Peti mati sudah siap di tengah rumah duka. Jenazah Lili sudah didandani dengan apik, hingga ia tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Lili juga mengenakan gaun putih yang hampir mirip seperti pakaian terakhir yang ia kenakan, saat mayatnya ditemukan. Mataku sembab, sekaligus menahan kantuk yang teramat sangat. Semalam bukan malam terbaik bagiku, setidaknya bukan malam terburuk juga, karena aku sering mengalaminya. Hanya saja sudah agak lama sejak kejadian terakhir kali aku diganggu oleh 'mereka'.
Hanya duduk di barisan kursi panjang bagian belakang, memperhatikan lalu lalang keluarga dan kenalan Lili datang melayat. Aku mulai muak melihat tingkah Ramon. Dia menangis dengan hebat, seperti orang yang sangat berduka. Bagi semua orang pastilah wajar melihat sikap Ramon sekarang. Dua minggu lagi mereka akan menikah, namun mempelai wanita justru berada di peti mati sekarang. Tapi itu tidak berlaku bagiku.
"Yang tabah, ya. Tuhan lebih sayang Lili." Begitulah kalimat yang kudengar saat orang terakhir dari keluarga Lili menyalami Ramon. Menyampaikan perasaan berduka akibat kepergian wanita mungil tersebut. Sementara itu, di sisi peti mati, ruh Lili berdiri di sana. Masih memakai gaun pernikahan robek, basah, serta wajah yang tidak secerah mayat di depannya. Lili terus menatap tajam Ramon, penuh kebencian dan dendam.
"Yah, aku tau perasaanmu, Li. Entah apa aku harus bahagia atau sedih dengan keadaanmu sekarang. Yang jelas, Tuhan memang lebih sayang kamu," gumamku sambil menunduk, memperhatikan flat shoes hitam senada dengan warna pakaian yang kukenakan.
Gerakan kaki yang kubuat sama, memutar searah jarum jam, mendadak kuhentikan. Ketika sepasang kaki berdiri di depanku. Sepasang kaki yang sama bentuknya, seperti yang kulihat di toko buku kemarin. Sudah jelas siapa pemiliknya. Hanya saja kali ini, tubuhku tidak membeku. Dengan perlahan aku mendongak, agar dapat melihat wajah Lili dari dekat. Lili menatapku nanar, bibirnya bergetar menahan tangis.
Kamu harus beritahu orang tuaku, Ros, seperti apa kelakuan Ramon sebenarnya.
Aku tengak tengok saat kalimat itu terdengar nyaring. Padahal bibir Lili, yang kupikir adalah pemilik suara ini, terus menutup. Aku menatap Lili sambil sesekali memperhatikan sekitar. Berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau suara yang kudengar memang berasal dari sosok di depanku sekarang.
Ros, bantu aku. Kamu nggak boleh diam saja!
Aku menarik nafas panjang. Bergumam untuk menanggapi perkataannya. "Li, ini bukan urusanku. Lagi pula, kalian nggak akan menikah, jadi Ramon nggak akan mendapatkan apa yang dia mau!" bisikan suaraku, sengaja ku tekankan tiap kata. Agar sosok Lili mendengar dengan jelas.
Semalaman dia terus muncul. Baik saat aku memejamkan mata, maupun membuka mata. Semua gambaran kejadian sebelum Lili terbunuh ditunjukan padaku. Ramon memang brengsek. Dia tidak mencintai Lili dengan setulus hati. Semua hanya karena kekuasaan, harta, dan tentu jabatan. Tentu ini bukan urusanku. Aku tidak ingin ikut campur masalah orang lain, lagi.
Jadi kamu mau aku terus datang? Kamu sahabatku, kan, Ros? Kamu tau bagaimana perasaanku. Aku nggak akan tenang, Ros, kalau Ramon tidak dihentikan.
"Dihentikan? Memangnya apa yang bakal dia lakuin sih? Dia udah nggak bisa sakitin kamu dan keluarga kamu lagi, kan?"
"Rosi!" bahuku ditepuk hingga aku menjerit.
"Astaga! Mey! Ngagetin aja!" pekikku. Wanita itu segera mendaratkan bokong nya di samping ku, sementara Lili langsung pergi. Aku tengak tengok mencari keberadaannya, karena sangat yakin kalau Lili tidak akan pergi jauh dari tempat ini.
"Heh! Cari siapa sih? Malah bengong!" Mey kembali membuat perhatianku buyar.
"Ssst! Diam dulu!"
"Apaan?!"
"Lili!"
"Hah? Lili di sini?" tanyanya ikut heboh dan bertingkah sama sepertiku. Tengak tengok mencari hal yang tidak bisa ia lihat.
"Gaya lu! Kayak bisa lihat aja!" ujarku memukul kepalanya pelan.
"Lah iya, ya? Kan gue nggak bisa lihat. Ngapa ikut heboh gue! Eh tapi, Lili ada pesan terakhir gitu, Ros? Atau dia ada bilang apa ke elu? Pasti dia gentayangin elu, ya?"
Aku menghentikan pencarianku, dan menatap Mey serius. "Bingung gue, Mey. Gue harus gimana?" Akhirnya aku menceritakan semua yang kulihat dan alami kemarin. Mey hanya geleng-geleng kepala sambil mengepalkan tangan, menatap benci ke Ramon.
"Dasar laki bajingan! Licik! Gila sih, nggak nyangka gue kalau Ramon brengsek juga!"
"Sama. Gue bingung harus gimana, kalau gue cerita hal ini ke keluarga Lili, apa mereka percaya? Yang ada gue disangka gila!"
"Iya juga sih, Ros. Terus gimana rencana lu?"
Aku mengangkat kedua bahu lalu menarik nafas kasar. Sejurus dengan hal itu, sosok wanita yang kulihat dalam penglihatan semalam justru muncul. Berjalan dengan santai di antara pelayat yang hadir. Bahkan dia dan Ramon saling bersalaman seolah tidak mengenal satu sama lain. Mama Lili memeluk wanita muda itu sambil berderai air mata.
"Mey, itu cewek siapa? Kok gue baru lihat, dan kayaknya akrab sama tante Dahlia."
"Itu? Hm, gue juga baru lihat, siapa ya? Memangnya kenapa?"
Belum sempat kami membahas hal ini, ada sepasang orang tua sebaya dengan tante Dahlia dan Om Roy berjalan di belakang wanita tadi. Melihat gelagatnya, aku yakin mereka adalah orang tua wanita itu, dan sepertinya sangat dekat dengan keluarga Lili.
"Mey, lu tau nggak, kalau itu cewek yang gue lihat semalam."
"Cewek yang mana?"
"Astaga, Mey! Cewek yang di tunjukin Lili di mimpi gue!" jelas ku sedikit kesal.
"Cewek yang di tunjukin Lili? Maksud elu ... Cewek yang selingkuh sama Ramon! Gitu, kah?" Kedua mata Mey membulat sempurna, semangatnya berkobar saat menyadari hal tersebut. Aku hanya mengangguk, dan kini rasanya aku tidak ingin hanya berpangku tangan saja melihat salah satu temanku meninggal dengan cara tragis. Aku beranjak, membuat Mey terus memanggilku. Bahkan kini dia menarik tanganku.
"Mau ngapain sih?"
"Lihat aja."
"Ros! Rosi! Jangan gila lu!" jerit Mey dengan berbisik.
Langkahku mulai mendekat ke keluarga Lili, Ramon dan wanita jalang tadi. Sosok Lili yang kini berdiri di sudut ruangan, hanya menatapku sambil tersenyum getir. Aku mengangguk padanya, seolah memberitahukan padanya kalau keinginan Lili akan kupenuhi.
"Tante?" sapa ku pada mama Lili. Tante Dahlia terisak menatapku, lalu menarik tubuhku agar berada dalam pelukannya. Aku menyambut tante Dahlia dengan ikut terbawa suasana. Sejak datang tadi, aku memang belum menyapa orang tua Lili. Karena melihat pelayat yang terus berdatangan, membuat mereka sibuk.
"Maafkan Lili, ya, Rosi. Kalau dia pernah berbuat salah ke kamu. Lili ... Astaga, kenapa ini terjadi sekarang. Padahal sebentar lagi dia akan menikah."
"Iya, tante. Rosi maafkan, lagipula Lili itu orang baik, jarang menyakiti orang. Tuhan memang lebih sayang Lili, tante. Setidaknya dia nggak sampai jatuh ke tangan laki-laki bajingan ini!" kataku datar, sambil menatap Ramon yang berdiri di samping tante Dahlia.
Semua orang terkejut mendengar perkataanku, Ramon bahkan sampai melotot.
"Maksud kamu apa, sayang?" tanya tante Dahlia yang memang tidak mengerti maksud dari perkataanku.
"Eh, Ros! Jangan sembarang lu kalau ngomong!" tukas Ramon, kesal.
"Sembarang lu bilang? Yakin? Oh iya, sembarangan karena nggak ada orang yang tau busuknya elu, kan, maksudnya?" tanyaku yang kini sudah berdiri di hadapan Ramon.
