selamat pagi, lagi gabut, gak bisa tidur, jadi upload bab baru deh. yang masih terjadi yuk aku temenin.---Rumah bercat putih bergaya Eropa ini telah menjadi saksi selama dua tahun membangun bahtera rumah tangga bersama Yuda. Tanpa celah dia menyayangiku dan Dimas. Pria yang kini berstatus suamiku itu sangat penyayang dan perhatian.Hari ini aku bersiap-siap untuk berkunjung ke toko, sembari menjemput Dimas pulang dari sekolah. Sebelum ke toko aku membeli makan siang untuk karyawan disana, kini sudah bertambah dua karyawan untuk mengurus pesanan online. Kuparkirkan mobilku dihalaman toko, namun ketika hendak turun dari mobil, tiba-tiba kepalaku terasa pusing dan mual, aku bersandar sebentar dipintu mobil, beberapa karyawan menyambutku dan membawakan nasi bungkus yang kubeli tadi.Namun kaki tak kuat menopang badanku yang lemas. Seketika pandanganku kabur, dan akupun tak sadarkan diri, sayup-sayup beberapa karyawan memangil namaku."Mbak...mbak... Nay."Aroma minyak kayu putih menye
Aku terbangun diruangan perawatan, ada Yuda sedang membelai rambutku. Matanya terlihat sembab. Dia membuang muka dan mengsap sesuatu dipipinya."Sayang." Ucapnya lembut"Bi, anak kita?" Yuda menggeleng lemah."Dia sudah disurga sayang." Air matanya luruh sambil memelukku. Isaknya semakin kuat. Sontak aku memegangi perutku yang tampak rata."Bi, ini bercanda kan?""Gak sayang, kita sama-sama jalanin ya, kita pasti bisa." Yuda menggenggam erat tanganku. Akupun tak kuasa menahan tangis. Yuda memelukku erat, tak ada kata-kata keluar dari bibirnya, hanya usapan lembut tangannya membelai rambutku. Nafasnya tertahan manahan sesak."Nay istirahat dulu." Suara mama mertua menghentikan tangisku, dibelakang Yuda sudah berdiri Mama mertua dan juga Mama. Mereka tak beda dari kami berdua, namun dari raut wajahnya ada sesuatu yang masih disembunyikan."Bi, apa lebih dari ini?" Aku meregakan tangan Yuda yang masih erat memelukku. Matanya terus mengalir cairan bening dengan derasnya Yuda menggeleng,
"sayang maaf." Seketika raut wajah Yuda berubah kecewa. Namun dia berusaha untuk tetap tersenyum."Maaf aku gak bisa menolakmu lagi." Sambungku.Yuda menengadah wajahnya berubah berseri, "benarkah?" Tanyanya memastikan. Aku menjawab dengan anggukan dan senyum yang kukembangkan."Makasih sayang." Yuda menghujaniku dengan ciuman disetiap inci wajahku.Tangannya bergerak liar menanggalkan gamis yang kukenakan dan mebuangnya sembarangan. Gegas ku hentikan aksinya, karena posisi kami kini masih diluar rumah hanya berpagarkan ilalang."Tidak ada orang disini sayang, karena tanah ini terpagar kawat duri dan tidak ada yang bisa masuk ke lahan ini kecuali kita." "Kamu yakin?" Yuda tak menjawab, tangannya terus melancarkan aksinya. Setelah puas dengan mainannya, Yuda membopongku masuk kedalam kamar, dia membiarkan tirai yang terbuka."Sayang tirainya.""Kaca ini tidak terlihat dari luar, aku ingin menikmatimu dengan view yang indah." Bisiknya Aku tak protes lagi dengan semua aksinya. Yuda me
