Kliriiing … kliriiing …
Aku melihat siapa yang memanggilku pada pukul segini. Rupanya Koordinator Seo.
“Halo. Seo-sensei, ada apa?”
“Faihah-san. Aku minta maaf telah mengganggumu. Tapi, besok bisakah kamu menjemput Yuichi sensei ke Sawargi?”
Yuichi sensei adalah salah satu relawan pengajar dari Jepang yang akan mengisi kelas bahasa Jepang untuk guru bahasa Jepang sekolah-sekolah di Kota Sawargi selama tiga bulan.
Aku mengerutkan dahi, “Bukankah Yuanita yang akan menjemput, sensei?”
“Dia tidak bisa ku hubungi sejak siang tadi, sedangkan aku butuh kepastian cepat.”
“Kapan Yuichi sensei akan sampai di Indonesia?”
“Dia sebenarnya sudah sampai sejak seminggu yang lalu.”
Aku mendadak bengong mendengar jawaban Seo sensei. Serius? Apa yang orang itu telah lakukan di Indonesia?
“Aku akan memberimu kontaknya. Kamu bisa mengontaknya malam ini”
Percakapan lalu terputus.
Ting!
Tidak lama, Seo-sensei mengirimkan kontak yang dia maksud, dan menambahkannya dengan sebaris kalimat.
“Faihah-san, aku percayakan dia kepadamu. Dia adalah teman baikku.”
Aku mengerutkan dahi melihat nama kontak tersebut. Tapi aku segera melupakannya. Nama itu cukup pasaran.
“Selamat malam Yuichi sensei. Saya Faihah, yang akan menjemput anda ke Sawargi besok. Saya mendapatkan kontak anda dari Seo sensei. Salam kenal sebelumnya. Besok mau dijemput di mana dan pukul berapa?”
Terkirim
Sepuluh menit … Dua puluh menit … Tiga puluh menit …
Bahkan pesan itu belum dibalas sampai aku tidur.
===Aku baru mendapatkan balasannya pada pukul 10.00 pagi keesokan harinya.
Halo Faihah-san. Sejujurnya saya tidak tahu di mana sekarang. Tapi bisakah kamu menjemput saya hari ini?
Beserta beberapa foto.
Aku mengerutkan dahi sambil menghela napas kesal. Walaupun cewek dikenal sebagai makhluk yang “jago stalking”, sayangnya aku bukan salah satu di antara mereka.
Selain itu, aku kehilangan jadwal pemberangkatan kereta lokal sepuluh menit yang lalu. Jadwal pemberangkatan kereta lokal selanjutnya dari kota tempat ku tinggal adalah dua jam kemudian.
“Sensei, bisakah Anda mengirimkan lokasi anda lewat aplikasi ini?”
Sepuluh menit kemudian, terdapat balasan. Lagi-lagi aku mengerutkan kening.
Kampus Wijaya? Kampus almamaterku dulu?
Aku lalu menggunakan foto yang Yuichi sensei kirimkan dengan pencarian gambar. Rupanya foto itu menunjukkan lokasi kampus tempat aku dulu mengambil gelar sarjana.
Kenapa orang itu ada di sana?
Segala macam kemungkinan berputar di kepalaku. Dia tidak mungkin sedang kuliah kan? Seo sensei sendiri usianya hampir 40-an. Kalau orang ini memang kawan baik Seo sensei, usianya tidak mungkin jauh lebih muda bukan?
Apakah dia sedang melakukan wisata masa lalu?
“Pak, saya minta maaf. Tapi karena bapak membalas pesan saya tidak cepat. Saya kehilangan jadwal pemberangkatan kereta pukul 10. Jadi saya akan berangkat dari Sawargi pukul 12, atau pemberangkatan selanjutnya.”
Lagi-lagi tidak ada balasan.
===Aku memandangi bus-bus kampus yang berjejer di depan halte pemberhentian terakhir yang berada di depan asrama kampus. Aku sebenarnya ke asrama kampus karena ingin jajan rujak, alias lapar. Sayangnya, tukang rujak itu tidak berjualan. Entah sedang tidak berjualan, atau sudah tidak berjualan.Aku menyenderkan kepala ke pilar halte pemberhentian bus dengan lesu. Sudah tiga jam aku terdampar di kampus almamaterku tercinta, hanya karena sebuah gambar dari seorang sensei yang belum pernah bertemu sebelumnya. Seseorang yang merenggut hari liburku yang indah.Sayangnya dia adalah calon atasanku. Aku memandangi ponsel. Orang ini benar-benar tidak membalas sejak aku berangkat dari Sawargi. Aku menghela napas. Aku menghubunginya lewat panggilan suara untuk ketiga kalinya.Lagi-lagi orang itu tidak mengangkatnya.
