Home / Horor / Mirror : Death Note / 1. Kematian Lili

Share

Mirror : Death Note
Mirror : Death Note
Author: Osi oktariska

1. Kematian Lili

Author: Osi oktariska
last update Last Updated: 2021-05-02 14:34:03

Aroma buku bagai sebuah candu. Seratnya, barisan kata di dalamnya, seolah nadi dan nafas untukku. Aku sangat menyukai jika berada di sini, di tempat di mana aku dikelilingi oleh benda persegi aneka warna dan kaligrafi indah di sampulnya. Setiap Sabtu, inilah yang kulakukan. Sebuah jadwal rutin setiap akhir pekan. Melepas penat setelah berkutat dengan tulisan dalam novelku sendiri.

Fiksi.

Urutan judul buku di depan sudah bergeser karena ada beberapa buku baru di rak. Aku yakin kalau keberadaan ku di sini akan menjadi lebih lama dari minggu lalu. Aku harus menyeleksi tiap buku untuk menentukan bagian buku yang ingin ku baca lebih dulu. Tentu saja dengan membelinya, apalagi sampul buku ini masih tersegel rapi di dalam sebuah plastik bening. Dengan kamera CCTV yang berada di tiap sudut ruangan, membuatku tidak mungkin merobek plastik ini dan membacanya dalam sekali duduk. Buku-buku ini tebal, tapi aku mampu membacanya dalam semalam.

J. Miles, Beneath the Saphire eye's. Sebuah novel fantasi yang cukup menarik bagiku. Apalagi ternyata penulisnya adalah orang Indonesia. Pasti bahasanya lebih mudah kumengerti ketimbang novel terjemahan luar negeri. Sekalipun sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi tetap saja tidak semudah mencerna novel asli Indonesia. Blurb di belakang novel membuatku yakin untuk membeli buku satu ini. Sangat menarik, pikirku.

Kaki jenjang ini kembali melangkah ke samping, netra hanya tertuju pada barisan novel dengan tema fantasi, misteri, maupun horor di depan. Lorong ini adalah kesukaanku. Karena ini adalah genre yang paling aku sukai, sekaligus genre yang mudah kutulis. Entah mengapa aku bukan tipe penulis romantis, atau adegan dewasa seperti kebanyakan teman sesama penulis. Aku lebih mahir dalam mengekspresikan gambaran setan, iblis dan kejadian mengerikan yang dialami tokoh ceritaku. Novel pertamaku laku keras di pasaran, mengangkat tema seorang gadis indigo dengan kehidupan sehari-harinya. Sangat klasik, namun disukai banyak orang. Mereka bilang kisah yang kutulis bagai sebuah kisah nyata yang memang dialami seseorang. Namun aku, tetap mengatakan kalau itu semua adalah karangan ku saja.

Dalam keheningan di toko buku ini, ada tetesan air yang membuatku menoleh, dan mencari sumber suara tersebut. Tetesan air yang perlahan itu justru membuat perhatianku teralih. Kedua bola mata langsung tertuju pada AC di sudut kanan, aku yakin kalau air tersebut berasal dari AC yang bocor. Yah, air dari mana lagi.

Toko buku ini memang selalu hening. Tidak banyak orang yang suka pada buku dan aku yakin toko baju di sebelah justru lebih ramai. Namun suasana di sini biasanya tidak sehening ini. Walau tidak ramai pengunjung, tapi ada lantunan musik yang membuat pengunjung santai dan makin betah. Hanya saja kali ini aku tidak dapat mendengar alunan musik apa pun, bahkan pelayan toko yang biasa lalu lalang menata rak buku, tidak terlihat.

Aku melirik jam di pergelangan tangan, sambil menarik nafas dalam, merasa tidak nyaman dengan keadaan ini. "Hm, jam makan siang, pantas aja sepi." Aku kembali hanyut dalam novel kedua. Sebuah novel dengan tema fallen angel membuatku sedikit tertarik, teringat akan novel yang kutulis sebelumnya, yang juga mengangkat tema yang sama. Aku putuskan mengambil novel ini juga, karena ingin membaca kisah malaikat terbuang versi barat, yang biasanya lebih rinci dan dalam. Walau biasanya akan merujuk pada satu agama tertentu. Tapi pembahasan ini cukup menarik bagiku.

Tetesan air tadi makin deras kudengar. Bukan hanya setetes dua tetes dalam lima detik, tapi seperti kain basah yang diperas dengan kasar, aku cemas jika lantai akan basah dan membahayakan pengunjung lainnya.

"Mba ... Mas? Ac-nya bocor, ya?" jeritku sambil menatap ke sudut toko, di mana kasir berada di sana. Namun tidak ada sahutan. Bahkan tidak ada seorangpun yang duduk di kursi kasir sana. Makin lama aku merasa aneh dengan ruangan ini, aku merasa seorang diri di sini.

Ke mana semua orang?

"Mba? Mas?" Kembali aku memanggil karyawan toko, siapa tau panggilan kali ini dapat mereka dengar. Atau mungkin mereka telah kembali dari makan siang.

"Ke mana sih mereka? Kalau toko di rampok, gimana coba?!" gerutuku kesal. Alhasil aku melupakan novel ketiga yang hendak aku ambil tadi, dan mencari suara kucuran air yang sejak tadi mengganggu telinga. Aku mulai tidak nyaman.

Langkah ku hentikan di depan AC yang kucurigai sebagai sumber bising nya air. Aku mendongak dan menatap bagian bawah, tepatnya belakang rak buku. Namun tidak ada tanda-tanda genangan air atau tetesan air seperti yang kuduga sejak tadi.

"Kok nggak ada airnya? AC nya kan cuma ini aja di sini, suara airnya juga jelas banget aku denger tadi. Masa sih bukan AC ini? Atau aku salah denger, ya?" tanyaku berbicara pada diri sendiri. "Ah, nggak mungkin salah!" aku kembali menepis keraguan dengan keyakinan. Apalagi air tadi masih jelas kudengar sampai sekarang. Aku kembali menajamkan pendengaran, mencari di mana asal muasal kucuran air yang mengusikku sejak tadi. Rasa penasaran juga mendominasi, bahkan aku melupakan buku yang sudah kupilih tadi, walau masih kudekap dalam dada. Satu persatu lorong aku periksa, hanya ada deretan novel yang tersusun rapi. Hingga saat sampai pada lorong yang paling ujung, dekat tangga yang berada di luar toko. Toko buku ini memang berada di sebuah Mall besar, walau ukuran toko ini kecil, aku yakin biaya sewanya tidak murah.

Kakiku berhenti, tepat di depan genangan air. Air di depanku berwarna keruh kekuningan, namun anehnya ada aliran air lagi yang datang. Makin lama warna air itu berubah hitam dan terlihat kotor. Bahkan sedikit bau. Aku jongkok untuk melihat sumber datangnya air tersebut. Rak novel yang tersusun rapi, memiliki jarak satu jengkal di antara tiap rak-nya. Dari celah rak paling bawah, aku melihat sepasang kaki. Tanpa alas kaki. Kaki tersebut terlihat kotor dan pucat. Berdiri di belakang rak, menempel di tembok. Jantungku berdegup lebih cepat. Tanganku mulai gemetaran, berkali-kali aku menelan Saliva agar mudah untuk berteriak nantinya. Karena aku yakin sepasang kaki yang bersembunyi di belakang rak itu, bukanlah manusia. Anehnya yang seharusnya aku berdiri, atau bahkan lari, justru hanya diam di tempatku. Aku tetap berada pada posisiku semula. Jongkok, dengan pandangan menatap ke sudut tersebut. Tubuhku makin kaku, ketika otakku mulai berpikir untuk lari. Seolah-olah sosok di sana melarangku pergi meninggalkannya.

"Jangan ganggu! Jangan ganggu." Kalimat itu terus ku ucapkan dalam hati, tapi sosok tadi justru mulai bergerak. Kakinya melangkah maju, menembus rak di depannya. Aku yakin, dia hendak mendekat. Entah kenapa mereka selalu berlaku hal sama, di saat aku ingin mereka pergi, mereka justru mendekat. Tubuhku makin menegang, bahkan kedua bola mataku tidak dapat terpejam, sekalipun aku sangat ingin.

Kini sepasang kaki tadi, sudah berdiri di depanku. Tetesan air yang kudengar sejak tadi berasal dari pakaiannya yang basah. Namun, warna pakaian itu terlihat belum pudar. Kepalaku yang tadinya menunduk, dituntun untuk mendongak untuk menatapnya. Itu semua di luar kendaliku. Dengan bibir bergetar aku mulai melihat tubuhnya. Gaun yang ia pakai seperti gaun pernikahan, model yang masih terbilang baru, dengan dominan warna putih dengan bahan brukat. Gaun itu menjuntai panjang, walau tidak sampai menutup seluruh kakinya. Karena ada robekan kasar sebatas lutut. Aku yakin, gaun ini adalah sebuah gaun pengantin yang panjang dan indah.

"Rosi?"

Aku kembali menelan Saliva, saat ia menyebut namaku. Tatapanku mulai beralih ke wajah sosok wanita tersebut. Aku tersentak, karena ternyata aku mengenal siapa dia. "Li ... Lili?!" suaraku terbata-bata. Bayanganku seolah terserat pada kejadian terakhir pertemuan ku dengan Lili. Itu adalah tiga hari lalu, dia datang dengan wajah berbinar membawa undangan pernikahan. Dua minggu lagi dia akan menikah dengan kekasihnya, Ramon. Semua terlihat sempurna, tapi mengapa dia di sini sekarang. Dengan keadaan tanpa raga.

"Ka ... Kamu kenapa?" Sekalipun dia salah satu temanku, tapi tetap saja terlihat menakutkan dengan keadaannya sekarang.

"Ros, tolong. Tolong aku, Ros," kata Lili dengan terisak. Dia menutup wajahnya, menangis.

"Li, apa yang terjadi?" Pertanyaan yang sama kuulangi, ingin segera mendapat penjelasan Lili. Aku penasaran apa yang terjadi padanya, kenapa dia meninggal dengan pakaian seperti ini, dan kondisinya. Mengenaskan. Ada beberapa luka di bagian tubuhnya. Semua tersamarkan karena basah tubuhnya.

Lili hanya menangis, makin menyayat hati. Sementara aku terus menanyakan hal serupa. Tiba-tiba tangisannya berhenti. Aku dapat memundurkan tubuhku walau sedikit. Sikapnya aneh. Dalam beberapa detik saja, wajah Lili berada tepat di depanku. Aku menjerit sambil menutup wajah. Cukup aneh karena tiba-tiba aku mampu bergerak kembali. Walau belum kuat untuk berlari.

"Mba ... Mba ... Kenapa?" tepukan di bahu membuatku melepaskan tangan yang sejak tadi menutupi wajah. Di sampingku sudah ada seorang wanita dengan seragam toko buku ini. Di belakangnya juga ada seorang pria dengan pakaian yang sama. Mereka karyawan toko buku yang minggu lalu kulihat, menatapku dengan ekspresi kebingungan. Aku kembali menoleh ke depan, dan sosok Lili sudah hilang. Tetapi genangan air tersebut masih ada.

"Loh, ada yang bocor nih, Vit!" seru pegawai wanita di samping ku.

"Eh iya. Mba terpeleset, ya? Astaga! Maaf, ya. Biar aku ambil lap pel dulu, Na." Dia bergegas pergi ke meninggalkan kami berdua.

"Mba ... ada yang luka?"

Aku menggeleng. Lalu berdiri dibantu olehnya. "Nggak apa-apa kok. Cuma jatuh aja," elakku berusaha setenang mungkin.

"Maaf sekali lagi ya, Mba. Aneh juga kok tiba-tiba ada air di sini, ya," gumamnya sambil memeriksa sekitar.

"Mungkin ... Ada pipa yang bocor, mba," jelas ku terdengar masuk akal. "Oh ya, saya beli novel ini." Dua buah novel yang masih kudekap, segera kuberikan padanya.

_______

Masih berada di gedung bertingkat ini, kini aku memilih sebuah coffe break yang biasa ku datangi setelah selesai berbelanja buku. Segera menuju kasir untuk memesan sekaligus membayar. Karena beginilah sistem di tempat ini.

"Baik, silakan ditunggu pesanannya, Kak. Aduh, maaf mejanya masih penuh. Sebentar kami siapa meja dulu, ya, kak." Wanita dengan topi hitam khas cafe tersenyum ramah padaku lalu mengisyaratkan temannya untuk bergerak.

"Ros! Rosi!" jerit sebuah suara yang sangat familiar di telinga. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok yang sepertinya mengenalku, dan sebuah lambaian tangan membuatku segera mengenali nya. "Indi?" Dia tersenyum lebar dengan tangan terus bergerak, menyuruhku mendekat.

"Kak, saya duduk di sana saja."

Indi tidak sendirian, ada Nita juga. Tapi rupanya aku salah memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Karena di meja mereka cukup banyak orang. Namun aku tetap mendekat, sekedar basa basi sejenak sambil mencari meja yang bisa kutempati.