Aku terus mengekor kemana Yuda bergerak untuk mendapatkan jawabannya. Pasti ada sesuatu terjadi dengan Mama, karena dari wajahnya Yuda tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya."Mama sakit sayang, dia tadi pingsan." "Astaghfirullah, terus sekarang gimana bi? Udah dibawa kerumah sakit?""Masih dijalan sekarang menuju rumah sakit, kita langsung susul kesana ya.""Iya bi, sebentar aku pakai jilbab dulu." Aku begegas memakai jilbab dan menyambar tas kecilku yang kugantung dibelakang pintu.Aku keluar dari rumah, sementara Yuda sudah menunggu diteras, laki-laki itu bergegas mengunci pintu dan langsung masuk kedalam mobil. Aku mengikuti dan masuk lewat sisi kiri. Mobil dilajukannya dengan sedikit tergesa.Menurut keterangan dari Papa, Mama dilarikan ke rumah sakit Umum di Bengkulu. Yuda terus memainkan setirnya, sesekali aku menyentuh bahunya untuk memberikan peringatan supaya Yuda mengendarai dengan hati-hati. Pasalnya beberapa kali Yuda lengah dan hampir menabrak kendaraan lainnya."Bi
Koin yang kugunakan untuk memgerok mama tiba-tiba terjatuh, lidahku kelu, tak mampu menjawab pertanyaan mama, mataku memanas kian memanas.Aku ambil kembali koin itu dan melanjutkan aktivitasku, "kalau Kak Yuda bersedia menikah lagi dan dia mencintanya, insyallah Naya ikhlas Ma." Dengan gemetar aku menjawab pertanyaan Mama."Yang bener Nay?" Tanya Mama."Mama bukannya tidak menyayangimu lagi, bukannya Mama ingin memisahkan kamu, tapi jujur, Mama sangat ingin menimang cucu, Mama kan sudah tua, kesehatan Mama makin menurun." Mama berbalik badan dan menggenggam tanganku.Aku memalinhkan wajahku kesamping, menhindari kontak mata dengan Mama, rasa lahar panas disudut mataku ingin tumpah."Nay, kamu menantu yang sangat baik, tapi....""Tapi Naya tidak bisa memberikan keturunan Ma, Naya sadar, Naya juga sudah pernah meminta Kak Yuda untuk menikah lagi." Potongku."Terus bagaimana tanggapan Yuda?" Aku menggeleng, kemudian aku menarik tangaku dari genggaman Mama."Naya kebelakang dulu Ma." Ta
Rintik hujan membasahi sepanjang perjalanan. Alunan ayat-ayat suci menemani perjalanan kami. Yuda tampak fokus mengendari roda empat, pria berkemeja coklat itu melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, karena harus mengejar meeting penting dikantornya.Aku hanya diam memandang keluar jendela sambil menghitung rintik hujan yang menetes dikaca mobil. Tiba-tiba Yuda menggenggam tanganku."Gak ada yang harus kamu fikirin, apalagi omongan mama, aku gak mau nanti kamu malah sakit." Laki-laki belahan jiwaku itu berbicara tetapi masih dengan fokusnya."Aku hanya ingin istirahat, tidurku tidak nyenyak." Lirihku."Sebentar lagi sampai, kamu bisa tidur sepuasnya, nanti biar aku kirim ojek untuk mengantar makanan kesukaanmu.""Makasih banyak bi, fokuslah menyetir, jalanan licin." Tuturku dengan fokus masik ke jalanan."Iya sayang."Tak samapai lima belas menit, mobil sudah memasuki pelataran surgaku. Dengan buru-buru Yuda menurunkan bawaan. Setelah itu dia langsung pamit untuk kekantor. H
