Rico pikir jika Daffa adalah psycopat, maka dirinya tidak mengatakan apapun hanya saja hatinya bergetar hebat setelah mendengarnya, tubuhnya juga sedikit menggigil. 'Seburuk itu cara kamu memperlakukan Naila. Saya mengenal kamu dari dulu, tapi saya baru tahu kalau kamu memang sangat keterlaluan. Tidak ada attitude baik dalam diri Daffa!' Rico mulai mencemooh sahabatnya sendiri. kemudian bertanya hanya sebagai basa-basi. "Kalau bayi itu masih hidup bagaimana?" "Dia sangat menyusahkan. Saya mau sama Gisel tanpa harus dihalangi hal rumit seperti itu. Pernikahan kita sudah sangat menyusahkan, saya tidak mau semakin susah.""Lebih baik kamu tinggalkan Naila secepatnya, dari pada cuma menyakitinya. Jujur saja saya kasihan sama Naila!" Rico melepaskan pemikirannya pada Daffa karena tidak sanggup menyimpannya lagi. Segera, tatapan Daffa berubah mengiris. "Saya akan melakukannya, tapi saya akan mengingatkan kamu kalau ini bukan urusan kamu, jangan terlalu ikut campur!" Daffa tidak menyukai
Umar segera beristigfar. "Hati-hati kalau ngomong!" tegurannya sebagaimana anak ustad yang harus mengingatkan jika seseorang khilaf. Sebenarnya bukan anak ustad saja, semua orang memang harus mengingatkan. "Eh, sorry. Salah coy. Maksudnya lampunya mati." Tawa Daffa seolah tanpa penyesalan padahal kalimatnya tadi memang untuk Naila. "Cepat ganti lampunya, tidak aman kalau gelap begini." Umar menahan perasaan tidak karuan karena Daffa sangat frontal kala mengatakan keburukan pada Naila. Kini keduanya sudah terpisah, Daffa segera masuk ke dalam rumah tetapi tetap mengabaikan halamannya yang gelap, sedangkan Umar segera menuju pos ronda, tempat Raihan berada. "Saya semakin kasihan sama Naila.""Kenapa, apa yang terjadi sama Naila?" cemas Raihan bertambah."Daffa berkata tidak pantas pada Naila. Kasihan, padahal istrinya sedang di rumah sakit." "Mungkin sesekali Daffa harus diberi pelajaran!" Dengusan kasar Raihan."Jangan. Kalau kamu sembarangan bertindak nanti Daffa akan semakin berpi
Daffa bersikap datar melihat Naila dan kabar yang didengarnya tentang anak mereka. "Ma, Daffa tidak bisa lama-lama." Farida menyimpan kesal pada anaknya, tetapi tidak diperlihatkan. "Diam saja di sini, temani Naila." Suaranya dibuat setenang mungkin. "Tapi kan Daffa harus kuliah. Mana bisa menemani Naila terus." "Sementara ini diam saja di sini, jangan kemana-mana." Farida masih bersikap santai walau hatinya semakin terbebani oleh kekesalan akibat perbuatan Daffa. Daffa tidak mungkin membantah di depan orangtuanya Naila, maka dirinya mengiyakan saja walau sangat tidak ingin. Jadi, selama dua hari laki-laki ini harus tetap bersama Naila hingga akhirnya si gadis kembali ke rumah. Namun, karena Farida sangat mengkhawatirkan menantu kesayangannya maka Naila dipersilakan tinggal sementara di kediaman orangtuanya. Wanita ini tidak mengatakan alasan khusus tentang tindakannya ini yang didasari karena perselingkuhan yang putranya lakukan.Mia dan Heru bersyukur karena memiliki kesempatan
"Jaga bicara kamu!" Hampir saja Haris mengamuk jika pria ini tidak memiliki iman di dada, "Naila gadis salihah, mana mungkin Naila melakukannya. Jangan menjadikan Naila sebagai kambing hitam untuk menutupi kebusukan kamu!""Iya pa, Daffa akui Daffa salah karena punya pacar di belakang Naila, tapi emangnya apa bedanya sama dia? Malahan bisa aja Naila sampai berhubungan ranjang sama Raihan. Mana Daffa tahu kan." Dirinya menggendikan bahu dengan santai setelah memfitnah istrinya habis-habisan."Daffa!" teguran Haris kali ini seiring menaikan volume suaranya, "jangan-jangan kamu yang melakukannya. Tidur bersama gadis lain. Tidak ada yang tahu, kan!" Haris mengembalikan kalimat tidak pantas putranya karena dirinya lebih ikhlas membela menantunya dari pada putranya sendiri."Nggak pa ..., nggak mungkin Daffa ngerusak cewek. Satu cewek aja kalau ditiduri bisa hamil, gimana jadinya kalau Daffa tiduri dua cewek!""Ck!" Haris berdecak bersama dengusan kasar. "Iya, Naila kamu tiduri dan akhirnya
"Saya mengantarkan teman-temannya Naila!" tegas Raihan untuk menghindari pemikiran negatif orangtuanya si gadis karena ibunya Naila berada di dalam."Saya kira kamu punya maksud lain." Bibir Daffa setengah menyungging, dirinya juga tidak gentar saat kalimatnya terus mengarah pada pembahasan tidak pantas."Maksud lainnya cuma menjenguk. Tidak mungkin kan saya tidak menjenguk." Sikap santai Raihan walau menyimpan sedikit cemas akibat kalimat-kalimat Daffa."Masuk dong, kenapa sendirian di teras." Seringai licik Daffa.Mia dan semua orang yang berada di ruang tamu mampu mendengar percakapan Raihan dan Daffa. Segera, wanita ini menyambut hangat menantunya, "Nak Daffa sudah pulang. Ayo masuk, kita makan bersama. Nak Raihan juga."Raihan tersenyum ramah bersama penolakan, "Terimakasih tante, tapi sekarang Raihan ada urusan, lain kali saja ya tante." "Kok buru-buru sekali ..., Ciara juga masih di sini.""Maaf ya tante." Masih santun Raihan. Maka, dirinya berpamitan pada Mia sekaligus pada s
Dua minggu berlalu, Naila sudah kembali ke kampusnya, tetapi yang sangat aneh Daffa juga pergi ke kampus yang sama karena dia memutuskan meninggalkan kampus favorit yang menaunginya demi membuktikan kedekatan Naila dan Raihan hingga dirinya bisa bersatu dengan Gisel. "Kelas kamu di mana?" tanya datar Daffa pada Naila yang berjalan di sisinya."Belum tahu, teman-teman saya akan menunggu biar kita ke kelas sama-sama." Kondisi Naila sudah kembali seperti semula walau hatinya yang hancur tetap menjadi kepingan, kehilangan anak bukanlah yang mudah diobati."Oh, iya udah." Daffa segera berlalu meninggalkan Naila karena tidak ingin hubungan keduanya tercium publik atau kepopulerannya akan sirna. Sebenarnya kepindahannya ke kampus ini menimbulkan pro dan kontra karena dirinya adalah salah satu anggota basket dari team andalan kampus. Namun, apa yang tidak bisa dilakukan Daffa? Semuanya selalu tampak mudah di tangannya. Dua minggu lalu, Daffa berbincang dengan Haris. "Daffa mau pindah ke kam
Naila menghayati kalimat bermakna yang diucapkan Daffa, sebuah anggukan patuh penuh makna diberikannya sebagai jawaban. Pelukan hangat seorang suami kembali didapatnya hingga gadis ini merasa nyaman, tetapi tidak dapat dipungkuri jika dirinya pernah merasa nyaman dan aman saat bersama Raihan. Hal ini akan selalu menjadi rahasia di ruang dengar Daffa.Hari berganti, Daffa semakin mengakui Naila sebagai istrinya walau tidak secara langsung, tetapi otomatis semua orang di kampus bisa menilainya karena dirinya terkesan over. Menggendeng, memeluk, mengecup dahi dan pipi, semuanya dilakukan tanpa pernah memerdulikan lingkungan hingga Naila sedikit memerotes, "Walau kita suami dan istri, tapi sepertinya kurang sopan kalau kita terus mengumbar kemesraan di depan umum." "Tidak apa, biar semua orang tahu kamu punya saya." Senyuman teduh Daffa. Hal ini akan disyukuri oleh semua istri bukan hanya Naila, tetapi tetap tidak boleh berlebihan menurut gadis berhijab nan cantik ini.Raihan menjadi sal
"Saya tidak pernah merasa seperti itu." Wajah Raihan terangkat karena dirinya tidak akan gentar sama sekali menghadapi Daffa. Maka, kini keduanya terlibat perkelahian hingga keduanya babak belur. Hari ini Daffa tidak dapat mengunjungi perusahaan ayahnya untuk bekerja maka dirinya segera kembali ke ke kediamannya bersama Naila. "Daffa, wajah kamu kenapa?" Naila terkesiap melihat penampilan suaminya yang babak belur. "Tidak apa-apa, sudah biasa." Senyuman teduh Daffa bersama belaian lembut di pipi Naila. "Tapi bibir kamu sampai berdarah." Khawatir Naila yang mendelik ke arah ujung bibir Daffa."Mau obati?" "Iya, biar saya obati." Ketulusan Naila ini membuat Daffa melengkungkan bibirnya bahagia. Jadi, laki-laki ini mendapatkan perawatan lembut dari istrinya yang sangat dia cintai setelah dulu sempat menyia-nyiakannya bahkan bayi mereka ikut merasakan sikap tidak acuhnya."Sayang, malam ini pengajian yuk buat anak kita," celetuk Daffa dengan lembut bersama tatapan selaras hingga Naila