Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini.
Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing.
[Ros?]
Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profil yang ia pakai, sambil mengingat wajah yang ada di sana.
[Rangga?]
[Iya, gue.]
[Tau nomorku dari mana?]
[Indi. Sibuk nggak? Gue mau minta tolong. Urgent banget!]
[Minta tolong apa?]
[Bisa ke rumah gue? Sekarang. Gue jemput deh. Atau naik ojek aja, nanti duitnya gue ganti. Buruan ya, Ros.]
[Heh? Mau ngapain? Ada apa sih?]
[Tolong cek Nin gue. Dia kenapa ini? Kesurupan atau apa? Gue video call, ya.]
Belum sempat aku menjawab, dia sudah menelponku. Tanpa ragu aku segera menggeser layar ke atas. Wajah Rangga terlihat jelas di sana. Tersenyum, sambil sesekali memperhatikan sekitarnya.
"Hehe. Maaf, ya. Ganggu. Coba kamu cek deh."
Layar ponsel berganti. Menampilkan keadaan sekitar rumahnya. Ia berjalan mendekati sebuah kamar dengan beberapa orang di dalamnya. Aku hanya diam, sambil terus memperhatikan kondisi ruangan itu, juga nenek Rangga yang sedang meracau tidak jelas menggunakan bahasa sunda, yang tidak kupahami sama sekali.
"Gimana?" tanya Rangga, berbisik. Ia lantas mundur dan mengganti layar ponsel dengan dirinya. Rangga terus berjalan dan berakhir dengan menutup pintu kamar.
"Hm. Aku belum lihat hal aneh sih tadi. Memangnya nenek kamu kenapa awalnya tadi?"
"Tiba-tiba aja gitu. Ngomel-ngomel nggak jelas, terus seolah ada temennya gitu. Kan serem. Atau cuma khayalan dia aja, ya? Biasa orang tua."
"Bisa jadi sih. Susah tapi kalau lihat di handphone."
"Jadi gimana? Kamu ke rumah?"
"Hm, iya. Ya udah kirim alamat kamu, nanti aku ke sana."
"Oke. Makasih, ya." Wajah Rangga berbinar, panggilan telepon tadi dimatikan, dan pesan Rangga tak lama masuk.
Aku segera mengganti pakaian ala kadarnya, dan memesan ojek melalui aplikasi daring.
Pukul 19.00 tepat, aku keluar dari pintu apartemen. Berjalan agak cepat melewati koridor yang selalu sepi. Ini bukan hal baru bagiku. Apalagi ini adalah weekend. Biasanya banyak penghuni apartemen yang berlibur ke luar kota, atau bahkan pulang ke kampung halamannya. Hanya aku yang selalu di sini setiap hari. Jarang berpergian dan hanya betah sendirian di dalam apartemen. Karena aku tidak punya rumah atau seseorang untuk dituju.
Lift terbuka. Ada dua orang yang berada di dalam lift, sepertinya penghuni lantai atas. Gedung ini memiliki 20 lantai. Aku berada di lantai 11.
"Lantai berapa, Mba?" tanya seorang pemuda yang berada tepat di depan pintu masuk.
"Basemen, Mas. Terima kasih."
Dia salah satu penghuni apartemen yang paling sering ku jumpai. Kamu kerap bertemu beberapa kali sejak aku tinggal di gedung ini.
"Mau ke mana malam-malam gini, Mba? Sepertinya mau hujan," katanya sambil berdiri menghadap ku.
"Mau ke rumah teman. Ada urusan mendadak. Iya, kah? Aku nggak lihat jendela tadi, mau hujan, ya?" tanyaku memastikan kembali.
"Iya. Kalau saya mau ke minimarket, sebelum hujan biasa lah, stok makanan dan minuman dulu. Kalau udah malam, malas keluar lagi."
"Iya, betul, Mas. Sama. Aku juga." Aku memperhatikan wanita paruh baya yang berdiri di sudut. Bajunya basah, hingga menggenang di lantai lift.
