"Sepertinya Mak Amir minum ramuan yang sengaja ditaruh di minuman itu. Semacam jampi-jampi gitu. Cukup kita saja yang tahu dan tidak perlu dendam. Doakan saja, semoga yang menaruh ramuan itu diberi hidayah." Pak Haji Sobri menjelaskan.Aku kaget sekali. Jadi selama ini Emak dijampi-jampi Mella? Pantas saja Emak sangat nurut dengan Mella. Nggak nyangka kalau Mella nekat berbuat seperti itu. "Aaaa….," teriak Bang Jo kesakitan, mengagetkan kami semua. Dia langsung duduk di sofa dengan wajah yang sangat pucat.Pak Haji Sobri mendekati Bang Jo, duduk disebelah Bang Jo. "Ambilkan air putih untuk minum," perintah Pak Haji Sobri padaku. Aku segera mengambilkan air putih dan menyerahkan pada Pak Haji Sobri. Pak Haji Sobri memberikan air tersebut untuk diminum oleh Bang Jo."Kamu mimpi apa?" tanya Pak Haji Sobri., Setelah Bang Jo selesai minum."Ada yang menarik tanganku," jawab Bang Jo dengan nafas terengah-engah"Terus apa yang kamu lakukan?""Aku berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tan
Aku segera menuju ke rumah Emak, penasaran dengan apa yang terjadi. Di ruang tamu tidak ada orang, aku berjalan menuju ke kamar Emak. Ada Bapak dan Aisyah."Pak, kenapa kok pusing sekali kepala Emak ini. Terasa sangat berat, seperti ada yang memukul kepala Emak," keluh Emak sambil memegang kepala dengan kedua tangannya."Emak istirahat, jangan mikirin yang aneh-aneh." Bapak membalas ucapan Emak."Kamu nggak jadi pulang ngajak Bapak, kan?" tanya Emak kepada Aisyah. Sebenarnya Aisyah mau pulang hari ini. Tapi beberapa hal yang terjadi membuatnya mengurungkan niat untuk pulang."Kalau Emak membutuhkan Bapak, Bapak nggak ikut Aisyah. Tapi kalau menurut Emak, hanya Mella yang bisa memahami Emak, Bapak akan ikut Aisyah. Berarti Bapak tidak dibutuhkan disini," ungkap Bapak."Jangan pergi ya Pak? Temani Emak disini. Emak takut," ucap Emak dengan nada khawatir. "Takut apa, Mak?" tanya Aisyah penasaran."Entahlah, Emak merasa ada yang mengikuti dan mengawasi emak," sahut Emak sambil melihat k
"Kok semua ada disini? Lagi ngapain? Emak sakit ya?" kata Deni yang tiba-tiba muncul di kamar Emak."Masuk rumah itu ucapkan salam, jangan asal nyelonong," tegur Bapak."Pa, baru nyampe ya? Ini lho Pa, semuanya menyuruh Mama ikut Papa ke perkebunan. Mereka semua membenci Mama," adu Mella pada Deni sambil menggelayut manja memegang lengan Deni. Jijik aku melihatnya, dasar perempuan tukang hasut dan suka mengadu."Benar begitu?" tanya Deni. Kami semua diam, ingin tahu apa yang akan diucapkan Mella pada Deni."Kata Mbak Aisyah, kemanapun suami tinggal, istri harus ikut. Nanti takutnya Papa didekati oleh pelakor." Mella menjelaskan pada Deni."Betul Deni, Mella ikut kamu saja," sahut Bapak menimpali perkataan Mella."Tapi Mama nggak mau, disana sepi. Nanti nggak punya teman juga disana," rengek Mella."Begini saja Deni, nanti kalau kamu pulang, Mella ikut kamu disana. Betahnya berapa hari disana," kata Bapak."Siapa nanti yang menjaga Emak?" tanya Mella."Bapak bisa menjaga Emak," ucap Ba
"Siapa yang bilang?" tanyaku."Lasmi bilang sama Bik Tati, Bik Yani sama Uli. Tapi buru-buru mereka menyingkir dan mengalihkan pembicaraan. Mungkin karena saya ada disana ya?" jelas Warti."Kamu percaya ucapan mereka?" "Enggak lah Bu, Pak Haji Sobri kemarin kan mengobati Pak Johan. Bukan jampi-jampi untuk penglaris," sahut Warti."Benar Warti, kemarin kan kita lihat, kalau ada orang yang sengaja membuat masalah disini. Dengan menanam jimat atau apalah itu di bawah pohon mangga. Jadi Pak Haji Sobri kemari untuk itu. Bukan untuk yang lainnya. Kalau Ibu, biarlah semuanya mengalir dengan sendirinya. Rejeki itu tidak akan tertukar. Yang penting kita berusaha, semuanya Allah yang mengaturnya," ucapku memberi penjelasan pada Warti."Betul itu Bu, kata nenek saya juga begitu. Usaha dan jangan lupa berdoa. Usaha tanpa doa itu sombong, Doa tanpa usaha itu malas. Jadi antara doa dan usaha harus seimbang," sambung Minah yang ternyata mendengarkan kami berbicara."Tapi emang iya Bu, saya juga den