Aku lalu membuka pesan dari orang itu dan melihat kembali foto yang dia kirimkan. Aku tidak familiar dengan tempat ini. Aku menghela napas dan menyenderkan kepala ke tiang halte. Entah kenapa aku merasa lelah. Aku mengirimkan pesan seperti ini.
“Sensei, saya sudah di kampus. Kalau baca pesan ini tolong hubungi saya secepatnya, biar kita bisa kembali ke Sawargi hari ini dan secepatnya. ASAP.”
Aku memasukan kembali ponsel ke dalam tas, dan kembali memandangi pemandangan.Tidak banyak orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang.
“Tuh, yang merah mau jalan. Naik! Naik!”
Aku mengikuti arahan supir menaiki bus yang dimaksud, dan duduk paling belakang. Aku mengecek waktu di ponsel, setengah jam lagi asar.
Apa yang harus aku lakukan?
Aduh, aku pengen pulang aja. Mana fisikku tidak seperti dulu, dan menunggu tidak jelas seperti ini melelahkan.
Aku memandangi halte stasiun dengan muka lesu. Sepertinya aku akan turun setelah halte ini. Halte terdekat dengan perpustakaan kampus. Kebetulan bagian paling bawah perpustakaan terbuka untuk umum dilengkapi dengan sofa yang sangat nyaman.
Aku bersiap untuk turun ketika bus mendekati halte tujuan. Ada dua orang yang hendak turun di depanku. Bus berhenti, lalu aku turun ketika pintu bus otomatis terbuka. Aku berjalan dengan gontai dari halte menuju perpustakaan. Aku memandangi masjid raya kampus yang terbentang di depanku.
Apa aku ke sana aja ya? Toh, sebentar lagi juga waktu asar.
Suasana depan gerbang masjid itu cukup ramai dengan orang-orang yang hendak beribadah. Aku melangkahkan kaki menuju tempat ibadah untuk perempuan.
===
Aku menyandarkan diri di atas sofa perpustakaan yang empuk. Tanganku reflek memegang ponsel, lagi-lagi tidak ada pesan dari Yuichi sensei.
Orang macam apa dia sampai tidak merespon pesanku seperti ini?
Aku menaruh ponsel ke dalam tas dan mendengus kesal. Aku menyenderkan kepala ke tembok dan memeluk tasku dengan erat. Perlahan mataku memberat dan menjadi gelap.
===
Mataku memburam dan perlahan menjadi sedikit terang. Sayangnya badanku masih terasa lemas sehingga belum ada kekuatan untuk bangkit.
Aku sudah tertidur berapa lama?
Aku dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih menggerakkan leher yang terasa pegal. Tanganku meraba-raba ponsel di dalam tas, untuk mengecek sudah berapa lama aku tertidur. Sepertinya setengah jam aku tertidur.
Huh? Panggilan tidak terjawab? Pesan?
Badanku seketika menjadi linglung. Rupanya ada rentetan pesan dan panggilan tidak terjawab dari sensei! Aku menggunakan siku untuk membantuku bangkit sedangkan tangan kananku membaca pesan dari sensei.
Pesan ini telah terhapus.
Ah biarlah! Yang penting tandanya dia sudah bisa dihubungi.
Aku akhirnya mencoba mengendalikan rasa linglung dan kembali membuat panggilan dengan sensei.
Kring … kring …
Aku reflek memutuskan panggilan. Setelah diam beberapa saat, aku kembali membuat panggilan.
Kring … kring ….
Demi apa? Kenapa ada yang bunyi setiap aku membuat panggilan?
“Faihah?” Aku terdiam mendengar seseorang di sebelah memanggil namaku.
Suara seseorang yang rasanya sangat familiar, dan pernah menjadi bagian dalam beberapa episode kehidupanku sebelumnya.