"Ros? Ada apa ini?" tanya Om Roy.
"Om, tante. Asal Om sama Tante tau, ya, kalau dia!" tunjukku pada pria brengsek di depan, "sudah mengkhianati Lili selama ini!"
"Maksud kamu?" tante Dahlia mulai tertarik pada perkataanku.
"Ros, jangan mengacau! Ini pemakaman Lili! Jangan ngomong yang macam-macam. Gue tau, kita semua berduka karena kepergian Lili, tapi elu harus tetap waras, Ros!" Ramon berusaha menarik tanganku. Namun aku tepis kasar.
"Om, tante, saya nggak gila atau mengacau. Saya sayang Lili, makanya saya mau kasih tau yang sebenarnya."
"Apa yang sebenarnya mau kamu katakan?" Om Roy terlihat kebingungan di tengah wajah sedih dan terpukul yang tampak jelas itu.
"Ramon selingkuh dari Lili, Om. Ramon selingkuh sama perempuan itu!" kataku dengan menunjuk wanita yang berdiri tak jauh dari kami. Dia terkejut, sama seperti Ramon. Begitu juga semua orang.
"Eh jangan asal nuduh sembarang elu, ya! Apa buktinya! Elu itu cuma memperkeruh keadaan, Ros! Keterlaluan lu, kurang baik apa Lili selama ini sama elu, hah! Dia yang selalu belain elu, dia yang selalu support elu, bahkan saat semua orang hina elu aja, dia yang belain elu. Kok bisa-bisanya elu malah mempermalukan dia di hari pemakamannya? Elu ngomong gitu nggak mikir? Apa kata orang di sini? Elu sama aja mempermalukan Lili! Punya otak nggak sih lu?" Ramon emosi bahkan menunjuk keningku dengan jari telunjuknya, mendorongku agar kasar walau tidak sampai jatuh. Mey mendekat, menahan beban tubuhku yang hendak roboh.
"Emang dasar, bajingan lu, Ram. Harusnya Rosi yang ngomong gitu. Kurang baik apa Lili ke elu? Hah? Apa aja dia lakuin buat elu!"
"Eh, Mey, jangan ikut campur juga lu! Minggir! Itu janda emang suka banget cari sensasi. Dia itu emang pembawa sial, lihat aja, kan? Tiap orang yang dekat sama dia bakal celaka. Jadi lebih baik elu hati-hati Mey!"
"Heh! Jaga mulut lu, ya! Sembarangan lu kalau ngomong!" Mey makin emosi.
Dunia terasa hening perlahan. Membuatku ingin segera pergi dari kerumunan orang di sekitar. Entah mengapa kalimat Ramon sangat menusuk hatiku sekarang. Perdebatan Mey dan Ramon terus berlanjut, membuat kerumunan makin banyak dan banyak. Aku justru perlahan mundur dan pergi dari sana.
Gedung yang dingin sejuk tadi berganti suasana panas dan riuh suara kendaraan lalu lalang. Aku menoleh sesaat sebelum berjalan makin jauh dari rumah duka. Beberapa tetes air jatuh dari pelupuk mata, dan langsung kusapu cepat. Aku mempercepat langkah, berjalan di sepanjang trotoar sambil mencari penjual minuman dingin. Yah, aku kehausan.
"Pak, es teh satu, ya," pintaku pada sebuah pedagang kaki lima dengan tenda yang cukup besar.
"Baik, Mba. Silakan duduk dulu."
Aku menempatkan diri duduk di kursi panjang yang paling sepi. Ternyata kedai ini juga menjual makanan. Lebih tepatnya warteg, dan cukup ramai. Melihat aneka lauk di etalase kaca, membuat cacing di perutku bergerilya. Bahkan bunyinya cukup nyaring kudengar.
"Udah, sana. Pesen makan. Kasian itu binatang peliharaannya belum di kasih makan," kata seseorang yang duduk di samping ku. Aku yang awalnya duduk dengan posisi membelakanginya, kemudian menoleh. "Loh, elu!"
"Iya gue," sahutnya masih fokus pada makanan di hadapannya. Cumi cabai hijau dengan gorengan ditambah es teh manis terlihat menggiurkan.
"Siapa, ya? Namanya. Lupa," tukasku sambil melebarkan bibir.
"Dasar. Masih muda, udah pikun. Kenalin lagi, gue Rangga. Tanpa Cinta, ya." Dia mengulurkan tangan kanan sebagai simbol perkenalan, yang tidak dilakukan sebelumnya. Mungkin ini adalah perkenalan resmi kami. Aku menyambutnya dan menyebutkan namaku serta. "Udah tau." Rangga kembali fokus pada makan siangnya.
