Keyra dan Dean baru saja terlelap karena kelelahan setelah satu harian bermain di rumahnya Retha yang tak jauh dari rumahnya Justin.Astrid mengecup lembut kedua bocah tersebut dengan senyuman, lalu menyelimuti keduanya dengan benar. Ia merasa bahagia kali ini, dikarenakan dirinya mendapatkan mandat penuh untuk menjaga dan mengurus kedua cucunya. Meskipun hanya sesaat sampai Justin kembali dan berhasil membawa Jasmine kembali ke dalam keluarganya."Udah tidur bocah-bocah, Bun?" tanya Arfan saat ia melihat istrinya itu kembali ke kamar."Jadi juga ayah berangkat besok?" tanya Astrid saat melihat suaminya itu tengah memasukkan sebagian baju di lemari ke dalam kopernya."Iya, Bun," sahut Jason."Apa ayah menginap di rumah Justin atau di hotel dekat restorannya uni Alma?" tanya Astrid memastikan."Mm, belum tau lagi, Bun. Mungkin bisa jadi ayah menginap di rumah kontrakannya Justin yang jaraknya lebih dekat dari rumahnya Jasmine," jawab Jason ragu."Apakah Ayah langsung menemui Jasmine?"
Jasmine menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya saat ini. Wajah tampan yang sama persis dengan yang pernah ia lihat di sebuah foto pernikahan mamanya, yang pernah di tunjukkan oleh Mamanya di hari-hari terakhir Jasmine menghabiskan hari bersama Mamanya sebelum keberangkatan dirinya ke Jakarta tempo hari.Wajah yang masih sama meskipun sudah terlihat beberapa guratan di raut wajahnya di sebabkan karena faktor usia. Raut wajah yang pernah disebutkan oleh Almarhum Mamanya jika wajah yang terkadang mirip dengan dirinya adalah Papa kandungnya.Sementara Jason hanya bisa termangu menatap wajah Putri kandung keduanya sedekat ini untuk yang kedua kalinya setelah selama ini putrinya itu terus menghindar darinya pasca pertemuan pertamanya di kantor pengadilan negara setahun yang lalu.Lidahnya masih kelu untuk memulai mengungkapkan segala isi hati yang ia pendam selama ini. Ingin rasanya ia memeluk putri kandungnya itu setelah dulunya ia gagal untuk memeluknya. Namun ia mencoba menahan
Sebulan kemudian ...Pasca pertemuan dengan Papanya, Jasmine memutuskan untuk melanjutkan kembali kuliahnya yang tertunda di karenakan masa berkabungnya.Mendengar hal itu, tentu saja membuat Alma senang karenanya. Biar bagaimanapun, ia selalu memikirkan cara agar putri angkatnya itu mau kembali ke kampusnya untuk menyelesaikan apa yang tertunda selama ini.Wanita paruh baya itu sangat bersemangat dalam mempersiapkan bekal makanan untuk Jasmine di dalam perjalanannya sore ini dengan menggunakan bus."Kenapo lah harus repot-repot naik bus jika ada pesawat terbang," ujar Danang yang berkomentar saat melihat istrinya sedang memasak banyak yang pastinya di persiapkan untuk Putri angkatnya itu yang sangat bersikeras melakukan perjalanan ke Sumatera Utara menggunakan bus."Sudah biarkan sajo, Uda. Yang penting Jasmine tak berlarut-larut dalam kesedihan-nyo. Syukur dia mau kembali ke kampus-nyo," ucap Alma sembari tersenyum seraya membungkus makanan ringan yang akan bisa di jadikan cemilan s
