Xin Yuan menyunggingkan senyum. Hari ini dia akan pergi ke tempat calon suaminya. Masih beberapa bulan sebelum pernikahan mereka, tetapi ia mendapat undangan langsung dari Kaisar negeri Ding. Beliau merupakan Ayah Zhen Shui; nama suaminya di masa depan.
Kerajaan mereka telah menjalin kerjasama sejak lama, dan Xin Yuan amat mengenal Zhen Shui. Mereka sering bertemu dalam acara penting, mungkin dari sana pula ia merasa jatuh hati.
"Apa Anda sangat bahagia hari ini, tuan puteri?"
Xin Yuan menoleh, melihat salah seorang pelayan bertanya. "Tentu saja, aku harus beradaptasi dengan kerajaan Ding. Aku harap bisa memimpin dengan baik untuk rakyatku kelak."
"Saya harap itu bisa terjadi, puteri."
"Terima kasih, Bibi Wu Xing. Oh iya, apa bibi benar-benar tidak mau ikut? Aku akan kesepian di sana tanpa bibi."
Wu Xing hanya tersenyum kecil. "Tapi, saya tidak pantas berada di sana. Lagipula, pangeran pasti sudah menyiapkan banyak pelayan untuk Anda."
Xin Yuan terlihat cemberut, membuat Wu Xing tertawa. "Wajah Anda tidak boleh begitu ketika bertemu pangeran."
"Begini saja, kalau bibi memang benar-benar tidak mau, aku akan sewakan tempat di kota dekat istana. Supaya aku juga bisa mengunjungi bibi." Xin Yuan memberi usul. Ia menatap penuh harap kepada pelayan kesukaannya itu.
"Anda melakukan terlalu banyak untuk saya, tuan puteri."
"Ya?" Pinta Xin Yuan. Wu Xing mengangguk pada akhirnya.
"Tapi tolong jangan panggil saya dengan nama Wu Xing ketika di sana, tuan puteri."
"Merepotkan, baiklah. Bibi mau aku panggil dengan sebutan apa?"
Wu Xing tampak berpikir. "Bagaimana dengan Yao Ning?"
"Terserah bibi saja lah ... tapi janji, ya! Jangan pergi diam-diam setelah aku di istana!" Peringat Xin Yuan. Wu Xing menyetujui dan tak membantah lagi.
Mereka pergi dengan kereta kuda, Xin Yuan terlihat begitu bahagia. Wu Xing tidak pernah melihat Xin Yuan seantusias ini sebelumnya selain pada syair. Puteri Xin Yuan terkenal pandai membaca syair dan memiliki pengetahuan yang mumpuni.
Karena itu juga lah ia ditunjuk Kaisar Zhen Hao sebagai pendamping putera semata wayangnya. Perjalanan ke sana memerlukan waktu yang cukup lama, tetapi tampaknya Xin Yuan tidak masalah dengan itu; karena biasanya ia suka menggerutu jika harus pergi jauh.
Wu Xing menatap langit ketika berjalan, tampak memikirkan sesuatu. Ada setumpuk lara dalam binar matanya, namun ia kemudian menggeleng.
***
"Kau luang, Kasim Wu Jian?"
Sejak pertarungan mereka dua hari lalu, Wu Jian merasa risih karena He Xiong seperti ada di mana-mana. Sepanjang ia melangkah, selalu saja ada He Xiong di sana. Kalimat yang ia ucapkan selalu sama, tanpa dikurangi suatu apapun,
"Ayo, bertarung lagi denganku."
"Maaf, Jenderal He Xiong. Saya harus bekerja." Wu Jian ingin sekali menghajarnya, tapi ia bukanlah siapa-siapa di sini. Setidaknya ia tidak boleh pergi sebelum bisa mendapatkan Lin Guang kembali.
"Oh ya? Kau bisa memanggil pelayan lain untuk menggantikanmu. Ada ratusan pelayan di sini." He Xiong terus berusaha membujuknya untuk mereka latih tanding kembali. Kalau Wu Jian tahu akan jadi seperti ini, sebaiknya ia tidak meladeninya waktu itu.
Wu Jian pun mulai tidak tahan setelah semua ini. "Saya tidak peduli dengan pendapat Anda."
He Xiong menyilangkan lengannya. "Tentu kau harus peduli. Aku ini Jenderal, dan kau hanya pelayan."
Wu Jian sudah habis kesabaran, namun ia tidak bisa melakukan kekerasan. Wu Jian melihat segelas air yang masih utuh di nampan yang ia bawa. Seharusnya ini untuk Lin Guang, tetapi ia akan membawakan yang baru padanya padanya nanti.
