Terhitung hampir satu minggu semenjak Lia melakukan semua yang tertera di SOP yang diberikan Diana, mulai dari olahraga teratur sampai menyibukkan diri dengan berkerja yang berujung masuk IGD beberapa waktu yang lalu, untunglah segala usaha yang ia lakukan kini membawakan hasil, ya meskipun tidak sepenuhnya move on namun, Lia sudah mulai bisa melupakan Arka untuk sesaat.
Pagi ini setelah selesai kramas sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk, Lia meraih ponsel, menghubungi sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Diana, Lia tampak tidak sabaran untuk menceritakan hasil dari proses yang sudah ia lakukan.
Sudah hampir tiga puluh menit berlalu tetapi, Lia masih begitu semangat melanjutkan obrolan, di tambah lagi hari ini adalah weekend yang artinya ia bisa menikmati jadwal libur tanpa takut dikejar waktu. Jadi, Lia bisa sepuasnya berbicara dengan Diana.
Lia merasa sangat senang akhirnya ia mulai bisa berhenti memikirkan Arka ya meskipun tidak sepenuhnya tetapi, ini adalah sebuah permulaan yang baik bukan. Dimana dirinya mulai berhenti melakukan stalking terhadap Arka.
"Aku turut senang deh," ujar Diana di seberang, bisa terdengar dari nada bicaranya, bahwa ia merasa bangga dengan dirinya.
Lia tertawa kecil sambil membayangkan ekspresi Diana lucu, ia berputar-putar senang di depan cermin, memperhatikan pantulan dirinya yang tampak cantik.
"Kalau begitu kamu harus melakukan satu hal lagi," ujar Diana.
"Apa lagi? Mencari pria tampan. Ayolah Diana aku tidak bisa secepat itu berpindah hati." Lia kemudian duduk di kursi, menyandarkan punggungnya nyaman.
"Bukan itu. Ini lain lagi." Diana langsung membantah.
Seketika Lia hanya bisa terdiam, ia merasakan sesuatu yang tidak baik akan terjadi, Diana pasti akan menyuruh melakukan hal absurd atau sesuatu yang lebih tidak masuk akal lagi. Lia mencoba memutar otak berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Lia, kamu masih di situkan. Jangan coba-coba matiin atau aku bakalan marah besar." Peringat Diana diseberang.
Lia hanya bisa menghembuskan napas pelan. "Baik, apalagi yang harus aku lakukan?"
Terdengar tawa penuh kemenangan dari Diana, entah kenapa Lia malah merasa merinding.
"Jangan aneh-aneh ya," pinta Lia dengan suara manis.
"Gak kok, kamu cuma perlu buka pintu apartemen terus rentangkan tangan, hirup oksigen sebaik mungkin dan teriak sekeras mungkin kalau Adelia Arabella sudah bisa move on." ujar Diana senang.
Lia menatap sekeliling. "Kamu mau, seluruh penghuni apartemen menganggapku gila! Ngapain coba teriak gak jelas di pagi hari."
"Hm, ya udah teriak dalam hati aja. Gak usah emosi, lagipula apartemen di depanmu kan kosong, gak ada penghuninya jadi gak ada yang bakalan liat kok."
Memang benar, apartemen di depan kamar Lia memang sudah lama kosong. Entahlah, banyak yang bilang kamar itu berhantu karena itu tidak ada yang mau menyewanya tapi, menurut Lia itu hanya sebuah desas-desus yang tidak jelas, selama ia tinggal di sini, dirinya tidak pernah bertemu mbah Kunti, tuyul atau sejenisnya. Padahal terkadang Lia merasa kesepian sendiri, ia akan merasa senang jika ada Mbah Kunti yang mau mendengar keluh kesahnya.
"Iya deh, aku turuti tapi, janji dulu ini yang terakhir." tutur Lia memastikan.
"Janji," ucap Diana setuju.
Lia kemudian keluar apartmen, melakukan apa yang diperintahkan Diana, ia merenggangkan kedua tangan lalu, menghirup udara segar sebanyak mungkin yang ia keluarkan melalui mulut, menutup kedua matanya sambil berteriak di dalam hati, tersenyum puas.
"Horee! Adelia Arabella sudah bisa move on." Lia membuka kedua matanya perlahan.
Suasana hening yang menyelimuti membuat Lia bungkam seketika, ia menatap tak percaya objek yang sedang berdiri di depannya.
Senyum merekah yang semula tampak bersinar, hilang seketika digantikan tatapan tak percaya, lebih tepatnya terkejut, ia kembali masuk ke dalam kamar.
"Gak, gak mungkin. Pasti itu cuma perasaanku aja," batin Lia. "Apa jangan-jangan itu penunggu apartemen yang lagi gentayangan. Yap, pasti cuma makhluk astral yang mau nakutin aku." Lia kemudian pergi melakukan aktivitas seperti biasanya yaitu menonton drama.
π π π
Lia sudah bersiap dengan setelan kantornya, ia tampak ceria hari ini.
"Semangat Lia," yakinnya di depan cermin, kemudian ia meraih tas dan pergi ke luar.
"Hai," sapa Rian tersenyum manis, ditambah ekspresi menggemaskan sukses membuat Lia ingin mencubit kedua pipi pria tersebut "Ayo kita berangkat."
Lia segera menggangguk, keduanya pergi bersama menuju kantor, tanpa tahu ada yang memperhatikan mereka dengan tatapan tidak suka.
Sesampainya di kantor keduanya berpisah di karenakan letak ruang Rian dan Lia memang berbeda.
Saat sampai di ruangan Lia langsung di sambut Elsa yang langsung memeluk dirinya. "Aku rindu."
Lia melepaskan pelukannya mereka. "Lebay, baru sehari gak ketemu. lagian kalau rindu kenapa gak datang ke apartemen. Aku sendirian tahu." cerocos Lia tidak senang, padahal sebelumnya Elsa janji mau menemaninya kemarin tapi, malah sibuk kelayapan entah kemana.
"Maaf, kemarin aku terlalu mendalami peran menjadi anak rumahan jadi, ya rebahan doang," jelas Elsa tersenyum tanpa dosa.
"Iya aku tahu hobi rebahanmu itu gak bisa ditinggalkan," ujar Lia sembari melanjutkan pekerjaan miliknya.
Elsa langsung mencubit kedua pipi chubby Lia. "Ah, temanku ini emang pengertian."
"Kalian berdua ngapain sih?" tanya Siska yang baru masuk.
"Gak ngapa-ngapain." jawab Elsa seadanya.
Siska melirik ke Elsa sebentar setelah itu menoleh ke arah Lia. "Kamu di suruh ke ruang direktur, katanya ada beberapa hal yang perlu ia tanyakan terkait proyek."
"Maksudnya pak bos baru?" tanya Elsa antusias.
"Iya," jawab Siska singkat.
Mata Elsa langsung berbinar, ia langsung duduk mendekati Siska, menghujaninya dengan beberapa pertanyaan. " Masih muda gak? Ganteng gak? Jomblo gak? Buka lowongan jadi pacar gak? Galak gak? Udah punya gebetan, pacar atau gimana?"
"Kamu itu nanya atau mau mengajukan diri jadi simpanan bos?" Kesal Siska, yang benar saja ia harus menjawab pertanyaan sebanyak itu.
"Ya gak gitu juga," bantah Elsa.
Lia tidak mau ambil pusing tentang pertanyaan Elsa tentang bos baru mereka, mau muda atau tua sama saja gak akan berpengaruh baginya.
"Permisi pak, anda memanggil saya," ujar Lia ketika membuka pintu ruangan.
Lia tampak terkejut bukan main dengan penampakan makhluk dihadapan itu.
"Ya ampun pasti aku lagi halusinasi lagi atau jangan-jangan ini penunggu apartemen ngikutin aku kerja." batin Lia.
"Kita bertemu lagi," ucap pria itu tersenyum. Sebuah senyuman yang selalu bisa membuat hati Lia menjadi tidak karuan, sama seperti saat ini, jantung Lia mulai memacu dengan cepat membuat dirinya menjadi salah tingkah.
"Kamu. Kenapa ada di sini?" Tanya Lia tak habis pikir. Apalagi ini, setelah semua usaha yang ia lakukan selama seminggu ini hancur dalam 3 detik hanya dengan melihat senyuman itu lagi. Ayolah dunia pasti sedang bercanda dengannya.
π π π
Cinta tidak hanya membutakan mata dan hati. Namun juga, kewarasanmu.* * *Lia kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal, sesekali ia merengek lalu, mengoceh tidak karuan."Kenapa lagi sih?" tanya Diana menatap aneh Lia. Padahal tadi pagi, ia dengan jelas mendengar pengakuan Lia yang sudah move on, apalagi nada bicaranya juga tampak riang. Namun, sekarang malah seperti orang yang kehilangan harapan hidup."Arka," ujar Lia tergagap."Ada apa lagi? Buang ke tong sampah sana, jangan di ingat! Kalau kata dilan tu berat, seberat status jomblo yang menahun," cerocos Diana yang sangat unfaedah dan tidak membantu sama sekali.Plak.Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Diana, bah
Semenjak Lia resmi menjadi pembantu, ralat maksudnya sekertaris sekaligus pembantu lebih tepatnya. Kehidupan Lia berubah 360Β°, tidak di kantor ataupun di apartemen, Arka selalu saja memerintah dirinya. Lihatlah keadaannya sekarang, sangat berantakan, rambutnya bahkan tampak sedikit acak-acakan.Ia menghampiri meja kasir untuk membayar pesanan Arka. Dengan langkah tergesa Lia segera kembali ke kantor. Jika tidak, gajinya pasti akan terancam."Dasar manusia sadis, gak punya moral, gak pake perasaan, dedemit, alien, makhluk jadi-jadian." Ya meski ia terus berjalan menuju ruangan Arka, ia tetap tidak berhenti melantunkan sumpah serapah meskipun hanya bisa ia ucapkan di dalam hati.Tanpa sengaja, Lia menabrak seseorang yang membuatnya tersungkur jatuh, namun untunglah ia masih bisa menyelamatkan bungkus plastik di tangan, agar isinya tidak tumpah."Punya mata gak sih!" Teriaknya ke arah Lia. Padahal jelas-
Diana yang tak berhenti tersenyum sambil cengengesan tidak jelas membuat Lia merasa sedikit geli sekaligus aneh.Lia mengibaskan tangannya beberapa kali di depan wajah Diana. "Woi, kerasukan setan ya."Diana terkejut, ia menatap kesal ke arah Lia. "Enak aja, aku masih sadar tau."Sementara Lia hanya menaikan kedua bahunya acuh, tangannya mulai berselancar mengambil salah satu makanan yang telah di siapkan Diana."Aww, sakit. Kok tanganku dipukul sih." Lia sedikit meringis."Cuci tangan dulu sono!"Lia mendelik sebentar ke arah Diana, tiba-tiba muncullah ide lincik di otak cantiknya, Perut yang sudah keroncongan tidak bisa menunggu lagi, intinya Lia harus mendapat sepotong tempe goreng untuk mengganjal rasa lapar."Eh, Rian udah datang," Diana menolehkan wajahnya mengikuti arah yang di tunjuk Lia. Nihil, tidak ada siapapun di sana, hanya ada sebuah pintu yang masi
Rasa khawatir di matamu, membuktikan bahwa, kamu masih begitu mencintaiku.Bisakah aku menyimpulkan begitu?~Arka~Di sisi lain, Diana kini tengah sibuk mengambil kotak P3K yang berada di lemari atas.Seseorang datang dari belakang dan mengambil kotak P3K yang sejak tadi berusaha di raih Diana.Diana sedikit terkejut, ia berbalik melihat orang yang sudah mengambil benda tersebut."Rian, kok kamu ada di sini?" tanya Diana heran, padahal sebelumnya ia yakin Rian tadi duduk di ruang tamu."Ya mau bagaimana lagi, masak aku di tinggal sendirian." tutur Rian seadanya.Sebenarnya, Diana tidak bermaksud meninggalkan Rian sendirian di ruang tamu. Namun, luka di tangannya tiba-tiba berdenyut nyeri yang membuat Diana memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu.
Untuk membuat orang yang kucintai bahagia, aku tidak harus ikut bahagia bukan? ~Diana~ Diana segera ke rumah sakit begitu mengetahui bahwa Lia dan Arka di serang preman. Diana langsung berlari memeluk Lia yang ketakutan di ruang tunggu. "Lia tenanglah, Arka akan baik-baik saja." "Diana aku takut, aku takut kejadian itu terulang lagi," tutur Lia sambil terus terisak, tubuhnya masih bergetar ketakutan. "Aku ini pembawa sial Diana, aku ini pembunuh!" Diana melepas pelukan mereka kasar. "Cukup Lia! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, kejadian itu bukan karena ulahmu, semua hanya takdir dan kamu tidak bisa menghindar." Diana memegang erat kedua tangan Lia. Ia mencoba untuk terus meyakinkan Lia bahwa apa yang terjadi memang telah di takdir kan tuhan. "Mulai hari in
Jika cinta datang hanya untuk menyakiti, tak bisakah ia pergi tanpa mengiris hati.***Diana duduk sendirian di bangku taman, ia melimpah segala rasa sedih yang di tahannya di dalam hati. Ia menangis hingga terisak pilu, tidak perduli, orang-orang yang melewati dengan tatapan bingung.Suara ponsel mengalihkan perhatian Diana, ia menghapus segera air matanya dan mengatur suaranya agar tidak terdengar serak."Iya halo," sahut Diana dengan nada riang yang dibuat-buat."Maaf Mbak, naskah novel yang anda ajukan satu bulan lalu, tidak bisa kami terima karena tidak sesuai dengan keinginan penerbit," terang suara seberang.Diana berusaha tegar, ia tidak berusaha untuk berdebat tentang naskahnya dan mengakhiri percakapan tersebut seadanya. "Tidak masalah, saya mengerti."Setelah mematikan ponselnya, Diana kini kem
Saat kamu pergi, tidak ada lagi kata 'baik-baik saja' di dalam hidupku.***FlashbackSore itu Lia tersenyum senang manatap layar ponselnya dengan tatapan berbinar, ia tampak sesekali melompat kegirangan."Aku akan segera menemui." ujar Lia penuh semangat. Senyum di wajahnya tampak begitu indah. Seindah langit senja kala itu.Lia sudah berjanji untuk bertemu Arka di sebuah jembatan dekat kampus, tak berapa lama, orang yang ia tunggu akhirnya datang. Lia langsung menyambut Arka dengan senyum terbaiknya."Hai sayang," sapa Lia, ia langsung mengandeng tangan Arka. Arka hanya diam, ia menatap dalam manik mata Lia. "Ada apa?" tanyanya ketus. Kemudian menepis tangan Lia begitu saja.Lia yang menyadari perubahan raut wajah Arka, merasa aneh sekal
Bagi orang lain, sifat setia adalah anugerah.Namun, bagiku itu sebuah kutukan!Adelia Arabella"Kita putus!" Kalimat itu terus tergiang dikepala cantiknya.Lia kembali meringkuk di atas kasur sambil mengomel hal yang tidak jelas.Sudah dua tahun ia putus dengan kekasihnya, yang bernama Arka namun, tetap saja ia tidak bisa melupakan lelaki tersebut.Perasaan yang masih tetap sama, cintanya masih saja setia. Seolah ruang hati Lia hanya dipenuhi oleh Arka.Ya.Hanya Arka yang tetap setia disana."Sudah berhenti merengek!" risih Diana dengan mata yang tetap fokus ke layar monitor, sementara jarinya sibuk menekan keyboard.Malam ini ia harus menyelesaikan naskahnya jika
Saat kamu pergi, tidak ada lagi kata 'baik-baik saja' di dalam hidupku.***FlashbackSore itu Lia tersenyum senang manatap layar ponselnya dengan tatapan berbinar, ia tampak sesekali melompat kegirangan."Aku akan segera menemui." ujar Lia penuh semangat. Senyum di wajahnya tampak begitu indah. Seindah langit senja kala itu.Lia sudah berjanji untuk bertemu Arka di sebuah jembatan dekat kampus, tak berapa lama, orang yang ia tunggu akhirnya datang. Lia langsung menyambut Arka dengan senyum terbaiknya."Hai sayang," sapa Lia, ia langsung mengandeng tangan Arka. Arka hanya diam, ia menatap dalam manik mata Lia. "Ada apa?" tanyanya ketus. Kemudian menepis tangan Lia begitu saja.Lia yang menyadari perubahan raut wajah Arka, merasa aneh sekal
Jika cinta datang hanya untuk menyakiti, tak bisakah ia pergi tanpa mengiris hati.***Diana duduk sendirian di bangku taman, ia melimpah segala rasa sedih yang di tahannya di dalam hati. Ia menangis hingga terisak pilu, tidak perduli, orang-orang yang melewati dengan tatapan bingung.Suara ponsel mengalihkan perhatian Diana, ia menghapus segera air matanya dan mengatur suaranya agar tidak terdengar serak."Iya halo," sahut Diana dengan nada riang yang dibuat-buat."Maaf Mbak, naskah novel yang anda ajukan satu bulan lalu, tidak bisa kami terima karena tidak sesuai dengan keinginan penerbit," terang suara seberang.Diana berusaha tegar, ia tidak berusaha untuk berdebat tentang naskahnya dan mengakhiri percakapan tersebut seadanya. "Tidak masalah, saya mengerti."Setelah mematikan ponselnya, Diana kini kem
Untuk membuat orang yang kucintai bahagia, aku tidak harus ikut bahagia bukan? ~Diana~ Diana segera ke rumah sakit begitu mengetahui bahwa Lia dan Arka di serang preman. Diana langsung berlari memeluk Lia yang ketakutan di ruang tunggu. "Lia tenanglah, Arka akan baik-baik saja." "Diana aku takut, aku takut kejadian itu terulang lagi," tutur Lia sambil terus terisak, tubuhnya masih bergetar ketakutan. "Aku ini pembawa sial Diana, aku ini pembunuh!" Diana melepas pelukan mereka kasar. "Cukup Lia! Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, kejadian itu bukan karena ulahmu, semua hanya takdir dan kamu tidak bisa menghindar." Diana memegang erat kedua tangan Lia. Ia mencoba untuk terus meyakinkan Lia bahwa apa yang terjadi memang telah di takdir kan tuhan. "Mulai hari in
Rasa khawatir di matamu, membuktikan bahwa, kamu masih begitu mencintaiku.Bisakah aku menyimpulkan begitu?~Arka~Di sisi lain, Diana kini tengah sibuk mengambil kotak P3K yang berada di lemari atas.Seseorang datang dari belakang dan mengambil kotak P3K yang sejak tadi berusaha di raih Diana.Diana sedikit terkejut, ia berbalik melihat orang yang sudah mengambil benda tersebut."Rian, kok kamu ada di sini?" tanya Diana heran, padahal sebelumnya ia yakin Rian tadi duduk di ruang tamu."Ya mau bagaimana lagi, masak aku di tinggal sendirian." tutur Rian seadanya.Sebenarnya, Diana tidak bermaksud meninggalkan Rian sendirian di ruang tamu. Namun, luka di tangannya tiba-tiba berdenyut nyeri yang membuat Diana memutuskan untuk mengobati lukanya terlebih dahulu.