"Mau ke mana?" tanya Justin basa-basi. Pria itu mencoba membuka percakapan, dan berharap bisa lebih akrab dengan istrinya ini."Medan," sahut Jasmine singkat."Kuliah?"."Ya,"."Jurusan apa?".Jasmine membuka sebuah tas yang berukuran sedang, di mana terdapat dua bungkusan plastik kresek. Lalu satunya ia berikan pada Justin, dan satunya ia simpan kembali ke dalam tasnya."Untuk saya?" tanya Justin saat mengambil bungkusan yang berisi nasi Padang yang barusan saja di sodorkan Jasmine padanya.Jasmine tersenyum samar dan mengangguk pelan"Makanlah, dan jangan ganggu saya," ucap Jasmine datar.Baru juga Justin ingin menanyakan alasannya tiba-tiba saja ia harus berhenti bertanya. Lantaran Jasmine memalingkan wajahnya ke arah luar jendela kaca bus. Di tambah wanita itu memasang kembali headset ke telinganya.Justin hanya menghela nafasnya sesaat, sebelum bangun dari duduknya, lalu turun dari bus mencari sebuah warung atau mini kafe di terminal kota itu.Sebenarnya ia mengharapkan Jasmi
Selang beberapa jam kemudian..Ponselnya berdering. Justin terjaga dari tidurnya. ketika ia mencoba menyetel kursi sofanya kembali. Sebuah tangan kecil melingkar di dadanya. Ia melihat ke arah kiri. Gadis yang sedang tidur menempel ke jendela kaca tadi, kini sudah berganti posisi dengan kursi sofa yang di setel ke belakang dengan posisi yang hampir sama dengan kursi sofanya.Tanpa niat mengganggu tidur si gadis. Justin membiarkan tangan gadis itu sejenak di atas dadanya. Ia hanya cukup menyetel kursi sofa nya sedikit ke depan. Lalu menjawab pelan panggilan yang masuk di ponselnya."Halo," sapa Justin seraya mendengar lawan bicara di ponselnya."Oke. Tunggu aja di terminalnya. Busnya akan berhenti di situ," Ia menutup telponnya."Mas.., mas.. ," .Tiba-tiba seseorang dari arah belakang memanggil dirinya.Justin menoleh ke belakang di mana seorang penumpang pria paru baya sedang kesulitan untuk bangun dari duduknya."Saya mau ke toilet. Istrinya bisa di bangunin bentar, ga? Soalnya kursi
Justin terjaga dari tidurnya, Pikirannya masih terngiang akan mimpi yang menurutnya adalah sebuah Dejavu baginya. Ia menoleh ke arah Jasmine yang tengah terpejam. Pria itu menatap dalam dan memperhatikan garis wajah Jasmine. Netranya semakin terpana kala melihat senyum manis dari sang istri."Dia tersenyum, apakah dia bermimpi indah?" tanyanya di hati."Manis," gumamnya sembari terus menatap wajah sang istri.Justin mengangkat tangannya berniat membelai pipi itu dan mengecupnya lembut. Namun, keningnya berkerut tatkala teringat akan situasi yang pernah di alaminya dulu."Sepertinya aku pernah mengalami ini," pikirnya."Jasmine, apakah di waktu itu adalah kamu?" tanyanya di hati dengan netranya yang tak lepas dari wajah itu.Pikirannya mulai menerawang jauh bercampur aduk dengan mimpinya barusan. Ia mencoba menerka-nerka tentang maksud dari mimpinya dengan kejadian yang menurutnya pernah dialaminya. Namun hal itu terhenti saat ponsel di sakunya bergetar.Justin mengalihkan pandangannya
Jasmine mengernyitkan dahinya saat melihat sebuah spanduk yang terpasang rapi di sebuah papan baliho kampusnya.Tak ingin terpaku lama di sana. Jasmine meninggalkan baliho tersebut. Ia melangkah santai ke sebuah ruangan. Mengambil tempat duduk seperti biasa ia duduk. Tak lama kemudian beberapa mahasiswa masuk dan mengambil posisi duduknya masing-masing. disusul seorang dosen muda masuk dan mengucapkan salam di pagi itu.Dahi Jasmine berkerut saat melihat dosen muda tersebut. Namun ia kembali fokus pada mata kuliah yang di jelaskan oleh dosen tersebut.Kelas berakhir, Jasmine memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Dahinya kembali berkerut saat menyadari ada yang ganjil di sekitarnya. Semuanya berbeda dari semenjak terakhir ia tinggalkan kampus ini dari beberapa minggu yang lalu. Ia menatap ponsel barunya. Kembali dahinya berkerut saat melihat tahun yang telah loncat ke tujuh tahun dari tahun terakhir yang ia jejaki. Ia melihat ke sekelilingnya, begitupun pada spanduk-spanduk yang terp