"Mbak Gitaaaaaaaa." Teriakku.Perempuan itu lagi-lagi hanya menampakkan gigi rapinya yang putih."Iya iya." Kemudian dia pungut lagi kantorng kresek yang berserakan dilantai."Ada angin apa kamu kesini Nay?" Tanyanya penuh sindiran, pasalnya sudah hampir empat bulan aku tak berkunjung kesini, komunikasi hanya berbalas pesan."Angin puting beliung." Jawabku asal."Kalau gak boleh ya aku kesini, yaudah aku pulang, Dim..." Baru mau aku berteriak memanggil Dimas, mbak Gita membekap mulutku."Ssttt, anak perempuan gak bagus teriak-teriak, yuk kebelakang, mas Sigit buat taman dibelakang, tadi kebetulan mbak buat bakso.""Wauuu...ayuk." seketika aku lupa pertengkaran barusan.Aku berjalan mengikuti perempuan yang hampir paruh baya itu. Diruang tengah, Dimas dan Naswa sudah asyik bermain. Dimas sudah mengeluarkan semua ciki yang dia beli.Mbak Gita menyiapkan empat porsi bakso dan membawanya ke lesehan dibelakang rumah, disekelilingnya banyak bunga kertas dengan berbagai warna. Makin indah di
[Nay, aku harap kamu tidak usah ikut campur urusan pribadiku lagi, kamu itu hanya MANTAN, Jadi tolong jangan usik aku, apalagi menggunakan Dimas untuk mengaturku]Ada apa ini? Kenapa Mas Wira tiba-tiba mengirim pesan seperti itu?Aku bingung harus menjawab apa, pasalnya aku tak pernah sedikitpun mempengaruhi Dimas Untuk mengatur kehidupan Mas Wira, apalagi kehidupan pribadinya."Sayang, Dimas sudah tidur." Yuda keluar dari kamar Dimas dan mendekatiku yang masih syok. Tanganku hanya sibuk memutar-mutar tutup pena yang akan kugunakan untuk menulis list syarat-syarat perizinan."Yang, ada apa.""Eh, Bi, ini lhat!" Aku meyodorkan benda pipih itu kehadapan Yuda, agar Yuda bisa membaca isi pesan Mas Wira.Tanpa basa-basi, Yuda membuat panggilan ke nomor Mas Wira, namun hanya suara operator yamg menjawab, menandakan ponsel mas Wira tidak aktif."Kamu pernah berkata sesuatu pada Dimas yang?" Aku hanya menggeleng. Karena memang aku tidak pernah sekalipun mempengaruhi Dimas untuk apapun."Besok
Beberapa bulan kemudian, setelah kegagalan Maya ber-taaruf dengan Kahfi, pemuda itu di kembalikan ke Palembang, ke tempat asalnya. Kiayi Abdurrahman sangat syok dan kecewa dengan perilaku Kahfi. Beliau tak menyangka jika anak asuhnya mempunyai prilaku seperti itu.Hatiku merasa lega, karena Lia akhirnya angakat suara tentang latar belakang Kahfi yang sebenarnya. Hampir saja Maya tertajuh ke dalam Pelukan laki-laki berprilaku menyimpang itu. Tidak bisa dibayangkan jika Lia sebagai mantan istirnya dulu tidak oernah menceritakan kisah kelamnya, sudah oasti Maya akan menjadi korban ke dua.Siang itu aku akan melakukan check di laboratorium mengenai penyakitku. Menurut dokter, pengobatan yang aku lakukan selama ini menunjukkan perkembangan yang begitu besar. Dan kemungkinan sel kanker itu sudah tidak ada di dalam tubuhku.Dengan harinyang sedikit cemas, aku mwnunggu Yuda mengantre untuk memgambil hasil cek laboratorium, setelah setengah jam memunggu, Yuda berlari tergopoh-gopoh mendekatik
Maya tak menghiraukan keberakan ustadz Kahfi disana. Gadis itu masih begitu saja menuju ruang tengah bersama Gina dan juga Dimas. Sementara Wira ikut duduk dengan Abdul Gani di ruang tamu.Harni tak melepaskan Dimas sedikitpun hingga mereka sampai di ruang tengah."Kangen beratkah, Oma?" ledek Dimas, laki-laki kecil itu mencium pipi omamya yang sudah mulai mengeriput."Tentu saja, anak baik." Harni menjawil hidung bangir milik Dimas."Sama aku gak rindukah?" Maya merajuk, bibirnya dimajukannya cukup panjang."Dikit," kata hari sambi membuat gerakan pada telunjuk dan jempolnya."Ih, ibu." Maya makin merajuk."MasyaaAllah, ada Gina." Harni baru sadar jika da sepasang mata yang memperhatikannya."Hehehe ... Ibu sehat?" ucao Gina kemudian."Alhamdulillah. Sini duduk dulu. Ibu buatkan teh hangat dulu ya."Harni bergegas ke belakang untuk membuatkan tamunya minuman hangat. Gina dan Maya mengekor wanita setengah baya itu. Sementara Dimas sudah sibuk dengan Cimoi--kucing kesayangan Kanaya."B
