Share

5. Apartemen

Author: Osi oktariska
last update Last Updated: 2021-05-18 16:28:58

"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab.

"Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya."

Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja.

Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi.

Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu.

"Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"

"Cerai. Aku pernah nikah dua kali, dan semua gagal." Lemari di dapur kubuka, menyiapkan beberapa bahan yang sudah ku beli sebelumnya.

"Wow. Terus anak-anak ikut bapaknya?"

"Enggak. Anak-anakku meninggal. Karena kecelakaan."

"Oh sorry." Rangga meletakkan pigura itu ke tempat semula. Ia kini berjalan menyusuri tiap sudut apartemen milikku. "Enak juga, ya. Tinggal di sini, pemandangannya bagus dari atas. Pasti ini spot kamu nulis, ya?" tanyanya menunjuk sisi ruangan yang kubuat sendiri dengan meja kecil dan bean bag berbentuk bulat. Tentu ada laptop di sana, dan itu sangat mudah ditebak oleh semua orang, kalau di sana lah tempatku menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan.

"Ih pinter," kataku masih sibuk dengan memasak.

"Sejak kapan kamu tinggal di sini?" Rangga kini mendekat dan duduk di kursi depan meja makan. Aku yang berada di sisi seberang terlihat seperti seorang chef yang sedang memasak untuk pelanggannya dengan life show.

"Baru setahun lebih lah. Sejak aku cerai sama mantan suami."

"Oh," sahut Rangga mengangguk-angguk. Masih memperhatikan ruangan ini. "Terus kamu bisa lihat setan sejak kapan?"

"Eum, kapan, ya?" aku mulai mencoba mengingat hal tersebut, menghentikan aktifitas ku sejenak. "Kalau tepatnya ga ingat, yang jelas sejak aku mulai nulis horor. Aku mulai sering lihat hal-hal itu. Bahkan kadang aku sering nggak bisa membedakan mana manusia, mana makhluk gaib."

"Serius? Masa nggak bisa dibedain? Bukannya setan itu serem, ya?"

"Kata siapa? Memangnya kamu pernah lihat?"

"Ya belum sih, itu di film-film? Kan serem. Makanya orang-orang takut, kamu juga tadi di lift."

"Hehe. Ya ada yang serem, ada juga yang biasa aja sih. Kalau serem sih udah jelas, ya. Tapi kadang yang aku lihat justru sama seperti kita. Bahkan sering aku ajak ngobrol. Sadar-sadar kalau orang-orang mulai melihatku aneh. Atau kalau aku bercermin."

"Bercermin?"

"Iya. Mereka nggak akan bisa bohong di cermin. Jadi walau bentuk mereka bagus di sini, penampilan asli mereka bakal terlihat di cermin. Itu yang tadi aku lihat tentang Fifi."

"Fifi nya Nin?"

"Iya. Dia terlihat di cermin, walau samar."

"Wah, bisa begitu, ya."

"Nah, makanannya sudah siap. Yuk, kita makan."

_______

Aku sudah menyiapkan mangkuk mangkuk kecil untuk lauk yang ku masak tadi. Ada salad dingin yang memang sudah kubuat kemarin, biasanya kujadikan stok camilan setiap hari. Tumis kangkung, nugget, lalu tumis udang lada hitam, ditambah kimchi kemasan. Entah kenapa aku memasak menu cukup banyak kali ini. Padahal biasanya aku hanya makan satu menu saja.

"Ini apa?"

"Kimchi."

"Wah, ala ala Korea makan malam kita kali ini, ya."

Suap demi suap masuk ke mulut dengan lahap. Diselingi dengan obrolan ringan serta saling menanyakan kehidupan masing-masing.

"Jadi kamu cerai karena anak-anak kamu meninggal?"

"Iya, mungkin memang semua salahku. Aku yang bikin mereka celaka, jadi aku pantas diperlakukan seperti ini."

"Tapi, kan, kamu nggak sengaja. Banyak loh, Ros, kecelakaan karena pengemudi melihat hal-hal gaib. Kaget, terus banting stir, dan itulah yang berbahaya."

"Tetap aja, kan, Rangga. Kalau aku yang menyebabkan kecelakaan itu. Seharusnya aku nggak usah ajak anak-anak pergi malam itu. Kalau pun aku harus pergi dari rumah, seharusnya aku pergi sendiri."

"Ros, pergi dari sebuah hubungan toxic itu juga bukan kesalahan. Kamu cuma pas sial aja, harus lewat sana dan ketemu setan itu."

"Hm, iya, aku memang sial. Atau pembawa sial?"

"Eh, nggak ada manusia pembawa sial. Yang ngomong begitu udah pasti sirik. Mirip kasus si Komo, tuh. Sukanya melimpahkan kesalahan ke orang lain. Tuh, kan, apa kata gue! Bener, kan, spekulasi gue tadi. Rangga gitu loh!" katanya sambil membetulkan rambut.

"Spekulasi? Tentang si Komo?"

"Iya dong."

"Astaga!" Aku menghabiskan makanan dengan lebih cepat. Obrolan kami makin dalam dan lama, sehingga makanan tidak lagi hangat.

Jeritan di koridor luar membuat kami segera menatap ke pintu. Ada seorang pria yang sedang menjerit di luar sana. Dia seperti ketakutan. Aku pun berdiri, segera menuju pintu. Rangga mengikuti ku, meninggalkan makanan yang belum habis sepenuhnya.

Saat pintu terbuka, tidak ada orang lain di luar. Aku bahkan sampai keluar pintu dan memeriksa sekitar. Koridor ini sangat sepi. Rangga ikut keluar dan sama bingungnya sepertiku.

"Aneh. Perasaan tadi ada orang minta tolong. Apa mungkin udah masuk, ya?" tanyanya terdengar masuk akal.

"Ya sudah, masuk yuk. Habiskan makanan kamu. Udah malam," ajakku.

"Jadi ceritanya ngusir?"

"Ya enggak ih!"

"Hahaha. Iya, tenang aja, Ros. Gue juga udah pengen pulang. Ngantuk," ujarnya.

Lauk yang tinggal sedikit segera Rangga makan. Dia terlihat lahap sekali. Entah lapar atau enak mungkin keduanya. Jam menunjukkan pukul 23.45 Rangga sudah memakai jaketnya dan segera berpamitan.

"Aku balik, ya, kamu nggak apa-apa, kan, aku tinggal?"

"Eum, nggak apa-apa. Terima kasih, ya. Kamu hati-hati di jalan. Udah malam. Jangan lewat jalan sepi. Takut ada begal."

"Siap." Aku mengantarnya sampai pintu. Dia lalu melambaikan tangan dan mengucapkan salam. Tidak segera menutup pintu, justru aku menunggu dia masuk ke lift. Rangga tidak lagi menoleh sampai akhirnya lift terbuka dan dia masuk ke sana. Sebelum pintu itu menutup, Rangga tersenyum padaku.

Cekikikan anak kecil membuat suasana bahagia yang masih kurasakan, lenyap begitu saja. Aku segera menoleh ke belakang, menatap koridor lantai 11 ini dengan tatapan waspada. Sepengetahuanku, di lantai ini tidak ada penghuni yang memiliki anak kecil. Bahkan sampai dua lantai di atasku.

Aku menekan tengkuk, lalu saat hendak masuk, pintu lift yang sebelah terbuka. Memang ada dua lift di gedung ini, hanya saja lift yang satu masih sedang perbaikan, sehingga selama sebulan terakhir hanya satu lift yang digunakan oleh kami. Penasaran, aku lantas menunggu siapa yang muncul dari sana. Sembari memastikan kalau lift tersebut sudah bisa digunakan kembali. Sebuah tangan keluar dari sana, sadar akan sesuatu yang aneh, aku segera masuk dan mengunci pintu. Tangan tadi, mirip seperti sosok yang kulihat tadi bersama Pram. Tangan yang sama dan aku yakin sosok yang sama.

Masih bergeming dari tempatku berdiri. Menunggu apakah dia benar-benar sosok wanita tadi atau bukan. Tiba-tiba ponsel di genggamanku berdering, dengan gugup segera ku geser layar sambil sesekali menatap ke pintu yang berada di belakangku.

