Pagi yang cerah tetapi, tidak secerah hatiku.
Adelia Arabella
Paginya, Lia sudah siap dengan setelan kantornya, ia keluar apartemen sambil bersenandung kecil, matanya sibuk memperhatikan sekitar.
"Lia!" Panggil seseorang yang membuatnya menoleh.
"Rian," kata Lia, ia segera menghampiri pria tersebut.
Rian tersenyum melihat ekspresi terkejut Lia, wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan.
"Kenapa kamu disini?" tanya Lia sambil tersenyum ramah.
"Aku tinggal di gedung apartemen ini sekarang," jelas Rian singkat sementara Lia, ia hanya manggut-manggut mengerti. "Tadinya aku ingin tinggal di lantai tiga tapi, mereka bilang sudah penuh, hanya ada di lantai satu, ya sudah aku terima saja."
"Kenapa memang di lantai tiga?" tanya sedikit bingung, menurutnya, tingkat berapapun fasilitas yang di dapat tetap sama.
Rian tertawa hambar, bagaimana bisa gadis dihadapannya ini, sama sekali tidak peka.
"Karena kamu," jawab Rian di dalam hati.
"Mau berangkat bersama?" tawar Rian mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak perlu, aku bisa naik taksi," tolak Lia halus, ia tidak mau bergantung pada orang lain, apalagi menjadi beban bagi mereka.
Rian tampak berpikir. "Kantor kita kan sama, lumayan lho menghemat biaya," jelasnya.
Penjelasan Rian memang ada benarnya, ia memang harus menghemat karena gajinya yang terbilang pas-pasan, belum lagi ia harus membayar sewa apartemen yang kini ditempati.
Terlebih lagi sejak neneknya meninggal, Lia menjadi sangat kesepian. Ia tidak berani menerima bantuan siapapun. Baginya, hal tersebut akan membuat dirinya menjadi manja dan terus bergantung pada orang lain.
"Kumohon jangan menolak atau aku akan merasa sedih," Rian tampak menunduk pasrah, sudah beribu cara ia lakukan untuk menarik perhatian Lia, gadis itu tetap tidak mengerti.
Cinta bertepuk sebelah tangan, yang dialami Rian memang terlihat menyedihkan. Padahal mereka sudah bekerja selama satu tahun di kantor yang sama tetapi, tidak ada yang berubah diantara keduanya. Rian merasa ada sesuatu yang Lia tutupi.
Lia menoleh ke arah Rian sebentar, ia merasa tidak enak menolak tawarannya. Bagaimanapun Rian selalu datang membantu ketika ia butuh jadi, tidak masalah untuk menyetujuinya kali ini.
"Baiklah." ujar Lia setuju.
Rian merasa sangat senang. akhirnya, ia bisa berangkat kerja bersama dengan gadis yang ia sukai, bukankah ini langkah yang bagus untuk menjadi lebih dekat.
Rian berlari kecil ke arah mobil Ferrari miliknya. Ia membuka pintu tak lupa memamerkan senyum manisnya yang akan membuat semua gadis terpesona meskipun, hal tersebut tidak akan berlaku pada Lia.
Lia masuk ke dalam mobil tanpa bersuara. Rian kemudian masuk ke mobil, ia mulai melajukan mobil dengan perasaan riang.
"Sepertinya, kamu terlihat sangat bahagia hari ini." Lia juga ikut merasakan perubahan mood Rian yang sedang bahagia.
"Tentu saja aku bahagia. Akhirnya, aku punya kesempatan pergi bersamamu." Lagi-lagi kalimat tersebut hanya bisa ia katakan di dalam hati.
Lia menatap bingung, bukannya menjawab, Rian malah asik tersenyum sendiri.
Menyadari raut wajah Lia yang seperti meminta penjelasan, membuat otak tampannya mulai mencari jawaban yang tepat. "Karena aku baru saja membeli apartemen, kan itu suatu pencapaian yang bagus."
Lia tersenyum simpul. "Kamu lucu." Ia menggeleng kepala pelan mendengar hal tersebut.