Halo. Aku Fay, penulis dari buku ini. Aku tahu sih karyaku tidak akan terkenal juga, tapi daripada muncul komentar tidak enak yang harusnya bisa diantisipasi sejak awal, lebih baik aku menulis catatan ini dari sekarang. Orang-orang yang membaca ini pasti akan mengerutkan dahi. Mungkin novel ini akan berbeda dari yang kalian pikirkan, makanya sebenarnya lebih pas novel ini diberi rating 18+ karena orang di usia tersebut seharusnya sudah mempunyai prinsip masing-masing. Aku sih tidak ingin menjadikan novel ini propaganda atau contoh, setiap orang punya nilai masing-masing. Mungkin bisa dibilang seperti penggambaran realita? Terimakasih semua, ngomong-ngomong ini pertama kalinya aku debut sebagai seorang penulis fiksi setelah 16 tahun aku mencoba menulis fiksi. Aku saat itu belum berani memulai karena berperang dengan nilai yang aku percayai.
Aku memasukan ponsel ke dalam tas lalu menoleh dengan perlahan. Mataku tertumbuk dengan seorang pria yang rupanya jauh lebih tinggi dariku. Sejujurnya aku masih belum kembali sadar 100 %. Namun, tanpa ba-bi-bu aku langsung bangkit dan mengambil tas hendak meninggalkan pria itu. Grab! Aku kaget ketika pria itu mendadak berada di depanku, membuatku terduduk di atas sofa perpustakaan. Bruk! Tasku terlepas dari tangan lalu terjatuh ke bawah. Tatapan mataku terpaku dengan pria itu sampai dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Aku refleks mundur, namun ternyata dia mengambil tas yang terjatuh dan menaruhnya di sebelahku dengan perlahan. “Faihah … “ Tatapanku masih nanar ke depan walaupun tidak menatap matanya. “Kamu … Yuichi Sensei?” “Yuichi Haruka, lebih tepatnya.” Kumpulan emosi dan rasa lelah yang sedari tadi menggerogoti tubuh mulai menggumpal dan mengambang ke atas kepala. Menghasilkan air mata yang mengalir begitu saja dari kepala. Haruka seperti tersentak, “Fay … “
Tek! Sepiring makanan dengan segelas air mendarat di depanku. Aku menatap makanan yang Haruka ambil. “Kamu sering makan di sini?” Aku mengangguk, “Tempatku tinggal dulu di sekitar sini.” “Benarkah?” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Bisakah kita melewatinya saat menuju stasiun?” Aku menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” Nada suara Haruka terdengar kecewa. Aku menghentikan suapanku dan memandangi Haruka, “Kenapa kamu terlihat sangat penasaran?” Haruka terdiam sejenak, “Baiklah kalau memang kamu tidak ingin menunjukkannya.” Haruka lalu mulai makan. Suasana di antara aku dan Haruka berubah menjadi hening, walaupun warung tersebut ramai dengan kumpulan mahasiswa yang tengah makan atau nongkrong. “Sudah ke mana saja selama berada di Indonesia?” "Bagaimana kamu tahu?" "Seo sensei yang memberitahuku kalau kamu sudah satu minggu berada di Indonesia." "Ah begitu." Haruka tiba-tiba mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yang membuatku terkesiap. Majalah yang aku berikan kepadan
Aku memandangi ponselku dengan cemas, kenapa Kang Ujang susah sekali dihubungi? Seo sensei juga sama saja. "Fay?"Aku tersadar dan menoleh, "Kenapa?""Kamu kenapa?" Aku terdiam sejenak dan menggeleng. "Kamu terlihat gelisah dari tadi.""Aku tidak apa-apa.""Fay ... tatap aku ... "Aku menatap Haruka yang duduk di depanku. Kami memang tengah menunggu di sebuah kafe di bandara. "Katakan ada apa denganmu? Kamu dari tadi terlihat gelisah."Aku menghela napas, "Aku tidak bisa menghubungi orang yang akan menjemput kita.""Lalu?""Aku belum mendapat kontak sensei yang harus aku jemput, kalau itu aku masih bisa pakai papan. tapi kalau soal mobil ... ""Ada alternatif lain?""Ada bus bandara menuju Sawargi ... ""Oke, berarti kamu tidak perlu memusingkan hal itu."Aku tidak menanggapi perkataan itu lebih lanjut dan memilih memandangi kertas bertuliskan "Kawata Mi", nama sensei yang akan aku jemput. Kira-kira masih ada setengah jam lagi sebelum jadwal kedatangannya tiba.Kami akhirnya sibuk de