"Sudah hujan, ya, Bu? Ibu dari mana? Wah, repot juga kalau hujan pas berangkat nih," kataku sedikit cemas. Pemuda di samping ku menatap ibu itu dan aku bergantian. Tapi dia diam saja tak menganggap perkataanku, bahkan ibu tersebut pun sama.
Hingga saat pintu lift terbuka di basement, aku segera keluar sambil memeriksa pesanan ojek online di ponsel.
"Mba... Bareng aja. Sekalian," kata pemuda itu tergesa-gesa. Aku pun mengiyakan perkataannya dan berjalan berdampingan bersamanya, keluar. "Aku ada mobil, biar aku antar aja, ya?" katanya lagi, sambil menoleh ke belakang. Gelagatnya aneh dan mencurigakan.
"Eh, nggak usah, saya sudah pesan ojek online kok. Nggak enak kalau dibatalkan."
Saat pintu lift kembali menutup, dia menarik tanganku dan membuatku sedikit berontak.
"Kenapa sih, Mas?!" tanyaku sedikit ketus.
"Sebentar, Mba. Maaf sebelumnya. Saya nggak bermaksud kurang ajar. Cuma ... Tadi mba nanya ke siapa? Pas di lift."
"Hah? Nanya apa?"
"Yang ibu-ibu kehujanan?"
"Oh itu." Aku pun kembali menatap lift yang sudah menutup.
"Tadi ada ibu-ibu bajunya basah kuyup gitu. Jadi aku pikir memang sudah hujan, ya, di luar?"
Pemuda itu terdiam, menarik nafas dalam sambil tengak-tengok sedikit frustrasi.
"Mba, dari tadi aku masuk lift, nggak ada orang lain loh. Cuma kita berdua."
"Mas? Jangan becanda deh."
"Beneran. Serius. Lagi pula, kan lift tadi datang dari lantai atas, bukan lantai bawah. Jadi mana mungkin ada orang basah kuyup dari lantai atas. Kecuali ...." Dia kembali tengak-tengok makin ketakutan. Perasaanku mulai tidak enak melihat gelagatnya.
"Kecuali apa?"
"Gini deh. Mba ... Siapa namanya? Maaf kita belum kenalan. Padahal sering ketemu, ya."
"Oh iya, Aku Rosi." Aku mengulurkan tangan begitupun dia.
"Pram. Iya, Mba Rosi, ngomong-ngomong kemarin dengar kabar dari penghuni lantai atas nggak?"
"Kabar? Kabar apa?"
"Serius nggak tau apa-apa?"
"Iya, ada apa sih, Mas?"
"Gini, tiga hari lalu, ada mayat ditemukan di tangki air yang ada di rooftop. Kabarnya itu perempuan sudah semingguan di sana. Keluarganya udah nyari berhari-hari. Terus akhirnya kamera cctv diperiksa."
"...."
"Ibu itu terekam kamera cctv naik ke lantai atas, terus sampai ke atap. Tapi karena di sana nggak ada kamera cctv, kita semua nggak tau kenapa dia sampai ada di tangki air. Mayatnya udah bengkak, ih serem." Pram bergidik ngeri sambil memegangi tengkuknya.
"Serius?"
"Beneran. Ini berita heboh, masa kamu nggak tau?"
"Aku beneran nggak tau."
"Nah, makanya aku takut pas tadi kamu bilang seperti itu di lift. Jangan ... Jangan ... Tadi." Pram menunjuk ke lift dengan wajah ketakutan. Rasa takut Pram rupanya menjalar pada diriku. Karena aku sekarang juga ketakutan.
Suara lift terbuka membuat kami segera menoleh bersamaan. Menunggu siapa yang keluar dari sana dengan penuh rasa cemas. Jika memang apa yang diceritakan Pram benar adanya, maka wanita yang bersama kami di dalam lift tadi bukanlah manusia. Aku pun baru menyadari keanehannya setelah Pram menceritakan hal ini. Apalagi setelah kami berdua keluar, aku tidak merasakan wanita itu ikut keluar bersama kami. Itu artinya dia masih berada di dalam sana.
"Ros ... Itu apa?" tanya Pram mulai mundur perlahan. Sebuah tangan keluar dari lift, menahan pintu lift yang hendak menutup. Perlahan tapi pasti, sesuatu dengan warna hitam keluar dari dalam sana. Menempel pada pintu dan bergerak perlahan. Itu kepala. Kepala seseorang sedang tengak-tengok mencari sesuatu. Tiba-tiba dia menoleh pada kami berdua, menyeringai dan tertawa melengking. Gerakannya yang pelan tadi kini berubah lebih cepat. Dia merangkak cepat seolah tengah mengejar kami. Pram menarik tanganku dan berlari menjauh. Kami pun seperti orang gila yang menjerit sambil keluar basemen.
"Gila! Sumpah asli! Gila banget. Pertama kalinya aku lihat setan! Astaga. Kagak bakal berani pulang malam ini deh. Kamu gimana, Ros?"
"Sama. Aku juga takut walau ini bukan pertama kalinya. Astaga. Kenapa dia di lift terus sih? Terus gimana nanti aku balik ke atas. Ya ampun."
"Harus minta antar, Ros. Biar aman. Soalnya kalau ramai-ramai dia sepertinya nggak banyak tingkah. Dan rasanya dia nggak akan keluar dari lift deh. Nggak akan jauh-jauh dari lift."
"Kok gitu?"
"Kabarnya, dulu anaknya juga pernah meninggal terjepit lift. Masih bayi. Astaga. Mungkin nggak sih, dia stres dan bunuh diri? Spekulasi penghuni apartemen gitu soalnya."
"Itu kejadian kapan?"
"Tiga tahun lalu. Kayaknya kamu belum tinggal di sini deh."
"Oh iya bener. Aku baru satu tahun di sini."
Ide Pram masuk akal juga. Akhirnya kami berpisah jalan ketika ojek online pesanan ku datang. Pram yang hendak naik mobil awalnya, terpaksa ikut memesan ojek online dan pergi ke rumah sanak keluarganya, karena takut kalau harus pulang ke apartemennya. Tapi aku? Harus ke mana nanti.
Pikiranku masih berkecamuk seputar sosok ibu apartemen. Aku yakin tidak akan bisa tidur nyenyak malam ini, apalagi setelah teror lift tadi. Tanpa terasa, aku sudah sampai di sebuah rumah dengan nomor yang sesuai dengan alamat yang Rangga kirim.
"Terima kasih, Pak."
Pintu rumah di depanku segera dibuka, padahal aku baru saja mengeluarkan ponsel.
"Eh ada tamu. Mari masuk. Maaf sudah lama menunggu, ya? Pasti macet," sindir Rangga sambil membuka pintu gerbang rumahnya.
"Iya, ada si komo lewat."
"Oh ya? Wah, imajinasi penulis memang jempolan deh. Yuk, masuk."
Aku mengikuti Rangga masuk ke dalam rumahnya. Halamannya cukup asri karena ada beberapa tanaman serta pohon di depan rumah. Ada juga pohon kelapa bak gapura pengganti patung selamat datang yang menjuntai hingga atas pintu gerbang besi yang sudah berkarat. Suara gerbang itu berderit nyaring jika digerakkan, menandakan umur yang tak muda lagi rupanya. Mungkin hampir sama dengan umur Rangga sekarang, atau bahkan lebih dari itu. Cukup rindang hingga ada beberapa bagian gelap di halaman rumah, dan saat hendak masuk ke dalam tadi, aku melihat sekelebat pria di lantai atas. Bukan genderuwo atau semacamnya, tapi hanya sosok pria saja.
"Ma ... Ada tamu nih." Dia terus berjalan ke dalam, melewati ruang tamu dengan kursi kayu yang dihiasi bantal tipis untuk duduk serta penyangga punggung. "Ayok, masuk aja. Semua orang di dalam. Tadi gue udah cerita ke Mama kok kamu mau datang." Rangga menoleh dengan tetap berjalan pelan ke bagian dalam rumah ini. Aku pun hanya mengikutinya sambil memperhatikan tiap ruangan yang kami lewati tadi.
