisa terbebas dari suasana tidak mengenakkan ini tetapi dengan cara yang sopan."Ehm, Tante. Saya permisi pulang dulu ya, Tan? Soalnya saya sudah dijemput."Empat kepala langsung menoleh. Mereka menatapnya dengan pemikiran yang berbeda-beda. Belum sempat Tante Marini menjawab, ponselnya berbunyi. Satpam memberitahukan ada orang yang ingin menjemput Oceania, dan meminta izin masuk. Tante Marini membolehkan, karena
Sepanjang lorong menuju kamar jenazah rumah sakit, Badai terus saja menggenggam telapak tangan Ochi. Sebenarnya Badai tidak tega membawa Ochi untuk melihat jenazah orang bunuh diri. Apalagi dengan cara menembak kepalanya sendiri. Sudah pasti penampakannya tidak manusiawi, dengan kepala bolong dan otak yang berceceran. Tetapi apa boleh buat, tugas tetaplah tugas. Semakin cepat benang merahnya ditarik, maka semakin cepat pula kasus terkuak. Di depan pintu yang bertuliskan kamar jenazah, suhu yang mendadak terasa sangat dingin. Tampak Elang Pramudya telah berdiri di sana bersama dengan AKBP Reihard Ratulangi, reserse devisi kriminal. "Ayo kita langsung saja mengidentifikasi jenazah. Mudah-mudahan saja Ibu dapat mengenalinya. Tolong beri kami satu clue saja, Bu." Elang mensejajari langkah Ochi di sebelah kiri, sedangkan Badai di sebelah kanannya. Dalam diam mencoba memberi kekuatan dalam genggaman tangannya.
"Ini ceritanya Bapak mau melamar saya atau bagaimana?" dengkus Ochi kesal."Ya kamu dong niatnya tadi bagaimana? Minta gaji saya setiap bulan 'kan? Ya kalau begitu konsekuensinya kamu harus mengurus kebutuhan lahir batin saya juga setiap bulannya? 'Kan semua uang saya, sudah saya alokasikan keseluruhannya buat kamu?" sahut Badai datar. Ochi melirik ke samping. Ia bingung dalam mengartikan. kata-kata Badai. Badai ini susah ditebak. Terlebih lagi air mukanya tidak membiaskan apapun yang ada dalam hatinya.Karena Ochi tidak menjawab, Badai mulai menekan persnelling dari posisi P ke posisi D. Mobil pun mulai kembali melaju membelah kepadatan lalu lintas di sore hari yang mendung itu.Penasaran, Badai melirik Ochi yang terdiam sambil memainkan tali tote bagnya. Gadis ini terlihat biasa- biasa saja setelah ditembak eh lebih tepatnya dibom oleh pernyataan seriusnya tadi. Tidak ada sedikitpun ta
"Mas, nasib Rahayu bagaimana ini? Kasihan dia, Mas. Ayah kandung sudah lama meninggal. Ini ibu dan paman rasa ayahnya juga sudah tidak ada. Kasihan Ayu, Mas. Bisa tidak kita mengadopsinya?" Ochi merasa tidak tenang saat mengingat Rahayu Jaya Krisna, muridnya yang masih begitu kecil dan harus hidup sebatang kara karena semua keluarga nya semua tidak bersisa. Ochi masih teringat pada wajah imut yang menangis meraung-raung memanggil nama ayahnya saat JK di makamkan. Anak yang baru berusia lima tahun itu terlihat ketakutan dan kebingungan saat melihat ayahnya pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Bola matanya kosong dan ia juga tidak mau diajak berbicara. Walaupun JK memang bersalah, tapi bagi Ayu, ayahnya adalah segalanya. Ia ingat pembicaraan terakhirnya dengan muridnya itu di pemakaman. "Bu Guru, kenapa ayah Ayu di tembak? Ayah Ayu salah apa? Ayu sudah tidak punya ibu, sekarang Ayu juga sudah tidak punya ayah. Jadi Ayu hidup dengan siapa? Mengapa polisi-pol