"Sudah ya Bu, saya permisi dulu. Kalau sampai ada yang berbicara tentang penglaris lagi, saya panggilkan Pak Haji Sobri. Biar meruqyahnya," pamit Ali."Maafkan kami ya, Bu? Kami hanya mendengar dari Mbak Mella," ucap Lasmi."Iya, Bu. Kami hanya mendengar ucapan Mbak Mella," sahut Bik Yani yang dari tadi hanya diam saja."Saya juga pusing kalau Mbak Mella kesini, kerjaannya ngomongin orang terus. Sudah itu ngambil apa-apa disini, pakai ngebon dulu. Catatan hutangnya masih banyak. Misalnya hutang dua ratus ribu, besok bayarnya seratus ribu. Sudah itu ngambil barang lima puluh ribu. Jadi hutangnya nggak habis-habis," keluh Bik Yani."Ha..ha… gali lubang tutup lubang itu namanya. Untung yang arisan lima ratus ribu kemarin, saya nggak ngajak dia. Bisa macet arisan kalau ngajak dia," lanjut Bik Tati."Yang arisan satu juta itu gimana?" tanya Wak Ijah."Dia sudah diganti sama Erna. Untung Mella belum narik. Jadi tinggal ngembaliin uangnya saja." Bik Tati menjelaskan."Sudah ya ibu-ibu saya m
Aku mengangguk, ajakan Emak merupakan titah bagiku. Kalau tidak dituruti bisa merepet berhari-hari. Aku memboncengkan Emak. Dengan mengendarai motor secara santai. Tidak ada komentar sedikitpun tentang Mella.Sampai di depan rumah Emak, aku berhenti dan Emak pun turun. Tanpa basa-basi langsung ngeloyor masuk ke rumah. Bapak yang duduk di teras tidak disapanya sama sekali. Dasar Emak aneh."Kok cepat pulangnya, Bu?" tanya Warti."Emak mengajak pulang.""Tadi Emak berangkat bareng Mbak Mella kan? Kemana Mbak Mella?" tanya Warti lagi."Lagi asyik nyanyi di panggung," jawab Minah sambil menunjukkan hpnya padaku."Wah ada yang sedang siaran langsung, MasyaAllah, Mbak Mella jogetnya hot sekali. Pakaiannya persis biduan hihi," sahut Warti."Mungkin Emak marah dengan kelakuan Mella, makanya Emak mengajak pulang cepat," ucapku."Mungkin juga Bu," kata Warti."Bakalan terjadi perang Bu, antara Mak Amir dan Mella. Pasti seru!" seloroh Minah."Hus, kamu ini bisa saja," ujarku."Bu, tuh lihat, Mba
Kejadian kemarin benar-benar memukul perasaan Emak. Emak tekanan darahnya naik lagi. Tadi sudah diperiksa oleh Bu Bidan dan Emak di kasih obat. "Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika aku masuk ke rumah Emak."Waalaikumsalam, masuk Nov!" kata Bapak.Hari ini aku mengantarkan sayur dan lauk untuk Emak dan Bapak, juga anak-anak. Biasanya Mella juga ikut nebeng makan. Dia memang jarang masak, mengandalkan kiriman masakan dariku. Kalau aku sih tidak masalah ia mau ikut makan. Asalkan jangan mencela masakanku. Yang kurang asin, terlalu manis, kurang matang dan sebagainya. Selalu mengomentari masakanku, tapi tetap ikut makan juga. Dasar nggak punya malu."Emak sudah makan, Pak?" tanyaku pada Bapak."Belum, tadi cuma makan roti," ucap Bapak."Ya sudah, saya antar makanan ke Emak dulu, ya Pak?" Bapak mengangguk. Aku segera menuju kamar Emak, tampak Emak sedang tiduran tapi tidak memejamkan mata."Mak, makan dulu, ya? Mau saya suapin?" tanyaku menawarkan diri."Nggak usah, taruh situ
Sudah beberapa hari ini suasana di rumah dan warung terasa tenang. Tidak ada huru hara lagi, karena biang keroknya pergi. Ya, Mella ikut Deni tinggal di perkebunan. Bagi yang sudah berkeluarga, mereka mendapat tempat tinggal berupa rumah semi permanen. Kalau masih lajang, tinggalnya di mess perusahaan. Sebenarnya Mella tidak mau ikut Deni, tapi Emak dan Bapak memaksa Mella ikut. Akhirnya, dengan terpaksa, Mella pun pergi ke perkebunan. Jarak dengan rumah Emak hanya dua jam perjalanan, kalau cuaca terang. Tapi kalau musim penghujan, yang tinggal di perkebunan tidak bisa keluar dari situ. Begitu juga sebaliknya, yang dari luar tidak bisa masuk ke perkebunan. Karena akses jalannya yang berlumpur, mirip kubangan kerbau. Hanya kendaraan besar semacam Fuso yang bisa lewat.Emak pun sekarang sudah agak baik denganku. Aku bilang agak, karena kadang-kadang masih suka ketus kalau berbicara denganku. Tapi itu sudah merupakan suatu perubahan yang sangat berarti bagiku. Kadang-kadang Emak ingin d