Bab 3
Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar semua ocehan Ibu yang terus menerus menyudutkan aku. Untung saja Kania sudah tidur, kalau tidak dia akan melihat perlakuan neneknya.
"Ibu itu nasehatin kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain. Kamu itu ya, diajarin taunya menjawab saja!" sungut Ibu kesal. Dia bahkan meminum tandas air di dalam gelas, mungkin mulutnya mulai kering karena terlalu banyak mengoceh.
"Iya dek, Ibu kan cuma ngajarin kamu. Biar kamu jadi istri yang Solehah dan bisa dengan mudah masuk surga," ucap Mas Dito sok alim.
"Oke, aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung membalikan badan menyusuri tangga agar bisa sampai ke kamar.
"Mau kemana kamu, Rosa. Saya belum habis bicara. Kamu selalu meninggalkan saya yang sedang menasehati kamu," teriak Ibu saat melihatku pergi tanpa pamit. Aku memilih abai, biarkan saja Ibu terus mengoceh.
"Kamu cuci dulu ini piring kotor, baru tidur. Dasar menantu malas, piring kotor bukannya langsung dicuci malah ditinggal tidur. Lihat itu kelakuan istri kamu Dito, nyesal Ibu nerima dia jadi menantu."
Ibu terus saja merepet tanpa henti, suaranya yang besar bisa aku dengar sampai kedalam kamar bahkan setelah pintu kamar ditutup. Kebiasaan memang kalau dia ngomong kayak bicara sama orang tuli saja.
"Kalau kamu nggak mau terus diinjak-injak sama istri, kamu harus tegas. Jangan lembek kayak kerupuk disiram air panas. Kamu itu kepala rumah tangga, sudah sepatutnya dia menuruti semua perintah kamu!"
Aku hanya bisa mengusap air mataku mendengar semua penuturan Ibu pada Mas Dito. Bukannya ini pilihan kamu Rosa. Kenapa kamu menangis. Sudah sepantasnya anak durhaka seperti kamu menuai hasil pilihan kamu sendiri. Batinku menjerit pedih.
Hatiku terus berkecamuk memikirkan semua pembicaraan Ibu hari ini. Andai saja dulu aku menuruti perkataan Ayah dan Ibu agar tidak menikah dengan Mas Dito.
Aku menangis dalam diam, hatiku perih bagai tertusuk pisau tumpul. Berkali-kali aku istighfar agar aku tidak lepas kendali. Tidak mungkin aku mengadu sama Ayah dan Ibu tentang keadaan rumah tanggaku. Aku terlanjur malu dengan semua ini, walaupun sekarang sepertinya Ayah dan Ibu memaksakan diri menerima keberadaan Mas Dito. Tetap saja ada pembatas diantara mereka.
Tok Tok Tok
"Rosa. Buka pintunya, aku mau masuk," aku terkejut karena ketukan pintu yang dilakukan oleh Mas Dito. Aku menghapus air mataku secara kasar, lalu bangun dan membuka pintu kamar untuk Mas Dito.
Dia masuk dengan wajah ditekuk, ternyata Mas Dito lebih mendengarkan perintah Ibunya. Terbukti dia tidak menyapaku ataupun tersenyum. Dia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur, dan menarik selimut sampai menutup seluruh badannya.
Aku mendesah perlahan lalu aku melakukan hal yang sama dengan Mas Dito. Hampir saja aku tertidur, gerakan Mas Dito membangunkan ku. Dia membolak-balik badannya, entah dia sengaja atau tidak, tapi aku tidak nyaman dia seperti ini.
"Kalau kamu nggak ngantuk kamu boleh keluar, Mas. Aku terganggu," ucapku tanpa menoleh ke arahnya.
"Belikan aku ponsel baru," ucapnya yang membuatku terpaksa membuka mata. Ternyata dia tidak bisa tidur karena memikirkan ponselnya yang rusak karena aku lempar tadi.
Dia memang terbiasa tidur tengah malam, bisa jadi dia tidak tidur malam hari. Pagi jam 4 atau jam 5 Mas Heri baru tidur. Dia asyik main game online di ponselnya, dan malam ini dia tidak bisa bermain seperti biasanya.
"Aku nggak ada uang, Mas," jawabku singkat. Kemudian mencoba memejamkan mata agar besok aku bisa lebih waras dari sekarang.
"Nggak mungkin, aku tau kok uang kamu banyak. Ya kan?" ucapnya sambil menarik bahuku agar menghadap ke arahnya. Terpaksa aku harus kembali membuka mata ini, rasa kantuk seketika hilang.
"Aku memang nggak ada uang, Mas. Kamu tau sendiri gajiku berapa," seruku dengan suara sedikit tinggi.
"Bohong. Aku pernah lihat buku tabungan kamu," ucapnya menatapku tajam. Selalu begini.
"Kamu kan tau sendiri, Mas. Itu uang untuk biaya pendidikan Kania, lagian aku juga mau buka usaha sendiri. Biar gak terus menerus kerja di tempat orang."
Aku memang berniat untuk membuka butik, atau setidaknya perlengkapan bayi atau anak. Karena aku tidak ingin selamanya bekerja dengan orang lain, bagaimanapun kedepannya aku membutuhkan lebih banyak uang untuk biaya Kania sekolah.
"Dia masih kecil, ambil saja dulu beberapa. Nanti kita bisa tabung lagi untuk dia," ucapnya memelas.
"Kita?" ejekku dengan menaikkan sebelah alis.
Terlihat Mas Dito kikuk tidak tau harus menjawab apa.
"Kita atau aku maksud kamu, Mas?" tanyaku lagi dengan pertanyaan yang sama.
"Kamu kenapa jadi perhitungan banget sekarang sih, itu juga ponselku rusak karena kamu!" bentaknya dengan suara meninggi.
"Besok aku belikan," ucapku sambil membalikkan badan ke arah lain. Ini memang salahku karena sudah melempar ponselnya sampai pecah.
Biarlah aku menggantinya, yang penting tidak terjadi keributan lagi setelah ini.
"Ibu kapan pulang?" tanyaku lagi.
"Nggak tau," jawabnya acuh.
"Kamu kalau mau Ibu cepat pulang, berlakulah seperti yang Ibu harapkan. Jadi Ibu bisa meninggalkan rumah ini dengan rasa aman, tanpa memikirkan nasibku yang seperti laki-laki tanpa istri."
Deg!
"Oke, mulai besok aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut. Aku harus istirahat yang cukup, agar besok lebih kuat menghadapi kenyataan hidup.
Bab 4 Pagi.Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku bangun dan menunaikan shalat subuh. Sengaja tidak ku bangunkan Mas Dito, percuma dia tidak akan bangun. Biasanya dulu juga begitu, dia akan tidur jam 4 subuh setelah dia memainkan gamenya.Selalu begitu memang, dan dia akan bangun ketika perutnya keroncongan. Dulu aku pernah menegurnya karena tidak pernah shalat. Tapi dia selalu diam saja dan tidak menanggapi semua ocehanku.Setelah shalat aku langsung ke dapur, memasak dan mencuci piring kotor sisa semalam. Ternyata Ibu semalam tidak mencuci piring bekas dia makan.Aku membuang nafas kasar. Piring yang sudah aku bilas langsung aku atur di rak piring. Kemudian mengambil nasi sisa semalam untuk aku goreng. Kasihan jika nasi ini aku buang, karena masih bagus dan tidak basi. Kemudian aku membuka kulkas untuk mengambil ayam yang sudah aku kukus kemarin. Mengambil beberapa cabe merah, bawang putih dan bawang merah. Tidak lupa tomat dan kemiri juga kunyit. Rencananya aku aka
Bab 5Sebenarnya aku malas membicarakan hal ini pada orang lain, termasuk Devan. Karena bagaimanapun ini aib rumah tangga."Jadi selama ini suami kamu nggak kerja?" tanya Devan terkejut. Aku menggeleng, memberinya jawaban."Berapa lama?" tanyanya penasaran."Selama Kania lahir," jawabku lagi sambil melihat kearah jendela."Empat tahun lebih berarti? Ya ampun, jadi selama ini kamu jadi tulang rusuk sekalian jadi tulang punggung keluarga?" Devan semakin terkejut mendengar penuturanku barusan. Mungkin dia tidak menyangka jika aku mengalami masalah seperti wanita di luar sana.Tidak dapat dipungkiri memang, jika sekarang banyak wanita yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah."Kamu tau, Rosa? Suami kamu sungguh tidak punya harga diri. Karena harga diri seorang laki-laki itu ada di pekerjaannya." Deg!Seperti ada yang mencubit hatiku ketika Devan berkata demikian. Karena selama ini, akulah yang mungkin bersalah. Karena tidak pernah menegur Mas Dito untuk mencari pekerjaan.A
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
"Kamu nggak kerja, Rosa. Kok masih di rumah jam segini?" tanya Mas Dito saat kami sedang sarapan bersama pagi. Ibu masih ikut duduk di meja makan. Dia kembali memotong buah dan menikmatinya."Mulai hari ini aku udah nggak kerja lagi, Mas," ucapku pelan namun mampu membuat Mas Dito dan Ibu mertua melongo. Mas Dito bahkan terbatuk saat mendengar ucapanku barusan. Rasakan, aku akan memberinya pelajaran bagaimana rasanya mencari pekerjaan di luar sana."Apa, Ros? Kamu nggak kerja lagi, maksudnya gimana?" tanya Mas Dito sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mas Dito barusan. Karena aku harus tetap bersikap santai di depan mereka berdua."Kamu berhenti kerja atau dipecat?" tanya Ibu yang menatapku bergantian dengan mas Dito."Aku memang mengundurkan diri, Bu, bukan dipecat. Karena kan aku ingin menjadi istri solehah untuk Mas Dito. Jadi aku harus memilih salah satu dari itu, dan aku lebih memilih Mas Dito s
"Rosa ini kok rumah berantakan kayak gini. Ya ampun, pusing Ibu lihatnya." Suara teriakan Ibu yang baru saja pulang menggelegar sampai ke dapur.Aku yang sedang menata makanan di atas meja makan segera menghentikan aktivitas. Dengan cepat aku berlari ke arah depan, agar Ibu berhenti berteriak. Karena saat ini Kania sedang tidur siang. Aku tidak ingin dia terbangun karena suara ribut Ibu."Apa sih, Bu teriak-teriak. Pulang-pulang itu ngucapin salam," ucapku yang dibalas lirikan sinis oleh Ibu. Sedangkan Mas Dito langsung berjalan masuk ke rumah."Kamu aja yang budeg. Orang ngucapin salam kamu nggak dengar," sanggah ibu sambil berlalu pergi. Aku hanya harus bersabar beberapa saat lagi. Setelah kesabaranku habis, maka aku akan menyuruh Ibu untuk pergi dari sini."Rosa, kamu masaknya kok banyak banget sih," seru Mas Dito ketika kami sudah di dapur. Tadi setelah Ibu dan Mas Dito mengganti baju, mereka langsung ke dapur untuk makan."Ya biasanya juga kayak gini kan, Mas?" jawabku sambil men
"Kalau Ibu mau ya silahkan saja. Aku akan memberikan uang itu sama Mas Dito. Nanti biar Mas Dito saja yang memberikan uang itu pada Ibu," ujarku yang membuat wajah Ibu berbinar. Ada senyum yang terbit di wajahnya yang sudah mulai keriput."Dua juta itu cuma cukup untuk bulan ini aja, Rosa. Nggak sampai aku gajian," ucap Mas Dito tidak terima."Memangnya kamu mau kerja apa, Mas. Kalau kamu kerja serabutan atau kuli di pasar aku rasa kamu dibayar harian," sanggahku yang membuat Mas Dito dan Ibu membulatkan matanya."Kuli pasar kamu bilang? Nggak, enak aja suami setampan ini mau kamu suruh jadi kuli pasar. Dito itu cocoknya kerja kantoran," sahut Ibu menyanggah ucapanku."Iya, aku juga nggak mau lah kerja jadi kuli pasar. Yang benar aja," sahut Mas Dito lagi tidak terima. Aku hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan mereka."Kan aku bilang misalnya. Kalau kamu mau cari kerja kantoran ya silahkan, Mas. Intinya itu aku sama sekali tidak keberatan kamu mau kerja apa aja. Asalkan halal dan be
"Tapi kenapa, Bu? Nggak ah, aku udah ambil keputusan. Dan itu tidak bisa diganggu gugat," seruku menolak perintah Ibu barusan. Matanya nyalang menatapku karena menolak permintaannya barusan. Masa bodoh, aku tidak peduli lagi dengan mereka. Baru aku tes begini saja mereka sudah kalang kabut. Apalagi kalau aku udah mulai minta uang nafkah sama Mas Dito."Kamu belum ngerti juga maksud Ibu. Kamu kan tau sendiri kalau suami kamu itu sekarang lagi nggak ada pekerjaan. Eh kamu malah keluar dari tempat kerja, kamu bodoh atau gimana sih?" bentak Ibu dengan nafas memburu."Ya Mas Dito tinggal nyari kerja aja, Bu. Lagian kan nggak usah kerja kantoran untuk menghasilkan uang. Aku nggak malu kok Mas Dito mau kerja apa aja. Yang penting halal dan berkah," sanggahku membela diri. Aku tidak ingin lagi kalah dalam hal ini."Kamu memang nggak malu. Wong kamu istri yang zalim. Anakku yang malu, masak ganteng-ganteng gitu kerjanya serabutan," ejek Ibu yang membuat darahku mendidih."Terus kalau cuma dud
"Kamu nggak kerja, Rosa. Kok masih di rumah jam segini?" tanya Mas Dito saat kami sedang sarapan bersama pagi. Ibu masih ikut duduk di meja makan. Dia kembali memotong buah dan menikmatinya."Mulai hari ini aku udah nggak kerja lagi, Mas," ucapku pelan namun mampu membuat Mas Dito dan Ibu mertua melongo. Mas Dito bahkan terbatuk saat mendengar ucapanku barusan. Rasakan, aku akan memberinya pelajaran bagaimana rasanya mencari pekerjaan di luar sana."Apa, Ros? Kamu nggak kerja lagi, maksudnya gimana?" tanya Mas Dito sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mas Dito barusan. Karena aku harus tetap bersikap santai di depan mereka berdua."Kamu berhenti kerja atau dipecat?" tanya Ibu yang menatapku bergantian dengan mas Dito."Aku memang mengundurkan diri, Bu, bukan dipecat. Karena kan aku ingin menjadi istri solehah untuk Mas Dito. Jadi aku harus memilih salah satu dari itu, dan aku lebih memilih Mas Dito s
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.