Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran Ibu saat ini, bagaimana bisa dia ikut campur sejauh ini. Bagaimanapun kami berhak menentukan aturan hidup kami sendiri setelah menikah, apalagi kami sudah tinggal dirumah kami sendiri.
"Yaudah kalau Ibu sudah memecat Bik Minah nggak papa, mumpung ada Ibu. Bisa gantiin Bik Minah, aku mau istirahat." Setelah mengucapkan itu aku langsung berlalu ke kamar tanpa memperdulikan lagi umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut Ibu.
Padahal belum sehari Ibu tinggal di sini. Tapi sudah membuat kekacauan yang membuat kepalaku hampir pecah. Inilah sebabnya mengapa aku tidak pernah mau tinggal bersama orangtuanya Mas Dito. Karena sifat kerasnya Ibu. Jangankan aku menantunya, Mas Heri saja kadang-kadang tidak sanggup meladeni maunya Ibu.
Brak!
Aku menutup pintu dengan kuat, inilah salah satu sebab mengapa aku tidak suka tinggal bersama mertua. Sikap Ibu memang begini dari dulu, dia sangat tegas dan juga kasar. Dia tidak segan-segan untuk memarahiku bahkan jika itu depan orang banyak.
Pernah dulu ketika baru-baru menikah dengan Mas Dito aku ikut Ibu untuk rewang di rumah tetangga. Kebetulan anaknya akan menikah, jadi aku ikut untuk membantu.
Tapi ketika aku sedang merajang cabai, Ibu segera menepis tanganku kasar.
"Kamu, rajang cabai aja nggak bisa. Jangan bulet-bulet gini, kamu iris yang tipis saja. Karena ini buat tauco. Anak jaman sekarang apa-apa tidak bisa!" Ibu memarahiku di depan orang banyak, dan aku menjadi pusat perhatian semua orang saat itu.
Hampir saja aku menangis disana, tapi dengan sekuat tenaga aku menahan gejolak dalam hati. Ini mungkin karena aku melawan perintah Ibu dan Bapak untuk menikah dengan Mas Al, anaknya sahabat Ayah.
"Kamu kenapa sih, Dek. Pulang kerja marah-marah terus," tanya Mas Dito yang membuatku tersentak kaget. Bayangan tentang masa lalu membuatku urung untuk mandi dan juga mengganti baju.
Padahal rencananya tadi aku akan segera membersihkan badan agar pikiranku menjadi lebih fresh. Tapi urung aku lakukan karena rasa kesal yang aku lampiaskan pada bantal dan guling.
"Kapan Ibu akan pulang?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan dari Mas Dito tadi.
"Kok kamu nanyanya gitu sih, Dek. Ibuku baru datang, kok udah nanya kapan pulang?" ujar Mas Dito dengan nada sedikit kesal.
"Aku nggak mau ya, Mas gara-gara Ibu rumah tangga kita berantakan," tegasku dengan menatapnya tajam.
"Berantakan gimana, yang Ibu bilang tadi kan ada benarnya juga. Lihat semenjak kamu kerja kamu nggak pernah lagi masak buat aku dan Lea," jawabnya memberi alasan. Aku mendesah panjang mendengar pernyataannya barusan.
"Gimana aku mau masak, Mas. Aku kerja jam 8 pagi pulang jam 6 sore. Kamu tau sendiri kan gimana capeknya aku sebelum berangkat kerja?"
"Aku nyuci baju, nyuci piring. Nyapu, ngepel, kasih Kania makan. Semuanya aku lakuin sendiri, Mas. Aku capek, aku lelah."
"Kamu pernah ngebantuin aku, nggak kan?" Aku mencercanya dengan semua uneg-uneg yang ada dalam hati. Selama ini aku diam bukan berarti aku tidak lelah, tapi aku hanya berusaha menikmati peranku sebagai istri dan juga sebagai wanita karir.