"Belanja?" tanya Indi begitu aku mendekat. Kami segera melakukan salam pertemuan khas wanita. Saling menempelkan pipi kanan kiri bergantian. Indi segera menebak karena melihat kantung plastik di tanganku.

"Iya, biasa, asupan seorang penulis." aku mengangkat novel buruanku sejajar dengan bahu kami.

"Beli apa lu?" tanyanya segera mengambil alih kantung plastik tersebut.

"Duduk dulu, Mak," Nita menyapa sambil menarik sebuah kursi di sampingnya.

"Eh iya, nanti aja. Biar gue cari meja lain aja. Kalian lagi 'ini', kan?" tanyaku dengan pertanyaan yang patut dipertanyakan kejelasannya.

"Santai kita kok, sini ah! Meja nya penuh semua tuh. Sini aja udah!" paksa Nita. Alhasil tubuhku pasrah dibawa duduk berada di sampingnya. Sementara Indi masih sibuk memeriksa novel yang kubeli tadi, Nita dengan lancar memperkenalkan empat orang di hadapan kami, yang baru kutau kalau mereka adalah teman kampus Nita dan Indi dulu.

"Itu Nanda, Najwa pacarnya Nanda, terus Rangga, tanpa cinta. Hahaha. Sama Fahri. Kebetulan kita ketemu tadi di depan, jadi sekalian reuni kecil-kecilan deh," jelas Nita.

"Hai." hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Tentu dengan segaris senyum tipis yang berusaha kulakukan dengan tulus.

"Guys, ini temen gue, Rosi. Dia ini penulis novel terkenal loh," bisik Nita seolah hal ini adalah rahasia. Seperti memperkenalkan spiderman tanpa kostum ke sekumpulan kenalannya. Terkesan aneh bagiku. Aku segera menyikut Nita dan mengelak halus. "Amatir, Nit."

"Amatir apa? Tenang aja, sebentar lagi novel lu bakal best seller, Ros. Novel lu bagus tau. Suka merendah deh!" tambah Nita.

"Ros, ini gue udah baca nih. Bagus nih, malah mau keluar lagi seri keduanya," tukas Indi menunjukkan novel fantasi dengan membeberkan warna mata yang memiliki kemampuan supranatural.

"Oh ya? Gue baru lihat tadi, minggu lalu nggak ada padahal."

"Rosi? Oh penulis novel yang kemarin elu pinjemin ke gue, Nit?" tanya seorang pria berkaca mata yang duduk di depan kami.

"Nah iya, itu novel dia. Gimana? Elu udah beres baca, Ngga?"

"Belum. Wahaha. Lagi suka baca cerita dewasa sih gue sekarang. Horor, ya? Novel situ?" tanyanya lagi, menunjukku.

"Iya horor."

"Ada buka-bukaannya nggak?"

"Ada. Pas kuntinya pakai gaun seksi," sahutku asal.

"Yee, itu sih nggak seksi. Serem iya!"

"Lagian Rangga selera nya mah yang gitu-gitu. Dasar laki mesum!" kelakar Indi dengan melempar onion ring di depannya.

"Mungkin kalau udah ada 'cinta' berubah, ya?" gurauku dengan menekankan kata cinta tadi.

"Yah, Mba, dia itu trauma pacaran. Sekarang kan homo tuh," ejek Fahri.

Rupanya mereka tidak seburuk itu, semua mengalir dengan ringan seolah kami sudah lama saling mengenal.

Ponselku bergetar, nama yang tertera pada layar membuatku tidak segera menerimanya. Entah mengapa aku langsung teringat pada Lili.

"Ros, nggak diangkat? Siapa sih?" tanya Nita sambil ikut melihat layar ponselku. "Mey? Kenapa nggak diangkat? Kalian berantem?"

"Hm, enggak kok. Cuma ... Takut."

"Takut apa?"

"Kabar yang bakal dia kasih ke gue."

"Maksud elo?"

"Gue ... Gue tadi lihat 'itu' lagi."

"Itu? Maksud elo, setan?" tanya Nita makin serius. Otomatis kelima orang di sekitar kami ikut fokus pada obrolan kami berdua.

"Hah? Setan di mana?" Indi ikut penasaran dan menanyakan pertanyaan beruntun layaknya wartawan.

Aku menekan kepala, bertumpu pada meja dengan kopi milikku tepat di bawah wajahku. Aroma kopi ini cukup menenangkan untuk ku menceritakan kejadian tadi.