"Saya terima nikah dan kawinnya Oceania Samudra binti Darmawan Samudra dengan mas kawin 555 gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Badai dengan suara tegas dan lantang mengucapkan ijab kabul dalam satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?"Tanya Pak Penghulu."SAHHHHH!!!"Koor dari para saksi dan semua tamu undangan yang menyaksikan ijab kabul terdengar lantang."Alhamdullilahhhh."Setelah acara ijab kabul selesai, penghulu meminta Ochi untuk keluar dan duduk disamping suaminya. Setelah itu Ochie mencium punggung tangan Badai yang kini telah sah menjadi suaminya. Acara dilanjutkan dengan acara sungkeman. Pak Darmawan tampak mencium kening putri b
"Dapattt!!! Posisi terakhir mereka ada di perkebunan kelapa sawit kira-kira 14 kilometer dari sini. Kadang gue heran, si JK ini emang kelewat pinter sampai jadi bodoh atau emang bodoh yang kebetulan aja nasibnya beruntung?!!"Elang mengelus-elus dagunya. Ciri khas nya kalau sedang berfikir."Maksud lo?""Lah dia entah sengaja entah lupa tidak mematikan ponsel Ochi. Kan jadi terlalu mudah bagi kita untuk melacaknya.""Lo salah Lang. Dia bukan bodoh, tapi dia sengaja. Dia mau menancing kita kesana. Dia ingin menyiksa perasaan gue, batin gue, pikiran gue melalui satu hal, Ochie. Dia terlalu mengenal gue seperti juga gue terlalu mengenal dia. Dia ingin gue juga merasakan apa yang dia rasakan. Kehilangan orang tercinta, sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa.Oke, mari kita ikuti semua keinginannya. Kita adu otak, adu taktik dan adu sabar aja. Kita lihat saja siapa yang membuat kesalahan dul
Ochi memandangi jam dipergelangan tangan tangan kiri nya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk menunggu kedatangan Badai. Urusan dengan KUA sudah selesai. Saat ini dia sedang menunggu kedatangan Badai untuk mengambil pakaian yang akan digunakan untuk ijab kabul mereka besok pagi.Uang memang maha segala bila di gunakan untuk hal-hal yang mendesak seperti ini. Ibu Ajeng membayar mahal butik yang mendesign pakaian yang akan di kenakan oleh nya dan Badai karena semuanya di kerjakan hanya dalam kurun waktu lima hari!Menurut pemilik butik semua pekerjanya termasuk dirinya sendiri lembur sampai pagi, demi selesainya kebaya indah bertaburan batu swarovski itu. Makanya Ochi sudah tidak sabar untuk melihatnya.TINN!! TINN!!! TINN!!!Akhirnya yang di tunggu datang juga. Ochi yang sejak semalam memang menginap di rumah orang tuanya bergegas berdiri. Setelah menyalim tangan kedua orang tuanya, tubuh Ochi lang
Ochi meringis saat merasa begitu tidak nyaman dengan keadaan dirinya sendiri. Tubuhnya yang memang sudah sakit-sakit akibat bom di Mapolres tadi, kini di tambah lagi dengan pegal-pegal dan rasa nyeri di pusat dirinya. Untuk menggerakkan tubuhnya saja rasanya Ochi kesusahan. Apalagi saat ingin berdiri dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Ochi merasa tubuh nya lengket oleh keringat nya yang telah bercampur dengan keringat Badai dan hal-hal lainnya. Sesuatu yang hangat terasa mengalir di paha bagian dalamnya dan terasa lengket. Sepertinya dia memang harus segera membersihkan dirinya.Ada butiran air bening yang mengaliri pipi mulusnya. Ochi kesakitan, sedih dan merana. Badai yang katanya mencintainya, kini malah dengan tega menodainya. Titik air mata Ochi yang mengalir pelan pelan, makin lama makin deras seiring isakan-isakan yang mulai terdengar disegenap penjuru kamar. Badai menghela nafas panjang. Tahu bahwa dia telah melak
"Dai, Bu Ochi. Syukurlah kalian berdua selamat. Hebat lo Dai, main solo tapi berhasil mengevakuasi sebegitu banyaknya manusia dengan begitu cepat tanggap. Noh! Itu Pak Fatah ngeliatin adegan romantis sedih plus berdarah-darah kalian dari pinggir jalan. Gue nggak tahu juga sih maksud yang ada dihati dia itu apa. Ya kita kan juga udah pada tahu, dia itu makhluk species bunglon. Keberpihakannya tidak terduga dan bisa nemplok dimana aja.Tapi satu hal yang pasti, lo pasti bakal naik pangkat, Man!!! Selamat ya?!!"Elang menepuk-nepuk punggung Badai dengan keras. Salut dengan keberanian dan totalitas Badai terhadap tugas yang diembannya sebagai polisi pelindung masyarakat."By the way, koq lo bisa-bisanya sih buat adegan TOP GUN ala ala Tom Cruise and Kelly McGillis yang legendaris itu ditengah kekacauan begini? Kalau di film-film hollywood sana udah dibuat scene slowmotion dengan lat
"Kenapa Ochi? Ochi?!! Kamu kenapa sih Sayang?"Badai heran saat melihat Ochi seperti orang ketakutan dan menatap ngeri pada sebuah kertas origami berbentuk burung. Origami berbentuk burung? Astaga!! Jangan-jangan?!!"Berikan origami itu, Ochi." Saat origami berpindah tangan, otak Badai langsung berpikir cepat. Ingatan photografinya langsung bekerja. Potongan kilasan-kilasan masa lalu mulai bermunculan di benaknya.Kalo suatu hari gue kesel sama senior-senior dan atasan-atasan songong ini, bakalan gue bom mereka ini semua pada saat lagi ngumpul rame-rame. Biar matinya berjamaah. Hahahaha...Gue benci banget tuh sama orang-orang TNI dan segala angkatannya. Seperti mereka saja yang bisa perang. Dari mulai doktrin Catur Dharma Eka Karma sampai doktrin Tri Dharma Eka Karma, kelakuan mereka semua itu sama saja. Asal ngomong pasti tugas merekalah yang paling mulia dibandingkan dengan kita. Karena mer
"Lang, lo masih di mall kan sekarang?"Iya. Untung aja si Gading mempercayai kata-kata gue. Gila bener itu si Arini. Kalau bukan perempuan, udah gue ratain tuh mukanya!"Bagus deh. Lang, sekarang lo secepatnya kearah perempatan jalan dekat restaurant kakak ipar gue. Orlando diikuti OTK sejak dari parkiran mall."Ck! Lo lupa siapa Orlando? Mengendarai tank Leopard 2 dengan mesin twin turbo V12 MTU MB 873 Ka-501 seberat 62,3 ton aja dia khatam, apalagi cuma mobil doang. Berasa naik bom bom car aja dia itu, Bro. Santai aja nggak usah panik gitu."Kalau cuma Orlando didalam mobil itu nggak masalah, Kampret. Ada Ochi didalamnya dan... anak lo, Nuri."Bajiruttttt!!! Oke apa rencana lo! Cepetan!!! "Orlando akan berkendara ke a
"Adek mau langsung pulang ya ini? Atau mau singgah ke mall dulu beli kado untuk acara ulang tahun murid adek tanggal 16 nanti?"Orlando menyetir dengar hati-hati. Walaupun dia sedang berbicara, tapi pandangannya tetap lurus kedepan, berkonsentrasi penuh dijalur lalu lintas. Memang lah Orlando ini polisi yang lurus selurus-lurusnya."Oh iya, ke mall depan dulu ya, Bang. Adek mau beli boneka buat Deasy sebentar."Tanggal 16 besok, anak didiknya ada yang berulang tahun disalah satu gerai makanan siap saji. Sebagai gurunya tentu saja Ochi diundang dan dia pasti akan datang. Daisy berkali-kali mengingatkannya untuk datang, karena nanti ada badut sulap katanya.Badai dan Elang hari ini sangat sibuk karena kantor mereka akan mengadakan acara tahunan HUT TNI. Aneh bukan acara HUT TNI tapi diadakan dikantor polisi? Ternyata acara seperti ini memang sengaja diadakan sebagai bentuk apresiasi sinergi