"Ya halo?" tanyaku sambil berbisik.

"Rosi? Ini gue, Pram. Elu di mana?" tanya suara lantang di seberang.

"Hah? Kok tau nomor gue?"

"Gue tanya satpam. Gue lagi di pos satpam, elu belum balik, kan? nggak di apartemen sekarang?"

"Memangnya kenapa Pram?"

"Tadi gue ditelepon satpam, kalau di kamar gue ada keributan. Pas gue balik dan cek, ternyata kamar gue berantakan. Padahal nggak ada orang masuk setelah gue pergi tadi. Gue yakin kalau dia masuk ke kamar gue, dan tiba-tiba dia muncul. Gue dilempar ke tembok. Untung ada satpam yang nemuin gue! Sepertinya dia mau mencelakakan gue, dan takutnya dia juga melakukan hal yang sama ke elu, Ros. Untung aja sih, kalau elu belum balik. Jangan pulang dulu, bahaya! Soalnya ...."

Hening.

"Halo? Pram?" Saat aku menatap layar ponsel, rupanya benda pipih tersebut mati, kehabisan daya. "Oh, sial!"

Pintu diketuk dari luar. Pelan dengan ritme yang tidak biasa. Kalau manusia yang mengetuk, akan menimbulkan ritme yang cepat dan teratur. Sementara ini, tidak seperti orang-orang yang selama ini mengetuk pintu. Pelan bahkan terkesan sangat pelan, dan, jarak ketukan pertama ke ketukan kedua, cukup lama. Lalu biasanya, orang akan menekan bel, bukan mengetuk pintu.

Aku mendekat, berusaha tidak menimbulkan suara sedikitpun. Mengintip ke door viewer. Di sana tidak terlihat satu pun manusia. Bahkan koridor terlihat sepi seperti biasanya. Namun ketukan pintu kembali terdengar. Aku pun beralih ke key hole. Saat mengintip dari lubang pintu, aku melotot sambil menutup mulut. Pantas saja dia tidak terlihat dari door viewer, karena dia tidak berdiri. Melainkan duduk di lantai. Tangannya terus di angkat ke atas, dan mengetuk pelan. Sosok itu, sama seperti yang aku lihat bersama Pram, dan sosok yang sama seperti yang ada di lift tadi bersama Rangga. Tapi kenapa dia duduk di lantai. Tidak mendapat tanggapan dariku, dia berhenti mengetuk. Tapi kini pintu kamarku terdengar seperti sedang digaruk oleh kuku tajam.

Tiba-tiba dari lubang kunci, dia balik menatapku tajam. Seolah tau kalau sedang diperhatikan dari tempat tersebut. Ia menyeringai, tangannya berusaha menggapai handle pintu. Aku takut, namun masih bisa mengendalikan situasi. Karena yakin, kalau pintu sudah terkunci jadi dia tidak akan bisa masuk ke dalam. Walau sebenarnya logika ku berkata, tidak ada yang bisa menghalanginya masuk ke dalam sini. Dia adalah makhluk halus, bukan pencuri.

Gagang pintu bergerak lambat, kemudian sangat cepat. Sosok di luar sana tidak sabar untuk masuk ke dalam. Aku mundur, sampai-sampai jatuh terjungkal. Tombol kunci terdengar ditekan. Jantungku berdebar sangat cepat. Kini aku berusaha bergerak mundur. Berusaha menarik tubuhku agar bergerak menjauh dari pintu. Ketakutan ku makin memuncak. Cepat atau lambat dia pasti akan masuk. Beberapa kali ia salah menekan sandi masuk apartemen ku. Tapi sedetik kemudian, justru pintu ini dapat dibuka tanpa paksaan.

Tubuhku lemas, apalagi saat melihat sosok di luar yang kini terpampang jelas di depan mata. Dia masih mengesot di lantai, menyeringai lalu tertawa cekikikan. Aku benar-benar ketakutan. Wanita itu mulai bergerak, menyeret tubuhnya masuk ke dalam. Kupikir ada yang salah dengan kakinya, tapi rupanya aku salah. Karena kakinya baik-baik saja. Kini dia justru mulai berdiri dengan tegak. Wajahnya tertutup rambut yang panjang terurai. Tapi sorot matanya tajam dan menakutkan.