Langkah Jasmine terhenti kala melihat dua anak kecil yang sedang bermain di halaman rumah papanya. Ia menatap heran pada dua bocah yang sedang tertawa riang itu. Yang lebih mengherankan lagi adalah kedua bocah itu berlari riang ke arahnya seraya berteriak memanggil, "bundaaaaa,"Mereka langsung menubruk tubuhnya dan memeluk pinggangnya. Jasmine hanya bisa terdiam di tempat dengan tatapan bingung pada dua bocah ini."Unda, Dee, angen," ujar bocah laki-laki yang berusia 4 tahun."Iya, bunda. Keyra juga kangen sama bunda," timpal bocah yang berusia 5 tahun.Jasmine masih terpaku di tempat. Kedua tangannya masih menggantung terentang di atas kepala dua bocah itu. Ia masih bingung dengan situasi ini. Kepalanya di penuhi pertanyaan," Apa yang akan Ia lakukan pada dua bocah ini. Anak siapa ini? datang dari mana? Dan dengan siapa mereka ke sini"."Unda, keana aja, sih. Kok ga ngomong sama Dee, kalo unda nelpon Daddy?" tanya bocah laki-laki yang bernama Dean."Iya, bunda kok ga ngomong sama k
Sebuah maskapai mendarat dengan selamat di kota Jakarta. Baik Justin dan Jason segera turun dan menyegerakan diri kembali ke rumah. Mereka membayangkan jika Jasmine sudah berada di kediamannya Ardiansyah saat ini.Namun kenyataannya, jauh seperti yang mereka bayangkan. Ternyata, Jasmine tak pernah kembali. Jasmine tak pernah muncul di hadapan mereka."Serius, Ma?"tanya Justin saat melihat Mama dan Papanya yang masih berada di Bandara."Mm, Iya. Udah tiga jam Mama nunggu di sini, tapi istri kamu ga nongol-nongol juga. Mama pikir Jasmine pulangnya sama kamu," sahut Mona rada kesal.Justin terdiam seraya memikirkan keberadaan Jasmine yang sebenarnya. Lalu seketika ia teringat akan apartemen rahasia milik Midea."Apakah dia ke situ?"pikirnya. Lalu ia mendekati Arfan dan meminta kunci mobil dari pria itu"Pa, pinjem mobil,". Arfan tanpa bertanya apapun, langsung saja memberikan kunci tersebut ke putranya itu.Justin menerimanya dan berniat segera pergi dari situ. Namun di cegah Mona yang b
Matahari menyeruak masuk melalui celah gorden jendela kamar hotel. Cahaya hangat itu menerpa wajah manis dari seorang wanita yang di panggil Jasmine. Pemilik netra hitam pekat itu membuka matanya secara perlahan demi mendapatkan rasa nyaman, saat cahaya itu langsung menerobos mengenai pupil netranya.Netranya menelisik ke segala ruangan, dan tersadar jika Justin telah membawanya ke sini. Apalagi sebuah tangan kekar melingkari perutnya. Ia menyadari jika Justin tengah memeluknya dari belakang. Ia membiarkan sejenak pelukan itu, sebelum rasa amarah membuatnya meradang kembali. Wanita itu memutuskan untuk meninggalkan Justin, lantaran rasa benci menyelimuti hatinya. Jasmine yang kini mengingat dirinya nya juga sebagai Midea. Ingatannya perlahan kembali. Ia mengingat semua hal yang berkaitan dengan Justin.Dadanya terasa sesak. Mengingat rasa sakit yang diberikan oleh suaminya itu. Jalan satu- satunya adalah pergi. Ia muak melihat wajah pria itu. Berbekal pakaian yang telah di siap kan