"Di atas. Kamar semua di atas," tunjuk Rangga sambil berpegangan pada pagar tangga yang akan membawa kami ke lantai atas.
"Berapa orang yang tinggal di sini?"
"Banyak. Tiga generasi deh. Gue, orang tua gue, sama kakek nenek."
"Kamu punya saudara laki-laki?" tanyaku terus memperhatikan bagian rumah ini lebih dalam lagi.
"Enggak, gue anak tunggal. Kenapa?"
"Oh. Eum, nggak apa-apa."
Kami sampai di lantai atas, suara riuh berada di salah satu kamar dengan pintu yang terbuka. "Itu di sana. Ini kamar gue, itu kamar orang tua, nah di sana kamar kakek nenek gue. Coba cek gih."
"Kamu pikir aku dukun apa?"
"Lah bukan, ya? Kirain selain sebagai penulis, profesi kamu dukun juga," guraunya. Makin lama kami makin mendekati kamar kakek neneknya. Seorang pria yang kutebak Ayah Rangga berdiri di depan pintu, menoleh dan menaikkan kedua alis ke atas pada putranya. "Teman Rangga, Pa. Mau nengok Nin."
"Oh, silakan masuk," kata Papa Rangga, ramah. Bahkan menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang bagiku.
"Permisi, Om." Aku sedikit membungkukkan badan, melewatinya. Berusaha bersikap sopan dengan adat ketimuran. Kami berdua masuk ke kamar Nenek Rangga. Di sana ada Mamanya Rangga sedang membacakan ayat suci Al Quran. Kakek Rangga duduk di kursi santai dekat jendela, hanya memandangi sang istri yang terkadang memarahinya sambil menunjuk dengan sangat kesal.
"Ma, ini teman Rangga. Pengen lihat kondisi Nin," kata Rangga memberikan ku ruang agar aku mendekat. Ibu Rangga hanya menoleh lalu tersenyum dan mengangguk. Mulutnya tidak berhenti mengumandangkan doa-doa dengan masih memakai peralatan salat.
Aku masih berdiri di tempatku, memperhatikan sekeliling dengan seksama. Sejauh yang aku lihat tidak ada hal aneh yang menonjol. Memang ada sosok-sosok yang kulihat saat masuk ke rumah ini. Hanya saja tidak ada yang mengganggu Nenek.
"Gimana?"
"Hm." Aku bergumam masih berusaha mencari celah untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Jika ini memang bukan karena hal tak kasat mata, mungkin karena penyakit tua yang diderita sang Nenek. Itu spekulasi terakhir yang akan aku ucapkan. Tapi sampai detik ini aku belum berani memberikan komentar apa pun.
"Apa mungkin karena udah tua, ya? Kan biasanya banyak orang tua yang suka gitu?" bisik Rangga yang berdiri di samping ku.
"Mungkin juga. Tapi ... Ada yang aneh memang. Cuma aku belum tau apa." Kini aku mendekat duduk di dekat Ibu Rangga.
"Maaf, ya, merepotkan." Ibu Rangga menghentikan doa yang ia panjatkan.
"Enggak apa-apa, tante. Eum nenek sering seperti ini?"
"Kadang-kadang. Nin itu sering punya imajinasi sendiri. Kadang bilang dia punya teman, atau dia mau berangkat sekolah. Bahkan manggil saya saja Mama. Padahal kan saya menantunya. Lucu, kan? Mungkin sudah tua," jelas Ibu Rangga dengan senyum tipis yang menyejukkan hati.
"Kemungkinan sih begitu, tante," sahutku. Pandanganku beralih ke Nenek. Dia tiba-tiba menatapku tanpa sepatah kata pun.
"Kamu jangan nakal, ya, sama Fifi. Dia temanku. Awas, ya!" Nenek terlihat marah padaku. Padahal aku tidak tau siapa Fifi.
"Oh enggak kok, Nin. Saya nggak nakal sama Fifi. Memangnya Nin teman Fifi, ya?" tanyaku mencoba ikut larut dalam permainan Nenek.
"Iya. Fifi itu temanku. Cuma dia yang nggak pernah pergi. Dia yang selalu menemani aku. Jadi jangan kamu bawa Fifi pergi," katanya lagi sambil menarik tanganku sedikit kasar.
Aku tersenyum, mencoba menggenggam tangan Nenek. "Iya. Rosi nggak akan ganggu Fifi. Tapi ... Fifi mana, Nin? Kok Rosi nggak lihat, ya?" tanyaku sambil tengak-tengok.
Nenek ikut mencari keberadaan teman khayalannya itu. Tiba-tiba tatapannya berhenti ke pintu kamar yang terbuka, di mana Ayah Rangga berdiri di sana. Nenek mendekat padaku dan berbisik.
"Fifi takut sama itu," tunjuknya ke arah pintu.
"Itu? Itu kan, anak Nin?" tanyaku. Ayah Rangga sedikit salah tingkah, namun berusaha tetap tenang.
"Mana? Aku belum punya anak! Bukan orang itu, tapi yang itu!" kembali Nenek berbisik dan menunjuk dengan takut. Aku diam dan memperhatikan arah yang beliau tunjuk. Saat aku menyipitkan mata, ada sepasang mata merah yang sedang mengintip di celah engsel pintu.
"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan. "Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana. "Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain. "Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.
"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab. "Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya." Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja. Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi. Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu. "Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"
Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana
"Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"
Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi. Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam. "Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.
Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi. "Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen. "Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut. Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat. "Astaga! Lu kenapa bisa di sini?" "Ndi ... Indi ... Are you oke?" "Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan." Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu. .
"Satpam itu sudah masuk ke DPO polisi. Lu gimana? Udah tenang? Katanya kita bisa balik sekarang," tutur Rangga. Aku hanya duduk di ruang tunggu, jaket milik Rangga menutupi sebagian tubuhku. Sampai subuh, kami berada di kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Aku masih takut untuk pulang. "Sorry, ya." "Kenapa?" "Elu malah nemenin gue di sini, seharusnya kan bisa langsung pulang tadi habis antar Om." "Nggak apa-apa. Lagian mana tega gue ninggalin elu di sini sendirian. Mau balik sekarang apa minggu depan nih? Gue udah ngantuk banget," jelas Rangga sesekali menguap. Pernyataan ku tentang kejadian di apartemen mendapat respon yang baik. Aku pikir polisi akan menganggap kesaksian ku mengada-ada, tapi ternyata satpam yang baru kutau namanya Roy itu, sudah beberapa kali keluar masuk penjara karena narkoba. Dia bahkan pernah menjadi bandar Sabu saat masi
"Elu mau pindah nih? Beneran?" tanya Mey, menyeruput cokelat hangat yang tadi dia buat bersama Nita. Selesai makan, kami ngobrol santai sambil membahas rencana selanjutnya. Roy, ternyata tidak terbukti bersalah. Tidak ada saksi atau bukti yang menunjukkan keterlibatan Pak Roy atas kematian Bu Lia. Tidak dapat dipungkiri kalau Pak Roy masih mengkonsumsi narkoba, tapi dia tidak sampai masuk jeruji besi. Dia hanya diwajibkan lapor setiap beberapa hari sekali, sambil menunggu tahap untuk rehabilitasi. "Jadilah. Nggak bisa hidup tenang gue di sini. Udah teror hantu belum selesai, eh ini ada lagi. Makhluk yang lebih mengerikan ketimbang hantu. Gue takut, gaes. Ya ampun," ucapku sambil menyapu wajah. "Bener sih, Ros. Parah banget sih kalau terus menerus diteror gini," tukas Nita. "Terus kalian udah ada info belum, apartemen yang murah?" "Kalau yang dibawah dua juta belum ada, Ros. Semua di a
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be