"Kok semua ada disini? Lagi ngapain? Emak sakit ya?" kata Deni yang tiba-tiba muncul di kamar Emak."Masuk rumah itu ucapkan salam, jangan asal nyelonong," tegur Bapak."Pa, baru nyampe ya? Ini lho Pa, semuanya menyuruh Mama ikut Papa ke perkebunan. Mereka semua membenci Mama," adu Mella pada Deni sambil menggelayut manja memegang lengan Deni. Jijik aku melihatnya, dasar perempuan tukang hasut dan suka mengadu."Benar begitu?" tanya Deni. Kami semua diam, ingin tahu apa yang akan diucapkan Mella pada Deni."Kata Mbak Aisyah, kemanapun suami tinggal, istri harus ikut. Nanti takutnya Papa didekati oleh pelakor." Mella menjelaskan pada Deni."Betul Deni, Mella ikut kamu saja," sahut Bapak menimpali perkataan Mella."Tapi Mama nggak mau, disana sepi. Nanti nggak punya teman juga disana," rengek Mella."Begini saja Deni, nanti kalau kamu pulang, Mella ikut kamu disana. Betahnya berapa hari disana," kata Bapak."Siapa nanti yang menjaga Emak?" tanya Mella."Bapak bisa menjaga Emak," ucap Ba
"Siapa yang bilang?" tanyaku."Lasmi bilang sama Bik Tati, Bik Yani sama Uli. Tapi buru-buru mereka menyingkir dan mengalihkan pembicaraan. Mungkin karena saya ada disana ya?" jelas Warti."Kamu percaya ucapan mereka?" "Enggak lah Bu, Pak Haji Sobri kemarin kan mengobati Pak Johan. Bukan jampi-jampi untuk penglaris," sahut Warti."Benar Warti, kemarin kan kita lihat, kalau ada orang yang sengaja membuat masalah disini. Dengan menanam jimat atau apalah itu di bawah pohon mangga. Jadi Pak Haji Sobri kemari untuk itu. Bukan untuk yang lainnya. Kalau Ibu, biarlah semuanya mengalir dengan sendirinya. Rejeki itu tidak akan tertukar. Yang penting kita berusaha, semuanya Allah yang mengaturnya," ucapku memberi penjelasan pada Warti."Betul itu Bu, kata nenek saya juga begitu. Usaha dan jangan lupa berdoa. Usaha tanpa doa itu sombong, Doa tanpa usaha itu malas. Jadi antara doa dan usaha harus seimbang," sambung Minah yang ternyata mendengarkan kami berbicara."Tapi emang iya Bu, saya juga den
"Sudah ya Bu, saya permisi dulu. Kalau sampai ada yang berbicara tentang penglaris lagi, saya panggilkan Pak Haji Sobri. Biar meruqyahnya," pamit Ali."Maafkan kami ya, Bu? Kami hanya mendengar dari Mbak Mella," ucap Lasmi."Iya, Bu. Kami hanya mendengar ucapan Mbak Mella," sahut Bik Yani yang dari tadi hanya diam saja."Saya juga pusing kalau Mbak Mella kesini, kerjaannya ngomongin orang terus. Sudah itu ngambil apa-apa disini, pakai ngebon dulu. Catatan hutangnya masih banyak. Misalnya hutang dua ratus ribu, besok bayarnya seratus ribu. Sudah itu ngambil barang lima puluh ribu. Jadi hutangnya nggak habis-habis," keluh Bik Yani."Ha..ha… gali lubang tutup lubang itu namanya. Untung yang arisan lima ratus ribu kemarin, saya nggak ngajak dia. Bisa macet arisan kalau ngajak dia," lanjut Bik Tati."Yang arisan satu juta itu gimana?" tanya Wak Ijah."Dia sudah diganti sama Erna. Untung Mella belum narik. Jadi tinggal ngembaliin uangnya saja." Bik Tati menjelaskan."Sudah ya ibu-ibu saya m
Aku mengangguk, ajakan Emak merupakan titah bagiku. Kalau tidak dituruti bisa merepet berhari-hari. Aku memboncengkan Emak. Dengan mengendarai motor secara santai. Tidak ada komentar sedikitpun tentang Mella.Sampai di depan rumah Emak, aku berhenti dan Emak pun turun. Tanpa basa-basi langsung ngeloyor masuk ke rumah. Bapak yang duduk di teras tidak disapanya sama sekali. Dasar Emak aneh."Kok cepat pulangnya, Bu?" tanya Warti."Emak mengajak pulang.""Tadi Emak berangkat bareng Mbak Mella kan? Kemana Mbak Mella?" tanya Warti lagi."Lagi asyik nyanyi di panggung," jawab Minah sambil menunjukkan hpnya padaku."Wah ada yang sedang siaran langsung, MasyaAllah, Mbak Mella jogetnya hot sekali. Pakaiannya persis biduan hihi," sahut Warti."Mungkin Emak marah dengan kelakuan Mella, makanya Emak mengajak pulang cepat," ucapku."Mungkin juga Bu," kata Warti."Bakalan terjadi perang Bu, antara Mak Amir dan Mella. Pasti seru!" seloroh Minah."Hus, kamu ini bisa saja," ujarku."Bu, tuh lihat, Mba