"Jasmine," pekiknya saat melihat kondisi istri nya yang begitu memprihatinkan. Betapa murkanya ia, saat melihat tubuh Jasmine hanya di tutupi oleh sehelai selimut saja. Ia menetap pria yang tak lain adalah koleganya sendiri."Mr, Aqio," desisnya geram. Ia mengepal tangannya dan mulai meninju wajah pria itu."Brengsek!" makinya."Kau, Sialan! Berani-beraninya kau merusak kesenanganku dan menyerangku!" hardik pria yang hampir seusia Jason.Keduanya saling beradu ketangkasan fisik. Baik Justin dan Mr. Aqio tak mau mengalah, dan merasa benar atas apa yang mereka lakukan. Mempertahankan yang menjadi miliknya.Justin yang masih memiliki stamina bagus berhasil mendorong dan mengunci pria itu di sudut dinding kamar."She is Mine! That is my wife! Kenapa kau menculiknya, Mister!"teriak Justin di depan wajah Aqio.Aqio tersenyum miring lalu tertawa remeh, dan berkata ketus," Dia milikku, jauh sebelum kamu, Justin!""Kau yang merenggutnya dariku, brengsek!" umpat Aqio, lalu dengan amarah yang me
Di keheningan malam, Justin terus melajukan mobilnya sembari menatap layar ponselnya, demi memperhatikan posisi mobil yang sedang dibawa Jasmine.Alisnya bertaut memperhatikan mobil yang dibawa Jasmine, tak bergerak sama sekali. Untungnya Jaraknya semakin dekat dengan dengannya. Justin menepikan mobilnya saat melihat Alan, sang asisten, yang tengah memeriksa kondisi mobil sang istri. Segera ia keluar untuk mencari tau mengenai apa yang terjadi."Alan, mana istri saya?"tanyanya saat tak melihat sosok istrinya."Sepertinya ibu di culik, pak," sahut Alan seraya menunjukkan hasil pencariannya melalui daschcam yang terdapat di mobilnya Jasmine.Seketika itu juga ia terhenyak kaget, dan berteriak panik, "Apa!"Tanpa menunggu, ia pun segera mengambil tindakan,"Kerahkan anak buah kamu, Alan!"."Baik, pak," sahut pria itu mantap.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seraya memberitahukan pada Arfan tentang keadaan Jasmine yang sebenarnya."Bagaimana bisa, Justin?" tanya Arfan dari seber
Seminggu Sebelumnya...Seorang pria tengah memperhatikan wajah seseorang yang selama ini dicarinya. Ia tersenyum samar saat mengetahui jika wanita yang ia cari-cari selama ini ada di hadapannya."Mm, jadi kamu ada di sini sekarang," gumam pria itu seraya menatap ke arah wanita yang berada di koridor kantor salah satu koleganya."Dia sedang bermain peran wanita Sholehah ternyata. Baiklah, Sayang. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Aku membiarkanmu. Silahkan nikmati kebebasanmu untuk sekarang, tapi setelah itu, ku pastikan kau kembali kepadaku untuk selamanya," ucap pria itu pelan. Lalu menyesap rokoknya kembali.Ia membiarkan wanitanya pergi. Namun ia tak lupa menyuruh orang-orangnya agar terus memperhatikan dan mengikuti kemana wanita itu pergi.Hingga akhirnya, Ia berhasil mengikuti kemana wanitanya melajukan mobilnya di kegelapan malam. Ia memang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil miliknya yang kabur karena ulah agency yang di percayainya selama ini.Dengan cekatan anak buahnya
Sakit hati, itu yang dirasakan oleh wanita yang kini mulai mengingat dirinya sebagai Midea. Meskipun tak semua memorinya kembali. Namun serpihan memori akan kekerasan dan kekejaman dari seorang Justin mulai tampak jelas di benaknya.Ia memperhatikan kamar yang berantakan karena ulahnya, tapi ia tak perduli. Jika bisa ia hancurkan dengan menggunakan bom, pasti akan ia lakukan sekarang juga.Namun nyatanya, Ia hanya bisa duduk meringkuk di sudut ranjang. Memperhatikan kamar yang seperti habis perang. Memang pun ia sedang berperang. Perang perasaan. Perasaan yang tak mampu ia ungkapkan lewat kata. Ia hanya bisa melampiaskan dengan barang.Ia tertawa dalam kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Lelah sudah pasti. Dadanya sakit. Nafasnya terasa Bahkan tangisnya tak lagi bersuara. Matanya terasa berat. Lalu tertidur dengan tubuh meringkuk di sudut ranjang."Apakah ia benar-benar tertidur?". Tentu saja tidak. Jasmine tak benar-benar terlelap dalam pejaman matanya. Pikirannya masih bermain den