Kriiiingg .... Tanganku reflek mengambil ponsel, lalu mengangkatnya begitu melihat nama si pengirim. "Ya?" "Aku menganggumu?" "Aku baru bangun tidur, kenapa? Maksudku, aku ketiduran." "Aku butuh beberapa perlengkapan pribadi dan perlengkapan untuk mengajar. Kamu bisa mengantarku?" "Memangnya perusahaan tidak menyediakannya?" "Aku rasa lebih baik aku mencari barang bersamamu saja." Sontak aku menghela napas, Haruka memang agak banyak mau kalau soal seperti ini. "Hmm ... Kapan? Kalau untuk alat tulis aku tidak yakin karena tokonya pasti sebentar lagi akan tutup" "Kamu kapan bisa pergi?" Aku menatap jam di ponselku. "Aku siap-siap dulu, mungkin setengah jam kemudian aku akan menjemputmu." "Baiklah." :) Aku memandangi Haruka yang tengah mendorong kereta belanja. Pandanganku berganti-ganti dengan rak yang memajang produk-produk untuk makanan luar negeri seperti Korea dan Jepang. Sesuatu menarik perhatian, membuatku berdiri di depan produk itu dan memandanginya erat-erat. “Eee
“Mbak yang perwakilan dari pelatihan pengajar bahasa Jepang PT Naruyama?” Aku yang tengah berada di kantor subag akademik menoleh, seorang pria paruh baya menghampiriku.“Iya Pak, ada apa?”“Ini tadi kata Pak Dekan suruh ambilin meja di gudang buat depan kelas. Saya kira yang ke sini laki-laki, tahu-tahu perempuan. Sebentar ya Mbak.”Aku hanya mengangguk dan membiarkan bapak tersebut pergi. Beberapa menit kemudian aku menganga melihat meja yang diangkut.Meja mahasiswa yang cukup untuk meja dua orang.Aku buru-buru membantu bapak tersebut dan seorang janitor yang agak kesulitan membawa meja tersebut.“Udah mbak, gak usah.”Aku awalnya bingung untuk apa meja tersebut, kemudian aku menemukan jawabannya. ========= Aku ingin menghela napas menghadapi tumpukan berkas. Hari ini adalah hari pertama pelatihan dengan agenda tes penempatan kemampuan mengajar dan bahasa Jepang. Tentu saja ada berkas yang harus dikumpulkan. Aku menatap seorang ibu yang kutaksir usianya sekitar 30-an. Aku sebena
“Nasi padaangg … yash … “ aku dengan antusias membuka bungkusan tersebut. Aku membeli nasi padang dengan menu rendang. Aku sudah lama ingin makan nasi padang, tapi karena alasan umur aku sudah mengurangi konsumsinya sejak lama. “Halo, boleh bergabung?” Aku dan Kang Ujang serentak menoleh, “Silahkan sensei!” Kawata sensei lalu duduk di sebelahku. “Faihah, kenapa menumu berbeda?” “Aku hanya diberi uang makan sensei, karena aku hanya bagian dari proyek ini,” jawabku. “Oh, tapi aku ingin makanan seperti milikmu. Aku rindu makanan Indonesia.” Kawata sensei pernah tingal di Indonesia selama lima tahun untuk belajar bahasa Indonesia, dan sering mendapat murid bahasa Jepang dari Indonesia. “Yuichi sensei sedang bersama Yuanita, Sensei?” “Iya, Yuanita bilang ada beberapa hal yang ingin ditanyakan mengenai materi dan jadwal pengajaran, karena kedepannya kelas akan diadakan di sore hari. Aku tidak mau pusing-pusing karena sudah tua, jadi biarkan saja Haru yang masih muda untuk me