Sementara Rian, ia berusaha untuk tetap fokus menyetir walaupun sebenarnya, ia tidak ingin memindahkan penglihatannya sedikitpun dari Lia. Gadis itu baru saja tersenyum karena ulahnya. Ya meskipun sangat singkat, Rian merasa debaran jantungnya mulai tidak beraturan. Sebuah senyum singkat ternyata berakibat fatal baginya.
π π π
"Terimakasih," ujar Lia ketika sampai di kantor.
Rian segera mengibaskan tangannya. "Tidak masalah, aku malah merasa senang ada teman yang bisa diajak bicara diperjalanan."
Lia tersenyum menanggapi ucapan Rian. Keduanya masuk menuju ruang kerja masing-masing.
"Lia," panggil Rian lagi, yang membuat Lia menoleh ke arahnya. "Nanti, kita bisa pulang bersama lagikan, aku kesepian jika menyetir sendiri."
Lia segera menggangguk sambil tersenyum. Ia kemudian masuk kedalam ruangannya, meninggalkan Rian yang masih mematung.
Sepeninggalan Lia, Rian masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi, gadis yang ia sukai. Lia setuju untuk pulang bersama nanti.
Ia tidak bisa menyembunyikan betapa bahagia dirinya hari ini.
"Yes! Yes yes," Seru Rian sambil melompat-lompat kegirangan, ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedari tadi menjadi tontonan lucu karyawan yang lewat, terutama para gadis yang tertawa melihat tingkah imut Rian.
Beberapa detik kemudian, Rian tersadar, ada begitu banyak orang yang memandangnya dengan tatapan aneh. Ia kembali memasang wajah datar lalu, pergi berlalu.
π π π
"Cie yang datang bareng Rian." Goda Elsa yang langsung duduk di samping Lia, menyenggol lengan gadis itu singkat.
"Apaan sih, gak lucu," bantah Lia yang masih sibuk mengerjakan tugasnya.
Elsa adalah karyawan sekaligus teman baiknya selama ini, mereka pertama kali dipertemukan saat wawancara kerja. Sikap Elsa yang mudah bersosialisasi menjadikannya mudah dekat dengan siapapun termasuk dengan Lia.
"Dasar aneh, kalau aku jadi kamu, pasti udah aku pepet, gak akan aku sia-siakan kesempatan langka ini. Secara dia kan tampan, mapan dan pintar, kalau tidak mana mungkin ia ditempatkan menjadi manager keuangan," jelas Elsa menggebu-gebu.
Lia tidak peduli, baginya Rian adalah teman baik sama seperti Diana dan Elsa, tidak lebih dari itu. Belum lagi kenyataan bahwa ia masih belum bisa melupakan Arka, mantan pacarnya. Jadi, sangat tidak mungkin Lia bisa membuka hatinya untuk lelaki lain.
"Sudah gosipnya, sana kerja!" usir Lia enteng.
Elsa diam, temannya yang satu ini memang sangat aneh, secara semua orang bersusah payah mendapatkan perhatian Rian tapi, lihatlah Lia, ia sama sekali tidak tertarik.
Elsa tidak perduli, ia malah sibuk membahas topik lainnya. "Kamu tahu tidak? Katanya minggu depan perusahaan kita bakalan ganti pimpinan."
"CEO maksudnya? Tapi kenapa?" tanya Lia mulai tertarik.
"Katanya sih, Pak bos udah jual semua saham perusahaan sama orang tersebut, sepertinya dia mau pensiun," terang Elsa tampak berpikir.
Lia hanya berdehem menanggapi jawaban Elsa, ia kembali sibuk mengerjakan laporan jika tidak ingin di marahi.
Elsa mendekat wajahnya ke telinga liat. "Terus katanya CEO baru itu orangnya tampan bahkan lebih tampan dari Rian."
Elsa mengembungkan kedua pipinya sebel, ia kembali ke meja melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sementara Lia diam-diam ia tersenyum melihat tingkah Elsa yang sedang kesal.