"Maafkan aku. Mulai sekarang aku janji akan membantu kamu dirumah," jawabnya. Kini Mas Dito sudah berjongkok di depanku yang duduk di atas ranjang. Dia memegang tanganku lembut dan membawanya ke pipi.
"Aku nggak tahan sama sikap Ibu, Mas. Dia seakan-akan menyudutkan aku harus bisa menjadi istri yang sempurna," gumamku sambil menangis.
"Sudah, kamu sabar aja dulu beberapa hari ini ya. Aku yakin Ibu nggak bakalan lama kok disini," ucap Mas Dito menenangkan hatiku yang sedang gundah.
Aku hanya mengangguk mengerti, aku tahu tadi aku sedikit keterlaluan dengan Ibu. Bagaimanapun dia adalah wanita yang sudah melahirkan laki-laki yang kini sudah menjadi suamiku.
"Aku mau mandi dulu, Mas." Kulepaskan genggaman tangan Mas Dito lalu beranjak pergi ke kamar mandi. Sengaja aku menguncinya dari dalam, agar Mas Dito tidak ikut masuk. Setelah ini aku akan melihat Kania.
**
"Ibu mau bicara penting sama kamu, Rosa," ucap Ibu saat kami sedang makan malam. Karena tidak ada Bik Minah lagi, maka terpaksa aku memesan makanan lewat aplikasi.
Sebenarnya stok makanan ada di dalam kulkas, hanya saja aku sudah terlalu letih untuk kembali berkutat dengan dapur. Tidak mungkin aku menyuruh Ibu, karena Ibu juga mungkin lelah karena perjalanan jauh dari desa ke sini.
"Bicaralah, Bu," ucapku menghentikan aktivitas makan malamku.
"Kamu tau kan kalau kewajiban seorang istri itu mengurus rumah, suami dan anak?" tanya Ibu dengan tatapan menusuk.
Aku hanya mengangguk tanda mengerti, ternyata Ibu masih membicarakan hal itu.
"Ibu, sudah. Kami sudah membicarakannya tadi," ucap Mas Dito menghentikan niat Ibu untuk menasehatiku.
"Diam kamu, Dito. Kamu jadi laki-laki jangan kaku. Kamu itu suami, kamu yang berhak atas semua dalam rumah ini. Istri kamu ini perlu Ibu ajarkan bagaimana caranya menjadi istri yang Soleha," kilah Ibu berang.
Kalau sudah begini, Mas Dito hanya bisa diam tanpa berani berkutik. Seperti lintah kena garam, tadi aja di dalam kamar bilangnya mau belain aku.
"Rosa, kamu lihat kan. Betapa sayangnya Dito sama kamu, sampai-sampai dia menyuruh Ibu untuk diam."
Aku masih diam, sesekali aku mengambil sosis goreng untukku makan. Ocehan Ibu semakin membuatku merasa lapar.
"Seharusnya itu kamu bersyukur memiliki suami seperti Dito anak saya. Dia tampan, tubuhnya bagus, kulitnya bersih. Jika dia mau, bisa saja dia menikah lagi dengan perempuan yang lebih cantik dari kamu," hardik Ibu yang membuat jantungku berpacu lebih cepat.
"Maksud Ibu apa ya?" tanyaku membalas tatapan pongahnya itu.
"Kamu sadar, kamu sudah menyia-nyiakan anak saya. Dia makan tidak terurus, punya istri seperti tidak punya istri," ejek Ibu dengan mulutnya yang miring-miringkan.
"Ibu tau kenapa kulit Mas Dito lebih bersih dariku? Itu karena anak Ibu ini cuma ongkang-ongkang kaki dirumah, kerajaannya cuma main game dan makan. Sedangkan aku, aku kerja banting tulang di luar biar bisa ngasih anak Ibu makan," sungutku geram.
Aku akui memang Mas Dito sangat tampan, dia memiliki tubuh atletis dan juga kulit putih bersih. Bahkan kulitnya lebih bersih dari kulitku, wajahnya bersih sedangkan wajahku penuh dengan jerawat.
