Lantai tiga menjadi pilihanku. Banyak pertimbangan yang kuambil, salah satunya karena lantai ini paling banyak penghuni nyatanya. Lantai dua dan satu pun, sudah penuh penghuni. Tapi lantai empat dan lima memang jarang ada penghuni. Di lantai empat hanya ada dua penghuni lama, dan lantai lima hanya satu penghuninya.
"Sebentar lagi akan ada renovasi dari depan sampai belakang. Jadi Mba Rosi saya pastikan akan betah tinggal di sini. Kalau ada keluhan apa pun, bilang ke saya atau istri saya saja," jelas Pak Seno saat kami berjalan melewati tangga. Tidak ada lift di apartemen ini. Semua akses hanya lewat tangga saja. Tiap lantai ada 10 kamar apartemen. Di lantai tiga aku menempati kamar nomor 8. Pak Seno dengan sabar menceritakan tentang apartemen miliknya yang sudah dibangun hampir 30 tahun lalu.
Awalnya lahan ini bekas rumah sakit terbengkalai, dijual dengan harga murah karena bangkrut. Pak Seno membelinya dan meren
Bau busuk kian menyengat. Sejak semalam aku terus mencium bau tidak sedap. Semacam sampah basah yang sudah lama tidak dibuang. Atau bangkai hewan yang hampir mengering. Alhasil aku keluar kamar dan memeriksa sekitar. Aku sangat yakin, bau tersebut berasal dari luar. Begitu pintu terbuka, Raja sedang berdiri di depan tong sampah ujung lorong. Di mana ada dua kamar kosong yang katanya sudah ditinggalkan penghuni lamanya. Dia memperhatikan tempat pembuangan sampah sambil berkacak pinggang. Karena penasaran, aku pun mendekat. Aku yakin dia juga mencium aroma tidak menyenangkan ini karena kamar kami berdekatan. Begitu berdiri di samping Raja, aku langsung menutup mulut dan menahan mual. Raja melirik lalu memberikan sapu tangan dari sakunya padaku. "Itu ... Apa?" tanyaku membelalak mata. Raja mengambil sarung tangan dari saku celana dan memakainya. Dia lantas mengangkat tinggi-tinggi bangkai kucing yang terk
 Seorang wanita sanggup menyembunyikan rasa cintanya bertahun-tahun. Tapi, seorang wanita tidak mampu menyembunyikan rasa cemburunya meski hanya sesaat. Begitulah foto yang aku unggah setelah senja berganti petang. Foto itu iseng aku ambil saat langit masih cerah. Entah mengapa aku mengetik tulisan itu dan mengunggahnya ke media sosial ku. ReynittaRizky "Begitu juga wanita mampu memaafkan kesalahan , tapi tak mampu untuk melupakan apa yang membuat hatinya terluka." Lianaputt22 "Aku lebih baik tenggelam dalam kubangan lumpur daripada harus terbakar oleh perasaanku sendiri ketika melihat kau tertawa lepas bukan denganku." Imeymoona
"Ros, elu betah di sini?" tanya Rangga sambil menyuap mie instan ke dalam mulutnya. Dia terus menggerutu meminta dibuatkan makanan. Sementara aku sedang malas memasak. Jadi alternatif terbaik adalah mie instan. "Eum, gitu deh," kataku, menopang dagu dan menatapnya yang asyik makan. "Gitu deh? Maksudnya? Iya atau enggak?" "Sebenarnya aku betah-betah aja sih. Cuma kadang ...," jelas ku menggantung sambil menatap sekitar, Rangga pun mengikuti ke arah yang kutatap. "Kenapa? Ada setan? Ah elu, di mana mana, kan, emang ada setan kali, Ros? Kan udan ada di Al Quran. Manusia dan jin diciptakan hidup berdampingan. Di kitab agama lain juga sama." Kuah mie ia seruput sehingga menimbulkan suara riuh. "Iya, tau. Tapi kali ini lain." Aku lantas merebahkan kepalaku di meja. Rangga menuntaskan kegiatan makannya, mengelap mulut dengan tissue dan bersiap
Pagi di apartemen, sudah ramai dengan banyaknya orang yang datang melihat jenazah Desi. Beberapa polisi datang juga mobil ambulance. Kamar Desi diberi garis batas, dan kami dilarang masuk ke dalam sana. Sekalipun kematian gadis itu langsung dia ngga bunuh diri, tapi polisi masih menyisir TKP dan bertanya pada seluruh penghuni apartemen. Aku duduk di kursi taman, dekat pohon besar satu-satunya di lingkungan apartemen kami. Satria mendekat, dengan action figure Thor yang terus ia genggam. Sepertinya aku baru melihat benda itu. "Baru, ya?" tanyaku menunjuk mainan milik Satria. Dia menoleh lalu mengangguk diiringi senyum lebar di wajahnya. "Siapa yang beli, Satria?" "Papah. Bagus, kan, Kak? Nih ada palunya juga," tunjuk Satria pada benda kecil di tangan Thor tersebut. "Wah, keren." Aku lantas mengelus pucuk kepala anak tersebut.