Diana yang tak berhenti tersenyum sambil cengengesan tidak jelas membuat Lia merasa sedikit geli sekaligus aneh.Lia mengibaskan tangannya beberapa kali di depan wajah Diana. "Woi, kerasukan setan ya."Diana terkejut, ia menatap kesal ke arah Lia. "Enak aja, aku masih sadar tau."Sementara Lia hanya menaikan kedua bahunya acuh, tangannya mulai berselancar mengambil salah satu makanan yang telah di siapkan Diana."Aww, sakit. Kok tanganku dipukul sih." Lia sedikit meringis."Cuci tangan dulu sono!"Lia mendelik sebentar ke arah Diana, tiba-tiba muncullah ide lincik di otak cantiknya, Perut yang sudah keroncongan tidak bisa menunggu lagi, intinya Lia harus mendapat sepotong tempe goreng untuk mengganjal rasa lapar."Eh, Rian udah datang," Diana menolehkan wajahnya mengikuti arah yang di tunjuk Lia. Nihil, tidak ada siapapun di sana, hanya ada sebuah pintu yang masi
Semenjak Lia resmi menjadi pembantu, ralat maksudnya sekertaris sekaligus pembantu lebih tepatnya. Kehidupan Lia berubah 360Β°, tidak di kantor ataupun di apartemen, Arka selalu saja memerintah dirinya. Lihatlah keadaannya sekarang, sangat berantakan, rambutnya bahkan tampak sedikit acak-acakan.Ia menghampiri meja kasir untuk membayar pesanan Arka. Dengan langkah tergesa Lia segera kembali ke kantor. Jika tidak, gajinya pasti akan terancam."Dasar manusia sadis, gak punya moral, gak pake perasaan, dedemit, alien, makhluk jadi-jadian." Ya meski ia terus berjalan menuju ruangan Arka, ia tetap tidak berhenti melantunkan sumpah serapah meskipun hanya bisa ia ucapkan di dalam hati.Tanpa sengaja, Lia menabrak seseorang yang membuatnya tersungkur jatuh, namun untunglah ia masih bisa menyelamatkan bungkus plastik di tangan, agar isinya tidak tumpah."Punya mata gak sih!" Teriaknya ke arah Lia. Padahal jelas-
Cinta tidak hanya membutakan mata dan hati. Namun juga, kewarasanmu.* * *Lia kembali membenamkan wajahnya ke dalam bantal, sesekali ia merengek lalu, mengoceh tidak karuan."Kenapa lagi sih?" tanya Diana menatap aneh Lia. Padahal tadi pagi, ia dengan jelas mendengar pengakuan Lia yang sudah move on, apalagi nada bicaranya juga tampak riang. Namun, sekarang malah seperti orang yang kehilangan harapan hidup."Arka," ujar Lia tergagap."Ada apa lagi? Buang ke tong sampah sana, jangan di ingat! Kalau kata dilan tu berat, seberat status jomblo yang menahun," cerocos Diana yang sangat unfaedah dan tidak membantu sama sekali.Plak.Sebuah bantal mendarat mulus di kepala Diana, bah
Terhitung hampir satu minggu semenjak Lia melakukan semua yang tertera di SOP yang diberikan Diana, mulai dari olahraga teratur sampai menyibukkan diri dengan berkerja yang berujung masuk IGD beberapa waktu yang lalu, untunglah segala usaha yang ia lakukan kini membawakan hasil, ya meskipun tidak sepenuhnya move on namun, Lia sudah mulai bisa melupakan Arka untuk sesaat.Pagi ini setelah selesai kramas sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk, Lia meraih ponsel, menghubungi sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Diana, Lia tampak tidak sabaran untuk menceritakan hasil dari proses yang sudah ia lakukan.Sudah hampir tiga puluh menit berlalu tetapi, Lia masih begitu semangat melanjutkan obrolan, di tambah lagi hari ini adalah weekend yang artinya ia bisa menikmati jadwal libur tanpa takut dikejar waktu. Jadi, Lia bisa sepuasnya berbicara dengan Diana.Lia merasa sangat senang akhirnya ia mulai bisa berhenti mem
*Susah itu. Ketika kamu masih ingat mantan tetapi, mantan bodoh amat kamu hidup atau gak ~jlep*Setelah mencuci piring Lia berniat merebahkan tubuhnya di atas kasur namun, belum sempat bokongnya menyentuh permukaan kasur, ia sudah di tarik Diana untuk duduk."Duh, ngapain lagi sih, mau bobo cantik ini," protes Lia masam."Jangan tidur habis makan, gak baik untuk kesehatan," jelas Diana.Lia menatap Diana lama, kemudian ia memilih kembali merebahkan tubuhnya dan langsung saja di cegah Diana kembali."Iya deh, aku gak tidur dulu," ujar Lia pasrah, padahal sejak tadi ia merasa kasur tersebut telah memanggil dirinya, untuk merebahkan tubuh dengan nyaman."Oh, kasurku yang tercinta," teriak Lia dramatis. "Aku akan menunjukkan sesuatu yang membuat rasa kantukmu hilang," jelas Diana percaya diri.