Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu.
Grab!
Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan.
Bruk!
Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan.
“Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya.
“Kamu … Yuichi Sensei?”
“Yuichi Haruka, lebih tepatnya.”
Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala.
Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tangan kananku reflek mengambil tas dan bangkit menghindari Haruka. Aku berjalan dengan cepat hampir seperti berlari keluar dari perpustakaan kampus. Aku tidak tahu tujuan sampai aku menyadari bahwa aku sedang berjalan menuju taman rumput yang sepi sembari menahan air mataku yang terus keluar secara tidak terkendali.
Aku menjatuhkan diri di depan sebuah pohon dan menyurukkan wajah di antara kedua dengkul dan menangis sesenggukan. Suasana hanya dipenuhi dengan suara tangisku, sampai mereda dan tersisa isakan.
“Maafkan aku, Fay”
Aku mengangkat wajah dan menatap pria yang ternyata sudah berada di depanku. Dia masih menatapku dengan tatapan yang sama ketika pertama kali aku bertemu dengannya di Korea.
Mata yang jika aku tidak mengenalnya, aku akan selalu menganggapnya sebagai orang yang mengerikan dan keras. Aku tidak mengatakan apapun, hanya air mata yang terus mengalir keluar. Aku dengan tangan gemetar mengambil air minum dan meminumnya. Napasku masih terputus-putus karena sesunggukan.Haruka seperti ingin menunjukkan sebuah gelagat tapi tidak jadi. Pria itu justru mengulurkan ponselnya. Ponsel yang sangat familiar dalam ingatanku.
“Ponselku bermasalah terus sejak aku berada di Indonesia.”
Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku, tapi kenapa?
Tiba-tiba air mata kembali mengalir begitu saja, aku buru-buru menutup wajahku dengan tangan dan mengusapnya dengan kasar. Tanganku reflek mengambil tisu di dalam tas dengan kasar.
Ugh, pilek ku kembali kambuh.
Aku memalingkan wajah sembari membuang ingus. Setelah itu, aku memasukannya ke dalam kresek di dalam tas untuk aku buang nanti.
Aku hanya diam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak mempedulikan Haruka yang hanya jongkok di depanku. Tiba-tiba ponsel dari dalam tas berbunyi dengan nyaring dan membuat tanganku reflek meraihnya. Aku berusaha menghilangkan bekas menangis barusan. Setelah merasa lebih tenang, aku bangkit untuk mengangkat panggilan tersebut dan menjauh dari Haruka. “Ya, Seo sensei?” Terdengar helaan napas, “Yuanita barusan menghubungiku, katanya ada kegiatan yang tidak bisa dia tinggal.” Nada suara Seo sensei terdengar sangat kesal, “Fay, jemput Kawata sensei dari bandara malam ini.”Aku menghela napas sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Seo sensei, “Baiklah sensei. Bisakah sensei mengirimkan jadwal kedatangan Kawata sensei?”“Aku akan mengirimkan jadwal, sekaligus tiket kereta bandara. Untuk biaya tambahan, simpan bukti pembayaran untuk di ganti oleh perusahaan.”“Baik sensei.”“Oh, kau sudah bertemu dengan Yuichi sensei?”“Sudah sensei, ini saya sedang bersama Yuichi sensei.”“Baiklah.” Seo sensei terdiam sejenak, “Aku akan mengirimkan Ujang untuk menjemput dari Sawargi. Nanti kamu berkabar saja dengannya, ya?” “Baik sensei.” Tidak lama telepon terputus. Aku lalu kembali menuju tas milikku. Haruka terlihat sedang duduk sembari memegang ponsel.Kriuuuuk …. “Kamu mau makan terlebih dahulu?” Bagus, perutku berbunyi di saat yang tidak tepat. Aku tidak langsung menjawab.Sreet … Klak! “Kamu mau?"Aku menoleh, Haruka menyodorkan kotak makan berisi kimbab, "Aku tidak tahu apakah ini masih enak, tapi aku membuatnya tadi pagi.” Aku memandangi kotak makan itu sejenak. Aku menyerah, tanganku mengambil kimbab itu dan menyuapkan ke dalam mulut.Aku terdiam sejenak ketika merasakan gigitan pertama kimbab itu. Aku buru-buru menutup mulutku, sudah lama ketika terakhir kali aku merasakan masakan Haruka.“Kamu tidak suka?”
Aku tidak langsung menjawab. Kimbab buatan Haruka adalah favoritku. Memakan kembali makanannya setelah sekian lama tanpa terduga membuatku …
Sudah cukup Fay … jangan menangis lagi …
“Fay?”
Aku buru-buru menggeleng dan bangkit, “Ayo kita mencari makan.”
Langkahku tertahan karena Haruka memegang tasku. Aku menoleh, syukurlah aku hanya bisa melihat pundaknya.
“Kamu masih marah kepadaku?”Aku terdiam sejenak, “Aku lelah. Terlunta-lunta karena menunggumu membuatku lelah, dan kita tidak punya banyak waktu, Haru.”Hanya ada suara angin di antara kami berdua.“Maafkan aku Fay.”“Apa kamu akan melakukan hal yang sama kalau orang itu bukan yang kamu kenal?” Tanyaku dengan nada datar.“Aku akan melakukan hal yang sama.”
Aku terdiam, tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benakku.Apakah kau akan marah seperti ini jika orang yang jemput bukan Haruka?Aku seperti tersentak atas pertanyaan itu. Baru saja hendak menolehkan kepala.“Apa yang bisa aku lakukan Fay?”Aku tidak menjawab hanya menggeleng. Tiba-tiba terdengar suara pemberitahuan dari ponsel. Aku segera membukanya, rupanya tiket dari Seo sensei. Masih ada empat jam lagi sebelum jadwal keberangkatan bandara. Aku mengerutkan dahi ketika Seo sensei mengirimkan pesan lain. Habiskan waktu dengan baik dengan Haruka. Dia dari tadi memaksaku agar tidak terlalu membuatmu bekerja keras. Kalian sudah lama tidak bertemu, bukan?Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
“Faihah sensei.”Aku sontak menoleh ke arah suara dan mengangguk, “Eh iya Bu.”Aku lalu menoleh dengan canggung ke sekeliling akibat disapa secara tidak terduga oleh beberapa peserta pelatihan. Aku lalu menghampiri tukang minuman untuk membeli segelas teh hangat.“Bu saya duluan ya.”“Iya sensei.”Sebenarnya orang-orang yang aku panggil ibu kebanyakan dari mereka usianya sepantar atau hanya berbeda beberapa tahun saja. Bedanya mereka semua sudah menikah, dan aku rasa kebanyakan dari sudah punya anak, karena aku sering tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.Cuma entah kenapa aku jadi merasa canggung ketika mengobrol dengan mereka walaupun hanya sekedar percakapan ringan. Rasanya seperti berinteraksi dengan orang dari berbeda dunia. Mungkin karena aku adalah orang yang aneh.“Sensei?”Kawata sensei yang sepertinya baru sampai dikelas menoleh, “Oh Fay, masuk!”Aku mengambil kursi meja dan duduk di depan Kawata sensei.“Kamu sendirian? Kemana yang lain?”“Mungkin belum sampai, sensei.”
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k
“Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu
“Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge
Aku memandangi empat orang yang duduk membentuk formasi lingkaran. Selepas dari kantor dinas, kami kembali ke kampus. Seo sensei mengumpulkan semua pengajar dan panitia setelah kegiatan belajar selesai. “Tadi aku rapat bersama dengan pihak kampus, tadi ada juga pihak dari dinas.” Seo sensei mulai berbicara, “Untuk penilaian bulanan, aku memutuskan satu pengajar akan bertugas menilai di satu sekolah didampingi oleh satu asisten.” Aku kaget ketika Seo sensei mendadak memandangku, “Kawata sensei akan didampingi oleh Faihah, sedangkan Yuichi sensei akan didampingi oleh Yuanita. Kontak masing-masing penanggung jawab sekolah sudah ku serahkan kepada Faihah, sudah kamu kontak, Fay?” “Beberapa sensei, tapi kebanyakan dari mereka belum mengirim jadwal mengajar guru.” “Baik, tidak apa-apa.” Seo sensei melanjutkan, “Yuichi sensei dan Yuanita akan menilai murid-murid kelas Kawata sensei, Kawata sensei dan Faihah akan menilai murid kelas Yuichi sensei.” “Sesuai pengaturan, Faihah akan menjadi
“Mbak mau kemana?”Aku menoleh, seorang petugas keamanan hotel mendadak berdiri di belakangku.Tanganku teracung begitu saja ke pusat perbelanjaan yang tepat berada di samping hotel, “Ke sana gak bisa ya, Pak?”“Ya gak bisa Mbak, Kan ini buat parkir hotel.”Aku mengangguk dengan canggung, “Oh begitu ya Pak. Saya mau ke lobi hotel Pak, harus jemput bos saya.”Aku merasa kikuk ketika petugas itu memandangiku dengan tatapan menyelidik, “Benar nih, Mbak?”Aku buru-buru menunjukkan chat Seo sensei kepada petugas itu. Aku tidak tahu harus bereaksi apa ketika petugas itu kebingungan membaca chat Seo sensei yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. “Ya sudah Mbak. Tapi bener ya?”“Iya Pak.” Saya lalu buru-buru berjalan seribu langkah sebelum urusan menjadi rumit. Seo sensei pagi ini mendadak menghubungiku karena Kang Ujang mendadak sakit. Jadi mau tidak mau aku harus menjemputnya di hotel. Aku tidak tahu kenapa harus menjemputnya di hotel, alih-alih di apartemennya.Aku celingak-celinguk me
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kawata sensei lalu menggeleng, “Tidak sensei.”Mendadak aku merasa gugup ketika menyadari semua pandangan tertuju kepadaku, “Dari pengamatanku belum menunjukkan perilaku yang aneh.”“Semoga saja tidak.” Aku hanya menggangguk dan mengiyakan perkataan Kawata sensei.Sepanjang pembicaraan mereka aku terhanyut dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya aku merasa aneh, kelas Haruka bisa dibilang ditujukan untuk para guru yang kemampuan bahasa Jepangnya sudah sangat baik. “Fay?”Sontak aku menoleh, “Kenapa sensei?”“Aku ingin pulang, kamu mau ikut? Atau tetap di sini?”Aku reflek membereskan perlengkapanku, “Saya ikut sensei.”Kawata sensei dan aku lalu bangkit dan pamit kepada orang-orang di ruangan.“Kamu tidak pulang Hiroki?” Kawata sensei bertanya.Seo sensei menggeleng, “Saya sepertinya ingin di sini lebih lama, sensei.”“Baiklah, aku dan Faihah pamit duluan ya.”“Baik sensei.”===== Aku membuka pagar ketika melihat sesosok tinggi yang berdiri di