"Lagi ngapain di sini?" tanyaku heran.
"Ya makanlah. Masa joging?"
Aku memperhatikan penampilannya, dia terlihat rapi dengan kemeja serta celana hitam berbahan kain, dilengkapi sepatu pantovel hitam.
"Situ sendiri ngapain di sini? Siapa yang mati?" tanyanya, dan lagi-lagi mengagetkanku.
"Kok tau? Aku lagi takziah?"
"Ya iyalah, kan baru aja elu keluar dari situ. Pakai baju item-item lagi. Ya kali mau dugem." Kalimatnya sering terdengar menyebalkan, tapi entah mengapa aku justru ingin tertawa saat mendengar dia berbicara.
"Iya, temenku meninggal. Elu lagi kerja? Kerja di mana sih? Kok bisa makan di sini?" aku menunjuk pakaiannya yang formal, tidak seperti kemarin yang hanya mengenakan kaus, celana jeans belel, ditutup jaket. Sederhana.
"Di sana. Pabrik itu tuh. Cuma gue di bagian office, jadi nggak pakai seragam."
Aku mengangguk paham. Masih memperhatikan dia makan.
"Makan? Laper, kan? Habis nangis pasti laper, udah buang energi banyak. Gih, pesen. Tapi bayar sendiri. Gue cuma nyuruh."
"Cih, dasar." Aku pun beranjak dan memesan makanan juga yang sama sepertinya.
"Ye, samaan. Dasar tukang fotokopi." dia menyeruput es teh manis dengan suara berisik.
"Biarin. Bebas." Makanan serta minum ku sudah tersaji. Aku segera makan, tanpa ada obrolan lagi dengan Rangga.
"Kata Nita, elu bisa lihat setan, ya?" Itu adalah kalimat pertama setelah beberapa menit berlalu, tentu setelah makan siang Rangga tandas.
"Ah, gosip." Aku masih mengunyah makanan di dalam mulut. Nafsu makan ku sedang baik sekali sepertinya, padahal baru saja aku mengalami hari yang buruk. Tapi setelah melihat Rangga makan dengan lahap, entah mengapa aku menjadi sangat ingin makan.
"Terus itu novel-novel situ, dapat inspirasi dari mana?"
"Emangnya udah baca?"
"Belum sih? Wahahaha."
"Huuu!"
Rangga mengeluarkan rokok dari saku kemeja. Menyulutnya dan tak lama asap keluar dari hidung dan mulut. Tatapannya lurus ke rumah duka, tempat peristirahatan terakhir Lili. Entah apa yang dia pikirkan, karena dia banyak diam setelahnya.
"Alhamdulillah. Kenyang juga. Tumben banget aku ngerasain lapar. Biasanya jarang banget bisa makan yang enak gini, apalagi habis ribut kayak tadi," gumamku.
"Elu manusia apa setan? Nggak ngerasain lapar? Kebanyakan nulis setan sih, jadi ketularan," timpalnya.
"Ih, asapnya, Rangga!" Tangan kukibas di depan wajah, sekaligus menutupi hidung dengan jari telunjuk dan ibu jari.
"Eh, maaf maaf." Ia menjentikkan jari dan puntung rokok yang masih setengah pun terlempar jauh.
Akhirnya makanan ku pun habis. Tapi tiba-tiba petir menyambar, langit berubah gelap, dan perlahan rintik hujan turun.
"Yah, hujan." Kami mengucapkan kalimat itu bersamaan, dan berakhir dengan saling pandang kemudian tertawa kecil.
"Kayaknya kita sehati deh," ujarnya.
"Halah. Apaan!"
"Becanda."
Hening.
Rintik hujan perlahan mulai deras. Bahkan kini disertai angin kencang. Membuat kami berdua terpaku dan hanya menatap fenomena alam yang memang sering terjadi belakangan ini.
"Kamu masuk kerja jam berapa, Ngga? Telat dong, hujan gini?"
"Iya. Telat. Harusnya sekarang udah masuk nih. Udah habis jam istirahat ku. Tapi nanti deh, paling juga banyak yang telat."
Aku mengangguk menanggapinya, menatap wajahnya sekilas dari jarak dekat.
"Kamu sendiri nggak balik ke situ? Bukannya acaranya belum selesai?"
"Hm. Malas ah. Urusanku sudah selesai. Sebentar lagi mereka mau ke inti acara. Udah beda keyakinan sama aku. Yang penting udah datang, kan?"