"Mau apa kamu? Pergi!" kataku dengan lirih.

"Aku mau ... Kamu," sahutnya dengan suara yang membuat bulu kudukku meremang.

"Pergi. Tolong," tukasku, lalu membalikkan badan, berjalan merangkak. Tubuhku terasa lemas, sehingga serasa sulit untuk berdiri bahkan berlari. Tanganku berusaha meraih kaki meja makan. Dengan kepayahan aku menarik tubuhku dengan mendekat ke meja.

Dia berjalan pelan mendekati ku, terdengar tetesan air yang cukup deras di lantai. Semua berasal dari tubuhnya yang sangat basah itu. Aku berhasil sampai di bawah meja. Berusaha duduk dan bersembunyi dengan tertutupi taplak meja yang menjuntai sampai setengah, walau tidak menutup seluruhnya, namun setidaknya aku tidak melihatnya dengan jelas sekarang.

Tiba-tiba suasana sekitar ku menjadi terang, dentuman keras membuatku menjerit ketakutan. Meja di atasku melayang, hancur terlempar ke tembok. "Tolong!" jeritku berusaha sekencang mungkin berteriak. Aku menutup mata dengan kedua telapak tangan, namun dari sela-sela ruas jari, dapat kulihat sosok itu mendekat dan terus mendekat. Aku kembali merangkak menjauh, tapi kakiku dicengkeram kuat, tubuhku ringan terlempar ke tembok.

Sakit. Sungguh menyakitkan, sampai-sampai aku tidak bisa mengeluh dan menangis lagi. Mulutku terasa asin dan lengket. Saat kuseka ternyata ada darah kental keluar dari mulutku.

"Astagfirulloh! Rosi!" Mataku samar melihat seseorang masuk ke dalam. Dari suara yang kudengar, dia sepertinya Rangga. Atau aku hanya berhalusinasi. Tapi sosok wanita tadi tidak ada di apartemenku lagi.

"Rosi! Ros! Kamu kenapa? Rosi?! Hei!" Pipiku ditepuk cukup keras, aku mengerjapkan mata. Berusaha melihat pria di hadapanku ini. Apakah benar dia Rangga atau aku sedang mengigau karena hantaman keras tadi.

"Rang ... Rangga?"

"Iya, gue. Kamu kenapa? Astaga. Kok berantakan gini? Ada pencuri? Hah? Kamu terluka? Astaga. Kita ke rumah sakit, ya?" kata Rangga cemas. Belum sempat aku menjawab, beberapa orang juga menyusul masuk ke dalam.

"Astaga, Ros!" Kini Pram yang masuk, tapi dia tidak sendiri. Dari seragam nya aku yakin dia satpam apartemen ini. "Elu siapa?" tanya Pram.

"Gue temen Rosi. Tolong. Ada pencuri masuk sepertinya. Rosi terluka," jelas Rangga. Aku menahan tangan Rangga lalu menggeleng.

"Bukan pencuri," kataku berusaha menjelaskan dengan tubuh masih lemah.

"Hah? Terus? Siapa?"

"Pasti setan perempuan tadi," tebak Pram, yakin. "Gue pikir elu nggak di apartemen. Kenapa nggak bilang dari gue telpon tadi, Ros. Untung elu nggak kenapa-kenapa." Pram mendekat dan memeriksa kondisiku.

"Setan perempuan?" tanya Rangga bingung.

"Iya. Karena kamar gue juga hampir sama seperti ini keadaannya. Satu lagi, pintu! Goresan pintu itu sama seperti pintu gue. Bekas cakaran! Sama persis!" tunjuk Pram ke pintu depan. Aku baru sadar kalau cakaran di pintu dari sosok wanita tadi meninggalkan bekas.

"Ros? Kamu nggak apa-apa, kan? Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Gue pesenin taksi." Rangga masih memegangi tubuhku yang lemah, bersiap mengangkat ku pergi ke rumah sakit.