“Fay, ayo ikut.” Aku yang tengah merapihkan berkas menoleh, “Seo sensei? Ikut ke mana?” “Makan bersama,” jawab Seo sensei. Tidak lama Kawata sensei keluar, diikuti dengan Haruka dan Yuanita dari ruangan sebelah. Seo sensei menoleh ke arah Yuanita, “Yuanita, saya sudah mengecek tempat kuliner yang kamu rekomendasikan, sepertinya enak. Hari ini saya ingin mengajak kalian dan para sensei ke sana.” Yuanita mengangguk dengan antusias, “Ayo sensei!” Tanpa sadar aku menatap Yuanita dan merasa penasaran, tempat apa yang dimaksud oleh Yuanita? === Aku merapatkan bibir melihat sebuah durian yang sudah terbelah menjadi tiga. Diam-diam aku ingin menghela napas panjang. Aku tidak bisa makan durian. “Kamu tidak makan, Fay?” Aku menoleh, “Saya tidak bisa makan durian, Sensei.” Seo sensei mengerutkan dahi, “Tahu begitu, kamu pilih saja buah yang lain.” Aku bengong ketika Seo sensei mengeluarkan sebuah kartu, “Pakai kartu ini untuk membayarnya.” Aku menerimanya dengan agak canggung dan bang
Aku mengehela napas di atas motor. Ini sudah rumah ketiga yang aku dan Haruka datangi. Tidak ada lagi rumah yang akan dikontrakan di dalam lingkungan rumah. Haruka lalu menghampiriku. Haruka menghampiriku dan mengerutkan dahi, “Kamu kenapa?” “Sekarang kamu mau ke mana lagi?” Haruka terdiam sejenak, “Kamu lelah?” Aku hanya mengangguk, “Aku ingin rebahan dan istirahat. Sudah malam juga." Haruka tiba-tiba tertawa, “Jangan terlalu sering rebahan, punggungmu bisa keropos nanti.” Suasana hening sejenak. “Kamu mau makan dulu sebelum antar aku pulang?” Aku mengerutkan dahi, “Tadi belum cukup?” “Kamu pikir itu makan sore? Kita hanya makan buah.” Aku hanya bisa mengangguk, “Benar sih.” “Ayo kamu makan di mana? Aku yang traktir.” Aku tersenyum lebar mendengar perkataan Haruka. === Tek! Dua piring nasi dengan lauk makanan laut tersaji di atas meja. "Kamu yakin bisa menghabiskannya?" "Aku yakin kamu bisa membantuku menghabiskannya, Fay." "Ish!" aku melotot sedangkan Haruka terkeke
"Teteh, ada yang ingin ibu bicarakan ke kamu."Badanku mendadak merinding mendengar perkataan ibuku. Sore ini aku memang mampir ke rumah ibuku sebelum kembali ke rumah kosan. Aku menyebutnya rumah kosan karena itu adalah rumah keluargaku yang dijadikan kosan.Aku yang duduk di kursi meja makan hanya memandang ibu, "Kenapa Bu?"Ibu yang baru saja pulang dari sekolah menghempaskan badan di kursi depanku. "Tadi pengacara keluarga Shireen ke kelas ibu."Deg! Kini aku tahu kemana pembicaraan ini mengarah. "Sebelumnya maafin ibu Teh, ibu gak tahu kalau kamu juga korban di kampus itu ... maafin ibu Teh."Aku paling benci momen seperti ini, karena otomatis ada air mata yang akan keluar. Mendadak aku bangkit dan membawa tas ku keluar dari rumah. "Teteh, mau kemana??"Aku tidak menjawab, hanya memundurkan motor dengan kasar. Tiba-tiba aku kehilangan kendali. Brak!Motor ku terjatuh begitu saja. Aku hanya memandangi motorku dengan tatapan kosong. Aku lalu jongkok dan meletakkan kepala di ba
“Teteh, kata Yuanita kamu lagi dekat dengan yang dulu mengajar Mumtaz di sekolah?” Aku yang tengah menggulir sosial media dalam ponsel menoleh, “Gurunya Mumtaz peserta pelatihan, Bu.” “Kang Rian lebih muda dibanding Teteh tahu bu.” Mumtaz tiba-tiba menyela. “Ya teruuus,” alih-alih malah aku yang menyahut. “Teteh pacaran sama Pak Rian?” “Teteh hanya kenal biasa. Gak usah ngadi-ngadi (mengada-ada) deh.” Malam itu aku sedang menginap di rumah ibuku. Mumtaz sedang memijat pundak ibu. “Tapi Kang Rian orangnya baik kan Taz? Ibadahnya bagus?” “Baik sih Bu, salatnya gak pernah ketinggalan sih … kayaknya mah …” “Kalau kamu sama dia, ibu dukung aja sih Teh ...” Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di balik perkataan ibuku. “Ibu sudah pasrahkan segalanya kepada Allah, kamu juga sudah dewasa hampir 30 tahun, ibu juga serahkan apapun pilihan jodohmu. Tapi ibu harap setidaknya jodohmu harus yang satu iman.” Aku lagi-lagi tidak menjawab. “Apa kamu masih belum bisa memaafka
Pagi ini aku mengantar adikku yang sedang pulang kampung dari kampusnya ke pameran kampus yang diadakan di SMA tempat aku belajar dulu. “Teh Faihah?”Aku seketika menoleh dan menyipit melihat seseorang yang rasanya tidak asing.“Oh A Rian?”A Rian menghampiriku dengan motornya, “Habis antar Mumtaz Teh?”Aku mengangguk, “Iya, A Rian?”“Habis antar ponakan Teh, dia katanya mau lihat-lihat kampus.”Aku mengangguk-angguk. Tiba-tiba sesuatu melintas dalam benakku, tapi aku ragu untuk mengatakannya.“Teh Faihah mau langsung balik?”Aku menggeleng, “A, mau lihat-lihat dalam juga gak? Saya penasaran soalnya mau lihat sekarang pamerannya seperti apa.”“Oh boleh. Parkir di luar aja Teh, di dalam sekolah biasanya susah buat keluar.”“Oke A.”Suasana sekolah ramai dengan anak-anak menggunakan baju bebas dan membawa tas. Di bagian lapangan terdapat beberapa kedai makanan sementara yang padat oleh pengunjung. Aku memandangi kelas-kelas yang ditempel oleh label kampus. “Teh Faihah pernah ke sini
“Miss Ningsih!” Aku sontak menoleh mendengar suara yang tidak asing.Hari ini sekolah tempat ibuku mengajar mengadakan sebuah open house untuk semua unit sekolah dari TK sampai SMA. Aku sedang membantu temanku semasa SMA menjaga stand makanan di open house tersebut. “Ooh, Kak Yuanita. Gak bareng sama Kak Sherin?”Aku nyaris saja mengumpat dan buru-buru duduk di belakang Tari, temanku sekaligus pemilik stand makanan, agar tidak terlihat. Padahal jelas-jelas dia lebih pendek dariku.Tari seketika menoleh, “Lu ngapain deh?” Aku tidak langsung menjawab. “Teteh? Faihah?”“Tuh, Mak lu manggil!”“Ini gue berkata kasar bisa gak sih.”Mau tidak mau aku bangkit dan keluar dari stand lalu menghampiri kedua orang itu.“Teh Faihah?”Aku tidak tahu harus menyapa seperti apa, syukurlah ibuku menyelanya.“Kamu kenal sama Yuanita, Teh?”“Iya Miss, aku sama Teh Faihah lagi bareng satu proyek.”“Oh, yang program pengajar bahasa Jepang itu?”“Iya Miss.”“Ya sudah kak, Miss tinggal dulu ya. Nanti kalau k
“Menurutmu bagaimana performa mengajar Pak Nandang?”Tanganku memegang kemudi dengan erat karena berpapasan dengan truk yang lumayan besar, membuatku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Kawata sensei. “Jika saya berada di posisi sebagai murid, penyampaiannya sudah cukup baik, sensei.”"Ah begitu." Suasana hening sejenak. "Aku dengar Nandang-san termasuk populer. Semua orang membicarakan tentangnya.""Saya tidak begitu tahu, Sensei. Namun, dari berkasnya saya rasa bukan orang yang main-main. Hanya beliau yang punya sertifikat JLPT N2, Sensei.""Benarkah? Tidak heran dia bisa masuk kelas Haruka. Dia awalnya akan dimasukkan ke dalam kelasku, tapi karena kemampuan bahasa Jepang dia sudah tinggi, kami putuskan dia akan masuk ke kelas Haruka."Aku berusaha keras mendengarkan perkataan Kawata sensei sembari menyetir. Ini bukan jalanan yang biasa aku lewati, dan banyak sawah di pinggir jalan kanan dan kiri. "Tapi sensei akan mempertimbangkan hasil wawancara dia tadi?""Hmmm ... aku belu
“Bu Faihah?”Lamunanku buyar. Padahal aku berharap yang memanggilku janitor, rupanya tidak sesuai harapan. Aku kembali menatap para guru di depanku.“Untuk apa yang terjadi di masa lalu itu adalah urusan Yuichi sensei.” Akhirnya aku mulai angkat bicara, “Yuichi sensei tidak akan menjadi pengajar jika tidak berkompeten, baik itu dari kinerja atau dari cara dia dalam mengelola emosi. Perusahaan cukup ketat dalam menyeleksi, apalagi ini menyangkut nama baik perusahaan juga.”Aku terdiam, bingung ingin melanjutkan dengan apa. “Mengenai keterangan Kang Ujang, memang benar saya mengenal Yuichi sensei sebelum proyek ini berlangsung. Yuichi sensei sebenarnya tidak semenakutkan yang ibu atau bapak pikirkan.” Tiba-tiba aku menatap Pak Peter, “Seperti Pak Peter lah, kelihatannya garang padahal hatinya hello kitty.”Pak Peter tiba-tiba tersipu dan menatap ke arah Pak Salim, “Pak Haji! Benarkan kata Teh Faihah, Saya itu badannya saja yang sangar, aslinya saya nih …” tangan Pak Peter mendadak berge
Aku memandangi empat orang yang duduk membentuk formasi lingkaran. Selepas dari kantor dinas, kami kembali ke kampus. Seo sensei mengumpulkan semua pengajar dan panitia setelah kegiatan belajar selesai. “Tadi aku rapat bersama dengan pihak kampus, tadi ada juga pihak dari dinas.” Seo sensei mulai berbicara, “Untuk penilaian bulanan, aku memutuskan satu pengajar akan bertugas menilai di satu sekolah didampingi oleh satu asisten.” Aku kaget ketika Seo sensei mendadak memandangku, “Kawata sensei akan didampingi oleh Faihah, sedangkan Yuichi sensei akan didampingi oleh Yuanita. Kontak masing-masing penanggung jawab sekolah sudah ku serahkan kepada Faihah, sudah kamu kontak, Fay?” “Beberapa sensei, tapi kebanyakan dari mereka belum mengirim jadwal mengajar guru.” “Baik, tidak apa-apa.” Seo sensei melanjutkan, “Yuichi sensei dan Yuanita akan menilai murid-murid kelas Kawata sensei, Kawata sensei dan Faihah akan menilai murid kelas Yuichi sensei.” “Sesuai pengaturan, Faihah akan menjadi
“Mbak mau kemana?”Aku menoleh, seorang petugas keamanan hotel mendadak berdiri di belakangku.Tanganku teracung begitu saja ke pusat perbelanjaan yang tepat berada di samping hotel, “Ke sana gak bisa ya, Pak?”“Ya gak bisa Mbak, Kan ini buat parkir hotel.”Aku mengangguk dengan canggung, “Oh begitu ya Pak. Saya mau ke lobi hotel Pak, harus jemput bos saya.”Aku merasa kikuk ketika petugas itu memandangiku dengan tatapan menyelidik, “Benar nih, Mbak?”Aku buru-buru menunjukkan chat Seo sensei kepada petugas itu. Aku tidak tahu harus bereaksi apa ketika petugas itu kebingungan membaca chat Seo sensei yang seluruhnya menggunakan bahasa Jepang. “Ya sudah Mbak. Tapi bener ya?”“Iya Pak.” Saya lalu buru-buru berjalan seribu langkah sebelum urusan menjadi rumit. Seo sensei pagi ini mendadak menghubungiku karena Kang Ujang mendadak sakit. Jadi mau tidak mau aku harus menjemputnya di hotel. Aku tidak tahu kenapa harus menjemputnya di hotel, alih-alih di apartemennya.Aku celingak-celinguk me
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Kawata sensei lalu menggeleng, “Tidak sensei.”Mendadak aku merasa gugup ketika menyadari semua pandangan tertuju kepadaku, “Dari pengamatanku belum menunjukkan perilaku yang aneh.”“Semoga saja tidak.” Aku hanya menggangguk dan mengiyakan perkataan Kawata sensei.Sepanjang pembicaraan mereka aku terhanyut dengan pikiranku sendiri. Sebenarnya aku merasa aneh, kelas Haruka bisa dibilang ditujukan untuk para guru yang kemampuan bahasa Jepangnya sudah sangat baik. “Fay?”Sontak aku menoleh, “Kenapa sensei?”“Aku ingin pulang, kamu mau ikut? Atau tetap di sini?”Aku reflek membereskan perlengkapanku, “Saya ikut sensei.”Kawata sensei dan aku lalu bangkit dan pamit kepada orang-orang di ruangan.“Kamu tidak pulang Hiroki?” Kawata sensei bertanya.Seo sensei menggeleng, “Saya sepertinya ingin di sini lebih lama, sensei.”“Baiklah, aku dan Faihah pamit duluan ya.”“Baik sensei.”===== Aku membuka pagar ketika melihat sesosok tinggi yang berdiri di