"Diam kamu, dasar istri durhaka. Kamu kan tau sendiri anak saya itu tidak bisa kerja kalau bukan kerja kantoran, jadi kamu seharusnya sebagai istri memaklumi itu," hardik Ibu lagi yang membuatku ingin tertawa sekaligus menangis.
"Terus menurut Ibu aku harus ngapain biar bisa jadi istri soleha?" tanyaku dengan suara yang masih tinggi.
"Kamu itu harus bangun lebih pagi untuk memasak buat suami kamu dan juga Kania. Setelah memastikan mereka kenyang dan rumah sudah bersih baru kamu berangkat bekerja, dan jangan lupa pulang kerja kamu kembali membereskan semuanya. Jangan taunya beli aja kayak gini, ngabisin duit aja," cerocos Ibu panjang lebar. Entah sampai kapan Ibu akan terus disini, aku sudah sangat lelah dengan sikap Ibu.
"Ibu lihat juga stok makanan masih penuh di dalam kulkas. Seharusnya kamu kan bisa masak untuk makan kita semua. Nggak harus beli, jangan boros kamu!"
Dia mengaturku seolah-olah selama ini aku sudah menjadi istri yang durhaka sama suami. Padahal aku sudah sangat lelah dengan pekerjaan di kantor, belum lagi ketika pulang Kania biasanya akan nangis minta digendong.
"Jadi maksud Ibu aku harus bekerja ekstra?" tanyaku tidak percaya dengan penuturan Ibu barusan. Kulihat Mas Dito hanya bisa memijit pelipisnya melihat kamu bertengkar.
"Bukan kerja ekstra, tapi itu memang sudah menjadi kewajiban kamu sebagai istri," cebik Ibu lagi dengan tatapan khasnya.
Andai dulu aku menuruti keinginan Ibu dan Ayah agar tidak menikah dengan Mas Dito. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus bisa menghadapi semua konsekuensi yang diterima atas pilihanku dulu.
Ibu dan Ayah bukannya tidak menyukai Mas Dito, hanya saja mereka tidak suka sama Ibunya–mertuaku. Karena menurut orang yang dibayar oleh Ayah untuk mencari tahu tentang keluarganya Mas Dito, Ibunya ini bermulut pedas dan juga suka hutang.
Hutangnya itu dimana-mana, hampir semua penduduk desanya diminta hutang oleh Ibu. Kabar lain yang didapat juga Ayahnya Mas Dito juga doyan menikah. Makanya Ayah dan Ibu melarang keras aku menikah dengannya. Tapi aku yang kadung cinta tidak mau mendengarkan semua nasihat Ayah dan Ibu. Beginilah nasib jika anak tidak patuh dengan perintah orang tua.
"Terus, kewajiban Mas Dito sebagai suami apa?" tanyaku menunjuk kearah Mas Dito yang sedang duduk terpaku. Dia terlihat frustasi melihat aku dan Ibu saling adu mulut. Padahal jujur, tadinya aku akan meminta maaf atas sikapku tadi pas Ibu baru sampai di sini. Tapi sekarang, niat itu langsung aku urungkan.
"Kok bawa-bawa aku sih, dek?" sanggah Mas Dito melihat kearahku.
"Jadi siapa yang harus aku salahkan, suami orang lain?" tantangku berkacak pinggang.
"Diam kamu, Rosa. Kamu harus menghormati suami dan juga saya Ibu mertua kamu!" bentak Ibu.