π π π
"Diana, sejak kapan kamu disini?" tanya Lia yang melihat Diana sudah berada di depan pintu apartemen miliknya.Diana berlari menghampiri Lia sambil tersenyum cengengesan. "Sekitar lima menit yang lalu."Lia hanya manggut-manggut mengerti."Dia siapa?" tanya Diana saat melihat pemuda tampan yang berdiri di samping Lia.Lia menepuk pelan dahinya, hampir saja ia lupa dengan keberadaan Rian."Kenalin, ini Rian. Dia adalah rekan di tempatku berkerja," Lia memberi jeda sesaat. "Rian, ini Diana sahabatku.""Hai Diana," sapa Rian begitupun sebaliknya. Ia mengulurkan tangannya yang langsung disambut riang oleh Diana.Mata Diana seperti tidak mau lepas dari Rian, pemuda tampan tersebut seolah menghipnotisnya dengan pesona yang tampak menyilaukan.Rian yang merasa sedikit risih dengan tatapan Diana memilih pamit pergi. "Aku balik dulu ya."Li
*Susah itu. Ketika kamu masih ingat mantan tetapi, mantan bodoh amat kamu hidup atau gak ~jlep*Setelah mencuci piring Lia berniat merebahkan tubuhnya di atas kasur namun, belum sempat bokongnya menyentuh permukaan kasur, ia sudah di tarik Diana untuk duduk."Duh, ngapain lagi sih, mau bobo cantik ini," protes Lia masam."Jangan tidur habis makan, gak baik untuk kesehatan," jelas Diana.Lia menatap Diana lama, kemudian ia memilih kembali merebahkan tubuhnya dan langsung saja di cegah Diana kembali."Iya deh, aku gak tidur dulu," ujar Lia pasrah, padahal sejak tadi ia merasa kasur tersebut telah memanggil dirinya, untuk merebahkan tubuh dengan nyaman."Oh, kasurku yang tercinta," teriak Lia dramatis. "Aku akan menunjukkan sesuatu yang membuat rasa kantukmu hilang," jelas Diana percaya diri.
Terhitung hampir satu minggu semenjak Lia melakukan semua yang tertera di SOP yang diberikan Diana, mulai dari olahraga teratur sampai menyibukkan diri dengan berkerja yang berujung masuk IGD beberapa waktu yang lalu, untunglah segala usaha yang ia lakukan kini membawakan hasil, ya meskipun tidak sepenuhnya move on namun, Lia sudah mulai bisa melupakan Arka untuk sesaat.Pagi ini setelah selesai kramas sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk, Lia meraih ponsel, menghubungi sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Diana, Lia tampak tidak sabaran untuk menceritakan hasil dari proses yang sudah ia lakukan.Sudah hampir tiga puluh menit berlalu tetapi, Lia masih begitu semangat melanjutkan obrolan, di tambah lagi hari ini adalah weekend yang artinya ia bisa menikmati jadwal libur tanpa takut dikejar waktu. Jadi, Lia bisa sepuasnya berbicara dengan Diana.Lia merasa sangat senang akhirnya ia mulai bisa berhenti mem
Cinta tidak hanya membutakan mata dan hati. Namun juga, kewarasanmu.* * *Lia kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal, sesekali ia merengek lalu, mengoceh tidak karuan."Kenapa lagi sih?" tanya Diana menatap aneh Lia. Padahal tadi pagi, ia dengan jelas mendengar pengakuan Lia yang sudah move on, apalagi nada bicaranya juga tampak riang. Namun, sekarang malah seperti orang yang kehilangan harapan hidup."Arka," ujar Lia tergagap."Ada apa lagi? Buang ke tong sampah sana, jangan di ingat! Kalau kata dilan tu berat, seberat status jomblo yang menahun," cerocos Diana yang sangat unfaedah dan tidak membantu sama sekali.Plak.Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Diana, bah
Semenjak Lia resmi menjadi pembantu, ralat maksudnya sekertaris sekaligus pembantu lebih tepatnya. Kehidupan Lia berubah 360Β°, tidak di kantor ataupun di apartemen, Arka selalu saja memerintah dirinya. Lihatlah keadaannya sekarang, sangat berantakan, rambutnya bahkan tampak sedikit acak-acakan.Ia menghampiri meja kasir untuk membayar pesanan Arka. Dengan langkah tergesa Lia segera kembali ke kantor. Jika tidak, gajinya pasti akan terancam."Dasar manusia sadis, gak punya moral, gak pake perasaan, dedemit, alien, makhluk jadi-jadian." Ya meski ia terus berjalan menuju ruangan Arka, ia tetap tidak berhenti melantunkan sumpah serapah meskipun hanya bisa ia ucapkan di dalam hati.Tanpa sengaja, Lia menabrak seseorang yang membuatnya tersungkur jatuh, namun untunglah ia masih bisa menyelamatkan bungkus plastik di tangan, agar isinya tidak tumpah."Punya mata gak sih!" Teriaknya ke arah Lia. Padahal jelas-
Diana yang tak berhenti tersenyum sambil cengengesan tidak jelas membuat Lia merasa sedikit geli sekaligus aneh.Lia mengibaskan tangannya beberapa kali di depan wajah Diana. "Woi, kerasukan setan ya."Diana terkejut, ia menatap kesal ke arah Lia. "Enak aja, aku masih sadar tau."Sementara Lia hanya menaikan kedua bahunya acuh, tangannya mulai berselancar mengambil salah satu makanan yang telah di siapkan Diana."Aww, sakit. Kok tanganku dipukul sih." Lia sedikit meringis."Cuci tangan dulu sono!"Lia mendelik sebentar ke arah Diana, tiba-tiba muncullah ide lincik di otak cantiknya, Perut yang sudah keroncongan tidak bisa menunggu lagi, intinya Lia harus mendapat sepotong tempe goreng untuk mengganjal rasa lapar."Eh, Rian udah datang," Diana menolehkan wajahnya mengikuti arah yang di tunjuk Lia. Nihil, tidak ada siapapun di sana, hanya ada sebuah pintu yang masi
Rasa khawatir di matamu, membuktikan bahwa, kamu masih begitu mencintaiku.Bisakah aku menyimpulkan begitu?~Arka~Di sisi lain, Diana kini tengah sibuk mengambil kotak P3K yang berada di lemari atas.Seseorang datang dari belakang dan mengambil kotak P3K yang sejak tadi berusaha di raih Diana.Diana sedikit terkejut, ia berbalik melihat orang yang sudah mengambil benda tersebut."Rian, kok kamu ada di sini?" tanya Diana heran, padahal sebelumnya ia yakin Rian tadi duduk di ruang tamu."Ya mau bagaimana lagi, masak aku di tinggal sendirian." tutur Rian seadanya.Sebenarnya, Diana tidak bermaksud meninggalkan Rian sendirian di ruang tamu. Namun, luka di tangannya tiba-tiba berdenyut nyeri yang membuat Diana memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu.
Untuk membuat orang yang kucintai bahagia, aku tidak harus ikut bahagia bukan? ~Diana~ Diana segera ke rumah sakit begitu mengetahui bahwa Lia dan Arka di serang preman. Diana langsung berlari memeluk Lia yang ketakutan di ruang tunggu. "Lia tenanglah, Arka akan baik-baik saja." "Diana aku takut, aku takut kejadian itu terulang lagi," tutur Lia sambil terus terisak, tubuhnya masih bergetar ketakutan. "Aku ini pembawa sial Diana, aku ini pembunuh!" Diana melepas pelukan mereka kasar. "Cukup Lia! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, kejadian itu bukan karena ulahmu, semua hanya takdir dan kamu tidak bisa menghindar." Diana memegang erat kedua tangan Lia. Ia mencoba untuk terus meyakinkan Lia bahwa apa yang terjadi memang telah di takdir kan tuhan. "Mulai hari in
