"Enggak kok, Pak. Ayah Nayla nunggu warung." Mungkin karena aku datang hanya berdua, dikira sedang berantem."Anisa mana Bu?" tanyaku pada Ibu Sis."Main, entah kemana mainnya." Ibu Sis menjawab ucapanku. Kemudian beliau masuk ke dalam. Aku mengikutinya."Bu, ini ada kabau kesukaan Bapak," ucapku."Wah kok malah repot-repot bawain segala. Hasil kebun ya?" jawab Ibu."Iya Bu, kemarin ada yang panen kabau di kebun.""Wah lumayan dong hasilnya. Disini cukup mahal. Sekilo seratus ribu.""Di dusun murah Bu. Kalau orang ambil di kebun, sekilo empat puluh ribu. Karena dia yang manjat dan yang mengambil kabaunya. Tapi dijual di pasar sekitar delapan puluh ribu."Kalau di daerah tempat tinggalku, kami menyebut desa dengan dusun. Mayoritas penduduk asli Sumatera. Kalau aku keturunan Jawa tapi dari lahir sudah di Sumatera. Sedangkan tempat tinggal Bapak, mayoritas orang keturunan Jawa.Kabau merupakan lalapan sejenis petai atau jering (jengkol). Kabau berupa buah yang lonjong berwarna hijau dan
"Serba salah, kalau saya bilang jujur pasti Mak Amir lebih marah lagi," kata Warti ketika Emak sudah pergi. Ia hanya bisa menghela nafas."Iya, padahal kita senyum tadi karena ucapan Mak Amir. Waktu ngomong oleh-oleh dari Ibu dimakan Mbak Mella. Katanya makanan ndeso, nggak tahunya malah doyan haha…" sahut Minah sambil tertawa."Sudah, nggak usah dimasukkan ke hati ucapan Emak tadi. Bisa stress kalian," sahutku membesarkan hati mereka."Mau kemana Pak?" tanyaku pada Bapak Mertua, ketika kulihat beliau pergi dengan Manto."Mau ikut Manto mengantarkan beras ke dusun sebelah," ucap Bapak.Ternyata Bapak pergi menemani Manto. Mungkin Bapak jenuh di rumah terus. Aku segera masuk ke dalam rumah menemui bapakku dan Bang Jo."Pak, pasti Nova sudah bercerita tentang rencana kami. Kami berencana membangun warung makan dan rumah di tanah sebelah sana," ucap Bang Jo."Iya, Bapak tadi sudah lihat tanahnya. Lebar kesamping ya?" kata Bapak."Iya, Pak. Rencananya warung yang bersebelahan dengan rumah
Sampai sekarang Deni belum mendapatkan pekerjaan tetap. Kerjanya hanya luntang lantung. Bapak dan Emak pusing melihat kegiatan Deni. Bapak yang sering curhat dengan Bang Jo. Kami juga bingung, karena kami tidak bisa membantu. Deni disuruh motong di kebun karet, nggak mau. Katanya gengsi.Motong adalah kegiatan menyadap pohon karet yang merupakan kebiasaan dari para petani karet di sebagian besar pulau Sumatera. Dengan menyadap karet para petani bisa menghasilkan getah karet yang nantinya dijual kepada pengepul atau toke.Sedangkan kalau untuk mengangkat hasil dari penampungan getah disebut ngangkit. Selama ini yang motong karet di kebun Bapak, dilakukan oleh orang lain dengan sistem bagi hasil. Karena Bapak sudah tua, tidak memungkinkan untuk motong lagi."Bapak pusing mikirin Deni. Kerjanya nggak karuan, hobi ikut pesta malam, pulang menjelang pagi. Nggak mikirin kebutuhan anak dan istri. Dulu dia kerja di perkebunan, lumayan hasilnya. Walaupun tidak pernah memberi uang pada Emak. T
"Mella...Mella…." Muncullah seorang perempuan yang ternyata ibunya Mella, yang datang membawa tas besar. Dandanannya seperti anak muda saja. Aku kok jadi malu melihat gaya berpakaian ibunya Mella. "Bertamu ke rumah orang itu, ucapkan salam. Jangan langsung teriak-teriak seperti itu. Kayak apa saja sih," celetuk Emak."Eh ada besan." Ibunya Mella cengengesan, ketika melihat Emak."Ya jelas ada aku, ini kan rumahku," sahut Emak dengan ketus."Kok semua ngumpul disini? Sepertinya sedang membicarakan hal penting. Oh ya, saya mau menginap disini untuk beberapa hari, kangen sama Mella dan Sheila," ucap Bu Tari, ibunya Mella."Wah kebetulan sekali. Mella tadi juga berniat mau pulang, katanya kangen sama rumah. Mella, mumpung masih siang, sana pulang sama ibumu. Biar kangen kalian terobati. Kalau disini, nanti terganggu dengan keberadaan kami," sahut Emak.Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Emak. Itulah Emak, selalu ceplas-ceplos kalau berbicara."Nggak usah, Besan. Biar saya saja yang men
Dewi dan Intan baru selesai sarapan, sebelum berangkat sekolah. Mereka sarapan di rumahku. "Ini uang sakunya, jangan jajan sembarangan ya?" pesanku pada anak-anak."Iya, Bu, terima kasih," jawab Intan.Dewi dan Intan berangkat sekolah, aku bersiap-siap untuk membuka warung. "Assalamualaikum, Bu," sapa Minah yang baru datang."Waalaikumsalam," jawabku."Biar saya saja yang menyapu, Bu," pinta Minah."Nggak usah, kamu kerjakan yang di belakang ya? Bantuin Bik Sarni dan Warti," ucapku."Baik, Bu," kata Minah sambil berjalan menuju ke dalam.Aku menyapu dan mengelap meja-meja, dilanjutkan mengelap etalase tempat sayur dan lauk di pajang. Pekerjaan yang menyenangkan bagiku. Sambil bersenandung, aku mengerjakan semua ini. "Wah, sedang bahagia ya? Pakai nyanyi segala. Tapi sayang suaranya nggak pas. Mella itu kalau menyanyi enak didengar, makanya kamu belajar nyanyi sama Mella." Ucap seseorang. Aku segera menoleh ke belakang, ternyata pagi-pagi Bu Tari sudah ada di warungku. Alamat bakal
"Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Rizal, tumben pagi-pagi sudah kesini," sapaku pada Rizal, anak buah Pak Haji Hadi. Perasaanku kok jadi nggak enak ya?"Eh Rizal, sama siapa?" sapa Bang Jo yang muncul dari belakang."Sendirian Pak," ucap Rizal dengan gugup."Ada apa Rizal?" tanya Bang Jo."Eh...gimana ya? Saya sebenarnya nggak enak hati disuruh kesini sama Pak Haji. Pak Haji sendiri juga nggak enak mau kesini langsung." Rizal menghela nafas."Ada apa? Kok berbelit-belit? Langsung saja," ucap Bang Jo. Aku yang mendengarkan ikut deg-degan. Apa ada masalah dengan pembangunan warung itu ya? Tapi Rizal kan nggak tahu kalau warung itu punya kami."Sebenarnya….""Sebenarnya begini Pak, Bu. Beberapa hari yang lalu Pak Deni dan istrinya menempati bedeng kontrakan Pak Haji. Katanya yang bayar kontrakan itu Pak Johan. Jadi nanti minta saja dengan Pak Johan…,"Belum selesai Rizal berbicara aku sudah mulai emosi dan memotong pembicaraannya."Apa? Deni bilang begitu?" teriakku."Sabar Dek, de
"Hutang apa, Mak?" tanyaku penasaran."Hutang Johan dan anak-anaknya selama belum menikah dengan kamu."Astaghfirullahaladzim, ada ya seorang ibu yang membiayai anak dan cucunya itu harus dibayar. Meminta imbalan. Yang ada dipikiran Emak hanya uang saja. Emak memang luar biasa keterlaluan. Seharusnya di usia Emak, banyak-banyak mendekatkan diri pada sang pencipta, bukan hanya memikirkan duniawi saja."Emak! Emak sangat keterlaluan, nggak punya perasaan. Ingat Mak, selama ini kita juga hidupnya dibiayai oleh Johan dan Nova," sahut Bapak."Itu kan sudah kewajiban anak terhadap orang tua," sahut Emak dengan enteng."Apakah kewajiban itu berlaku untuk kami saja, Mak? Apa Deni dan Mella nggak berkewajiban membiayai Emak dan Bapak? Kalau kami, ikhlas membiayai Emak dan Bapak. Tidak meminta imbalan apapun. Tapi, tolong, jangan perlakukan kami seperti ini. Seolah-olah Johan ini anak pungut yang harus dibedakan perlakuannya dengan Deni. Atau memang Johan ini akan pungut, Mak?" ucap Bang Jo den
"Oh, semoga semua lancar. Besok Deni dan Mella tinggal lagi di rumah. Deni berhasil merayu Emak," ucap Bapak sambil menghela nafas. Sepertinya Bapak kecewa dengan keputusan Emak.Aku kaget mendengar ucapan Bapak. Emak memang plin-plan, mungkin juga benar kata Bapak kalau Deni berhasil merayu Emak. Bakal ribut lagi Emak dan Mella. Aku sih nggak mau ambil pusing, sebentar lagi aku juga pindah. Menjauh dari mereka yang suka membuat huru-hara."Jadi, Deni dan Mella tinggal disitu lagi?" tanya Bang Jo.Bapak mengangguk dengan mata yang terlihat...entahlah, susah dijelaskan dengan kata-kata. Kasihan sekali dengan Bapak. ***"Bu, memang Ibu mau pindah ya?" tanya Minah."Siapa yang bilang?" jawabku."Mak Amir. Bagaimana dengan nasib kami Bu?" jawab Minah."Iya, Bu. Saya tadi malam nggak bisa tidur. Mikirin nanti jadi pengangguran, nggak punya penghasilan. Sedih sekali, Bu," sahut Warti sambil terisak-isak.Aku tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua."Kenapa kok Ibu malah tertawa," ucap