Aku menekan kepala karena masih menahan rasa pusing sejak bangun tidur beberapa jam lalu. Suasana cafe tidak begitu ramai, pun tidak terlalu sunyi. Beberapa orang memilih menikmati sarapan di tempat ini, alih-alih sarapan di rumah masing-masing. Seperti kami contohnya. Pergi dari apartemen untuk sementara waktu sepertinya cara jitu melepas penat. Oma dibawa ke rumah sakit oleh Raja. Trauma akan kejadian semalam pasti membuat jiwanya terguncang. Tentu lebih aman untuk Oma jika jauh dari apartemen. Aku takut Oma akan menjadi sasaran makhluk iblis itu selanjutnya. Langit sedikit mendung. Tapi hujan belum juga turun. Cuaca ini membuatku ingin menikmati secangkir espresso hangat. "Ini bill-nya. Sini, bayar!" ujar Nita menagih uang pada kami. Satu persatu membuka dompet dan memberikan beberapa lembar uang untuk makanan yang kami pesan kali ini. Tidak ada acara traktir men-traktir. Itu berlaku hanya jika salah satu da
21.00 Aku duduk di dekat jendela, ditemani secangkir kopi dan laptop yang masih menyala tanpa mengetik satu huruf sekalipun. Berbagai ide sudah ada di kepala, tapi aku masih bingung dari mana harus memulainya. Sebagai penulis, setiap hal aneh yang aku temui akan selalu menjadi inspirasi dalam tulisanku. Tentu dengan aku kembangkan sesuai imajinasi, tanpa mengesampingkan fakta yang terjadi. Beberapa karya yang aku tulis, pasti bersumber dari sesuatu yang nyata. Entah aku alami sendiri, atau pengalaman orang lain. Sebisa mungkin aku harus bisa membuat tulisanku terasa hidup, sehingga para pembaca pun akan larut di dalam kisahku. Langit terlihat cerah malam ini, namun bukan berarti tidak gelap. Hanya saja awan mendung tidak ada di sana, hanya menampilkan jutaan bintang. Tawa dan jeritan Satria terdengar sampai kamarku. Aku melirik ke jendela dan melihat beberapa anak kecil berlarian di sana. Tentu ada Satria, tanpa Aidil tentunya. Aidil sep
Dengkuran Rangga membuat mataku sulit terpejam. Sebenarnya bukan itu masalahnya, karena suara dengkuran itu justru membuatku lega. Karena aku tidak sendirian di kamar ini. Setidaknya jika sesuatu terjadi, sudah ada orang di sini yang siap bangun dan membantuku. Tidak perlu berlari keluar, mencari Raja, atau mungkin penghuni apartemen lain, yang belum tentu masih tinggal di gedung ini. Malam yang hening ini, membuatku tidak nyaman. Biasanya hujan justru membuat tidurku jauh lebih nyenyak. Karena aku tidak menyukai suasana hening saat tidur. Tapi hujan tidak mau menyapa malam ini. Dengkuran Rangga bagiku belum cukup. Cerita dari Koh Rudi membuatku berpikir dan menimbang berbagai kemungkinan yang terjadi di tempat ini. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Tapi samar-samar suara cekikikan anak kecil masih terdengar. Aku terus diam sambil menajamkan pendengaran. Sangat yakin kalau suara itu berasal dari halaman
[Oke, Neng. Nanti malam Bang Cen ke sana.] Begitulah pesan yang dikirim Bang Cen pagi ini. Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali selalu terbangun, entah karena mimpi buruk, atau suara aneh, yang jika kedua mataku terbuka, justru tidak ada apa pun. Sepanjang malam tanganku selalu menggenggam ujung baju Rangga. Perasaan takut setidaknya menghilang sedikit saat aku tau kalau aku tidak sendirian. Rangga sudah pergi pagi-pagi sekali karena harus pergi kerja hari ini. Sementara aku, hanya duduk di dekat jendela sambil menikmati kopi hitam yang baru saja kubuat. [Udah sampai?] Entah kenapa aku ingin sekali mengirim pesan ini ke Rangga. Aku ingin tau apa saja yang ia lakukan saat tidak bersamaku. [Sampai kantor dengan selamat. Huft, untung nggak telat gue. Mana tadi Papa nyuruh nganterin Om ke stasiun pula.] Lima menit kemudian dia segera membalas pesanku. Senyum segera
Pintu apartemen Rangga ku buka, namun dahiku langsung mengerut ketika melihat Nida berada di kursi meja makan, dengan Rangga yang berdiri di dekat kompor, sedang memegang puntung rokok di tangan kanan. Di belakangnya ada panci yang berisi air panas disertai dua cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan kantung teh bundar."Yang?" Rangga membetulkan posisi berdirinya, segera mematikan rokok yang masih menyala di meja dekat kompor. Dia lantas mendekat. "Aku tadi WA kamu loh, nelpon juga nggak di angkat. Niatnya mau tanya, aku jemput jam berapa ke rumah?" katanya dengan segala bentuk pernyataan dan pertanyaan sebelum aku melayangkan upaya ngambek melihat Nida di sini. "Terus juga kasih tau, kalau Nida di sini."Aku lantas membuka ponselku dan membuktikan kebenaran perkataan kekasihku. "Lupa aku silent. Tadi di jalan berisik, soalnya aku naik Gojek." Aku lantas meletakkan tas di ranjang. "Aku pengen mandi." Segera saja aku masuk ke kamar mandi
Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya."Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu."Kita lihat saja besok."Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya."Mau pulang ke mana?" tanya Rangga."Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur.""Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah
"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia.""Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?""Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang.""Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?""Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia.""Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku."Sangat masuk akal, Neng.""Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma."Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkat
Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" t
"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik. "Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran. "Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey. "Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi. "Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!" "Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep. "Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka. "Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut." "Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinet
"Siapa tuh?"Seorang wanita datang bersama pria berumur sekitar 40 tahunan. Memakai setelan mahal dan masuk ke ruangan Bos. Dari apa yang terlihat, sepertinya dia akan menjadi karyawan baru di kantor kami. Penampilannya terlihat seksi, dengan rok span hitam yang cukup pendek di atas lutut, kemeja putih ketat, menampilkan payudaranya yang terkesan tidak muat di dalam pakaian itu. Sepatu hak tinggi berwarna hitam, memang menjadi ciri khas seorang pekerja magang. Karena kemarin aku pun melakukan hal itu."Baru kayaknya deh. Njir, bohay banget!" kata Asep melotot sampai wanita itu menghilang di balik pintu."Wuu! Dasar mata playboy! Suka bener lihat yang montok-montok!" cetus Mey.Memang terlihat seksi dan mengundang banyak mata melihat, tapi aku merasa tidak menyukai aura yang dimiliki wanita tersebut. Entah mengapa. Terasa ada selubung gelap yang mengitarinya. Bahkan beberapa sosok mengerikan terus
Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita
Papa akan kembali ke Korea pagi ini juga. Pekerjaannya di sana masih membutuhkan waktu, dan Mama juga masih ada di Korea. Bahkan Mama tidak tau kalau Papa kembali ke Indonesia kemarin. Hotel yang Papa pesan, hampir sama seperti hotel sebelumnya. Connecting room tersebut membuat kami berempat saling terhubung. Lee juga akan kembali ke Korea, karena urusannya sudah selesai. Kami akan naik pesawat untuk kembali ke Ibukota."Jadi Papa sama Mama lama lagi pulangnya?" tanyaku di tengah sarapan pagi kami."Iya, mungkin beberapa bulan lagi, baru kami bisa menetap lagi di sini. Kamu baik-baik saja, kan? Papa dengar dari Iqbal tentang pencuri di rumah kita. Papa yakin, tidak ada lagi kejadian seperti itu. Mereka hanya anak buah Woong saja.""Tapi Iqbal juga sekarang di luar pulau, Pa. Bang Haikal juga jauh. Jadi aku sendirian dong di rumah," kataku setengah protes."Hm? Bukannya ada Rangga sekarang? Papa lihat kalian makin lengket aja. Iya,
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyaku begitu Lee mendekat. Rangga membantuku berdiri dan terus memegangi tangan karena kaki kananku sedikit nyeri."Apa itu sapaan di Indonesia untuk teman lama?" tanya Lee balik, sambil terkekeh. Rupanya dia sudah lancar menggunakan bahasa Indonesia, walau logat Korea nya masih terasa kental.Aku lantas tersenyum, mengulurkan tangan padanya. "Apa kabar, Lee?"Lee menyambut nya dengan tatapan mata dalam. "Lama tidak bertemu, kemampuan mu sedikit berkurang, Ines.""Oh, jadi mereka itu musuh mu? Buktinya jauh-jauh kau datang ke Indonesia hanya untuk menangkap mereka? Kasus apa kali ini?"Lee melirik ke Rangga yang sejak tadi hanya diam. "Dia ...?" tanyanya."Oh iya, perkenalkan, dia Rangga. Rangga ini Lee, temen aku di Korea. Dia polisi," kataku pada mereka berdua, bergantian."Rangga?" tanya Lee saat mereka be