He Xiong merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya. Ia melihat Wu Jian yang sedang memegang gelas kosong, lalu mengerti apa yang sudah terjadi.
"Kau—"
"Maaf, pelayan ini punya banyak urusan, Tuan He Xiong. Anda bisa memanggil pelayan lain saja."
Lalu Wu Jian berlalu begitu saja. He Xiong menggerutu sebal. Wu Jian adalah lelaki yang tangguh, tidak mudah untuk membujuknya.
"Jenderal He Xiong, Anda kenapa?"
Qin Ai datang dari arah lain membawa beberapa mangkuk kosong di nampannya. Ia tertawa melihat He Xiong yang basah.
"Apa baru saja ada hujan?"
He Xiong mengelap mukanya dengan telapak. "Ya, hujan dari Kasim baru itu. Dia orang yang sulit sekali diajak bekerjasama."
Qin Ai memberinya kain yang ia letakkan di saku pakaiannya. "Lap dulu, lalu ganti baju. Tolong jangan balas dendam pada Wu Jian, dia masih baru di sini."
He Xiong mengernyit. "Siapa juga yang mau balas dendam? Aku hanya penasaran, ilmu pedangnya sangat bagus! Tidak pernah kujumpai seseorang yang bisa menandingiku."
Qin Ai mengendikkan bahu. "Yah, kupikir itu sesuatu yang disebut dengan bakat. Ia bahkan menyelesaikan pelatihan Kasim dalam hitungan hari. Padahal biasanya orang-orang perlu setidaknya satu bulan. Dia sangat pintar."
"Tidakkah menurutmu aneh? Bukankah dia berasal dari desa?" He Xiong mengungkapkan apa yang ia pikirkan. Karena memang menurutnya demikian. Ilmu pedang Wu Jian memang belum terlampau tinggi, tapi sangat bagus untuk ukuran orang desa. Selain itu pola serangan Wu Jian begitu apik di matanya.
"Kudengar ketua desanya yang memberinya ilmu itu. Ah, sudahlah. Sana, kau tadi dipanggil Yang Mulia." Respon Qin Ai dibarengi dengan pemberitahuan untuknya.
He Xiong melipat kain yang baru saja dipakainya. "Tumben sekali kaisar memanggilku. Aku tidak punya cicilan apa-apa, 'kan?"
"Siap-siap saja." Qin Ai kembali melanjutkan tugasnya.
Setelah mengeringkan wajahnya dengan kain yang diberikan Qin Ai, He Xiong kembali ke ruangannya sebentar untuk berganti pakaian. Kemudian datang menghadap Kaisar. Biasanya He Xiong memang melapor secara rutin di akhir minggu mengenai keamanan istana. Tapi ini bahkan bukan akhir pekan. Ia jadi penasaran.
Kaisar tampak telah menunggunya, kemudian langsung menyapa. "He Xiong, aku ada tugas untukmu."
"Tugas?"
"Benar, Desa Liao terbakar. Pastikan apakah memang ada musuh dari kerajaan lain atau tidak."
Desa Liao, bukankah itu tempat Wu Jian dan Lin Guang berasal? He Xiong dengar sebagai kompensasi bantuan terhadap Desa Liao, maka Lin Guang dibawa kemari. Yah, itu bukan urusannya. Tetapi itu hanya sebuah desa kecil, He Xiong ragu bila memang ada sesuatu yang diincar musuh dari sana.
"Wu Jian sudah tahu soal ini. Tapi Lin Guang belum, aku harap kau juga bisa merahasiakannya."
He Xiong berlutut, memberi hormat. "Sesuai perintah Anda. Saya akan segera menyelidikinya."
"Terima kasih. Kabari aku bila ada perkembangan."
"Siap, Yang Mulia. Saya permisi."
Kaisar menghela napas. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi rasanya mustahil ada musuh dari luar yang tahu mengenai desa itu. Ia sendiri tidak melihat adanya keuntungan dari tindakan tersebut. Namun tetap saja ia telah menipu Lin Guang dengan tidak mengatakan yang sebenarnya. Selain itu, tidak ada yang menjamin apakah Wu Jian akan tetap tutup mulut atau tidak, maka itu ia harus segera menyelesaikannya sendiri.
Ia juga sedikit mengkhawatirkan Lin Li. Selama ini ia selalu mengirimkan bantuan ke Desa Liao, tetapi dari apa yang ia lihat sepertinya itu tidak pernah terjadi. Ketika berkunjung ke sana, keadaan penduduk desa itu sangat menyedihkan. Bantuan yang ia kirimkan tidak pernah sampai ke sana. Ia sangat menyayangkan hal tersebut.
Andai saja dia mengetahui semuanya lebih awal, maka semuanya pasti tidak akan berakhir seperti ini.