"I-iya, Sebenarnya di malam itu Aku lah yang telah...," Justin tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Berat rasanya mengakui dosanya yang satu ini.Karena dirinya lah Jasmine, Midea menderita, tapi karena keegoisannya saat itu membuat ia tak merasa bahwa dirinyalah iblis yang sebenarnya.Ia menatap Jasmine yang berusaha tenang dan tegar, meskipun didalamnya hancur dan remuk. Ia kembali menundukkan pandangannya. Merasa malu dan bersalah pastinya."Iya, kamu pria itu?benar, kan?" tanya Jasmine memastikan.Justin mengangguk pelan. Tak mampu berucap. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata jujur. Keduanya saling diam. Jasmine menatap Justin dengan tatapan yang menahan amarah. Ia tak tau harus bagaimana meluapkannya."Aku minta maaf, Jasmine. Aku pernah cari kamu. Tapi ga pernah ketemu," ucap pria itu tiba-tiba."Aku menyesalinya. Setiap hari aku berdoa dan berusaha agar kita dipertemukan kembali," ungkap pria itu jujur.Sedangkan Jasmine terdiam menatap Justin dengan ujung matanya. Ia belum
Kepalanya kini begitu sesak di penuhi dengan segala pertanyaan yang berhubungan dengan malam itu. "Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Bagaimana bisa? Apa kaitannya Justin dengan ini?".Dadanya bergemuruh saat pikirannya mulai berspekulasi pada apa yang di bayangkannya.Suara dengungan terdengar keras di telinga hingga memenuhi ruang kepalanya. Sakit. Itu yang dirasakannya sekarang. Dengungan itu melengking kuat di telinganya bersamaan petir dan guruh yang datang menyambar apa yang di suka.Kepalanya mulai berdenyut nyeri. Satu persatu memori yang tersembunyi muncul di permukaan secara acak. Berputar. Ia berteriak saat tak kuasa menahan hantaman hebat di otaknya. Namun sayangnya, teriakan itu tak cukup terdengar di telinga orang-orang yang berada di rumah itu.Hanya Jasmine seorang. Ia berusaha kuat menahan sakit di kepalanya dengan memeluk kepalanya sendiri."Aaaaaaaaakh,". Kali ini teriakannya lebih kuat melebihi dari yang sebelumnya. Sehingga cukup terdengar di telinga seseorang
Hujan semakin deras seiring petir yang akan menyambar apa saja yang lewat. Mungkin sebagian orang merasa panik dan takut pada cuaca yang tiba-tiba ekstrim tersebut.Namun tidak bagi wanita itu. yang berada di ruangan yang sebagian dindingnya di pasang kedap suara. Sesekali netranya mengarah ke jendela dan mengetahui jika hujan dan petir telah datang bersamaan. Akan tetapi, ia tak perduli. Pikirannya hanya berfokus pada tulisan tangannya Midea. Entah kenapa, Ia merasa seolah-olah dirinya lah yang menulis semua keluh kesah itu.Jasmine termangu pada kalimat terakhir.*Midea adalah sebuah nama yang entah milik siapa di sandangkan pada ku. Yang semenjak aku menyandangnya seluruh hidupku merasa hampa lalu menderita. Benarkah nama ku Midea?? Dan benarkah aku seorang Midea Hasxander?*."karena di saat aku merenung sendiri. Aku merasa aku bukan lah aku"Serr...darah Jasmine berdesir kuat, saat membaca kalimat akhir dari tulisan tangan seorang Midea Hasxander, mantan istrinya Justin."Aku mer