Bab 3Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar semua ocehan Ibu yang terus menerus menyudutkan aku. Untung saja Kania sudah tidur, kalau tidak dia akan melihat perlakuan neneknya."Ibu itu nasehatin kamu, jadi jangan menyalahkan orang lain. Kamu itu ya, diajarin taunya menjawab saja!" sungut Ibu kesal. Dia bahkan meminum tandas air di dalam gelas, mungkin mulutnya mulai kering karena terlalu banyak mengoceh."Iya dek, Ibu kan cuma ngajarin kamu. Biar kamu jadi istri yang Solehah dan bisa dengan mudah masuk surga," ucap Mas Dito sok alim."Oke, aku akan melakukan tugasku sebagai istri." Setelah mengatakan itu aku langsung membalikan badan menyusuri tangga agar bisa sampai ke kamar."Mau kemana kamu, Rosa. Saya belum habis bicara. Kamu selalu meninggalkan saya yang sedang menasehati kamu," teriak Ibu saat melihatku pergi tanpa pamit. Aku memilih abai, biarkan saja Ibu terus mengoceh."Kamu cuci dulu ini piring kotor, baru tidur. Dasar menantu malas, piring kotor bukannya langsung dicuci
Bab 4 Pagi.Jam menunjukkan pukul empat pagi. Seperti biasa aku bangun dan menunaikan shalat subuh. Sengaja tidak ku bangunkan Mas Dito, percuma dia tidak akan bangun. Biasanya dulu juga begitu, dia akan tidur jam 4 subuh setelah dia memainkan gamenya.Selalu begitu memang, dan dia akan bangun ketika perutnya keroncongan. Dulu aku pernah menegurnya karena tidak pernah shalat. Tapi dia selalu diam saja dan tidak menanggapi semua ocehanku.Setelah shalat aku langsung ke dapur, memasak dan mencuci piring kotor sisa semalam. Ternyata Ibu semalam tidak mencuci piring bekas dia makan.Aku membuang nafas kasar. Piring yang sudah aku bilas langsung aku atur di rak piring. Kemudian mengambil nasi sisa semalam untuk aku goreng. Kasihan jika nasi ini aku buang, karena masih bagus dan tidak basi. Kemudian aku membuka kulkas untuk mengambil ayam yang sudah aku kukus kemarin. Mengambil beberapa cabe merah, bawang putih dan bawang merah. Tidak lupa tomat dan kemiri juga kunyit. Rencananya aku aka
Bab 5Sebenarnya aku malas membicarakan hal ini pada orang lain, termasuk Devan. Karena bagaimanapun ini aib rumah tangga."Jadi selama ini suami kamu nggak kerja?" tanya Devan terkejut. Aku menggeleng, memberinya jawaban."Berapa lama?" tanyanya penasaran."Selama Kania lahir," jawabku lagi sambil melihat kearah jendela."Empat tahun lebih berarti? Ya ampun, jadi selama ini kamu jadi tulang rusuk sekalian jadi tulang punggung keluarga?" Devan semakin terkejut mendengar penuturanku barusan. Mungkin dia tidak menyangka jika aku mengalami masalah seperti wanita di luar sana.Tidak dapat dipungkiri memang, jika sekarang banyak wanita yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah."Kamu tau, Rosa? Suami kamu sungguh tidak punya harga diri. Karena harga diri seorang laki-laki itu ada di pekerjaannya." Deg!Seperti ada yang mencubit hatiku ketika Devan berkata demikian. Karena selama ini, akulah yang mungkin bersalah. Karena tidak pernah menegur Mas Dito untuk mencari pekerjaan.A
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
"Rosa ini kok rumah berantakan kayak gini. Ya ampun, pusing Ibu lihatnya." Suara teriakan Ibu yang baru saja pulang menggelegar sampai ke dapur.Aku yang sedang menata makanan di atas meja makan segera menghentikan aktivitas. Dengan cepat aku berlari ke arah depan, agar Ibu berhenti berteriak. Karena saat ini Kania sedang tidur siang. Aku tidak ingin dia terbangun karena suara ribut Ibu."Apa sih, Bu teriak-teriak. Pulang-pulang itu ngucapin salam," ucapku yang dibalas lirikan sinis oleh Ibu. Sedangkan Mas Dito langsung berjalan masuk ke rumah."Kamu aja yang budeg. Orang ngucapin salam kamu nggak dengar," sanggah ibu sambil berlalu pergi. Aku hanya harus bersabar beberapa saat lagi. Setelah kesabaranku habis, maka aku akan menyuruh Ibu untuk pergi dari sini."Rosa, kamu masaknya kok banyak banget sih," seru Mas Dito ketika kami sudah di dapur. Tadi setelah Ibu dan Mas Dito mengganti baju, mereka langsung ke dapur untuk makan."Ya biasanya juga kayak gini kan, Mas?" jawabku sambil men
"Kalau Ibu mau ya silahkan saja. Aku akan memberikan uang itu sama Mas Dito. Nanti biar Mas Dito saja yang memberikan uang itu pada Ibu," ujarku yang membuat wajah Ibu berbinar. Ada senyum yang terbit di wajahnya yang sudah mulai keriput."Dua juta itu cuma cukup untuk bulan ini aja, Rosa. Nggak sampai aku gajian," ucap Mas Dito tidak terima."Memangnya kamu mau kerja apa, Mas. Kalau kamu kerja serabutan atau kuli di pasar aku rasa kamu dibayar harian," sanggahku yang membuat Mas Dito dan Ibu membulatkan matanya."Kuli pasar kamu bilang? Nggak, enak aja suami setampan ini mau kamu suruh jadi kuli pasar. Dito itu cocoknya kerja kantoran," sahut Ibu menyanggah ucapanku."Iya, aku juga nggak mau lah kerja jadi kuli pasar. Yang benar aja," sahut Mas Dito lagi tidak terima. Aku hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan mereka."Kan aku bilang misalnya. Kalau kamu mau cari kerja kantoran ya silahkan, Mas. Intinya itu aku sama sekali tidak keberatan kamu mau kerja apa aja. Asalkan halal dan be
"Tapi kenapa, Bu? Nggak ah, aku udah ambil keputusan. Dan itu tidak bisa diganggu gugat," seruku menolak perintah Ibu barusan. Matanya nyalang menatapku karena menolak permintaannya barusan. Masa bodoh, aku tidak peduli lagi dengan mereka. Baru aku tes begini saja mereka sudah kalang kabut. Apalagi kalau aku udah mulai minta uang nafkah sama Mas Dito."Kamu belum ngerti juga maksud Ibu. Kamu kan tau sendiri kalau suami kamu itu sekarang lagi nggak ada pekerjaan. Eh kamu malah keluar dari tempat kerja, kamu bodoh atau gimana sih?" bentak Ibu dengan nafas memburu."Ya Mas Dito tinggal nyari kerja aja, Bu. Lagian kan nggak usah kerja kantoran untuk menghasilkan uang. Aku nggak malu kok Mas Dito mau kerja apa aja. Yang penting halal dan berkah," sanggahku membela diri. Aku tidak ingin lagi kalah dalam hal ini."Kamu memang nggak malu. Wong kamu istri yang zalim. Anakku yang malu, masak ganteng-ganteng gitu kerjanya serabutan," ejek Ibu yang membuat darahku mendidih."Terus kalau cuma dud
"Kamu nggak kerja, Rosa. Kok masih di rumah jam segini?" tanya Mas Dito saat kami sedang sarapan bersama pagi. Ibu masih ikut duduk di meja makan. Dia kembali memotong buah dan menikmatinya."Mulai hari ini aku udah nggak kerja lagi, Mas," ucapku pelan namun mampu membuat Mas Dito dan Ibu mertua melongo. Mas Dito bahkan terbatuk saat mendengar ucapanku barusan. Rasakan, aku akan memberinya pelajaran bagaimana rasanya mencari pekerjaan di luar sana."Apa, Ros? Kamu nggak kerja lagi, maksudnya gimana?" tanya Mas Dito sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mas Dito barusan. Karena aku harus tetap bersikap santai di depan mereka berdua."Kamu berhenti kerja atau dipecat?" tanya Ibu yang menatapku bergantian dengan mas Dito."Aku memang mengundurkan diri, Bu, bukan dipecat. Karena kan aku ingin menjadi istri solehah untuk Mas Dito. Jadi aku harus memilih salah satu dari itu, dan aku lebih memilih Mas Dito s
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.