Lin Guang tahu bahwa ini bukanlah tempatnya. Setiap saat ia selalu mendapat pandangan sinis dari orang-orang istana. Beberapa dari mereka mempertanyakan keputusan Kaisar untuk menikahkan anaknya dengan seorang gadis desa. Walau begitu, ia akan tetap bertahan di tempat ini untuk orang-orang desanya.Hal yang ia syukuri adalah Wu Jian masih menemaninya di sini. Lin Guang tidak butuh orang lain selama Wu Jian ada untuknya. Ia dengar pelatihan kasimnya telah selesai dan kini bisa menemani Lin Guang kemanapun. Lin Guang sangat senang karena tidak benar-benar terpisah dari teman masa kecilnya.Hari ini Lin Guang menemani Zhen Shui menyambut kedatangan Xin Yuan, calon istrinya yang lain dari Kerajaan Zhe. Xin Yuan sangat cantik, anggun, juga berkelas. Wanita itu kabarnya ahli dalam membawakan syair. Berbeda jauh dengan Lin Guang yang sebelumnya bahkan tidak bisa membaca.Zhen Shui terlihat tidak peduli, tapi Lin Guang tahu bahwa
"Jadi sekarang bagaimana? Sebentar lagi acara makan malam untuk menyambut Nona Xin Yuan.""Tolong bilang aku sakit perut. Aku mau makan bubur saja."Wu Jian menghela napas. Sepertinya Lin Guang benar-benar kehilangan minat hari ini. Sedari siang, ia hanya tiduran di kasurnya dan malas melakukan apa-apa. Wu Jian tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi sebenarnya ia berterima kasih pada teman masa kecilnya. Ia tidak perlu melihat Lin Guang bersama Zhen Shui lagi."Baiklah, aku akan ke dapur dulu. Kau tunggu di sini.""Cepat kembali, ya.""Iya. Sekarang jangan kemana-mana, ya.""Memangnya aku mau ke mana? Kau ini aneh sekali, Wu Jian."Wu Jian tersenyum tipis dan berjalan ke dapur. Namun ada sesuatu yang terasa aneh. Ia tidak melihat He Xiong di sepanjang perjalanan. Apa dia sedang berada di sisi istana yang lain? Tapi kenapa juga Wu Jian harus memikirkannya? Hah. Buru-buru ia menggelengkan kepalanya. Lebih baik ia segera membuatkan bubur
Pagi-pagi sekali, penghormatan untuk kaisar sudah diadakan. Ini adalah sebuah kebiasaan rutin di istana, setiap pagi memang harus dilakukan untuk menghormati Kaisar dan Permaisuri. Tetapi permaisuri sendiri tidak hadir, hanya ada kaisar. Semua orang di istana diharuskan hadir dalam upacara ini. Termasuk Xin Yuan yang baru datang kemarin."Semoga kalian diberkati Dewa." Ucap Kaisar sebelum membubarkan mereka kembali.Xin Yuan menoleh, orang desa itu rupanya juga hadir dengan pelayannya. Sebenarnya ada beberapa cara untuk menyingkirkannya. Tetapi Xin Yuan tidak suka bermain cepat, dia akan melakukan ini pelan-pelan saja. Berakhir terlalu dini itu tidak akan seru, bukan?"Lin Guang," Xin Yuan setengah berlari menghampirinya. Memasang wajah penuh penyesalan yang merupakan bagian sandiwaranya."Aku minta maaf untuk semalam. Maukah kau memaafkanku?"Xin Yuan bisa merasakan tatapan tajam dari pel
Lin Guang melihat sekeliling dengan antusias melalui jendela di kereta kuda. Ini adalah kali pertamanya keluar istana bersama Pangeran Zhen Shui. Mereka sedang menuju kota Luo, karena dikabarkan ada masalah distribusi di daerah tersebut dalam kurun waktu seminggu belakangan."Sebaiknya kau berhati-hati nanti saat turun, Lin Guang. Kita tidak tahu itu apa. Bisa saja bandit." Peringat Zhen Shui."Bandit? Siapa mereka?" Lin Guang tidak pernah mendengar kata bandit, karena itu ia bertanya."Mereka adalah orang yang suka merampas benda milik warga." Jelas Zhen Shui secara singkat."Bukankah mereka jahat sekali?"Lin Guang tidak habis pikir. Kenapa ada orang jahat di dunia ini? Tidakkah mereka juga menginginkan untuk sebuah kedamaian? Tidak ada manfaatnya bila bermusuhan, bukan?"Kita sudah sampai, Yang Mulia."Seorang pelayan memberitahu dari luar. Zhen Shui me