"Nay, Yuda ...." Wira menjeda ucapannya, dia mengatur nafas berkali-kali."Wira ada apa?" Yuda mengambil alih kamera."Tadi di toko bakery, kami ketemu dengan Anisa. Dia mengatakan hal buruk tentg Kanaya, yang membuat Dimas ketakutan.""Astaghfirullah," Kanaya membekap mulutnya."Terus gimana Wir?" Sambung Yuda tak kalah khawatir."Tadi Dimas sedikit ketakutan, tapi sekarang sudah ceria lagi." "Wir, tolong kalau Dimas audah di pesantren, sering-sering kamu jenguk ya." Ada rasa nyeri dalam hari Wira ketika mendengar perhatian Yuda yang begitu dalam terhadap Dimas, seandainya Lely pun begitu terhadap Dimas, mungkin Dimas tidak akan ketakutan seperti tadi, ketika bertemu dengan Lely."Sudah pasti, "ucap Wira."Anisa dan ibunya itu bisa dikatakan berhabaya Wir, beberapa kali Anisa mengirimkan oesan untuk Kanaya yang berisi ancaman.""Sampai separah itu?" Wira menanggapi."Aku tak tahu pasti bagaimana mereka, tapi dari cara ibunya Anisa membujuk ibuku agar aku bisa menikah dengan Anisa,
Dimas semakin dakam bersembunyi dibalik tubuh Gina yang tinggi. Sementara Wira membawa istrinya masuk kedalam kamar. Laki-laki yang selalu rapi itu tak habis pikir dengan tikah istrinya yang keterlaluan."Kamu bisa gak, jangan ngomong kasar begitu. Dari awal sebelum kita menikah, aku sudah kasih tahu kamu status aku. Aku punya anak, dan kamu setuju untuk mengganggap Dimas sebagai anak kamu sendiri, tapi kenapa sekarang begini?" ujar Wira dengan nada tinggi."Mas, itu dulu sebelum aku melihat wajah Kanaya, tapi setelah melohat wajah Kanaya, aku jadi merasa kalau kamu menikahiku karena aku mirip dengan Kanaya." Suara Lely tak kalah tinggi."Jadi apa mau kamu, hah?" Wira tak mampu menahan emosi."Aku mau bocah itu tidak pernah datang kesini, aku anggap kamu duda tanpa anak!""Lely ...." Wira mengangkat tangannya dan hampir menampar waja Lely, namun dengan sekuat tenaga dia menahan amarahnya."Apa mas? Mau nampar aku? Tapar aja!""Oke, aku akan bawa Dimas pergi, tapi jangan harap kamu aka
Maya masih syok dengan pengakuan Lia, dia kini terbaring didalam kamar yang ada di toko Kanaya. Lia kembali turun untuk bergabung dengan karyawan lainnya.Pemandangan aneh terlihat ketika Lia sampai di anak tangga dituruninya satu persatu. Dimas yang tengah merajuk sedang dibujuk olelh Wira."Mas Wira," panggil Lia seraya mendekat."Eh ... Lia. Mana Maya?" tanya Wira."Istirahat diatas Mas, mas Wira mau ngajak Dimas keluar?" "Iya, mau aku ajak nginap di rumah, tapi sepertinya dia sedang merajuk karena aku telat jemputnya," ucap WiraSebenarnya Wira sempat ke bandara, tetapi sampai disana Dimas dan Maya sudah tidak ada. Ternyata dari tadi dia mengabaikan pesan Kanaya, jika Dimas dan Maya sudah dijemput Lia."Papa ingkar janji!" desis Dimas. Mukannya ditekuk. Wira kembali mendekati Dimas yang duduk di sofa."Maaf ya sayang, tadi kerjaan papa gak bisa ditinggal," bujuk Wira."Dimas mau popcorn?" Sepertinya pertahanan Dimas mulai runtuh ketika mendengar makanan kesukaannya disebut."