"Nggak usah, Rangga. Aku baik-baik aja. Kamu kok balik lagi?"

"Iya, handphone ku ketinggalan. Untung belum jauh, jadi aku bisa puter balik," jelasnya menatapku lekat-lekat.

"Kotak obat mana?" tanya Pram.

Aku menggeleng. Satpam apartemen memeriksa kondisi kamarku. Bahkan sampai ke jendela luar dan semua sudut ruangan. Memastikan sosok tadi benar-benar lenyap, atau mungkin aku dan Pram dianggap gila.

"Ya sudah. Gue ambil di kamar gue, kebetulan ada stok obat. Bisa buat mengurangi rasa sakit." Pram segera pergi.

"Maaf, mba Rosi, kerusakan hanya ada di ruangan ini saja. Saya sudah periksa dan tidak ada siapapun bahkan di kamar. Nanti saya suruh orang membersihkan apartemen anda. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Saya permisi. Saya harus memeriksa tempat lain."

"Terima kasih, Pak."

"Aku pindahin ke sofa, ya." Rangga mengangkat tubuhku dengan mudahnya dan membaringkan ku di sofa.

"Makasih, ya."

Dia duduk di dekatku, menatapku iba. "Butuh sesuatu? Minum? Atau apa pun itu."

"Hm, iya, tolong ambilin minum, ya. Tenggorokanku kering."

"Oke. Sebentar."

Rangga kembali lagi dengan segelas air putih. Dia terus menatapku tanpa berkata apa pun lagi, bahkan keadaan di sekitar tak luput dari pengamatannya. Aku yakin dia tidak percaya perkataan Pram tadi. Dan aku pun tidak ingin menjelaskan secara terperinci, itu hak Rangga. Percaya atau tidak dengan penjelasan Pram. Karena aku pun akan mengatakan hal yang sama seperti Pram.

Pram kembali dengan sekotak obat. Dia hanya memberikan salep oles untuk luka lebam di tangan dan kakiku. Lalu obat untuk mengurangi rasa sakit.

"Sebaiknya elu jangan di sini dulu, Ros. Atau setidaknya elu jangan di sini sendirian. Ajak teman menginap saja biar lebih aman. Karena dia nggak akan bergerak agresif kalau ada orang lain di dekat kita," jelasnya sambil melirik ke Rangga. "Kalau gitu gue permisi dulu. Take care, Ros."

"Thanks, Pram."

Aku meneguk seluruh obat yang Pram rekomendasikan. Aku baru tau kalau ternyata Pram pernah bekerja sebagai apoteker. Jadi dia tau berbagai macam obat.

"Hand phone kamu di mana?"

"Oh iya itu hand phone nya," kata Rangga kemudian beranjak dan meraih benda pipih yang tergeletak di nakas dekat jendela. Ia kembali duduk di dekatku.

Kami saling membisu selama beberapa menit. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam.

"Rangga ...."

"Iya? Kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya memeriksa wajah serta tangan dan kakiku.

"Bukan. Tapi, udah malam. Kamu nggak pulang?"

"Oh, jadi ngusir lagi?"

"Dasar baperan kamu!" kataku sambil mencubit pinggangnya.

"Hehe. Hm, gimana kalau gue nginap saja malam ini? Nggak tega rasanya ninggalin kamu sendirian dengan kondisi kamu yang seperti ini. Apalagi itu cowok tadi seakan nyuruh gue nginap sini."

Aku tersenyum tipis.

"Memangnya nggak apa-apa?"

"Loh, memangnya kenapa?"

"Aku nggak enak sama kamu. Kita bahkan baru kenal, tapi aku udah merepotkan kamu gini."

"Halah, dramatis banget sih. Gue itu asal ada bantal sama selimut, bisa tidur di mana aja, Ros. Lagian udah malam banget, pasti gerbang rumah udah dikunci Mama. Gue nggak bawa kunci rumah."

"Oh gitu. Hm, makasih, ya."

"Santai aja. Ya udah, sana tidur. Gue tidur sini aja."

Related chapters

  • Mirror : Death Note   6. Teror

    Hujan terus mengguyur sejak subuh tadi. Aku makin bergelung dalam selimut, enggan beranjak walau perut sudah keroncongan. Cuaca dingin agaknya membuat kasur terasa nyaman untuk beberapa waktu ke depan. Jam sudah menunjukkan pukul 06.00, sekali pun aku masih ingin tidur, tapi mata enggan terpejam lagi. Apalagi setelah alarm yang terus berdering tiap 5 menit sekali. Tubuh terasa kaku, namun semalam aku tidur nyenyak, sehingga pagi ini terasa lebih segar. Mungkin karena pengaruh obat dari Pram. Atau mungkin juga karena ada Rangga yang menemani di sini. Sehingga aku tidak perlu takut kalau ada teror wanita kemarin. Selimut kusingkap, membiarkannya berantakan begitu saja, buru-buru keluar dari kamar karena ada hal yang ingin ku periksa, Rangga. Kejadian semalam bagai mimpi dan kenyataan yang berbanding lurus. Aku pikir, tidak akan menemukan Rangga di apartemen ku, karena rasanya bagai mimpi saja. Namun saat aku melihat ke sofa, rupanya Rangga masih ada di sana

    Last Updated : 2021-05-22
  • Mirror : Death Note   7. Bang Cen

    "Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?" Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan. Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga. "Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan. "Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita. "Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"

    Last Updated : 2021-06-07
  • Mirror : Death Note   8. Teror penghuni apartemen

    Smart key door, adalah salah satu alasanku memilih apartemen ini. Aku adalah tipe orang yang pelupa. Terutama terhadap kunci. Entah kunci rumah, motor, atau mobil. Tapi bukan itu alasan aku tidak pernah mengendarai kendaraan sendiri. Jadi solusi paling tepat adalah dengan teknologi tersebut, yang memang sedang marak di kehidupan penduduk kota. Selain lebih mudah, aku pun tidak perlu repot jika ada teman yang datang ke rumah. Yah, temanku hanya mereka bertiga. Indi, Mey, dan Nita. Hanya mereka yang tau sandi apartemenku. Karena hanya mereka saja yang paling sering datang, dan yang akan dengan cepat tanggap muncul jika aku tidak bisa dihubungi. Pintu terbuka dengan sandi yang sudah kubuat sejak pertama menginjakkan kaki di tempat ini. Riuh cekikikan dua orang wanita terdengar nyaring sampai luar. Aku dan Mey lantas segera masuk karena yakin dua teman kami sudah ada di dalam. "Wah, ada tamu," tutur Indi saat melihat kami masuk.

    Last Updated : 2021-06-20
  • Mirror : Death Note   9. Di balik tabir

    Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi. "Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen. "Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut. Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat. "Astaga! Lu kenapa bisa di sini?" "Ndi ... Indi ... Are you oke?" "Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan." Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu. .

    Last Updated : 2021-06-26
  • Mirror : Death Note   10. Psikopat

    "Satpam itu sudah masuk ke DPO polisi. Lu gimana? Udah tenang? Katanya kita bisa balik sekarang," tutur Rangga. Aku hanya duduk di ruang tunggu, jaket milik Rangga menutupi sebagian tubuhku. Sampai subuh, kami berada di kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Aku masih takut untuk pulang. "Sorry, ya." "Kenapa?" "Elu malah nemenin gue di sini, seharusnya kan bisa langsung pulang tadi habis antar Om." "Nggak apa-apa. Lagian mana tega gue ninggalin elu di sini sendirian. Mau balik sekarang apa minggu depan nih? Gue udah ngantuk banget," jelas Rangga sesekali menguap. Pernyataan ku tentang kejadian di apartemen mendapat respon yang baik. Aku pikir polisi akan menganggap kesaksian ku mengada-ada, tapi ternyata satpam yang baru kutau namanya Roy itu, sudah beberapa kali keluar masuk penjara karena narkoba. Dia bahkan pernah menjadi bandar Sabu saat masi