"Maaf karena harus menolak permintaan Anda, Puteri Xin Yuan."Xin Yuan mundur beberapa langkah, lelaki itu sangat kukuh dalam pendiriannya. Mungkin kematian sekali pun tidak akan membuatnya gentar, huh? Akhirnya Xin Yuan juga tidak bisa memaksa."Kau boleh pergi."Wu Jian menghela napas lega. Ia segera membersihkan pecahan yang berserakan di lantai. Sementara Xin Yuan kembali meminum bir di mejanya. Sepertinya ia tengah mengalami banyak tekanan. Yah, bukan urusan Wu Jian juga, sih. Wu Jian membawa pecahan botol yang sudah dikumpulkan ke dalam kain yang selalu ia bawa di saku untuk berjaga-jaga bila terluka dan perlu menyumbat darah."Saya permisi, Puteri Xin Yuan.""Pergi saja."Wu Jian sedikit kasihan melihatnya minum seperti orang tidak waras, namun apa pedulinya? Selama Lin Guang tidak apa-apa, itu sudah cukup baginya. Kapan dia akan kembali? Wu Jian harap tidak lama lagi.Sore hari, rombongan Zhen Shui sudah kembali. Wu Jian turut
Lin Guang kembali ke ruangannya, menutup pintu dengan keras dan terengah-engah usai berlari. Menyandarkan punggung ke pintu, ia jatuh terduduk. Mengapa pemandangan Xin Yuan dan Wu Jian bersama begitu mengganggunya? Ia tidak mengerti. Apa yang sebenarnya ia harapkan?Mereka teman sejak kecil. Apakah karena selalu bersama, jadi rasanya aneh melihat Wu Jian bersama orang lain? Ada nyeri yang muncul di dada kiri. Lin Guang tidak tahu dia kenapa. Mungkinkah dia sebenarnya iri?Ia menggeleng. Pasti karena hanya belum terbiasa saja dengan keadaan. Tempat ini bukan desanya, ia yang harus menyesuaikan diri. Setelah memenangkan dirinya, Lin Guang berdiri dan berniat mencuci muka.Ketika ia melewati meja, sebuah belati kecil tak sengaja terlihat. Itu adalah pemberian dari Wu Jian ketika ia kecil. Lin Guang selalu menjaganya seperti yang diminta. Ia menatapnya hingga terdengar suara ketukan yang keras. Buru-buru Lin Guang membuka pint
Usai menyerahkan orang yang mereka tangkap pada Rong Yi dan kembali ke pos penjagaan, Wu Jian menaruh curiga pada orang yang tadi ditemui di pos jaga. Menyadari tatapan tajam dilayangkan padanya, orang itu menoleh dan tersenyum."Namaku Han Feng. Senang berkenalan denganmu."Han Feng mengulurkan tangan, mau tidak mau Wu Jian harus menyambutnya."Wu Jian."Seolah bisa membaca pikiran Wu Jian, Han Feng tiba-tiba berkata, "Tenang saja, aku berada di pihakmu, hahaha."Wu Jian mengernyit. "Kau sudah tahu tindakan orang di pos penjagaan? Mengapa Kota Luo tidak mengganti mereka dengan yang lebih layak?"Han Feng tertawa. "Pertanyaan bagus. Masalahnya, tidak ada orang yang berani berjaga selain mereka. Kami tidak punya pilihan lain."Wu Jian mulai memahami situasi. Memang sepertinya hanya masalah kecil, namun ini begitu krusial. Keberanian adalah sesuatu yang dipe
"Permisi."Lin Guang mengetuk pintu dan memasuki ruangan kaisar dengan penuh kecemasan. Kenapa tiba-tiba memanggilnya begini? Apakah beliau hendak mengatakan sesuatu yang penting? Bisa saja dia telah melakukan kesalahan tanpa ia sadari."Oh, Lin Guang, duduklah."Menurut, Lin Guang duduk di hadapannya. Rasanya sedikit canggung, mereka juga tidak begitu banyak bicara sebelumnya selain mengenai perjanjian untuk desa Liao."Apa kau sudah terbiasa di sini?""Ya, semua orang sangat baik." Lin Guang tidak mungkin mengatakan Xin Yuan kemarin malam menamparnya. Mana mungkin juga Kaisar akan percaya? Lebih baik ia diam saja."Apa puteraku tidak melakukan hal aneh padamu?"Lin Guang menggeleng. "Pangeran justru mengajari saya membaca. Saya sangat berterima kasih untuk itu.""Syukurlah kau tidak merasa tertekan. Aku tahu istana memang berbakat dengan desamu, dan aku harap kau tetap tinggal di sini dalam waktu lama." pinta Kaisar."