"Hah! Serius lu? Lili?! Lili yang bokap nya anggota dewan itu, kan?" tanya Indi heboh.

"Yang cowoknya juga anak anggota dewan juga?"

Aku hanya menanggapi pertanyaan mereka dengan anggukan. Namun, sekelebat bayangan membuat perhatianku teralih sejenak. Koridor di luar cafe ini, menampilkan sosok yang sedang kami bicarakan. Berjalan dengan kondisi sama seperti yang kulihat tadi, basah, pucat dan mengerikan. Melewati koridor sambil terus menatap meja kami tanpa mengedipkan mata. Aku ikut terbawa suasana, terus menatapnya tanpa peduli panggilan mereka di sekitar ku.

"Astaga, Ros! Iya! Itu, kan? Dia lewat?" tanya Indi berusaha tidak terlihat takut. Indi memang sedikit peka sama sepertiku. Salah satu alasan aku berteman dengannya karena kesamaan ini. Setidaknya jika bersamanya aku tidak gila sendirian saat melihat sosok seperti tadi.

Kugeser layar ponsel tanpa menatapnya. Dering panggilan Mey sangat mengganggu, dan dia tidak akan berhenti sampai aku mengangkat telepon darinya.

"Ya Mey? Kenapa?"

"Ros ... Lili, Ros!"

"Aku tau."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Anni Zakiyani
baru tau kalo kak osi udh mulai nulis lagi...seneng bgt bacanya...rindu ceritanya...n penasaran sama cerita di sebelah yg masih ngegantung... semangat kak osi...ditunggu selalu ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mirror : Death Note   2.Ramon

    Peti mati sudah siap di tengah rumah duka. Jenazah Lili sudah didandani dengan apik, hingga ia tidak terlihat seperti orang yang sudah meninggal. Lili juga mengenakan gaun putih yang hampir mirip seperti pakaian terakhir yang ia kenakan, saat mayatnya ditemukan. Mataku sembab, sekaligus menahan kantuk yang teramat sangat. Semalam bukan malam terbaik bagiku, setidaknya bukan malam terburuk juga, karena aku sering mengalaminya. Hanya saja sudah agak lama sejak kejadian terakhir kali aku diganggu oleh 'mereka'. Hanya duduk di barisan kursi panjang bagian belakang, memperhatikan lalu lalang keluarga dan kenalan Lili datang melayat. Aku mulai muak melihat tingkah Ramon. Dia menangis dengan hebat, seperti orang yang sangat berduka. Bagi semua orang pastilah wajar melihat sikap Ramon sekarang. Dua minggu lagi mereka akan menikah, namun mempelai wanita justru berada di peti mati sekarang. Tapi itu tidak berlaku bagiku. "Yang ta

    Last Updated : 2021-05-02
  • Mirror : Death Note   3. Rangga calling

    Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini. Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing. [Ros?] Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profi

    Last Updated : 2021-05-02
  • Mirror : Death Note   4. Penghuni rumah Rangga

    "Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan. "Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana. "Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain. "Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.

    Last Updated : 2021-05-07
  • Mirror : Death Note   5. Apartemen

    "Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab. "Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya." Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja. Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi. Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu. "Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"

    Last Updated : 2021-05-18
  • Mirror : Death Note   6. Teror

    Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana

    Last Updated : 2021-05-22
  • Mirror : Death Note   7. Bang Cen

    "Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"

    Last Updated : 2021-06-07
  • Mirror : Death Note   8. Teror penghuni apartemen

    Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi. Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam. "Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.

    Last Updated : 2021-06-20
  • Mirror : Death Note   9. Di balik tabir

    Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi. "Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen. "Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut. Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat. "Astaga! Lu kenapa bisa di sini?" "Ndi ... Indi ... Are you oke?" "Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan." Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu. .

    Last Updated : 2021-06-26

Latest chapter

  • Mirror : Death Note   64. Lamaran

    Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi

  • Mirror : Death Note   63. Selamat jalan, sahabat.

    Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah

  • Mirror : Death Note   62. Teror di rumah Rizal

    "Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat

  • Mirror : Death Note   61. Bukan manusia

    Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t

  • Mirror : Death Note   60. Salah Paham

    "Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet

  • Mirror : Death Note   59. Gladis

    "Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus

  • Mirror : Death Note   58. Wanita bunuh diri

    Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita

  • Mirror : Death Note   57. Tinggal bersama

    Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,

  • Mirror : Death Note   56. Papaku mantan gengster

    "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status