    Last Updated : 2021-06-27
  • Mirror : Death Note   11. Pemilik apartemen

    "Elu mau pindah nih? Beneran?" tanya Mey, menyeruput cokelat hangat yang tadi dia buat bersama Nita. Selesai makan, kami ngobrol santai sambil membahas rencana selanjutnya. Roy, ternyata tidak terbukti bersalah. Tidak ada saksi atau bukti yang menunjukkan keterlibatan Pak Roy atas kematian Bu Lia. Tidak dapat dipungkiri kalau Pak Roy masih mengkonsumsi narkoba, tapi dia tidak sampai masuk jeruji besi. Dia hanya diwajibkan lapor setiap beberapa hari sekali, sambil menunggu tahap untuk rehabilitasi. "Jadilah. Nggak bisa hidup tenang gue di sini. Udah teror hantu belum selesai, eh ini ada lagi. Makhluk yang lebih mengerikan ketimbang hantu. Gue takut, gaes. Ya ampun," ucapku sambil menyapu wajah. "Bener sih, Ros. Parah banget sih kalau terus menerus diteror gini," tukas Nita. "Terus kalian udah ada info belum, apartemen yang murah?" "Kalau yang dibawah dua juta belum ada, Ros. Semua di a

    Last Updated : 2021-06-28
  • Mirror : Death Note   12. Apartemen Baru

    Lantai tiga menjadi pilihanku. Banyak pertimbangan yang kuambil, salah satunya karena lantai ini paling banyak penghuni nyatanya. Lantai dua dan satu pun, sudah penuh penghuni. Tapi lantai empat dan lima memang jarang ada penghuni. Di lantai empat hanya ada dua penghuni lama, dan lantai lima hanya satu penghuninya. "Sebentar lagi akan ada renovasi dari depan sampai belakang. Jadi Mba Rosi saya pastikan akan betah tinggal di sini. Kalau ada keluhan apa pun, bilang ke saya atau istri saya saja," jelas Pak Seno saat kami berjalan melewati tangga. Tidak ada lift di apartemen ini. Semua akses hanya lewat tangga saja. Tiap lantai ada 10 kamar apartemen. Di lantai tiga aku menempati kamar nomor 8. Pak Seno dengan sabar menceritakan tentang apartemen miliknya yang sudah dibangun hampir 30 tahun lalu. Awalnya lahan ini bekas rumah sakit terbengkalai, dijual dengan harga murah karena bangkrut. Pak Seno membelinya dan meren

    Last Updated : 2021-06-28
  • Mirror : Death Note   13. Pemakaman Aidil

    Bau busuk kian menyengat. Sejak semalam aku terus mencium bau tidak sedap. Semacam sampah basah yang sudah lama tidak dibuang. Atau bangkai hewan yang hampir mengering. Alhasil aku keluar kamar dan memeriksa sekitar. Aku sangat yakin, bau tersebut berasal dari luar. Begitu pintu terbuka, Raja sedang berdiri di depan tong sampah ujung lorong. Di mana ada dua kamar kosong yang katanya sudah ditinggalkan penghuni lamanya. Dia memperhatikan tempat pembuangan sampah sambil berkacak pinggang. Karena penasaran, aku pun mendekat. Aku yakin dia juga mencium aroma tidak menyenangkan ini karena kamar kami berdekatan. Begitu berdiri di samping Raja, aku langsung menutup mulut dan menahan mual. Raja melirik lalu memberikan sapu tangan dari sakunya padaku. "Itu ... Apa?" tanyaku membelalak mata. Raja mengambil sarung tangan dari saku celana dan memakainya. Dia lantas mengangkat tinggi-tinggi bangkai kucing yang terk

    Last Updated : 2021-06-29

Latest chapter

  • Mirror : Death Note   64. Lamaran

    Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi

  • Mirror : Death Note   63. Selamat jalan, sahabat.

    Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah

  • Mirror : Death Note   62. Teror di rumah Rizal

    "Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat

  • Mirror : Death Note   61. Bukan manusia

    Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t

  • Mirror : Death Note   60. Salah Paham

    "Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet

  • Mirror : Death Note   59. Gladis

    "Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus

  • Mirror : Death Note   58. Wanita bunuh diri

    Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita

  • Mirror : Death Note   57. Tinggal bersama

    Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,

  • Mirror : Death Note   56. Papaku mantan gengster

    "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status