Kejadian kemarin benar-benar memukul perasaan Emak. Emak tekanan darahnya naik lagi. Tadi sudah diperiksa oleh Bu Bidan dan Emak di kasih obat. "Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika aku masuk ke rumah Emak."Waalaikumsalam, masuk Nov!" kata Bapak.Hari ini aku mengantarkan sayur dan lauk untuk Emak dan Bapak, juga anak-anak. Biasanya Mella juga ikut nebeng makan. Dia memang jarang masak, mengandalkan kiriman masakan dariku. Kalau aku sih tidak masalah ia mau ikut makan. Asalkan jangan mencela masakanku. Yang kurang asin, terlalu manis, kurang matang dan sebagainya. Selalu mengomentari masakanku, tapi tetap ikut makan juga. Dasar nggak punya malu."Emak sudah makan, Pak?" tanyaku pada Bapak."Belum, tadi cuma makan roti," ucap Bapak."Ya sudah, saya antar makanan ke Emak dulu, ya Pak?" Bapak mengangguk. Aku segera menuju kamar Emak, tampak Emak sedang tiduran tapi tidak memejamkan mata."Mak, makan dulu, ya? Mau saya suapin?" tanyaku menawarkan diri."Nggak usah, taruh situ
Sudah beberapa hari ini suasana di rumah dan warung terasa tenang. Tidak ada huru hara lagi, karena biang keroknya pergi. Ya, Mella ikut Deni tinggal di perkebunan. Bagi yang sudah berkeluarga, mereka mendapat tempat tinggal berupa rumah semi permanen. Kalau masih lajang, tinggalnya di mess perusahaan. Sebenarnya Mella tidak mau ikut Deni, tapi Emak dan Bapak memaksa Mella ikut. Akhirnya, dengan terpaksa, Mella pun pergi ke perkebunan. Jarak dengan rumah Emak hanya dua jam perjalanan, kalau cuaca terang. Tapi kalau musim penghujan, yang tinggal di perkebunan tidak bisa keluar dari situ. Begitu juga sebaliknya, yang dari luar tidak bisa masuk ke perkebunan. Karena akses jalannya yang berlumpur, mirip kubangan kerbau. Hanya kendaraan besar semacam Fuso yang bisa lewat.Emak pun sekarang sudah agak baik denganku. Aku bilang agak, karena kadang-kadang masih suka ketus kalau berbicara denganku. Tapi itu sudah merupakan suatu perubahan yang sangat berarti bagiku. Kadang-kadang Emak ingin d
Aku kaget melihat siapa yang datang. Deni, Mella dan Sheila turun dari mobil dengan membawa banyak tas. Sebanyak yang ia bawa kemarin.Bapak dan Bang Jo juga melongo melihat siapa yang datang."Kenapa melihatnya seperti itu? Nggak senang ya melihat aku datang?" kata Mella sambil masuk ke rumah. Deni sibuk mengangkat tasnya."Den, ada apa? Bukankah belum waktunya kamu libur?" tanya Bapak."Mella nggak betah tinggal disana, jadi mau kembali kesini lagi," sahut Deni sambil berjalan masuk ke dalam rumah.Apa? Tinggal disini lagi? Bisa terjadi perang terus. Waduh, baru senang beberapa Minggu, sekarang malah datang lagi si biang keroknya."Emak nggak mau, nggak setuju!" teriak Emak dari dalam. Semua langsung masuk ke rumah Emak. Aku yang tingkat kekepoannya tinggi, ikut masuk. Ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana.Emak tampak kesal, entah kesal dengan siapa?"Mak, ada apa?" tanya Bapak."Mereka mau tinggal disini lagi, Emak tidak setuju. Emak nggak mau Mella ada di rumah ini." Emak me
"Apa yang harus Bapak lakukan, Johan?" tanya Bapak Lagi."Aduh, aku nggak tahu Pak. Kalau dia disuruh bikin rumah, nggak bakal bisa. Disuruh ngontrak, biayanya juga dari mana. Aku juga heran dengan mereka, sudah lama berumah tangga, tapi nggak kelihatan hasilnya. Misalnya beli tanah kaplingan atau nyicil beli tanah. Yang ada hanya untuk penampilan saja," keluh Bang Jo."Itulah yang membuat Bapak pusing. Sepertinya Emak dan Bapak yang harus mengalah, berbesar hati hidup dengan mereka. Biarlah nanti Deni cari kerja disini. Kerja apa saja yang penting menghasilkan uang halal. Kalau Deni masih di perkebunan, terus Mella tinggal disini, Bapak nggak mau." Bapak menjawab keluhan Bang Jo."Biarlah mereka tinggal di rumah Bapak. Nanti kalau Bapak, Emak dan anak-anak mau makan, makan saja disini. Biar mereka mencari makan sendiri." Bang Jo memberikan solusi."Ya sepertinya memang itu jalan terbaik untuk saat ini. " ucap Bapak. "Bapak dan Emak nggak usah banyak pikiran, mudah-mudahan mereka nan