Lianita alnama yang diberikan kedua orang tuaku, aku asli Palembang, dan merantau ke Bengkulu karena suatu hal yang mengharuskanku menjauh dari tempat yang sudah menorehkan luka menganga dihatiku. Luka itu bahkan hingga saat ini masih terasa sakit Aku menghubungi ayuk Gita--kerabat jauh mama, untuk mencari informasi pekerjaan di Bengkulu. Ayuk merupakan panggilan seperti mbak bagi orang Sumatra.Ayuk Gita sudah lama tinggal di Bengkulu ikut suaminya. Nasib baik tengah menghampiriku, ayuk Gita mempunyai sahabat bernama mbak Kanaya. Mbak Kanaya mempunyai toko baju yang sedang membutuhkan karyawan untuk tokonya.Dulu toko itu jaga sendiri oleh mbak Kanaya, karena semkain hari tokonya semakin ramai, makan dia memutuskan untuk mencari karyawan. Bukan karyawan sebenarnya, patner kerja kebih tepatnya. Karena mbak Kanaya tidak memperlakukan karyawannya seperti karyawan, tetapi seperti teman kerja. Tak segan-segan mbak Kanaya meminta pendapat kami jika mengalami masalah.Berkat rekomendasi da
Dimas berkali-kali menoleh kebelakang demi melihat Kanaya yang masih melambaikan tangan. Bocah yang kini sudah beranjak besar itu rasanya tak ingin lagi pisah dari Kanaya--ibunya, namun apalah daya, Kanaya harus menjalani pengobatan secara rutin karena sel kanker yang kemarin sudah diangkat, kini tumbuh lagi dan harus dilakukan kemoterapi.Kini Dimas dan Maya memasuki bandara, mwnuju pintu masuk pesawat, Dimas menggenggam erat tangan Maya, seoalh takut terpisah diataran ratusan orang yang tengah berdesakan."Tante, apa di pesantren Al Mukmin akan sama kayak di pesantren yang kemarin?" Dimas merasa cemas dan trauma atas apa yang menimpa diririnya beberapa bulan terakhir. Awalnya Dimas memang sekolah di SD berbasis Islam, namun karena keterbatasan penjagaan akhirnya Dimas dimasukkan ke pesantren, selain bisa belajar agama lebih dalam, tentunya Kanaya merasa aman karena tinggal di pesantren, ada yg mengawasinya.Sungguh malang yang menimpa Dimas, anak baik itu harus menerima perundungan
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pengakuannya selama di pesantren. Hal yang paling menyedihkan ketika Dimas bilang dia tidak diizinkan tidur dikasur.Jadi selama ini Dimas hanya tidur dilantai beralaskan kain sarung. Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya cuaca disana. Kembali kupeluk erat tubuh kurus anak baikku ini, aku baru sadar jika tubuhnya kini kurus. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. "Kenapa Dimas tidak cerita?""Karena Dimas tidak mau Mama sedih, apalagi Mama sedang saki," jawabnya polos."Sayang, maafin Mama ya! Besok mama sama ayah ke pesantren untuk mengurus kepindah Dimas. Untuk sementara Dimas sekolah didekat oma gak apa-apa kan?""Iya Ma, Dimas lebih senang dekat dengan oma.""Atau mau sekolah dekat papa?" tanyaku memberi pilihan. Bagaimanapun Dimas sudah besar, dia sudah mampu berpikir mana yang baik mana yang tidak.Dimas menggeleng, "deket sama oma aja Ma, Dimas gak tinggal sama tante Lely.""Iya gak apa-apa, besok kalau tante Maya pulang, Dimas sekalian
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak