"Iya." Aku lemas mendengar ucapan Bang Jo. Aku langsung merebut uang di tangan Bang Jo. Bang Jo berusaha menariknya, tapi langsung kutendang alat vitalnya. Bang Jo mengaduh kesakitan."Keterlaluan kamu, Dek. Istri durhaka!" teriak Bang Jo sambil kesakitan."Abang yang durhaka, punya hutang nggak mau bayar. Malah uangnya dipakai untuk bayar hutangnya mantan. Berapa Abang bayar hutang Narsih.""Lima ratus ribu.""Bohong! Jawab dengan jujur, kalau enggak, aku tendang lagi. Biar burungnya mati!" bentakku."Dua juta, Dek!" jawab Bang Jo sambil menahan kesakitan."Memang Abang sudah tidak punya hati. Mantan terus yang dipikirkan. Melihat istrinya dihina hanya diam saja. Lihat saja Bang, akan aku buat kamu menyesal memperlakukanku seperti ini.""Sudah Nova, jangan emosi." Bapak membujukku."Tidak Pak, saya sangat tersakiti dengan kelakuan Bang Jo. Nggak punya hati dan perasaan, lihat saja nanti Bang. Bayar hutang bank bulan ini, aku nggak mau ngasih uangnya. Cari sendiri.""Nova, kalau kamu
"Usahakan berpikir positif dan menikmati hidup. Jangan terlalu banyak pikiran." Bidan Erni menjelaskan pada Emak."Kalau Emak ini, setiap hari marah-marah terus. Selalu suudzon dengan orang lain."Bapak menimpali."Nah, mulai sekarang, Emak harus rileks, santai dan selalu berpikiran positif. Makanan juga dijaga, ingat ya Mak, nggak boleh makan yang terlalu asin." Bidan Erni menjelaskan."Bagaimana mau santai dan menikmati hidup, setiap hari ketemu dengan menantu durhaka," kata Emak sambil melirikku."Nah, itulah salah satu penyakit hati, yang membuat tekanan darah jadi naik. Suudzon, jadi pikirannya selalu jelek sama orang lain," sahut Bapak."Iya, Mak. Sekarang pilihan ada ditangan Emak sendiri. Mau sehat atau sakit-sakitan. Ini ada obat yang harus dimakan, untuk menurunkan tekanan darah. Nanti pusingnya juga hilang," kata Bidan Erni menjelaskan pada Emak.Cukup lama menjelaskan tentang hipertensi. Sepertinya Bidan Erni agak kesal dengan jawaban-jawaban Emak yang selalu menyalahkanku
"Kabar baik Mama Rendi, kapan datangnya?" tanyaku sambil bersalaman dengannya."Tadi malam, Mbak.""Sama siapa?" tanyaku lagi "Sendirian, Mas Arman ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal. Anak-anak sekolah. Kemarin Emak menelpon, katanya sakit dan memintaku pulang."Mama Rendi adalah Aisyah anak kedua dari Bapak dan Emak, adiknya Bang Jo dan kakaknya Deni. Memiliki dua anak, Rendi dan Resti. Karena itu aku memanggilnya Mama Rendi. Mereka tinggal di kota lain."Kelihatannya sibuk," lanjut Aisyah sambil mendekati kami."Iya, ada pesanan nasi seratus kotak. Alhamdulillah, dapur bisa ngebul terus.""Alhamdulillah, ya Mbak. Mana Bang Jo.""Ada di dalam.""Kok nggak bantuin?" tanya Aisyah dengan heran.Aku menghela nafas panjang."Sejak ibunya Dewi datang, dia berubah. Aku sekarang sudah diabaikan. Jadi ya aku harus usaha sendiri, untuk memenuhi kebutuhanku dan Nayla.""Sabar ya Mbak, aku yakin Mbak mampu mengatasi semua ini." Aisyah mengelus pundakku. Aisyah ini netral orangnya, nggak memi
"Ibu sudah lama di luar, kenapa nggak masuk Bu?" tanya Intan padaku."Nggak apa-apa, Intan. Nggak enak mau mengganggu yang sedang berbicara," sahutku pad Intan."Intan main sama Nay, ya Bu?" pamit Intan."Jaga adiknya, ya?" sahutku.Intan mengangguk."Kok berhenti semuanya, lanjutkan saja bicaranya. Nggak bakal aku ganggu, kok," kataku."Sudah berapa lama kamu disitu, Nova?" tanya Bapak."Sudah lama, Pak. Sudah mendengar semuanya. Termasuk Emak menghasut Bang Jo untuk menceraikan saya. Juga Emak tidak suka dengan saya karena anak orang miskin. Ngomongin Bapak saya tukang selingkuh." Aku berbicara apa adanya."Memang kamu anak orang miskin, kok," seru Emak."Alhamdulillah, Mak. Miskin harta insyaallah kaya hati. Saya nggak akan pergi dari rumah yang saya tinggali, kecuali Bang Jo menalak saya. Dan Ingat, kalau saya pergi, warung itu akan saya ratakan lagi dengan tanah. Karena saya yang membangun warung. Kamu Mella, tadi ada yang mencarimu, mau menagih hutang panci presto. katanya bulan
"Bu, kapan kita ke rumah kakek? Nay pengen kesana. Kalau nggak kita pindah kesana ya?" kata Nayla tiba-tiba, ketika aku menemani dia nonton televisi. "Kenapa Nay ngomong gitu?" "Kita ke rumah kakek, ngajak Mbak Intan. Ayah nggak usah diajak.""Kenapa nggak diajak?""Ayah sudah nggak sayang lagi sama Nay. Nggak pernah lagi ngajak Nay jalan-jalan.""Ayah sedang sibuk," jawabku."Sibuk ngapain, Bu?""Ya sibuk kerja, makanya nggak sempat ngajak Nay jalan-jalan. Sudah malam, ayo tidur di kamar," ajakku.Aku mengantarkan Nayla di kamar, menemaninya. Tak berapa lama, ia pun tertidur. Aku keluar dari kamar menuju ke dapur. Menyiapkan beberapa bahan yang besok mau dimasak. "Kamu ngomong apa sama Nayla," kata Bang Jo mengagetkanku."Ngomong apa sih Bang?" tanyaku."Tadi dia bilang benci sama ayahnya. Pasti kamu yang mengajari dia untuk membenciku." Bang Jo duduk di kursi di dapur."Bang, untuk apa aku menghasut Nayla. Yang Nay katakan itu karena ia merasakan sendiri, kalau ayahnya tidak pedu
"Kamu menemukan ini dimana?" tanyaku pada Intan."Itu Bu, di bawah pohon mangga. Tadi Nay yang mengeruk tanah dan Intan yang melihat benda ini," sahut Intan."Bu, kok kayak jimat ya? Jangan dibuka Bu," seru Minah."Apa kamu pernah melihat seperti ini?" tanyaku."Iya Bu, biasanya ini sengaja ditanam seseorang. Bisa saja untuk mengganggu usaha orang, atau untuk mengganggu rumah tangga orang," jelas Minah padaku.Kok aku jadi ketakutan ya?"Tanya sama Pakwo saja ya?" tanyaku."Iya, Bu. Coba tanya sama Pakwo. Tapi jangan sampai tahu Mak Amir. Nanti malah ramai nggak karuan, dikira mengada-ada saja," sahut Warti.Aku baru ingat, kenapa aku nggak WA Aisyah saja, biar Bapak kesini tanpa pengetahuan Emak. Kalau aku kesana memanggil Bapak, pasti Emak akan penasaran. Segera aku kirim pesan pada Aisyah. Tak lama kemudian ada balasan dari Aisyah. Aku menunggu kedatangan Bapak, dan tentu saja aku tidak berani membuka kain itu. Warti dan Minah juga hanya melihat saja, tidak berani menyentuhnya. Na
Aku mendekati Bang Jo, walau bagaimanapun perlakuannya kepadaku, dia tetap suamiku. Kupegang tangan Bang Jo, masih hangat. Kuperhatikan dadanya, masih bergerak yang menandakan ia masih bernafas. Aku sedikit lega melihatnya."Jangan khawatir, dia hanya pingsan. Sebentar lagi juga sadar," ucap Pak Haji Sobri, yang sepertinya mengerti akan kekhawatiranku."Apa yang terjadi dengannya?" tanya Aisyah dengan cemas. "Saya berusaha mengeluarkan jin di dalam tubuhnya. Ada beberapa yang sudah keluar, ada juga yang masih betah di dalam tubuh Johan. Kita istirahat dulu, biar Johan sadar, juga mengembalikan tenaga," lanjut Pak Haji Sobri.Aku berjalan menuju warung, meminta Warti untuk membuatkan minuman."Warti, tolong buatkan kopi tiga ya? Minah tolong beli kue di warung Bik Yani dulu. Tuh pakai motor merah!" perintahku pada Warti dan Minah."Baik Bu," ucap Minah sambil berjalan menuju ke motor. Warti segera membuatkan minum untuk tamu-tamuku.Aku segera kembali ke rumah, dengan membawakan kue y
"Yang perlu diruqyah itu Nova. Dialah penyebab semua orang disini bermasalah. Gara-gara dia, Emak jadi sakit. Memang Nova pembawa sial." Emak terus saja nyerocos. Bang Jo hanya terdiam, tatapannya masih kosong. "Aku ingin tidur," ucap Bang Jo."Biarkan Johan tidur di sofa," jawab Pak Haji Sobri. Aku membantu Bang Jo yang akan merebahkan tubuhnya."Johan, kamu nggak apa-apa? Apa yang kamu rasakan?" tanya Emak. Bang Jo hanya menggelengkan kepala kemudian memejamkan mata."Kalian apakan Johan, kok dia tidak menjawab pertanyaanku. Gara-gara kamu." Emak ngomel-ngomel menatapku tajam. Aku hanya diam saja."Sepertinya Emak harus diruqyah ini. Biar hatinya tidak suudzon terus dengan Mbak Nova. Biar Emak tidak terlalu membenci Mbak Nova dan Emak juga tidak mudah dihasut sama Mella," kata Aisyah. Mella tidak terima dengan perkataan Aisyah."Aku nggak pernah menghasut Emak. Mbak itu iri kan melihat Emak dekat sama aku daripada sama Mbak Aisyah.""Kalau kamu tidak menghasut Emak, bagaimana Emak
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa