Bab 5
Sebenarnya aku malas membicarakan hal ini pada orang lain, termasuk Devan. Karena bagaimanapun ini aib rumah tangga.
"Jadi selama ini suami kamu nggak kerja?" tanya Devan terkejut. Aku menggeleng, memberinya jawaban.
"Berapa lama?" tanyanya penasaran.
"Selama Kania lahir," jawabku lagi sambil melihat kearah jendela.
"Empat tahun lebih berarti? Ya ampun, jadi selama ini kamu jadi tulang rusuk sekalian jadi tulang punggung keluarga?" Devan semakin terkejut mendengar penuturanku barusan. Mungkin dia tidak menyangka jika aku mengalami masalah seperti wanita di luar sana.
Tidak dapat dipungkiri memang, jika sekarang banyak wanita yang menggantikan posisi suaminya untuk mencari nafkah.
"Kamu tau, Rosa? Suami kamu sungguh tidak punya harga diri. Karena harga diri seorang laki-laki itu ada di pekerjaannya."
Deg!
Seperti ada yang mencubit hatiku ketika Devan berkata demikian. Karena selama ini, akulah yang mungkin bersalah. Karena tidak pernah menegur Mas Dito untuk mencari pekerjaan.
Aku tidak pernah bertindak tegas agar Mas Dito mau meninggalkan gamenya. Selama ini aku selalu beranggapan jika rumah tangga kami baik-baik saja. Nyatanya, rumah tangga kami sedang di ambang batas.
"Kamu tau sendiri kan sekarang bagaimana suami di luar sana. Setelah istrinya bekerja dan memiliki uang sendiri. Suami abai dengan tanggung jawab. Karena apa? Karena suami berpikir jika tanpa dia kasih uang pun, Istri dan anak-anaknya tidak akan kelaparan. Istrinya kan kerja, memiliki uang sendiri. Jadi untuk apa dia harus repot-repot bekerja lagi."
"Banyak suami yang berpikir jika membeli beras, Pampers dan juga bahan rumah tangga itu tanggung jawab bersama. Kenapa hal itu bisa terjadi? Itu karena si istri tidak pernah menegur atau karena si istri punya uang sendiri. Jadi untuk menghindari pertengkaran atau cek cok. Istri berinisiatif untuk memakai uangnya sendiri," jelas Devan panjang lebar.
Aku hanya bisa terdiam mendengar penuturan Devan yang semuanya benar. Selama ini aku yang menafkahi Lea juga Mas Dito. Makanya Mas Dito malas mencari pekerjaan, karena dia sudah mengharapkan semuanya di pundakku.
"Makanya aku pengen cuti dulu, pura-puranya aku sudah keluar dari pekerjaan ini," jawabku membela diri. Aku tau sekarang mungkin Devan menilaiku sebagai wanita paling bodoh.
"Oke, sekarang kamu bisa mengerjakan semua pekerjaan untuk hari ini. Kemudian kamu bisa pulang dan mulai besok kamu bisa cuti," jawab Devan sambil menyerahkan Lea padaku.
"Terimakasih, Pak," ucapku sambil menunduk.
"Apaan, sih. Jangan panggil Pak," ucap Devan yang membuatku terkekeh.
"Iya," jawabku sambil membuka pintu. Setelah keluar dari ruangan Devan, aku kembali keruangan kerjaku.
**
Tidak terasa, sudah pukul empat sore. Aku sedang siap-siap untuk pulang. Sengaja aku mematikan ponsel, agar tidak terganggu jika sewaktu-waktu Mas Dito menelpon.
Sebelum pulang, aku mengaktifkan kembali ponsel. Terlihat banyak sekali pesan masuk dari nomor Ibu.
[Kami makan siang apa. Dasar Istri tidak becus!]
[Setidaknya tinggalkan sedikit uang untuk kami membeli makanan]
[Kamu sengaja mematikan ponsel agar bisa bebas dari tanggung jawabmu sebagai istri kan!]
[Kamu akan menyesal sudah menyia-nyiakan anak saya yang tampan. Kamu tidak tau banyak wanita di luar sana yang antri ingin jadi istri anak saya!]
Aku tersenyum membaca semua chat dari Ibu mertua tercinta. Dia sangat membanggakan ketampanan anaknya. Tapi dia lupa jika aku tidak bisa kenyang hanya dengan melihat wajah tampan.
Ibu lupa jika cucunya butuh mainan dan makanan, bukan wajah tampan ayahnya.
Aku berdecak kesal, lalu mengambil tas dan kembali menggendong Kania.
Di dalam mobil, Kania tertidur pulas karena tadi siang dia tidak tidur. Aku menatap wajah mungilnya. Dia masih kecil, tapi harus menerima kenyataan jika Ayah dan Ibunya yang selalu bertengkar.
Aku memijat pelipis pelan, baiklah. Mulai besok aku akan berusaha membuat Mas Dito kembali menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab. Semoga pernikahan ini masih bisa diselamatkan.
Setelah sampai kerumah aku menggendong kembali Lea yang masih tertidur pulas. Baru saja aku menginjak lantai keramik, kakiku terasa kasar karena banyak sekali debu yang belum di sapu.
Ternyata Ibu tidak mau menyapu rumah dan mengerjakan pekerjaan sisaku tadi. Rumah juga kosong, tidak ada orang. Tapi kenapa pintu depan dibiarkan terbuka lebar.
Segera aku tidurkan Kania di atas tempat tidur. Kemudian aku mengambil sapu untuk membersihkan rumah. Ketika akan mengambil sapu di teras samping. Aku mendengar suara Ibu yang sedang mengobrol dengan beberapa Ibu-ibu tetangga.
"Padahal apa kurangnya Dito anak saya, dia udah tampan, baik juga setia." Itu suara Ibu, aku menghentikan langkahku untuk mengambil sapu.
Ternyata Ibu sedang menggosipkan aku pada tetangga.
"Iya ya, kok bisa begitu Buk Rosa. Kelihatannya saja baik, ternyata zolim sama mertua dan suami," sahut salah satu Ibu-ibu tadi.
Deg!
Dadaku bergemuruh hebat saat mendengar mereka berkata demikian. Tapi aku harus sabar, agar tidak terjadi masalah yang lebih besar.
"Iya, padahal Dito sudah menyuruhnya untuk berhenti bekerja. Biar Dito saja yang menafkahi. Tapi dia menolak mentah-mentah tawaran anak saya. Ya buat apa lagi kalau bukan karena dia malas mengurus rumah dan anak," ucap Ibu dengan suara yang dibuat-buat.
"Padahal saya sudah tua, tapi menantu saya masih saja menyuruh saya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah," lanjut Ibu lagi.
Ternyata begini kelakuan Ibu dibelakangku selama ini. Pantas saja dulu kedua orang tuaku tidak merestui hubungan kami. Aku menyesal, ya Allah.
"Tapi kan setau kami ada Bik Minah, yang ngerjain semuanya," jawab Ibu-ibu lainnya.
"Udah dipecat sama, Rosa. Karena katanya sudah ada saya, jadi untuk apa membuang-buang uang untuk menggaji orang," sahut Ibu masih dengan suara lemah. Seakan-akan akulah orang yang jahat dirumah ini.
"Astaghfirullah, ternyata Buk Rosa selama ini jahat sama Ibu mertuanya. Sabar ya, Buk," ucap mereka semua.
Rasanya aku sudah tidak bisa lagi menahan semua ini. Aku segera berjalan ke arah mereka yang sedang bergosip ria.
"Tega sekali Ibu menjelekkan Rosa di depan semua orang," ucapku yang membuat semua terkejut, termasuk Ibu.
Dengan wajah takut Ibu mundur beberapa langkah, namun sedetik kemudian dia langsung menangis.
"Ampun, Rosa. Ampun, Ibu tidak mau kamu pukul seperti kemarin," ucap Ibu yang membuatku melotot.
"Maksud Ibu apa?" tanyaku bingung. Padahal aku tau ini semua sandiwara Ibu di depan orang, hanya saja aku tidak bisa mengelak lagi.
Mereka semua terlanjur mendengar semua pengaruh fitnah keji Ibu.
"Astaghfirullah, Buk Rosa. Kami tidak nyangka kalau ternyata selama ini Buk Rosa sangat jahat sama mertuanya. Sampai dipukul dan dijadikan babu," teriak Buk Asti, tetanggaku.
"Ya Allah, Bu-Ibu. Saya tidak seperti itu," jawabku membela diri.
"Halah, ngaku saja. Lihat aja tuh, Ibu mertuanya sampai gemetar ketakutan begitu," jawab Bu Tuti lagi, kepala geng ghibah komplek.
"Tolong saya, Bu-Ibu. Nanti setelah kalian semua pulang, pasti saya akan dipukuli oleh Rosa," raung Ibu lagi sambil menangis.
Ya Allah, sandiwara apa ini. Aku memegang kepala yang terasa berdenyut hebat. Percuma aku menjelaskan semuanya pada mereka. Tidak akan ada yang mau mendengar penjelasanku. Entah kemana Mas Dito, dia tidak terlihat dari tadi. Padahal biasanya dia akan selalu di rumah.
Aku segera meninggalkan mereka yang menyoraki semua kesalahanku. Masuk ke kamar dan merebahkan diri di atas kasur. Entah apa salahku sehingga Ibu tega menyebarkan fitnah tentangku.
Kuhapus air mata kasar. Baiklah, jika Ibu menginginkan aku bersikap demikian. Akan aku kabulkan.
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
"Kamu nggak kerja, Rosa. Kok masih di rumah jam segini?" tanya Mas Dito saat kami sedang sarapan bersama pagi. Ibu masih ikut duduk di meja makan. Dia kembali memotong buah dan menikmatinya."Mulai hari ini aku udah nggak kerja lagi, Mas," ucapku pelan namun mampu membuat Mas Dito dan Ibu mertua melongo. Mas Dito bahkan terbatuk saat mendengar ucapanku barusan. Rasakan, aku akan memberinya pelajaran bagaimana rasanya mencari pekerjaan di luar sana."Apa, Ros? Kamu nggak kerja lagi, maksudnya gimana?" tanya Mas Dito sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mas Dito barusan. Karena aku harus tetap bersikap santai di depan mereka berdua."Kamu berhenti kerja atau dipecat?" tanya Ibu yang menatapku bergantian dengan mas Dito."Aku memang mengundurkan diri, Bu, bukan dipecat. Karena kan aku ingin menjadi istri solehah untuk Mas Dito. Jadi aku harus memilih salah satu dari itu, dan aku lebih memilih Mas Dito s
"Tapi kenapa, Bu? Nggak ah, aku udah ambil keputusan. Dan itu tidak bisa diganggu gugat," seruku menolak perintah Ibu barusan. Matanya nyalang menatapku karena menolak permintaannya barusan. Masa bodoh, aku tidak peduli lagi dengan mereka. Baru aku tes begini saja mereka sudah kalang kabut. Apalagi kalau aku udah mulai minta uang nafkah sama Mas Dito."Kamu belum ngerti juga maksud Ibu. Kamu kan tau sendiri kalau suami kamu itu sekarang lagi nggak ada pekerjaan. Eh kamu malah keluar dari tempat kerja, kamu bodoh atau gimana sih?" bentak Ibu dengan nafas memburu."Ya Mas Dito tinggal nyari kerja aja, Bu. Lagian kan nggak usah kerja kantoran untuk menghasilkan uang. Aku nggak malu kok Mas Dito mau kerja apa aja. Yang penting halal dan berkah," sanggahku membela diri. Aku tidak ingin lagi kalah dalam hal ini."Kamu memang nggak malu. Wong kamu istri yang zalim. Anakku yang malu, masak ganteng-ganteng gitu kerjanya serabutan," ejek Ibu yang membuat darahku mendidih."Terus kalau cuma dud
"Kalau Ibu mau ya silahkan saja. Aku akan memberikan uang itu sama Mas Dito. Nanti biar Mas Dito saja yang memberikan uang itu pada Ibu," ujarku yang membuat wajah Ibu berbinar. Ada senyum yang terbit di wajahnya yang sudah mulai keriput."Dua juta itu cuma cukup untuk bulan ini aja, Rosa. Nggak sampai aku gajian," ucap Mas Dito tidak terima."Memangnya kamu mau kerja apa, Mas. Kalau kamu kerja serabutan atau kuli di pasar aku rasa kamu dibayar harian," sanggahku yang membuat Mas Dito dan Ibu membulatkan matanya."Kuli pasar kamu bilang? Nggak, enak aja suami setampan ini mau kamu suruh jadi kuli pasar. Dito itu cocoknya kerja kantoran," sahut Ibu menyanggah ucapanku."Iya, aku juga nggak mau lah kerja jadi kuli pasar. Yang benar aja," sahut Mas Dito lagi tidak terima. Aku hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan mereka."Kan aku bilang misalnya. Kalau kamu mau cari kerja kantoran ya silahkan, Mas. Intinya itu aku sama sekali tidak keberatan kamu mau kerja apa aja. Asalkan halal dan be
"Rosa ini kok rumah berantakan kayak gini. Ya ampun, pusing Ibu lihatnya." Suara teriakan Ibu yang baru saja pulang menggelegar sampai ke dapur.Aku yang sedang menata makanan di atas meja makan segera menghentikan aktivitas. Dengan cepat aku berlari ke arah depan, agar Ibu berhenti berteriak. Karena saat ini Kania sedang tidur siang. Aku tidak ingin dia terbangun karena suara ribut Ibu."Apa sih, Bu teriak-teriak. Pulang-pulang itu ngucapin salam," ucapku yang dibalas lirikan sinis oleh Ibu. Sedangkan Mas Dito langsung berjalan masuk ke rumah."Kamu aja yang budeg. Orang ngucapin salam kamu nggak dengar," sanggah ibu sambil berlalu pergi. Aku hanya harus bersabar beberapa saat lagi. Setelah kesabaranku habis, maka aku akan menyuruh Ibu untuk pergi dari sini."Rosa, kamu masaknya kok banyak banget sih," seru Mas Dito ketika kami sudah di dapur. Tadi setelah Ibu dan Mas Dito mengganti baju, mereka langsung ke dapur untuk makan."Ya biasanya juga kayak gini kan, Mas?" jawabku sambil men
"Kalau Ibu mau ya silahkan saja. Aku akan memberikan uang itu sama Mas Dito. Nanti biar Mas Dito saja yang memberikan uang itu pada Ibu," ujarku yang membuat wajah Ibu berbinar. Ada senyum yang terbit di wajahnya yang sudah mulai keriput."Dua juta itu cuma cukup untuk bulan ini aja, Rosa. Nggak sampai aku gajian," ucap Mas Dito tidak terima."Memangnya kamu mau kerja apa, Mas. Kalau kamu kerja serabutan atau kuli di pasar aku rasa kamu dibayar harian," sanggahku yang membuat Mas Dito dan Ibu membulatkan matanya."Kuli pasar kamu bilang? Nggak, enak aja suami setampan ini mau kamu suruh jadi kuli pasar. Dito itu cocoknya kerja kantoran," sahut Ibu menyanggah ucapanku."Iya, aku juga nggak mau lah kerja jadi kuli pasar. Yang benar aja," sahut Mas Dito lagi tidak terima. Aku hanya mengedikkan bahu mendengar ucapan mereka."Kan aku bilang misalnya. Kalau kamu mau cari kerja kantoran ya silahkan, Mas. Intinya itu aku sama sekali tidak keberatan kamu mau kerja apa aja. Asalkan halal dan be
"Tapi kenapa, Bu? Nggak ah, aku udah ambil keputusan. Dan itu tidak bisa diganggu gugat," seruku menolak perintah Ibu barusan. Matanya nyalang menatapku karena menolak permintaannya barusan. Masa bodoh, aku tidak peduli lagi dengan mereka. Baru aku tes begini saja mereka sudah kalang kabut. Apalagi kalau aku udah mulai minta uang nafkah sama Mas Dito."Kamu belum ngerti juga maksud Ibu. Kamu kan tau sendiri kalau suami kamu itu sekarang lagi nggak ada pekerjaan. Eh kamu malah keluar dari tempat kerja, kamu bodoh atau gimana sih?" bentak Ibu dengan nafas memburu."Ya Mas Dito tinggal nyari kerja aja, Bu. Lagian kan nggak usah kerja kantoran untuk menghasilkan uang. Aku nggak malu kok Mas Dito mau kerja apa aja. Yang penting halal dan berkah," sanggahku membela diri. Aku tidak ingin lagi kalah dalam hal ini."Kamu memang nggak malu. Wong kamu istri yang zalim. Anakku yang malu, masak ganteng-ganteng gitu kerjanya serabutan," ejek Ibu yang membuat darahku mendidih."Terus kalau cuma dud
"Kamu nggak kerja, Rosa. Kok masih di rumah jam segini?" tanya Mas Dito saat kami sedang sarapan bersama pagi. Ibu masih ikut duduk di meja makan. Dia kembali memotong buah dan menikmatinya."Mulai hari ini aku udah nggak kerja lagi, Mas," ucapku pelan namun mampu membuat Mas Dito dan Ibu mertua melongo. Mas Dito bahkan terbatuk saat mendengar ucapanku barusan. Rasakan, aku akan memberinya pelajaran bagaimana rasanya mencari pekerjaan di luar sana."Apa, Ros? Kamu nggak kerja lagi, maksudnya gimana?" tanya Mas Dito sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tersedia di atas meja. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Mas Dito barusan. Karena aku harus tetap bersikap santai di depan mereka berdua."Kamu berhenti kerja atau dipecat?" tanya Ibu yang menatapku bergantian dengan mas Dito."Aku memang mengundurkan diri, Bu, bukan dipecat. Karena kan aku ingin menjadi istri solehah untuk Mas Dito. Jadi aku harus memilih salah satu dari itu, dan aku lebih memilih Mas Dito s
"Kamu jangan membela mereka lagi kali ini. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," tanya Ayah ketika aku sudah berada di rumahnya. Tadi ketika aku baru saja sampai, Ibu langsung menyuruhku untuk masuk. Katanya ada hal yang ingin dibicarakan oleh Ayah. Perasaan yang tidak karuan aku masuk dan duduk di sofa."Sebenarnya tidak ada masalah antara Aku dan Mas Dito. Hanya saja masalah itu muncul ketika ibunya Mas Dito datang," jawabku mencoba menjelaskan. Tidak ada yang bisa kusembunyikan lagi. Ayah dan ibu bukan tipikal orang tua yang bisa dibohongi."Lalu kenapa Ibu mertua kamu sampai memecat Bik Minah," tanya Ayah lagi yang membuatku terdiam. Ayah tipe orang yang sabar, tapi jika sudah menyangkut masalah anak. Ayah akan bersikap lebih gila dari Ibu."Dia menginginkan aku untuk mengerjakan semuanya. Ibunya Mas Dito menuntut Rosa agar bisa melayani suami dengan baik. Bukan hanya bekerja mencari uang saja," jawabku sambil menunduk dalam. Ibu merangkul pundakku dan membawaku ke dalam
Dulu aku menolak untuk dijodohkan dengannya. Untungnya dia tidak marah akan hal itu. Dia malah menghargai keputusanku waktu itu. Aku mengulas senyum saat pandangan kami bertemu."Rupanya saya akan meeting dengan Bu Rosa. Jujur saya sangat terkesan," ucap Al ketika kami berjabat tangan. "Ini karena Pak Devan sedang berada di luar kota. Saya hanya bertugas untuk menggantikan. Mohon kerjasamanya, Pak Al," jawabku sambil membalas senyumnya.**"Aku nggak nyangka bisa ketemu lagi di sini sama kamu," ucap Al ketika kami sedang makan siang di kantin kantor. Setelah rapat selama dua jam tadi, Al tidak langsung pulang. Dia mengajakku untuk makan siang dulu di sini. Dia memintaku untuk menemaninya makan di kantin kantor. Aku mengiyakan, karena aku juga sudah lapar dan ingin makan siang."Iya. Aku juga nggak nyangka bakalan ketemu lagi sama kamu di sini," jawabku sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi. Aku sedikit merasa canggung jika hanya makan berdua saja seperti ini. Jika saja dia
"Kita mau kemana, Ma?" tanya Kania saat kami sedang dalam perjalanan. Rencananya aku akan membawa Kania pergi ke rumah Ibu dan Ayah.Biasanya aku akan membawa dia ikut serta ke kantor. Tapi hari ini banyak sekali pekerjaan dan juga ada pertemuan dengan beberapa klien penting. Jadi aku tidak mungkin membawa Kania pergi."Kita mau ke rumah Nenek dan Kakek dong. Kamu senang nggak?" tanyaku balik yang dibalas anggukan kepala oleh Kania. "Senang dong. Nanti aku mau ajak kakek buat mancing ikan," jawab Kania lagi sambil bersorak hore. Di belakang rumah Ibu dan Ayah, memang terdapat kolam ikan kecil. Ayah sengaja membuat kolam itu agar bisa memelihara ikan. Jadi kalau Ayah dan Ibu ingin makan ikan bakar. Mereka bisa langsung mengambilnya di sana. Katanya lebih segar dan enak. Semenjak itulah Kania suka sekali pulang ke sana. Karena dia akan ikut mengambil ikannya."Nanti bilang sama Kakek, sisain ikannya buat mama satu ya," ucapku sambil fokus menyetir. Untung saja ada Nisa yang menangani
Setelah membangunkan Kania dan mempersiapkan semuanya. Aku menggandeng tangannya dan berjalan keluar. Di tanganku sudah ada tas Kania yang berisi mainan dan bajunya. Aku akan menitipkannya di rumah Ibu dan Ayah. Mereka pasti akan sangat senang jika Kania datang."Kamu mau bawa kemana, Kania?" tanya Mas Dito yang masih duduk di sofa bersama Ibu. Aku sangat heran melihat tingkah Ibu yang sangat malas. Padahal stok makanan di kulkas itu masih sangat banyak. Seharusnya dia bisa berinisiatif sendiri untuk memasak. Apalagi dia melihatku sangat sibuk dan kerepotan dengan kerjaan dan Kania."Aku mau bawa dia ke rumah Ibu dan Ayah. Aku takut kalau dia di sini, dia akan mati kelaparan," jawabku sambil berjalan pelan ke arah pintu luar."Terserah kamu, Rosa. Tapi yang jelas kamu tidak bisa pergi kerja begitu saja. Apalagi kamu tidak meninggalkan uang untuk kami di rumah," sahut Mas Dito lagi lantang. "Dito benar. Kalau kamu mau pergi kerja dan tidak mau memasak. Setidaknya tinggalkan uang biar
"Rosa. Kamu belum masak jam segini? Saya sudah lapar," teriak Ibu dari lantai satu yang suaranya sampai kedengaran ke kamarku yang berada di lantai dua.Setelah selesai memakai sepatu aku segera turun untuk berangkat kerja. Hari ini terpaksa aku harus berangkat kerja lagi. Karena Devan akan ke luar kota untuk beberapa hari. Jadi aku belum dibolehkan untuk mengambil cuti sampai dia kembali. Bagiku tidak masalah, biar rumah ini diurus oleh Ibu saja. Siapa suruh dia memecat Bik Minah."Kok nanya aku sih, Buk. Kalau lapar ya masak sendiri lah!" balasku sambil turun dari tangga. Terlihat Ibu sedang berkacak pinggang menatapku nyalang."Jangan kurang ajar ya kamu. Ngomong sama mertua kok tidak ada sopan santunnya sama sekali," bentak Ibu lagi yang emosi mendengar jawabanku barusan."Salah sendiri, siapa suruh Ibuk memecat Bik Minah," jawabku dengan santai agar emosi Ibu semakin menjadi. Setelah kejadian Ibu memfitnahku kemarin, aku benar-benar ingin membuat Ibu tidak betah tinggal di sini.