"Iya sih. Eh, kok ada mobil polisi?" Kami berdua sama-sama terkejut saat dua mobil polisi masuk ke halaman gedung di depan kami.
"Mungkin mau takziah juga."
"Oh gitu. Takziah kok mirip orang mau nangkap penjahat. Pakai ada sirine segala," gumam Rangga.
Benar juga
Belum selesai kami membahas hal ini, ada jeritan yang cukup kencang dari gedung tersebut. Beberapa orang heboh berlarian keluar gedung, tak peduli hujan yang deras. Aku menyipitkan mata, dan memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi.
"Itu orang kenapa? Sedih? Apa kesurupan?" tanya Rangga menunjuk seorang pria yang menjerit tadi. Dia terlihat ketakutan dan membuat orang- orang di sekitarnya cemas. Aku beranjak dengan ekspresi tak percaya. Bukan karena penasaran dengan apa yang terjadi di sana, melainkan pada sosok yang sedang berada di punggung pria itu. Yah, Ramon. Dan di punggungnya ada Lili.
"Astaga! Lili! Ngapain!"
"Lili? Bukannya yang meninggal namanya Lili?" tanya Rangga menunjuk buket bunga besar dengan nama panjang Lili di depan gerbang.
"Iya." Saat hendak melangkah keluar warung makan ini, tangan ku di tahan Rangga. Aku pun menoleh, dan menatapnya heran. "Kenapa?"
"Hujan ih! Mau ngapain?"
"Tolongin Ramon. Bahaya banget itu. Lili marah!"
"Hah? Maksud kamu, Lili ... Setannya? Di sana ada dia gitu?"
"Iya, di punggung Ramon." Aku berusaha melepaskan tangan Rangga. Namun dia justru makin mempererat genggamannya.
"Tunggu! Bentar. Pinjem payung dulu." Rangga beranjak mendekati pemilik warung lalu kembali dengan sebuah payung. "Yuk, gue temenin."
Panggilan kami kadang berubah-ubah. Dari elu gue, atau kamu aku. Aneh sekali memang.
Rangga menuntunku menyeberang, beberapa kali ia juga melambaikan tangan pada mobil yang hendak menerobos. Hingga akhirnya kami berhasil sampai ke seberang.
Ramon berteriak di bawah hujan lebat. Tidak ada yang berani mendekatinya. Ramon terus menoleh ke belakang, dan menjerit histeris. Ia terus meminta maaf dan mengakui semua yang sudah dia lakukan pada Lili.
"Ros, gue telepon polisi." Mey mendekat pada kami, melirik Rangga namun tidak memperdulikan keberadaannya.
"Hah? Ngapain?"
"Ternyata bener kata elu, Ramon yang nabrak Lili sampai masuk jurang. Ada saksi. Jadi laporan gue langsung ditindak lanjuti."
"Serius?"
Mey mengangguk semangat. "Ini siapa?"
"Rangga." Baik aku dan Rangga hanya memperhatikan Ramon yang seperti orang kesetanan.
"Jadi dia yang bunuh cewek ini? Gila sih," ujar Rangga tetap memegang payung, berdiri di samping ku.
"Iya, dan yang dia bunuh sekarang nggak akan lepasin dia," kataku sambil menatap tajam Lili, di atas bahu Ramon.
K
Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini. Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing. [Ros?] Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profi
"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan. "Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana. "Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain. "Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.
"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab. "Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya." Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja. Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi. Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu. "Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"
Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana
"Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"
Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi. Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam. "Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.
Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi. "Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen. "Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut. Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat. "Astaga! Lu kenapa bisa di sini?" "Ndi ... Indi ... Are you oke?" "Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan." Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu. .
"Satpam itu sudah masuk ke DPO polisi. Lu gimana? Udah tenang? Katanya kita bisa balik sekarang," tutur Rangga. Aku hanya duduk di ruang tunggu, jaket milik Rangga menutupi sebagian tubuhku. Sampai subuh, kami berada di kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Aku masih takut untuk pulang. "Sorry, ya." "Kenapa?" "Elu malah nemenin gue di sini, seharusnya kan bisa langsung pulang tadi habis antar Om." "Nggak apa-apa. Lagian mana tega gue ninggalin elu di sini sendirian. Mau balik sekarang apa minggu depan nih? Gue udah ngantuk banget," jelas Rangga sesekali menguap. Pernyataan ku tentang kejadian di apartemen mendapat respon yang baik. Aku pikir polisi akan menganggap kesaksian ku mengada-ada, tapi ternyata satpam yang baru kutau namanya Roy itu, sudah beberapa kali keluar masuk penjara karena narkoba. Dia bahkan pernah menjadi bandar Sabu saat masi
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be