Saat kamu pergi, tidak ada lagi kata 'baik-baik saja' di dalam hidupku.***FlashbackSore itu Lia tersenyum senang manatap layar ponselnya dengan tatapan berbinar, ia tampak sesekali melompat kegirangan."Aku akan segera menemui." ujar Lia penuh semangat. Senyum di wajahnya tampak begitu indah. Seindah langit senja kala itu.Lia sudah berjanji untuk bertemu Arka di sebuah jembatan dekat kampus, tak berapa lama, orang yang ia tunggu akhirnya datang. Lia langsung menyambut Arka dengan senyum terbaiknya."Hai sayang," sapa Lia, ia langsung mengandeng tangan Arka. Arka hanya diam, ia menatap dalam manik mata Lia. "Ada apa?" tanyanya ketus. Kemudian menepis tangan Lia begitu saja.Lia yang menyadari perubahan raut wajah Arka, merasa aneh sekal
Jika cinta datang hanya untuk menyakiti, tak bisakah ia pergi tanpa mengiris hati.***Diana duduk sendirian di bangku taman, ia melimpah segala rasa sedih yang di tahannya di dalam hati. Ia menangis hingga terisak pilu, tidak perduli, orang-orang yang melewati dengan tatapan bingung.Suara ponsel mengalihkan perhatian Diana, ia menghapus segera air matanya dan mengatur suaranya agar tidak terdengar serak."Iya halo," sahut Diana dengan nada riang yang dibuat-buat."Maaf Mbak, naskah novel yang anda ajukan satu bulan lalu, tidak bisa kami terima karena tidak sesuai dengan keinginan penerbit," terang suara seberang.Diana berusaha tegar, ia tidak berusaha untuk berdebat tentang naskahnya dan mengakhiri percakapan tersebut seadanya. "Tidak masalah, saya mengerti."Setelah mematikan ponselnya, Diana kini kem
Untuk membuat orang yang kucintai bahagia, aku tidak harus ikut bahagia bukan? ~Diana~ Diana segera ke rumah sakit begitu mengetahui bahwa Lia dan Arka di serang preman. Diana langsung berlari memeluk Lia yang ketakutan di ruang tunggu. "Lia tenanglah, Arka akan baik-baik saja." "Diana aku takut, aku takut kejadian itu terulang lagi," tutur Lia sambil terus terisak, tubuhnya masih bergetar ketakutan. "Aku ini pembawa sial Diana, aku ini pembunuh!" Diana melepas pelukan mereka kasar. "Cukup Lia! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, kejadian itu bukan karena ulahmu, semua hanya takdir dan kamu tidak bisa menghindar." Diana memegang erat kedua tangan Lia. Ia mencoba untuk terus meyakinkan Lia bahwa apa yang terjadi memang telah di takdir kan tuhan. "Mulai hari in
Rasa khawatir di matamu, membuktikan bahwa, kamu masih begitu mencintaiku.Bisakah aku menyimpulkan begitu?~Arka~Di sisi lain, Diana kini tengah sibuk mengambil kotak P3K yang berada di lemari atas.Seseorang datang dari belakang dan mengambil kotak P3K yang sejak tadi berusaha di raih Diana.Diana sedikit terkejut, ia berbalik melihat orang yang sudah mengambil benda tersebut."Rian, kok kamu ada di sini?" tanya Diana heran, padahal sebelumnya ia yakin Rian tadi duduk di ruang tamu."Ya mau bagaimana lagi, masak aku di tinggal sendirian." tutur Rian seadanya.Sebenarnya, Diana tidak bermaksud meninggalkan Rian sendirian di ruang tamu. Namun, luka di tangannya tiba-tiba berdenyut nyeri yang membuat Diana memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu.
Diana yang tak berhenti tersenyum sambil cengengesan tidak jelas membuat Lia merasa sedikit geli sekaligus aneh.Lia mengibaskan tangannya beberapa kali di depan wajah Diana. "Woi, kerasukan setan ya."Diana terkejut, ia menatap kesal ke arah Lia. "Enak aja, aku masih sadar tau."Sementara Lia hanya menaikan kedua bahunya acuh, tangannya mulai berselancar mengambil salah satu makanan yang telah di siapkan Diana."Aww, sakit. Kok tanganku dipukul sih." Lia sedikit meringis."Cuci tangan dulu sono!"Lia mendelik sebentar ke arah Diana, tiba-tiba muncullah ide lincik di otak cantiknya, Perut yang sudah keroncongan tidak bisa menunggu lagi, intinya Lia harus mendapat sepotong tempe goreng untuk mengganjal rasa lapar."Eh, Rian udah datang," Diana menolehkan wajahnya mengikuti arah yang di tunjuk Lia. Nihil, tidak ada siapapun di sana, hanya ada sebuah pintu yang masi
Semenjak Lia resmi menjadi pembantu, ralat maksudnya sekertaris sekaligus pembantu lebih tepatnya. Kehidupan Lia berubah 360Β°, tidak di kantor ataupun di apartemen, Arka selalu saja memerintah dirinya. Lihatlah keadaannya sekarang, sangat berantakan, rambutnya bahkan tampak sedikit acak-acakan.Ia menghampiri meja kasir untuk membayar pesanan Arka. Dengan langkah tergesa Lia segera kembali ke kantor. Jika tidak, gajinya pasti akan terancam."Dasar manusia sadis, gak punya moral, gak pake perasaan, dedemit, alien, makhluk jadi-jadian." Ya meski ia terus berjalan menuju ruangan Arka, ia tetap tidak berhenti melantunkan sumpah serapah meskipun hanya bisa ia ucapkan di dalam hati.Tanpa sengaja, Lia menabrak seseorang yang membuatnya tersungkur jatuh, namun untunglah ia masih bisa menyelamatkan bungkus plastik di tangan, agar isinya tidak tumpah."Punya mata gak sih!" Teriaknya ke arah Lia. Padahal jelas-
Cinta tidak hanya membutakan mata dan hati. Namun juga, kewarasanmu.* * *Lia kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal, sesekali ia merengek lalu, mengoceh tidak karuan."Kenapa lagi sih?" tanya Diana menatap aneh Lia. Padahal tadi pagi, ia dengan jelas mendengar pengakuan Lia yang sudah move on, apalagi nada bicaranya juga tampak riang. Namun, sekarang malah seperti orang yang kehilangan harapan hidup."Arka," ujar Lia tergagap."Ada apa lagi? Buang ke tong sampah sana, jangan di ingat! Kalau kata dilan tu berat, seberat status jomblo yang menahun," cerocos Diana yang sangat unfaedah dan tidak membantu sama sekali.Plak.Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Diana, bah
Terhitung hampir satu minggu semenjak Lia melakukan semua yang tertera di SOP yang diberikan Diana, mulai dari olahraga teratur sampai menyibukkan diri dengan berkerja yang berujung masuk IGD beberapa waktu yang lalu, untunglah segala usaha yang ia lakukan kini membawakan hasil, ya meskipun tidak sepenuhnya move on namun, Lia sudah mulai bisa melupakan Arka untuk sesaat.Pagi ini setelah selesai kramas sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk, Lia meraih ponsel, menghubungi sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Diana, Lia tampak tidak sabaran untuk menceritakan hasil dari proses yang sudah ia lakukan.Sudah hampir tiga puluh menit berlalu tetapi, Lia masih begitu semangat melanjutkan obrolan, di tambah lagi hari ini adalah weekend yang artinya ia bisa menikmati jadwal libur tanpa takut dikejar waktu. Jadi, Lia bisa sepuasnya berbicara dengan Diana.Lia merasa sangat senang akhirnya ia mulai bisa berhenti mem
*Susah itu. Ketika kamu masih ingat mantan tetapi, mantan bodoh amat kamu hidup atau gak ~jlep*Setelah mencuci piring Lia berniat merebahkan tubuhnya di atas kasur namun, belum sempat bokongnya menyentuh permukaan kasur, ia sudah di tarik Diana untuk duduk."Duh, ngapain lagi sih, mau bobo cantik ini," protes Lia masam."Jangan tidur habis makan, gak baik untuk kesehatan," jelas Diana.Lia menatap Diana lama, kemudian ia memilih kembali merebahkan tubuhnya dan langsung saja di cegah Diana kembali."Iya deh, aku gak tidur dulu," ujar Lia pasrah, padahal sejak tadi ia merasa kasur tersebut telah memanggil dirinya, untuk merebahkan tubuh dengan nyaman."Oh, kasurku yang tercinta," teriak Lia dramatis. "Aku akan menunjukkan sesuatu yang membuat rasa kantukmu hilang," jelas Diana percaya diri.